Cerpen ini dimuat di majalah Anggun edisi 5/bln Des 2008
TEPAT tengah malam, lelaki itu mendadak bangun serasa tergeragap dari mimpi menentramkan yang terpenggal. Dering ponsel di dekat kepalanya, yang terletak persis di atas meja ia dengar menyalak keras serupa anjing yang menggonggong kencang di tengah kelengangan malam. Gugup, ia diterkam gamang di antara mimpi dan terjaga.
Tetapi suara handphone itu terus bergemuruh, berkecamuk serasa menghantam genderang telinganya. Lalu mulai sadar, beringsut menyibak selimut seraya menggosok-gosok matanya. Sisa kantuk membuat penglihatannya setengah kabur. Kesal, ia meraih ponsel.
Tengah malam seperti ini, mengapa Winati menelepon? batin lelaki itu, setelah melihat sepenggal nama di layar ponselnya yang masih manyala kuning.
"Halo...." suara lembut Winati di seberang, “Kamu sudah tidur, ya?”
“Belum,” jawab lelaki itu, bohong.
“Apa aku mengganggumu?”
“Tidak! Aku justru tak percaya, malam ini kamu menelponku. Aku mengira nomor hp-ku sudah kau buang jauh-jauh, setelah kamu melangsungkan pernikahan… “
“Aku masih menyimpannya! Kau keberatan?”
“Tidak…, tidak itu yang aku maksud,” tangkis lelaki itu, cepat, “Aku hanya heran, kenapa kamu meneleponku selarut ini?”
“Aku hanya ingin tahu tentang kabarmu!”
“Tidak ada yang lain?” tanya lelaki itu, membuat Winati tergeragap, “Aku tidak yakin, jika tidak ada hal penting yang membuatmu menelponku! Ini sudah larut malam, bukankah besok hari masih ada waktu?”
“Hmmm…”
“Kau sedang ada masalah dengan suamimu?”
Tak ada jawaban di seberang. Lelaki itu termangu, ragu mencerca pertanyaan lagi. Tapi, dia masih diterkam bimbang. “Lantas, kenapa kamu belum juga tidur?”
Kembali tak ada jawaban yang didengar lelaki itu, kecuali isak tangis yang tiba-tiba menelusup daun telinganya. Sebuah tangisan yang sudah dia hapal. Juga, sebuah tangisan yang serasa membasahi telinganya, merambatkan peta kesedihan yang harus ia sesap dalam-dalam.
“Kenapa diam? Ceritalah, jika kamu ada masalah!”
“Besok kamu ada waktu?” akhirnya Winati bersuara, pelan dan dingin. “Aku ingin bertemu!”
Bimbang, ia memberi jawaban. Tapi, ia tidak bisa menolak, “Ada. jam 12 siang.”
“Aku tunggu di tempat biasa kamu makan siang …”
Lelaki itu sudah tahu, tempat Winati akan menunggu. Tapi, ia tidak tahu kenapa Winati ingin menemuinya.
“Kau tidak dalam masalah, khan?”
Tak ada sebuah jawaban. Hanya terdengar suara tut pendek-pendek, pertanda telepon di seberang telah ditutup.
***
/2/
MALAM lagi purnama. Bulan di langit mengintip dari jendela, menaburkan kristal-kristal cahaya keemasan yang berpendar lembut, membungkus malam dalam bingkai waktu yang mulai memudar. Lelaki itu duduk di tepi tempat tidur masih menggenggam handphone-nya erat-erat. Ia serasa dirambati hamparan awan, juga kabut putih yang muncul dari balik kegelapan setelah mendengar suara lembut Winati.
Sungguh, ia nyaris tidak percaya dengan apa yang baru terjadi. Ia merasa bisa terbang bagai kelelawar yang keluar dari gua, menelusup di balik awan yang ganjil di musim sepi yang datang lebih awal. Apalagi isak tangis Winati seperti merampatkan jerit yang gelisah membuat sebuah janji untuk bertemu. Ya, sebuah pertemuan yang sudah lama dia nantikan setelah empat bulan yang lalu Winati tak bisa menemuinya di sebuah kafe ia biasa menghabiskan jeda jam kantor. Dan tahu-tahu, tak lama kemudian lelaki itu mendengar kabar mendebarkan yang membuat dadanya langsung sesak dan susah bernapas; Winati menikah dengan orang lain.
Duduk di tepi ranjang, ia menatap bulan yang terbingkai dalam kaca jendela. Ia tidak tahu, kenapa tengah malam itu Winati tiba-tiba berbuat gila meneleponnya dan membuat janji bertemu. Tetapi jauh-jauh hari, ia sebenarnya sudah yakin jika suatu hari nanti, Winati akan menemuinya. Ia yakin akan hal itu!
Kabar yang ia dengar dari seorang teman, meneguhkan hatinya untuk tak ragu, dan esok hari dia akan bertemu Winati di sebuah kafe tempat ia menghabiskan istirahat kantor untuk makan siang. Secuil harapan yang ia rajut dalam kenangan, setelah Winati menikah dengan orang lain, seperti merambatkan gelombang yang meluruh di lorong masa lalu. Semua itu, bermula sekitar sebulan lalu, ketika dia mendengar kabar miring yang merambat di telinganya bahwa Winati telah bercerai.
Ia pada awalnya tidak peduli. Setumpuk desas-desus tentang kehidupan rumah tangga Winati yang retak mirip figura yang kemudian bisa pecah berkeping-keping dan berantakan di lantai. Seperti ingatan, pada awalnya berasal dari kenangan. Dua bulan setelah ia mendengar Winati menikah dengan orang lain, dia tahu Winati hidup dalam rumah tangga yang menyesakkan. Dari sahabat dekat Winati, ia mengetahui jika Winati sering diperlakukan kasar oleh suaminya, sehingga membuat perempuan itu tidak kuat mempertahankan perkawinan yang baru seumur jagung.
Lalu, tiga minggu lalu, laki-laki itu mendapatkan cerita yang melegakan. Winati menuntut cerai, karena sang suami ketahuan berselingkuh. Kini, lorong hampa yang dulu sempat menambatkan getir membuat lelaki itu semakin kukuh memeluk kenangan. Setangkup cinta yang dulu sempat menggumpal dalam kata, pun pelan-pelan mengisi ruang kosong. Seperti kesejukan malam yang merambat pelan, menggetarkan, lelaki itu serasa melayang.
Dan, lelaki itu ingin malam segera berlalu…
***
/3/
"KUPIKIR, kamu benar! Mestinya, aku tidak menikah dengan orang yang tak setia sehingga tidak terjadi perceraian…," desah Winati, seraya memandang jalanan ketika duduk berdua dengan lelaki itu di sebuah kafe. Mobil dan motor melintas serupa kilasan. Dan siang itu, kafe tempat Winati membuat janji bertemu dengan lelaki itu sungguh tak lagi membentangkan aroma yang puitis. Tampak asing dan ganjil.
Tetapi, sosok lelaki yang ada di hadapan Winati hanya mendesah, memandang Winati dengan sorot kelabu. Terik mentari menjadikan pertemuan kedua anak manusia yang dulu sempat menjadi kekasih sehidup semati itu, perlahan-lahan mulai menjelma serupa rentetan kenangan yang tak akan pernah menjadi kekal.
“Tidak ada yang perlu disesali, aku pikir kamu masih memiliki masa depan,” ujar lelaki itu, “Juga tak ada yang perlu ditakuti. Kau sudah menyelamatkan hidupmu…”
Winati menunduk merasa bersalah berada di hadapan lelaki itu. Tak hanya siang itu tetapi sejak empat bulan lalu, ketika ia memutuskan menikah dengan orang lain. Dan orang lain itu, kemudian tragisnya selingkuh sehingga Winati menuntut cerai. Selebihnya, Winati diam. Lelaki itu diam. Tapi gema dering yang tertahan dalam tas Winati, tiba-tiba membuyarkan suasana.
Winati membuka tas, meraih ponselnya lantas beranjak dari kursi, menjauhi lelaki yang duduk di hadapannya dengan diliputi ketegangan yang lusuh. Lelaki itu, menatap Winati dengan gugup ditingkupi jengah sebab Winati menerima telepon dengan pelan. Sesaat kemudian, Winati mematikan handphone, kembali duduk di hadapan lelaki itu dengan wajah yang sudah berubah merah, dicekam takut.
“Kamu tahu, aku ini masih dalam masalah! Tapi, aku berharap kau tak keberatan menerima teleponku,” suara Winati datar dan dingin, “Kini aku harus pulang. Pengacara suamiku sudah menungguku di rumah!”
***
/4/
WINATI beranjak, meninggalkan kafe dengan aroma wangi yang menghambur ke segala ruang, mengikuti bayangan dari langkah Winati akibat tertepias terik mentari yang membakar. Dan lelaki itu memandang kepergian Winati dengan wajah temaram, seakan tidak tega jika pertemuan yang singkat itu harus berakhir dengan cepat.
Dan, lelaki itu duduk sendiri. Sebagaimana hari-hari biasa, setelah Winati menikah dengan orang lain empat bulan lalu, lelaki itu kerap lupa waktu. Ia tidak segera kembali ke kantor dengan cepat setelah menghabiskan makan tapi masih duduk di sudut kafe dengan pandangan kosong menatap jalanan. Ketika lelaki itu dibekap kenangan, tiba-tiba handphone di saku celananya berdering.
Cepat-cepat, dia merogoh handphone dan berharap Winati yang menelponya siang itu. Tapi harapan itu, hanya membuatnya kecewa lantaran panggilan itu datang dari kantornya. Ia lalu bangkit, berjalan ke arah kasir. Petugas yang duduk di meja kasir, menyambutnya dengan ramah dan hangat.
“Dua piring soto, dan dua gelas es jeruk!” kata lelaki itu, dengan tergesa.
Tetapi petugas di kasir tak menanggapi dengan meraih kalkulator, menghitung sebagaimana biasa, melainkan menatap lelaki itu dengan heran, seraya melihat meja yang barusan ditinggalkan oleh lelaki itu. “Bukankah, bapak makan cuma satu piring?”
“Tidak, nona…! Saya tadi memesan makanan dua, dan makan berdua dengan seorang wanita, tetapi dia kemudian pergi lebih dulu…”
“Ah, bapak jangan bergurau!”
“Bergurau? Jelas tidak, nona! Karena tadi saya makan berdua dengan seorang wanita, hanya saja dia kebetulan sudah pulang lebih dulu..”
“Tapi dari tadi, saya melihat bapak duduk sendiri. Bapak juga memesan makan satu piring, bukan dua piring!”
Lelaki itu menoleh, meneliti meja tempat dia makan. Ia melihat ada satu piring dan satu gelas yang sudah tandas. Tetapi, semua pengunjung dan penjaga kasir tidak tahu apa yang ada dalam ingatan lelaki itu. Dan penjaga kasir, tak heran dengan ulah lelaki itu yang sering menjengkelkan. Apalagi sejak empat bulan lalu, ia ditinggal pergi oleh kekasihnya; menikah dengan orang lain. Ia kerap duduk di sudut kafe menatap lalu lalang kendaran yang bergelombang, mirip ilalang diterpa angin.
Lelaki itu tak segera membayar, masih berdiri kaku di depan maja kasir dengan pandangan ganjil, tajam mengingat kenangan yang retak, mengumpal dalam labirin waktu, serupa lesing gelombang yang lepas dari kendali dan mencerabut ingatan. Dan, panas di siang hari itu seperti membisu. Para pengunjung kafe, menatap lelaki itu seraya menggeleng-gelengkan kepala. ***
Ciputat, 01/11/ 2008
2 komentar:
Cerpen yang bagus, Mas. Aku suka ending-nya yang beralur cepat, singkat, tapi tak terduga itu...
Salut.
Aku gak nyangka jk mas fajar membaca cerpen ini sblm redaktur media massa menyeleksinya. he 3x. tp, sejujurnya cerpen ini sdh punya jatah dimuat di sebuah majalah, kr2 edisi desember. kapling itulah, yang kdg membuatku terpeleset membuat ending yg bagus. mohon, masukannya, syukur2 yg pedas demi kemajuan cerpen2 saya.
Posting Komentar