cerpen di muat di majalah ANGGUN edisi 3/II/Maret 2009
/1/
LELAKI setengah baya yang menjabat sebagai Kepala Desa itu hanya termangu, dan diam lama saat tamu yang datang ke rumahnya sore itu akhirnya menyampaikan maksud kedatangannya dengan jujur. Ada perasaan aneh yang menggumpal tepat di jantungnya, lantaran ia harus melakukan sesuatu yang selama ini menjadi pertentangan di lubuk hatinya. Sempat, ia digulung keraguan ingin menolak mentah-mentah tawaran tersebut. Tetapi, entah mengapa, matanya tiba-tiba berbinar merah tepat ketika tamu berjas hitam itu meletakkan sebuah amplop putih berisi uang.
“Jangan khawatir, pak,” kata tamu tersebut, “Ini hanya uang muka! Kalau nanti, bapak bisa membantu saya jadi caleg, pasti ada tambahan bonus lagi. Ini memang tak seberapa, tetapi jika saya terpilih, nanti akan ada bonus lagi sebagai balas jasa.”
“Oh, jadi itu yang membuat bapak datang ke sini?” ujar Kepala Desa itu, serasa mendesah senang. Kilatan matanya menerka-nerka setumpuk uang dalam amplot putih yang tergetak di atas meja, “Kalau hanya bantuan seperti itu, urusan kecil, pak! Semua warga di sini, pasti mengikuti apa yang saya perintahkan!”
“Saya tidak ragu lagi! Saya percaya dengan kecerdikan bapak! Jika tak cerdik, bagaimana mungkin bapak dulu bisa terpilih jadi Kepala Desa…”
Kepala Desa itu kembali termangu, merasa tersanjung. Matanya menatap senja yang jatuh perlahan lewat bingkai kaca jendela. Ia tahu, gelap sebentar lagi akan tiba dan hari berganti menjadi malam. Tetapi di lubuk hatinya, ia merasa hari seperti masih pagi sebab kelak ia akan bisa memiliki uang tambahan untuk beli mobil baru dari balas jasa memenangkan pemilu. “Pasti dijamin jadi, pak!” tegas Kepala Desa.
“Terima kasih, pak!” ujar laki-laki berjas hitam itu seraya berdiri, menjabat tangan Kepala Desa. Lalu keduanya melangkah ke beranda. “Belakangan ini saya cukup sibuk. Apalagi malam nanti saya ada janji bertemu seseorang. Jadi, mohon pamit dulu!”
Keduanya terus melangkah. Sampai di beranda, lelaki berjas hitam itu menepuk-nepuk bahu Kepala Desa setelah dia memberikan isyarat pada sopir pribadinya untuk segera pergi. Kepala Desa mengangguk, melepas kepergian lelaki itu dengan senyum tanpa dosa. Petang jatuh perlahan, seiring semburat gelap yang melingkupi halaman. Dan Kepala Desa itu melangkah memasuki rumah dengan memendam harapan.
***
/2/
ANIRMA hanya termangu, dan diam cukup lama tatkala senja itu Iswadi datang ke kontrakannya. Tanpa ada angin, lelaki yang bekerja satu kantor dengannya itu tiba-tiba mengungkapkan isi hatinya. Ada perasaan aneh yang menjalar di hati Anirma dan menggedor-gedor pedih masa lalunya yang kelabu. Ia serasa digulung secuil keraguan menerima lelaki itu. Tapi entah mengapa, Anirma seperti tercekat, tak bisa menjawab.
“Kenapa? Kamu ragu dengan keseriusanku?” tanya Iswadi lembut tapi menusuk ulu hati Anirma.
Anirma tergeragap, mukanya berwarna merah --seakan habis ditampar. Tetapi, Anirma tidak segera memberikan jawaban.
“Aku sudah mengenal kamu lebih dari dua tahun dan kini aku ingin mengajakmu menikah. Lalu apa yang membuatmu ragu untuk memberikan secuil jawaban?”
Anirma kembali diam, tidak menjawab.
Harusnya, kamu tahu jawabanku: aku tidak pernah mampu memberikan secuil jawaban pada siapa pun lelaki yang jatuh cinta padaku! Jawaban cinta itu adalah satu janji yang harus aku pegah teguh. Padahal aku merantau ke jakarta dengan mimpi bisa membawa perubahan besar. Maka aku hanya berharap satu hal pada lelaki yang jatuh cinta padaku, jangan sampai mawar di hatiku layu sebelum ia berbunga!
Anirma dan Iswadi terdiam. Saling pandang.
“Boleh aku bertanya padamu?”
“Bertanya tentang apa?” tanya Anirma ragu.
“Apa kau menyukai bunga mawar?”
“Hmm…”
“Jika kamu suka, besok aku akan memesan bunga mawar untukmu! Kamu bisa menanam bunga itu di mana pun kamu suka!”
Anirma kembali diam. Entah kenapa, senja itu Anirma seperti susah untuk diajak bercanda. Dan lelaki itu tak tahu apa yang harus ia lakukan. Akhirnya, ia pamit dengan meninggalkan bau parfum yang sunyi. Dan sebelum pulang ke rumah, lelaki itu mampir ke toko bunga. Ia memesan bunga mawar untuk diantar ke alamat Anirma.
***
/3/
SETENGAH tahun berlalu, laki-laki setengah baya yang menjabat sebagai Kepala Desa itu mendapati kabar bahwa lelaki berjas hitam yang pernah datang ke rumahnya, ternyata terpilih menjadi anggota dewan. Sebagai orang yang berjasa besar, dia tidak lupa dengan janji yang pernah diucapkan lelaki itu. Ia sudah lama menunggu saat yang ia nantikan itu dengan dada berbinar dan mendebarkan.
Senja baru turun, meninggalkan kenangan akan kedatangan lelaki berjas hitam itu dengan senyum menjanjikan. Maka, ia tak mau kehilangan kesempatan. Buru-buru ia mengangkat gagang telepon …
"Saya ucapkan terima kasih atas bantuannya, pak Kepala Desa! Tanpa bantuan bapak, tentu tidak mungkin saya bisa terpilih,” jawab lelaki berjas hitam dari seberang.
“Tapi kapan akan bertandang ke rumah, pak? Rumah saya selalu terbuka lebar menunggu kedatangan bapak! Juga, warga saya yang telah memilih bapak!”
“Sabar, pak! Saya masih agak sibuk, apalagi saya harus menanti pelantikan!”
“Oh, tentu... Saya tahu itu! Tapi, bagaimana dengan janji bapak tentang bonus tambahan yang dulu pernah bapak janjikan setelah bapak terpilih?”
“Pasti itu, pak! Saya tak akan memungkiri janji yang telah saya ucapkan!”
Hati Kepala Desa berdebar girang, seperti tidak sabar. Tapi ia paham, kesibukan lelaki yang dulu pernah datang ke rumahnya, kini sudah menjadi orang penting dan ia harus rela menunggu.
***
/4/
SETENGAH tahun berlalu. Iswadi tidak pernah patah arah. Ia selalu mengunjungi Anirma meski dengan hati pilu --seperti tertusuk duri bunga mawar. Tetapi, ia tahu, ada setangkup bungan merah yang mulai bisa ia lihat sejak ia mengirim bunga mawar untuk Anirma. Setiap kali ia datang ke kontrakan Anirma, ia bisa menjumpai bunga mawar itu tumbuh dan hatinya berdebar ketika ia menatap bunga itu sudah berbunga.
”Kau suka bunga mawar itu?” tanya Iswadi, gugup.
”Kenapa tidak bertanya yang lain…” jawab Anirma.
”Hanya ingin tahu. Kau keberatan...?”
”Hmm.”
”Aku suka matamu...”
”Kenapa tidak ngomong yang lain…”
“Seperti ada setangkup bunga mawar dalam matamu.”
”Ah, kau pasti membual… Aku tak percaya denganmu!”
Kembali, pemuda itu tidak tahu apa yang harus dia lakukan. ia ditikam bingung, dan akhirnya pamit pulang dengan meninggalkan aroma parfum yang sunyi.
***
/5/
DUA bulan kemudian, sejak Kepala Desa menelpon lelaki berjas hitam yang dulu datang ke rumahnya, ia mulai kehilangan kesabaran. Lelaki berjas hitam ternyata tidak pernah memenuhi janji. Kepala Desa kembali memberanikan diri untuk menelpon lelaki itu untuk menagih…
“Rasanya, jika orang sudah jadi orang penting seperti tidak pernah punya waktu lagi untuk turun ke bawah” sindir Kepala Desa itu lewat telepon.
Tapi lelaki berjas hitam yang dulu pernah menemuinya, ternyata tak menangkap sindiran itu, “Bukan tidak ada waktu, pak! Lebih tepatnya, jadwal sidang cukup padat sehingga belum ada kesempatan untuk turun ke bawah.”
“Tapi, bapak tidak lupa khan dengan janji bapak sebelum pemilihan dulu….”
“Oh, janji apa ya…?”
“Itu lho, pak! Masak bapak bisa lupa?” ucap Kepala Desa itu ragu, “Janji untuk memberi tambahan bonus!”
“Maaf, pak! Rasa-rasanya, saya tidak pernah berjanji seperti itu…!”
Deggg! Jantung Kepala Desa itu berdegup dengan kencang. Gagang telepon yang dipegangnya nyaris jatuh. Adzan maghrib yang menggema di petang itu serasa menjalar ke persendian kaki. Ia hanya diam, termangu, menatap petang yang berganti menjadi malam. Hatinya kecut, serasa ditikam…
***
/6/
SUDAH dua bulan, Iswadi tak mengunjungi Anirma.
Senja jatuh perlahan. Di depan kontrakannya, Anirma menatap bunga mawar di dalam pot dengan diam. Wanita itu, entah mengapa, menganggap Iswadi tak gigih menggoyahkan hatinya. Padahal bunga mawar itu ia rawat dengan baik untuk tumbuh di hatinya. Kini, ia disergap keraguan dan sudah memutuskan untuk mencabut bunga itu sebelum ia pulang ke kampung sebab ia mengundurkan diri dari tempatnya bekerja.
Ragu, Anirma memandang bunga mawar itu terakhir kali sebelum ia mencabut dengan beringas. Dulu ia merasa ada pertentangan dalam dirinya sewaktu menanam bunga itu. Seakan, dia tidak ingin bunga itu tumbuh dan mekar, apalagi bisa berbunga. Tapi, kini ia harus ditikam kecewa setelah bunga itu tumbuh ternyata Iswadi tak kunjung datang. Kini, ia sudah memutuskan untuk mencabut bunga mawar itu….
“Tunggu!” sebuah suara membuat Anirma kaget. Ia diam, menengadah ke arah datanganya suara. Tak disangka, Iswadi sudah berdiri kaku di dekatnya.
“Kenapa kau hendak mencabut bunga itu?”
“Aku pikir, kau tidak akan pernah datang lagi…”
“Janji seorang lelaki yang jatuh cinta, tak akan pernah dipatahkan oleh duri dan musim panas. Sebab, ia berjanji bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk kehidupan.”
Anirma terpaku, menatap pemuda itu dengan tersipu. Kini dia tahu, janji seorang pecinta sejati memang tak bisa disamakan dengan janji seorang politisi. Tapi diam-diam Anirma tak bisa menepis semerbak wangi bunga mawar yang mulai bersemi dalam pot.
Dan ia tahu, bunga mawar itu tidak layu sebelum berbunga! ***
Kado pernikahan buat Anir MA
Ciputat, 10 Februari 2009
LELAKI setengah baya yang menjabat sebagai Kepala Desa itu hanya termangu, dan diam lama saat tamu yang datang ke rumahnya sore itu akhirnya menyampaikan maksud kedatangannya dengan jujur. Ada perasaan aneh yang menggumpal tepat di jantungnya, lantaran ia harus melakukan sesuatu yang selama ini menjadi pertentangan di lubuk hatinya. Sempat, ia digulung keraguan ingin menolak mentah-mentah tawaran tersebut. Tetapi, entah mengapa, matanya tiba-tiba berbinar merah tepat ketika tamu berjas hitam itu meletakkan sebuah amplop putih berisi uang.
“Jangan khawatir, pak,” kata tamu tersebut, “Ini hanya uang muka! Kalau nanti, bapak bisa membantu saya jadi caleg, pasti ada tambahan bonus lagi. Ini memang tak seberapa, tetapi jika saya terpilih, nanti akan ada bonus lagi sebagai balas jasa.”
“Oh, jadi itu yang membuat bapak datang ke sini?” ujar Kepala Desa itu, serasa mendesah senang. Kilatan matanya menerka-nerka setumpuk uang dalam amplot putih yang tergetak di atas meja, “Kalau hanya bantuan seperti itu, urusan kecil, pak! Semua warga di sini, pasti mengikuti apa yang saya perintahkan!”
“Saya tidak ragu lagi! Saya percaya dengan kecerdikan bapak! Jika tak cerdik, bagaimana mungkin bapak dulu bisa terpilih jadi Kepala Desa…”
Kepala Desa itu kembali termangu, merasa tersanjung. Matanya menatap senja yang jatuh perlahan lewat bingkai kaca jendela. Ia tahu, gelap sebentar lagi akan tiba dan hari berganti menjadi malam. Tetapi di lubuk hatinya, ia merasa hari seperti masih pagi sebab kelak ia akan bisa memiliki uang tambahan untuk beli mobil baru dari balas jasa memenangkan pemilu. “Pasti dijamin jadi, pak!” tegas Kepala Desa.
“Terima kasih, pak!” ujar laki-laki berjas hitam itu seraya berdiri, menjabat tangan Kepala Desa. Lalu keduanya melangkah ke beranda. “Belakangan ini saya cukup sibuk. Apalagi malam nanti saya ada janji bertemu seseorang. Jadi, mohon pamit dulu!”
Keduanya terus melangkah. Sampai di beranda, lelaki berjas hitam itu menepuk-nepuk bahu Kepala Desa setelah dia memberikan isyarat pada sopir pribadinya untuk segera pergi. Kepala Desa mengangguk, melepas kepergian lelaki itu dengan senyum tanpa dosa. Petang jatuh perlahan, seiring semburat gelap yang melingkupi halaman. Dan Kepala Desa itu melangkah memasuki rumah dengan memendam harapan.
***
/2/
ANIRMA hanya termangu, dan diam cukup lama tatkala senja itu Iswadi datang ke kontrakannya. Tanpa ada angin, lelaki yang bekerja satu kantor dengannya itu tiba-tiba mengungkapkan isi hatinya. Ada perasaan aneh yang menjalar di hati Anirma dan menggedor-gedor pedih masa lalunya yang kelabu. Ia serasa digulung secuil keraguan menerima lelaki itu. Tapi entah mengapa, Anirma seperti tercekat, tak bisa menjawab.
“Kenapa? Kamu ragu dengan keseriusanku?” tanya Iswadi lembut tapi menusuk ulu hati Anirma.
Anirma tergeragap, mukanya berwarna merah --seakan habis ditampar. Tetapi, Anirma tidak segera memberikan jawaban.
“Aku sudah mengenal kamu lebih dari dua tahun dan kini aku ingin mengajakmu menikah. Lalu apa yang membuatmu ragu untuk memberikan secuil jawaban?”
Anirma kembali diam, tidak menjawab.
Harusnya, kamu tahu jawabanku: aku tidak pernah mampu memberikan secuil jawaban pada siapa pun lelaki yang jatuh cinta padaku! Jawaban cinta itu adalah satu janji yang harus aku pegah teguh. Padahal aku merantau ke jakarta dengan mimpi bisa membawa perubahan besar. Maka aku hanya berharap satu hal pada lelaki yang jatuh cinta padaku, jangan sampai mawar di hatiku layu sebelum ia berbunga!
Anirma dan Iswadi terdiam. Saling pandang.
“Boleh aku bertanya padamu?”
“Bertanya tentang apa?” tanya Anirma ragu.
“Apa kau menyukai bunga mawar?”
“Hmm…”
“Jika kamu suka, besok aku akan memesan bunga mawar untukmu! Kamu bisa menanam bunga itu di mana pun kamu suka!”
Anirma kembali diam. Entah kenapa, senja itu Anirma seperti susah untuk diajak bercanda. Dan lelaki itu tak tahu apa yang harus ia lakukan. Akhirnya, ia pamit dengan meninggalkan bau parfum yang sunyi. Dan sebelum pulang ke rumah, lelaki itu mampir ke toko bunga. Ia memesan bunga mawar untuk diantar ke alamat Anirma.
***
/3/
SETENGAH tahun berlalu, laki-laki setengah baya yang menjabat sebagai Kepala Desa itu mendapati kabar bahwa lelaki berjas hitam yang pernah datang ke rumahnya, ternyata terpilih menjadi anggota dewan. Sebagai orang yang berjasa besar, dia tidak lupa dengan janji yang pernah diucapkan lelaki itu. Ia sudah lama menunggu saat yang ia nantikan itu dengan dada berbinar dan mendebarkan.
Senja baru turun, meninggalkan kenangan akan kedatangan lelaki berjas hitam itu dengan senyum menjanjikan. Maka, ia tak mau kehilangan kesempatan. Buru-buru ia mengangkat gagang telepon …
"Saya ucapkan terima kasih atas bantuannya, pak Kepala Desa! Tanpa bantuan bapak, tentu tidak mungkin saya bisa terpilih,” jawab lelaki berjas hitam dari seberang.
“Tapi kapan akan bertandang ke rumah, pak? Rumah saya selalu terbuka lebar menunggu kedatangan bapak! Juga, warga saya yang telah memilih bapak!”
“Sabar, pak! Saya masih agak sibuk, apalagi saya harus menanti pelantikan!”
“Oh, tentu... Saya tahu itu! Tapi, bagaimana dengan janji bapak tentang bonus tambahan yang dulu pernah bapak janjikan setelah bapak terpilih?”
“Pasti itu, pak! Saya tak akan memungkiri janji yang telah saya ucapkan!”
Hati Kepala Desa berdebar girang, seperti tidak sabar. Tapi ia paham, kesibukan lelaki yang dulu pernah datang ke rumahnya, kini sudah menjadi orang penting dan ia harus rela menunggu.
***
/4/
SETENGAH tahun berlalu. Iswadi tidak pernah patah arah. Ia selalu mengunjungi Anirma meski dengan hati pilu --seperti tertusuk duri bunga mawar. Tetapi, ia tahu, ada setangkup bungan merah yang mulai bisa ia lihat sejak ia mengirim bunga mawar untuk Anirma. Setiap kali ia datang ke kontrakan Anirma, ia bisa menjumpai bunga mawar itu tumbuh dan hatinya berdebar ketika ia menatap bunga itu sudah berbunga.
”Kau suka bunga mawar itu?” tanya Iswadi, gugup.
”Kenapa tidak bertanya yang lain…” jawab Anirma.
”Hanya ingin tahu. Kau keberatan...?”
”Hmm.”
”Aku suka matamu...”
”Kenapa tidak ngomong yang lain…”
“Seperti ada setangkup bunga mawar dalam matamu.”
”Ah, kau pasti membual… Aku tak percaya denganmu!”
Kembali, pemuda itu tidak tahu apa yang harus dia lakukan. ia ditikam bingung, dan akhirnya pamit pulang dengan meninggalkan aroma parfum yang sunyi.
***
/5/
DUA bulan kemudian, sejak Kepala Desa menelpon lelaki berjas hitam yang dulu datang ke rumahnya, ia mulai kehilangan kesabaran. Lelaki berjas hitam ternyata tidak pernah memenuhi janji. Kepala Desa kembali memberanikan diri untuk menelpon lelaki itu untuk menagih…
“Rasanya, jika orang sudah jadi orang penting seperti tidak pernah punya waktu lagi untuk turun ke bawah” sindir Kepala Desa itu lewat telepon.
Tapi lelaki berjas hitam yang dulu pernah menemuinya, ternyata tak menangkap sindiran itu, “Bukan tidak ada waktu, pak! Lebih tepatnya, jadwal sidang cukup padat sehingga belum ada kesempatan untuk turun ke bawah.”
“Tapi, bapak tidak lupa khan dengan janji bapak sebelum pemilihan dulu….”
“Oh, janji apa ya…?”
“Itu lho, pak! Masak bapak bisa lupa?” ucap Kepala Desa itu ragu, “Janji untuk memberi tambahan bonus!”
“Maaf, pak! Rasa-rasanya, saya tidak pernah berjanji seperti itu…!”
Deggg! Jantung Kepala Desa itu berdegup dengan kencang. Gagang telepon yang dipegangnya nyaris jatuh. Adzan maghrib yang menggema di petang itu serasa menjalar ke persendian kaki. Ia hanya diam, termangu, menatap petang yang berganti menjadi malam. Hatinya kecut, serasa ditikam…
***
/6/
SUDAH dua bulan, Iswadi tak mengunjungi Anirma.
Senja jatuh perlahan. Di depan kontrakannya, Anirma menatap bunga mawar di dalam pot dengan diam. Wanita itu, entah mengapa, menganggap Iswadi tak gigih menggoyahkan hatinya. Padahal bunga mawar itu ia rawat dengan baik untuk tumbuh di hatinya. Kini, ia disergap keraguan dan sudah memutuskan untuk mencabut bunga itu sebelum ia pulang ke kampung sebab ia mengundurkan diri dari tempatnya bekerja.
Ragu, Anirma memandang bunga mawar itu terakhir kali sebelum ia mencabut dengan beringas. Dulu ia merasa ada pertentangan dalam dirinya sewaktu menanam bunga itu. Seakan, dia tidak ingin bunga itu tumbuh dan mekar, apalagi bisa berbunga. Tapi, kini ia harus ditikam kecewa setelah bunga itu tumbuh ternyata Iswadi tak kunjung datang. Kini, ia sudah memutuskan untuk mencabut bunga mawar itu….
“Tunggu!” sebuah suara membuat Anirma kaget. Ia diam, menengadah ke arah datanganya suara. Tak disangka, Iswadi sudah berdiri kaku di dekatnya.
“Kenapa kau hendak mencabut bunga itu?”
“Aku pikir, kau tidak akan pernah datang lagi…”
“Janji seorang lelaki yang jatuh cinta, tak akan pernah dipatahkan oleh duri dan musim panas. Sebab, ia berjanji bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk kehidupan.”
Anirma terpaku, menatap pemuda itu dengan tersipu. Kini dia tahu, janji seorang pecinta sejati memang tak bisa disamakan dengan janji seorang politisi. Tapi diam-diam Anirma tak bisa menepis semerbak wangi bunga mawar yang mulai bersemi dalam pot.
Dan ia tahu, bunga mawar itu tidak layu sebelum berbunga! ***
Kado pernikahan buat Anir MA
Ciputat, 10 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar