PAGI ini (Minggu 30/3/08), aku kembali mengalami kecelakaan parah. Tubuhku memang tak sampai remuk, kakiku juga tak mengalami patah tulang, dan tanganku tidak terluka. Tapi di dalam hati yang paling dalam -terus terang-, jiwaku terkoyak luka. Hatiku seperti dibebani satu dosa psikologis yang akut, bahkan (tak jarang) sampai tiga bulan setelah ini.
Ceritanya, Minggu pagi ini aku bangun kesiangan. Mungkin, tidak dapat disebut kesiangan lantaran aku memejamkan mata tatkala matahari sudah muncul. Sekitar pukul enam pagi. Dan saat kubuka mataku, ternyata matahari sudah agak tinggi. Kutatap jam dinding. Pukul sembilan pagi. Aku tergeragap bangun, lalu meraih hp-ku. Rupanya, ada satu pesan singkat yang masuk ke ponselku.
Setelah kubuka pesan singkat itu, aku dibuat "kaget". Intinya temanku mengabariku bahwa tulisanku dimuat di Seputar Indonesia. Karena aku masih tak percaya, maka aku tanyakan tentang judul tulisan itu. Tetapi, aku tidak dapat berkutik ketika temanku itu membalas sms menulis judul tulisanku dengan benar "Jarak Estetik Sebuah Tafsir" dimuat Seputar Indonesia (Minggu, 30/03/08).
Aku lemas. Rasa kantuk yang masih menggelayut di sudut mataku, sirna. Dalam hati, aku dicerca sebuah pertanyaan; kenapa tulisanku itu bisa dimuat, padahal (Senin 24 Maret 08) aku sudah menarik dari redaksi Seputar Indonesia?
Jelas, aku tidak tahu jawabannya!
Sekadar Tulisan Iseng
Alkisah, aku menulis tulisan esai itu awalnya hanya iseng setelah aku menonton film Ayat-ayat Cinta di Plaza Bintaro (pada Rabu 27/02/08). Tak tahu kenapa -setelah menonton- tiba-tiba malamnya tebersit keinginan untuk menulis sebuah esai. Karena iseng, tulisan yang kemudian aku beri judul Jarak Estetik Sebuah Tafsir itu hanya aku selesaikan dalam dua jam. Usai menulis, ada "rasa puas" dan perasaan lega!
Tapi setelah aku mendapatkan kepuasan, aku justru dibuat bingung. Ke mana aku bisa mengirim tulisan tersebut? Esok paginya, aku buru-buru sms mas Arief (redaktur budaya Jawa Pos) untuk menawarkan tulisan tersebut. Anehnya, mas Arief tak berminat. Ia bahkan tak membalas sms-ku dan aku berkesimpulan; mas Arief tidak berminat. Aku lantas tidak percaya diri dengan tulisanku itu, dan langkah selanjutnya aku memutuskan untuk memuatnya di blogku.
Setelah tulisan itu nangkring di blog-ku selama empat hari, tiba-tiba aku teringat jika novel karya Kang Abik itu sebelumnya pernah "dimuat" secara bersambung di Republika. Rasa percaya diriku kembali muncul, dan aku kemudian mengirimkan esai film tersebut ke Republika (03/03/08). Dua minggu, tulisanku itu tak ada kabar. Aku jadi tak yakin bisa gol di Republika, maka kutarik dan kemudian aku alihkan ke Sinar Harapan (17/03/08).
Anehnya, saat mengirim tulisan itu ke Sinar Harapan, aku seakan yakin jika tulisan itu nanti dimuat. Tapi, tatkala hari Sabtu tiba, dan aku mencari Sinar Harapan di lapak-lapak tidak ketemu lalu aku langsung ke internet untuk memastikan di situs Sinar Harapan, ternyata tidak kulihat tulisan itu dimuat. Bahkan sampai Minggu sore. Aku pun berkesimpulan, jika esai film-ku itu tidak akan "dimuat". Apalagi tiga bulan sebelumnya, aku sempat mengirim tiga naskah cerpen dan setelah aku konfirmasi ke redakturnya soal kepastiannya, tidak ada jawaban atau kabar pemuatan! Aku jadi malas untuk menanyakannya!
Akhirnya, pada Minggu 23 Maret 08 aku memindahkan tulisan esai itu ke Seputar Indonesia. Sehari setelah kukirim ke Seputar Indonesia, anehnya Senin pagi saat aku ke internet dan membuka "situs Sinar Harapan on line", ternyata tulisan esai-ku itu terpampang jelas meskipun hanya judulnya. Tak ada pilihan lain, aku segera menarik tulisanku yang aku kirim ke Seputar Indonesia sehari sebelumnya itu supaya tak dimuat di Seputar Indonesia. Lantaran, sudah merasa menarik tulisan tersebut, maka aku tak yakin tulisanku itu akan dimuat.
Tetapi kenyataan berbicara lain. Meski tulisanku itu sudah aku tarik, pada Minggu 30/03/2008, ternyata Seputar Indonesia memuatnya. Maka, aku kaget tatkala temanku dari Yogya mengirim sms dan mengabarkan perihal itu.
Peristiwa kecelaan di balik pemuatan tulisanku yang dimuat ganda ini, ternyata kembali mengingatkanku akan sebuah kecelakaan yang aku alami setahun lampau, ketika satu tulisanku (resensi) dimuat ganda di Seputar Indonesia dan Jawa Pos di hari yang sama. Padahal resensiku yang di Seputar Indonesia sudah kutarik sebelumnya, tapi anehnya sang redaktur masih juga memuat resensi itu. Aku nyaris tak percaya!
Imbas dari pemuatan tulisan gandaku itu, mas Arief Santoso --redaktur Jawa Pos--, lalu mengirim sms padaku untuk "memberi teguran". Tak ada jawaban yang aku berikan, kecuali aku mengatakan yang "sebenarnya" bahwa aku memiliki niat baik untuk berbuat jujur dan sudah menarik tulisan di Seputar Indonesia, tapi kenyataan berbicara lain. Redakturnya masih tetap memuatnya!
Meski Mas Arief agak kecewa denganku, tetapi sempat "menggarisbawahi" akan niat baik diriku -untuk selalu berpegang teguh pada kejujuran. Aku tidak menepis nasehat Mas Arief itu!
Sabar dan Ikhlas
Kini, peristiwa yang sama terjadi lagi. Aku jelas tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi aku mampu mengubah apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dengan kata lain, terus terang saja aku tak mau menyalahkan siapapun tapi aku harus instropeksi. Walau bagaimana pun tindakan menyalahkan orang lain adalah tindakan yang kurang bijak. Maka, aku tak ingin menyalahkan redaktur meski banyak redaktur tidak jarang kerap alpa menghubungi penulisnya ketika akan memuat sebuah tulisan. Mungkin, hanya satu atau redaktur yang mau susah-susah menghubungi penulisnya ketika akan memuat sebuah tulisan.
Kini, aku -mau tak mau- harus mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Sebagaimana pesan yang didengungkan film Ayat-ayat Cinta yang diselipkan oleh Hanung Bramantyo untuk "sabar dan ikhlas" ketika mengahadapi sebuah peristiwa pahit. Aku pun merasa "kurang sabar dan ikhlas". Jadi, aku tahu kecerobohanku bisa berbuah fatal dan di sisi lain aku tak mau menyalahkan siapa pun! Karena aku ini bukan malaikat -yang suci dari khilaf. Pada sisi lain, redaktur punya otoritas dan wewenang untuk memuat atau tidak di antara setumpuk tulisan.
Tapi, peristiwa ini jelas menempelak jiwaku. Bukan lantaran aku nanti akan mendapat honor ganda, melainkan "sebuah ketidakberuntungan" setelah ini biasanya akan menimpaku. Pertama, honor yang aku dapat dari hasil yang tidak jujur, tak jarang mengantarku ditimpa kesialan. Kedua, setelah aku melakukan kesalahan fatal, semisal tulisanku dimuat di dua media, seringnya setelah itu aku mengalami musim paceklik panjang. Dengan kata lain, peristiwa ini seperti sebuah hukuman yang kemudian mendatangkan masa-masa sulit bagiku sebab selama tiga bulan setelah ini biasanya tulisanku susah tembus (dimuat) di media!
Jadi, apa untungnya dengan tulisanku yang dimuat ganda? Nyaris justru aku dihantui ketakutan akan sebuah hukuman. Maka tidak ada yang dapat kuambil untuk dijadikan pelajaran, selain aku harus sabar dan ikhlas. Jujur aku harus menengok masa lalu, dan menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran yang cukup berharga tidak saja bagiku tapi juga bagi penulis lain, terlebih para penulis pemula yang harus berjuang mati-matian agar tulisannya dimuat di media massa, tapi anehnya banyak redaktur kadang tak mau memberikan jawaban akan kepastian sebuah tulisan ketika penulis meng-konfirmasi soal nasib tulisan!
Padahal, jika ada komunikasi yang terjalin baik, jelas tidak akan ada kecelakaan tulisan ganda seperti ini! ***
(Ciputat, 30 Maret 2008)
Ceritanya, Minggu pagi ini aku bangun kesiangan. Mungkin, tidak dapat disebut kesiangan lantaran aku memejamkan mata tatkala matahari sudah muncul. Sekitar pukul enam pagi. Dan saat kubuka mataku, ternyata matahari sudah agak tinggi. Kutatap jam dinding. Pukul sembilan pagi. Aku tergeragap bangun, lalu meraih hp-ku. Rupanya, ada satu pesan singkat yang masuk ke ponselku.
Setelah kubuka pesan singkat itu, aku dibuat "kaget". Intinya temanku mengabariku bahwa tulisanku dimuat di Seputar Indonesia. Karena aku masih tak percaya, maka aku tanyakan tentang judul tulisan itu. Tetapi, aku tidak dapat berkutik ketika temanku itu membalas sms menulis judul tulisanku dengan benar "Jarak Estetik Sebuah Tafsir" dimuat Seputar Indonesia (Minggu, 30/03/08).
Aku lemas. Rasa kantuk yang masih menggelayut di sudut mataku, sirna. Dalam hati, aku dicerca sebuah pertanyaan; kenapa tulisanku itu bisa dimuat, padahal (Senin 24 Maret 08) aku sudah menarik dari redaksi Seputar Indonesia?
Jelas, aku tidak tahu jawabannya!
Sekadar Tulisan Iseng
Alkisah, aku menulis tulisan esai itu awalnya hanya iseng setelah aku menonton film Ayat-ayat Cinta di Plaza Bintaro (pada Rabu 27/02/08). Tak tahu kenapa -setelah menonton- tiba-tiba malamnya tebersit keinginan untuk menulis sebuah esai. Karena iseng, tulisan yang kemudian aku beri judul Jarak Estetik Sebuah Tafsir itu hanya aku selesaikan dalam dua jam. Usai menulis, ada "rasa puas" dan perasaan lega!
Tapi setelah aku mendapatkan kepuasan, aku justru dibuat bingung. Ke mana aku bisa mengirim tulisan tersebut? Esok paginya, aku buru-buru sms mas Arief (redaktur budaya Jawa Pos) untuk menawarkan tulisan tersebut. Anehnya, mas Arief tak berminat. Ia bahkan tak membalas sms-ku dan aku berkesimpulan; mas Arief tidak berminat. Aku lantas tidak percaya diri dengan tulisanku itu, dan langkah selanjutnya aku memutuskan untuk memuatnya di blogku.
Setelah tulisan itu nangkring di blog-ku selama empat hari, tiba-tiba aku teringat jika novel karya Kang Abik itu sebelumnya pernah "dimuat" secara bersambung di Republika. Rasa percaya diriku kembali muncul, dan aku kemudian mengirimkan esai film tersebut ke Republika (03/03/08). Dua minggu, tulisanku itu tak ada kabar. Aku jadi tak yakin bisa gol di Republika, maka kutarik dan kemudian aku alihkan ke Sinar Harapan (17/03/08).
Anehnya, saat mengirim tulisan itu ke Sinar Harapan, aku seakan yakin jika tulisan itu nanti dimuat. Tapi, tatkala hari Sabtu tiba, dan aku mencari Sinar Harapan di lapak-lapak tidak ketemu lalu aku langsung ke internet untuk memastikan di situs Sinar Harapan, ternyata tidak kulihat tulisan itu dimuat. Bahkan sampai Minggu sore. Aku pun berkesimpulan, jika esai film-ku itu tidak akan "dimuat". Apalagi tiga bulan sebelumnya, aku sempat mengirim tiga naskah cerpen dan setelah aku konfirmasi ke redakturnya soal kepastiannya, tidak ada jawaban atau kabar pemuatan! Aku jadi malas untuk menanyakannya!
Akhirnya, pada Minggu 23 Maret 08 aku memindahkan tulisan esai itu ke Seputar Indonesia. Sehari setelah kukirim ke Seputar Indonesia, anehnya Senin pagi saat aku ke internet dan membuka "situs Sinar Harapan on line", ternyata tulisan esai-ku itu terpampang jelas meskipun hanya judulnya. Tak ada pilihan lain, aku segera menarik tulisanku yang aku kirim ke Seputar Indonesia sehari sebelumnya itu supaya tak dimuat di Seputar Indonesia. Lantaran, sudah merasa menarik tulisan tersebut, maka aku tak yakin tulisanku itu akan dimuat.
Tetapi kenyataan berbicara lain. Meski tulisanku itu sudah aku tarik, pada Minggu 30/03/2008, ternyata Seputar Indonesia memuatnya. Maka, aku kaget tatkala temanku dari Yogya mengirim sms dan mengabarkan perihal itu.
Peristiwa kecelaan di balik pemuatan tulisanku yang dimuat ganda ini, ternyata kembali mengingatkanku akan sebuah kecelakaan yang aku alami setahun lampau, ketika satu tulisanku (resensi) dimuat ganda di Seputar Indonesia dan Jawa Pos di hari yang sama. Padahal resensiku yang di Seputar Indonesia sudah kutarik sebelumnya, tapi anehnya sang redaktur masih juga memuat resensi itu. Aku nyaris tak percaya!
Imbas dari pemuatan tulisan gandaku itu, mas Arief Santoso --redaktur Jawa Pos--, lalu mengirim sms padaku untuk "memberi teguran". Tak ada jawaban yang aku berikan, kecuali aku mengatakan yang "sebenarnya" bahwa aku memiliki niat baik untuk berbuat jujur dan sudah menarik tulisan di Seputar Indonesia, tapi kenyataan berbicara lain. Redakturnya masih tetap memuatnya!
Meski Mas Arief agak kecewa denganku, tetapi sempat "menggarisbawahi" akan niat baik diriku -untuk selalu berpegang teguh pada kejujuran. Aku tidak menepis nasehat Mas Arief itu!
Sabar dan Ikhlas
Kini, peristiwa yang sama terjadi lagi. Aku jelas tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi aku mampu mengubah apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dengan kata lain, terus terang saja aku tak mau menyalahkan siapapun tapi aku harus instropeksi. Walau bagaimana pun tindakan menyalahkan orang lain adalah tindakan yang kurang bijak. Maka, aku tak ingin menyalahkan redaktur meski banyak redaktur tidak jarang kerap alpa menghubungi penulisnya ketika akan memuat sebuah tulisan. Mungkin, hanya satu atau redaktur yang mau susah-susah menghubungi penulisnya ketika akan memuat sebuah tulisan.
Kini, aku -mau tak mau- harus mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Sebagaimana pesan yang didengungkan film Ayat-ayat Cinta yang diselipkan oleh Hanung Bramantyo untuk "sabar dan ikhlas" ketika mengahadapi sebuah peristiwa pahit. Aku pun merasa "kurang sabar dan ikhlas". Jadi, aku tahu kecerobohanku bisa berbuah fatal dan di sisi lain aku tak mau menyalahkan siapa pun! Karena aku ini bukan malaikat -yang suci dari khilaf. Pada sisi lain, redaktur punya otoritas dan wewenang untuk memuat atau tidak di antara setumpuk tulisan.
Tapi, peristiwa ini jelas menempelak jiwaku. Bukan lantaran aku nanti akan mendapat honor ganda, melainkan "sebuah ketidakberuntungan" setelah ini biasanya akan menimpaku. Pertama, honor yang aku dapat dari hasil yang tidak jujur, tak jarang mengantarku ditimpa kesialan. Kedua, setelah aku melakukan kesalahan fatal, semisal tulisanku dimuat di dua media, seringnya setelah itu aku mengalami musim paceklik panjang. Dengan kata lain, peristiwa ini seperti sebuah hukuman yang kemudian mendatangkan masa-masa sulit bagiku sebab selama tiga bulan setelah ini biasanya tulisanku susah tembus (dimuat) di media!
Jadi, apa untungnya dengan tulisanku yang dimuat ganda? Nyaris justru aku dihantui ketakutan akan sebuah hukuman. Maka tidak ada yang dapat kuambil untuk dijadikan pelajaran, selain aku harus sabar dan ikhlas. Jujur aku harus menengok masa lalu, dan menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran yang cukup berharga tidak saja bagiku tapi juga bagi penulis lain, terlebih para penulis pemula yang harus berjuang mati-matian agar tulisannya dimuat di media massa, tapi anehnya banyak redaktur kadang tak mau memberikan jawaban akan kepastian sebuah tulisan ketika penulis meng-konfirmasi soal nasib tulisan!
Padahal, jika ada komunikasi yang terjalin baik, jelas tidak akan ada kecelakaan tulisan ganda seperti ini! ***
(Ciputat, 30 Maret 2008)
2 komentar:
waah, pengalaman yg patut diperhatikan niiih... tp muncul beberapa pertanyaan mas:
1- gimana caranya menarik tulisan kita dari satu media utk dikirim ke media yg lain? koq bisa,tulisannya kan sama?
2- berarti setelah kita mengirim tulisan, hrus menunggu cukup lama juga, sekitar 2-3 minggu y. kira-kira berapa lama batas waktu yg biasa dipakai media yg membuktikan jika tulisan kita tak dimuat? jd, kita kan bisa ngirim tulisan itu ke yg lain.
1. ditarik lewat email atau sms. itu pun utk memastikan bahwa kita punya niat baik
2. setiap media py standart atau ukuran waktu pemuatan. koran jakarta misalnya, jk tulisan kita tdk dimuat dlm 2 minggu mk penulis bs mengirim ke media lain. koran tempo 3 minggu, tabloit nova 1 bulan. yang lain gak jelas, kecuali kompas akan mengembalikan tulisan kita jk memang tdk dimuat....
Posting Komentar