cerpen ini dimuat di tabloit NOVA, edisi 1076/xxi, 6-12 okt 08 dengan judul zakat.
/1/
SETIAPKALI pulang di hari lebaran, Mudrik tak kuasa membendung air matanya jatuh menitik. Ia menangis diam-diam di malam lebaran, karena teringat pada kehidupan yang jauh menembus labirin waktu dan sepenggal masa lampau yang temaram. Sebuah malam yang menjerumuskan dia dalam kehidupan buram seperti lorong gelap yang meninggalkan luruh kelabu. Dan, dia tak bisa menghadang terjangan mendung di sudut matanya hingga mengalir serupa gerimis. Dia menangis diam-diam, dalam kamar yang usang, tepat di malam lebaran. Malam yang tak menyenangkan, setelah ia jauh-jauh pulang ke rumah.
Selama tujuh tahun, Mudrik pulang hanya untuk menangis. Sebuah tangisan yang meninggalkan jejak memar pada ujung matanya di pagi lebaran seusai menangis hampir semalam suntuk. Tanpa suara dan tanpa sedu sedan.
/2/
MALAM rebah di altar langit. Gema takbir dan suara bedug terus bertalu-talu. Azan maghrib sudah lama berlalu dan waktu isak tinggal menunggu kabut gelap tergelincir. Tetapi langkah Mudrik seakan gamang menapaki lorong panjang ke arah rumahnya meskipun di pelupuk matanya sudah terlihat dengan jelas kerlip cahaya lampu yang menyala redup di teras rumahnya. Rumah yang tak akan pernah ia lupakan. Rumah yang nyaris tak berubah sejak ia tinggalkan tujuh tahun lalu. Rumah yang hampir roboh dan tak lagi bercat putih --lantaran mengelupas. Buram.
Tetapi, seberkas cahaya redup di teras itu membuat Mudrik bernapas lega, lantaran dia tak lama lagi akan menginjakkan kaki di beranda. Tak ingin dikenali tetangga yang kebetulan melintas, maka Mudrik melangkah dengan cepat. Gema takbir dan suara bedug bertalu-talu seakan menghentakkan kakinya mengambang, tidak berjalan di atas jalanan. Tetapi setelah lelaki itu tiba di depan rumah dan tinggal membuka pintu, ia dihadang keraguan.
Sejenak ia merasa berada di sebuah beranda rumah yang asing, yang tak pernah ia tinggali, sebelum kemudian tersadar dan buru-buru membuka pintu dengan beringas. Tetapi, setelah menerabas masuk ia hanya membisu. Tak ada sambutan hangat atau cium tangan takzim yang Mudrik haturkan pada emaknya yang kebetulan sedang duduk di ruang tengah, sendiri dalam kesunyian dan sedang menunggu kedatangan anak-anaknya dengan setangkup kerinduan.
"Akhirnya, kamu datang dan masih tahu jalan pulang ke rumah ini. Aku kira kamu tidak akan pulang lebaran tahun ini, apalagi setelah kamu dapat pekerjaan di Jakarta!" sambut emaknya seraya bangkit dari tiduran, "Aku pikir, kamu lupa dengan emakmu sebagaimana adikmu dan kakakmu..."
"Aku tak tahu, kenapa langkah kakiku membawaku pulang ke rumah ini, meski aku sudah janji untuk tidak pulang dan hendak mengirim uang lewat wesel!" ucap lelaki itu, setelah duduk tepat di hadapan emaknya.
Sayup-sayup gema takbir dan suara bedug, masih terdengar bertalu-talu. Tak ada percapakan saat adzan isak berkumandang. Sejenak, Mudrik memandang wajah emaknya dengan teliti. Mudrik lihat wajah tua emaknya, wanita berusia enam puluh tahun yang sudah uzur dimakan usia. Perlahan, Mudrik merogoh saku celana mengeluarkan dompet dan menarik enam lembar lima puluh ribuan dan mengulurkan pada emaknya, "Ini ada sisa uang THR meskipun tak seberapa, Mak! Semoga uang dari keringat anakmu dan uang pertamakali yang aku berikan buat emak ini bisa membuat emak tak mengharapkan zakat dari tetangga lagi..."
Wanita itu tak bisa menyembunyikan kegembiraan yang meruak, karena baru malam ini ia bisa merasakan jerih payahnya selama tujuh tahun membiayai kuliah anaknya, dan bahkan harus menanggung utang bertumpuk demi masa depan anak-anaknya. Tapi, kegembiraan yang menyelimuti wajah wanita tua itu tiba-tiba terkoyak, setelah terdengar ketukan di pintu, berkali-kali. Sebuah ketukan di pintu yang membuat wanita itu menghela napas lega, tapi bagi Mudrik seperti terhimpit ruang sempit, dan menyesakkan dada.
Ketukan itu seketika membuat Mudrik galau. Sebuah ketukan yang serupa rintihan. Selalu ia tak kuat mendengar ketukan di pintu, lantaran ketukan itu akan membuatnya menangis meratapi malam lebaran hampir semalaman.
Dan malam ini ia kembali mendengar ketukan itu sebagaimana kepulangannya di malam lebaran tahun-tahun yang lalu. Maka, dia cepat-cepat berdiri, tetapi tidak untuk membuka pintu, melainkan masuk ke kamar. Dari balik kamar, Mudrik mendengar langkah kaki emaknya berjalan mendekati pintu, membuka dan menyambut seseorang. Mudrik tidak perlu melongokkan badan untuk memastikan siapa tamu yang datang lantaran dia tahu; tamu yang datang itu tak lain orang yang datang memberi zakat pada emaknya.
Ia tahu. Sejak tujuh tahun lalu, emaknya jadi orang miskin yang berhak menerima zakat.
/3/
DULU, ketika Mudrik masih kecil, tatkala ia belum kuliah, ketika ayahnya masih hidup, dan bapak-emaknya belum menunaikan ibadah haji, tidak ada seseorang yang datang ke rumahnya; mengetuk pintu mengulurkan zakat berupa seplastik beras dan sepucuk amplop putih berisi uang. Dulu, justru setiap malam lebaran, bapaknya selalu minta anak-anaknya -Mudrik, adiknya dan kakaknya-- keliling kampung untuk membagikan zakat fitrah dan uang.
Kini, setelah tujuh tahun kemudian, semua itu tinggal kenangan. Akhir cerita itu, bermula setelah kedua orangtuanya pulang dari tanah suci, dan ia lulus SMU kemudian melanjutkan kuliah ke kota menyusul kakaknya yang lebih dulu kuliah. Ayahnya jatuh sakit saat mudrik menginjak semester satu, terserang stroke. Ayahnya dirawat di rumah sakit. Tidak ada tanda-tanda bisa pulih kemudian emaknya mengambil kendali usaha ayahnya.
Tapi, biaya yang tidak sedikit membuat usaha konveksi yang dikendalikan emaknya itu harus kembang kempis. Utang emaknya menumpuk, untuk membiayai ayahnya, dan mengirim wesel kepada Mudrik dan kakaknya. Maka, lambat laun, keluarga Mudrik yang dikenal kaya raya itu jatuh miskin. Apalagi dua tahun setelah Mudrik kuliah, adiknya lulus SMU kemudian melanjutkan kuliah pula. Emaknya kian dililit utang bertumpuk. Badai datang silih berganti, lantaran kakaknya mengalami depresi; masuk rumah sakit jiwa. Sedangkan ayahnya tak juga kunjung sembuh dan harus menjalani terapi, dan butuh biaya banyak.
Jika tujuh tahun yang lalu keluarga Mudrik tergolong orang kaya dan setiap lebaran selalu membagi zakat, sekarang kisah itu sudah jadi kisah usang. Sejak tujuh tahun yang lalu setiap kali lebaran, pintu rumahnya selalu diketuk orang. Tamu berdatangan memberi zakat pada emaknya apalagi sejak semester enam, ayah Mudrik meninggal, dan emaknya menjanda. Sejak tujuh tahun lalu, setiap kali lebaran tiba, Mudrik pulang ke rumah selalu mendengar ketukan di pintu. Sebuah ketukan yang menebarkan aroma kesedihan.
Ada hawa dingin yang dia rasakan merayap pelan di tengkuknya, dan dia tak bisa membendung air matanya untuk tak jatuh menitik. Sebuah tetes air mata yang harus dia tumpahkan saat teringat pada kehidupan yang jauh, menembus labirin waktu, dan sepenggal masa lampau ketika ia masih kecil dan berkeliling kampung untuk membagi-bagikan zakat. Kini malam lebaran yang ditemui Mudrik telah berubah jadi malam yang menjerumuskan dia dalam kehidupan yang buram, serupa lorong kenangan yang meninggalkan luruh kelabu. Dan diam-diam, dia tak kuasa menghadang kabut mendung di sudut matanya hingga mengalir air mata serupa gerimis.
Selama tujuh tahun Mudrik pulang di hari lebaran hanya untuk menumpahkan air mata. Sebuah tangisan yang meninggalkan jejak merah di ujung matanya di pagi lebaran karena ia menangis hampir semalam suntuk. Tapi, Mudrik selalu mudik meski dia tahu jauh-jauh pulang hanya untuk menumpahkan air mata, sekali pun ia sekarang sudah bekerja dan mampu memberikan sisa uang THR pada emanya.
/4/
PERLAHAN, Mudrik menyibak gorden kamarnya. Tidak ada siapa-siapa di ambang pintu, kecuali hanya sosok emaknya yang berdiri mematung setelah melepas kepergian seorang tamu yang baru datang membagikan zakat. Sayup-sayup Mudrik mendengar gema takbir dan suara bedug bertalu-talu. Rumahnya kembali sepi. Dia tak tahu, kenapa kakaknya dan adiknya tidak mau pulang di hari lebaran ini. Apa kedua saudaranya itu tak tega melihat emak menerima zakat ketika pintu rumahnya diketuk seseorang berkali-kali?
Mudrik bernapas lega seperti lepas dari ancaman. Emaknya kembali menutup pintu, melangkah ke ruang tengah. Tapi belum sampai emaknya mengangkat kaki terlalu jauh dari ambang pintu kembali pintu rumahnya diketuk orang. Sebuah ketukan yang mencemaskan, membuat dia tidak kuasa membendung air matanya menitik.
Dan, malam ini, Mudrik kembali mendengar ketukan di pintu rumahnya. Tapi, kali ini Mudrik cepat-cepat keluar kamar, mengintip dari balik lobang papan rumahnya. Entah kenapa, dia tiba-tiba ingin tahu tamu yang datang malam itu, meski ia tahu; tamu itu pasti akan memberikan zakat kepada emaknya.
Dari selongsong lobang, Mudrik mengintip celah ke arah pintu. Ia melihat emaknya berjalan mendekati pintu, membukanya, lalu menyambut seorang yang datang di malam lebaran itu. Hati Mudrik berdesir, berkecamuk dilanda gelisah. Tapi, setelah pintu dibuka dan sesosok wanita setengah baya muncul dari balik pintu, Mudrik nyaris tak menyangka jika yang datang di malam lebaran itu adalah Yu Sukemi, seorang pembantu rumah tangga yang sudah dua tahun ini bekerja di Jakarta.
Padahal, sepuluh tahun yang lalu, Mudrik ingat ia diminta bapaknya membagi zakat. Dan, Yu Sukemi termasuk salah satu dari sekian puluh orang yang mudrik datangi; untuk diberi zakat. Kaki Mudrik gemetar menyangga tubuhnya yang mulai lemas. Buru-buru, dia masuk ke kamar. Ia tidak tahu, sampai kapan rumahnya tidak lagi diketuk seseorang yang datang memberi zakat pada emaknya padahal sekarang ini ia sudah bekerja.
Dan malam lebaran ini, Mudrik menangis kembali. Ia menangis diam-diam, teringat kehidupan jauh menembus labirin dan sepenggal masa lampau yang temaram. Sebuah malam yang menjerumuskan dia dalam kehidupan buram serupa lorong gelap yang meninggalkan luruh kelabu. Dan, Mudrik tidak kuasa menghadang terjangan mendung di sudut matanya, hingga mengalir air mata serupa gerimis.
Ya.., malam lebaran ini, Mudrik diam-diam menangis kembali setelah ia jauh-jauh pulang ke rumah. ***
Tangerang, 21 Ramadhan 1429
SETIAPKALI pulang di hari lebaran, Mudrik tak kuasa membendung air matanya jatuh menitik. Ia menangis diam-diam di malam lebaran, karena teringat pada kehidupan yang jauh menembus labirin waktu dan sepenggal masa lampau yang temaram. Sebuah malam yang menjerumuskan dia dalam kehidupan buram seperti lorong gelap yang meninggalkan luruh kelabu. Dan, dia tak bisa menghadang terjangan mendung di sudut matanya hingga mengalir serupa gerimis. Dia menangis diam-diam, dalam kamar yang usang, tepat di malam lebaran. Malam yang tak menyenangkan, setelah ia jauh-jauh pulang ke rumah.
Selama tujuh tahun, Mudrik pulang hanya untuk menangis. Sebuah tangisan yang meninggalkan jejak memar pada ujung matanya di pagi lebaran seusai menangis hampir semalam suntuk. Tanpa suara dan tanpa sedu sedan.
/2/
MALAM rebah di altar langit. Gema takbir dan suara bedug terus bertalu-talu. Azan maghrib sudah lama berlalu dan waktu isak tinggal menunggu kabut gelap tergelincir. Tetapi langkah Mudrik seakan gamang menapaki lorong panjang ke arah rumahnya meskipun di pelupuk matanya sudah terlihat dengan jelas kerlip cahaya lampu yang menyala redup di teras rumahnya. Rumah yang tak akan pernah ia lupakan. Rumah yang nyaris tak berubah sejak ia tinggalkan tujuh tahun lalu. Rumah yang hampir roboh dan tak lagi bercat putih --lantaran mengelupas. Buram.
Tetapi, seberkas cahaya redup di teras itu membuat Mudrik bernapas lega, lantaran dia tak lama lagi akan menginjakkan kaki di beranda. Tak ingin dikenali tetangga yang kebetulan melintas, maka Mudrik melangkah dengan cepat. Gema takbir dan suara bedug bertalu-talu seakan menghentakkan kakinya mengambang, tidak berjalan di atas jalanan. Tetapi setelah lelaki itu tiba di depan rumah dan tinggal membuka pintu, ia dihadang keraguan.
Sejenak ia merasa berada di sebuah beranda rumah yang asing, yang tak pernah ia tinggali, sebelum kemudian tersadar dan buru-buru membuka pintu dengan beringas. Tetapi, setelah menerabas masuk ia hanya membisu. Tak ada sambutan hangat atau cium tangan takzim yang Mudrik haturkan pada emaknya yang kebetulan sedang duduk di ruang tengah, sendiri dalam kesunyian dan sedang menunggu kedatangan anak-anaknya dengan setangkup kerinduan.
"Akhirnya, kamu datang dan masih tahu jalan pulang ke rumah ini. Aku kira kamu tidak akan pulang lebaran tahun ini, apalagi setelah kamu dapat pekerjaan di Jakarta!" sambut emaknya seraya bangkit dari tiduran, "Aku pikir, kamu lupa dengan emakmu sebagaimana adikmu dan kakakmu..."
"Aku tak tahu, kenapa langkah kakiku membawaku pulang ke rumah ini, meski aku sudah janji untuk tidak pulang dan hendak mengirim uang lewat wesel!" ucap lelaki itu, setelah duduk tepat di hadapan emaknya.
Sayup-sayup gema takbir dan suara bedug, masih terdengar bertalu-talu. Tak ada percapakan saat adzan isak berkumandang. Sejenak, Mudrik memandang wajah emaknya dengan teliti. Mudrik lihat wajah tua emaknya, wanita berusia enam puluh tahun yang sudah uzur dimakan usia. Perlahan, Mudrik merogoh saku celana mengeluarkan dompet dan menarik enam lembar lima puluh ribuan dan mengulurkan pada emaknya, "Ini ada sisa uang THR meskipun tak seberapa, Mak! Semoga uang dari keringat anakmu dan uang pertamakali yang aku berikan buat emak ini bisa membuat emak tak mengharapkan zakat dari tetangga lagi..."
Wanita itu tak bisa menyembunyikan kegembiraan yang meruak, karena baru malam ini ia bisa merasakan jerih payahnya selama tujuh tahun membiayai kuliah anaknya, dan bahkan harus menanggung utang bertumpuk demi masa depan anak-anaknya. Tapi, kegembiraan yang menyelimuti wajah wanita tua itu tiba-tiba terkoyak, setelah terdengar ketukan di pintu, berkali-kali. Sebuah ketukan di pintu yang membuat wanita itu menghela napas lega, tapi bagi Mudrik seperti terhimpit ruang sempit, dan menyesakkan dada.
Ketukan itu seketika membuat Mudrik galau. Sebuah ketukan yang serupa rintihan. Selalu ia tak kuat mendengar ketukan di pintu, lantaran ketukan itu akan membuatnya menangis meratapi malam lebaran hampir semalaman.
Dan malam ini ia kembali mendengar ketukan itu sebagaimana kepulangannya di malam lebaran tahun-tahun yang lalu. Maka, dia cepat-cepat berdiri, tetapi tidak untuk membuka pintu, melainkan masuk ke kamar. Dari balik kamar, Mudrik mendengar langkah kaki emaknya berjalan mendekati pintu, membuka dan menyambut seseorang. Mudrik tidak perlu melongokkan badan untuk memastikan siapa tamu yang datang lantaran dia tahu; tamu yang datang itu tak lain orang yang datang memberi zakat pada emaknya.
Ia tahu. Sejak tujuh tahun lalu, emaknya jadi orang miskin yang berhak menerima zakat.
/3/
DULU, ketika Mudrik masih kecil, tatkala ia belum kuliah, ketika ayahnya masih hidup, dan bapak-emaknya belum menunaikan ibadah haji, tidak ada seseorang yang datang ke rumahnya; mengetuk pintu mengulurkan zakat berupa seplastik beras dan sepucuk amplop putih berisi uang. Dulu, justru setiap malam lebaran, bapaknya selalu minta anak-anaknya -Mudrik, adiknya dan kakaknya-- keliling kampung untuk membagikan zakat fitrah dan uang.
Kini, setelah tujuh tahun kemudian, semua itu tinggal kenangan. Akhir cerita itu, bermula setelah kedua orangtuanya pulang dari tanah suci, dan ia lulus SMU kemudian melanjutkan kuliah ke kota menyusul kakaknya yang lebih dulu kuliah. Ayahnya jatuh sakit saat mudrik menginjak semester satu, terserang stroke. Ayahnya dirawat di rumah sakit. Tidak ada tanda-tanda bisa pulih kemudian emaknya mengambil kendali usaha ayahnya.
Tapi, biaya yang tidak sedikit membuat usaha konveksi yang dikendalikan emaknya itu harus kembang kempis. Utang emaknya menumpuk, untuk membiayai ayahnya, dan mengirim wesel kepada Mudrik dan kakaknya. Maka, lambat laun, keluarga Mudrik yang dikenal kaya raya itu jatuh miskin. Apalagi dua tahun setelah Mudrik kuliah, adiknya lulus SMU kemudian melanjutkan kuliah pula. Emaknya kian dililit utang bertumpuk. Badai datang silih berganti, lantaran kakaknya mengalami depresi; masuk rumah sakit jiwa. Sedangkan ayahnya tak juga kunjung sembuh dan harus menjalani terapi, dan butuh biaya banyak.
Jika tujuh tahun yang lalu keluarga Mudrik tergolong orang kaya dan setiap lebaran selalu membagi zakat, sekarang kisah itu sudah jadi kisah usang. Sejak tujuh tahun yang lalu setiap kali lebaran, pintu rumahnya selalu diketuk orang. Tamu berdatangan memberi zakat pada emaknya apalagi sejak semester enam, ayah Mudrik meninggal, dan emaknya menjanda. Sejak tujuh tahun lalu, setiap kali lebaran tiba, Mudrik pulang ke rumah selalu mendengar ketukan di pintu. Sebuah ketukan yang menebarkan aroma kesedihan.
Ada hawa dingin yang dia rasakan merayap pelan di tengkuknya, dan dia tak bisa membendung air matanya untuk tak jatuh menitik. Sebuah tetes air mata yang harus dia tumpahkan saat teringat pada kehidupan yang jauh, menembus labirin waktu, dan sepenggal masa lampau ketika ia masih kecil dan berkeliling kampung untuk membagi-bagikan zakat. Kini malam lebaran yang ditemui Mudrik telah berubah jadi malam yang menjerumuskan dia dalam kehidupan yang buram, serupa lorong kenangan yang meninggalkan luruh kelabu. Dan diam-diam, dia tak kuasa menghadang kabut mendung di sudut matanya hingga mengalir air mata serupa gerimis.
Selama tujuh tahun Mudrik pulang di hari lebaran hanya untuk menumpahkan air mata. Sebuah tangisan yang meninggalkan jejak merah di ujung matanya di pagi lebaran karena ia menangis hampir semalam suntuk. Tapi, Mudrik selalu mudik meski dia tahu jauh-jauh pulang hanya untuk menumpahkan air mata, sekali pun ia sekarang sudah bekerja dan mampu memberikan sisa uang THR pada emanya.
/4/
PERLAHAN, Mudrik menyibak gorden kamarnya. Tidak ada siapa-siapa di ambang pintu, kecuali hanya sosok emaknya yang berdiri mematung setelah melepas kepergian seorang tamu yang baru datang membagikan zakat. Sayup-sayup Mudrik mendengar gema takbir dan suara bedug bertalu-talu. Rumahnya kembali sepi. Dia tak tahu, kenapa kakaknya dan adiknya tidak mau pulang di hari lebaran ini. Apa kedua saudaranya itu tak tega melihat emak menerima zakat ketika pintu rumahnya diketuk seseorang berkali-kali?
Mudrik bernapas lega seperti lepas dari ancaman. Emaknya kembali menutup pintu, melangkah ke ruang tengah. Tapi belum sampai emaknya mengangkat kaki terlalu jauh dari ambang pintu kembali pintu rumahnya diketuk orang. Sebuah ketukan yang mencemaskan, membuat dia tidak kuasa membendung air matanya menitik.
Dan, malam ini, Mudrik kembali mendengar ketukan di pintu rumahnya. Tapi, kali ini Mudrik cepat-cepat keluar kamar, mengintip dari balik lobang papan rumahnya. Entah kenapa, dia tiba-tiba ingin tahu tamu yang datang malam itu, meski ia tahu; tamu itu pasti akan memberikan zakat kepada emaknya.
Dari selongsong lobang, Mudrik mengintip celah ke arah pintu. Ia melihat emaknya berjalan mendekati pintu, membukanya, lalu menyambut seorang yang datang di malam lebaran itu. Hati Mudrik berdesir, berkecamuk dilanda gelisah. Tapi, setelah pintu dibuka dan sesosok wanita setengah baya muncul dari balik pintu, Mudrik nyaris tak menyangka jika yang datang di malam lebaran itu adalah Yu Sukemi, seorang pembantu rumah tangga yang sudah dua tahun ini bekerja di Jakarta.
Padahal, sepuluh tahun yang lalu, Mudrik ingat ia diminta bapaknya membagi zakat. Dan, Yu Sukemi termasuk salah satu dari sekian puluh orang yang mudrik datangi; untuk diberi zakat. Kaki Mudrik gemetar menyangga tubuhnya yang mulai lemas. Buru-buru, dia masuk ke kamar. Ia tidak tahu, sampai kapan rumahnya tidak lagi diketuk seseorang yang datang memberi zakat pada emaknya padahal sekarang ini ia sudah bekerja.
Dan malam lebaran ini, Mudrik menangis kembali. Ia menangis diam-diam, teringat kehidupan jauh menembus labirin dan sepenggal masa lampau yang temaram. Sebuah malam yang menjerumuskan dia dalam kehidupan buram serupa lorong gelap yang meninggalkan luruh kelabu. Dan, Mudrik tidak kuasa menghadang terjangan mendung di sudut matanya, hingga mengalir air mata serupa gerimis.
Ya.., malam lebaran ini, Mudrik diam-diam menangis kembali setelah ia jauh-jauh pulang ke rumah. ***
Tangerang, 21 Ramadhan 1429
1 komentar:
Cerpen yg berkesan dalam, menggambarkan penderitaan rakyat masa kini yang mungkin tidak diperhatikan oleh para wakil rakyat di DPR. Sedikit mengurangi perulangan suasana tangis akan menggambarkan sosok yg teguh, tidak berkesan cengeng, yg mampu menghadapi perputaran roda kehidupan. Cerpen ini sukses dan tepat waktu dalam suasana lebaran.
Manaek Sinaga
Posting Komentar