Esai ini dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 8 April 2006
"Writers are born, not made", begitulah pemahaman orang awam terhadap sosok penulis. Padahal sosok penulis adalah manusia biasa, bukanlah malaikat. Kalau toh akhir-nya bisa jadi penulis, itupun lantaran menempa hidup dengan latihan. Untuk menyebut sebagian kecil penulis kawakan; Pramoedya, Muchtar Lubis dan Aswendo Atmowiloto, harus dicatat bahwa sebelum mereka dikenal sebagai penulis besar, dulu sempat mengalami susah dan duka untuk mendapat predikat sebagai penulis.
Dengan fakta itu berarti tak ada alasan bahwa penulis itu dilahirkan. Bukalah sejumlah buku teori kepenulisan! Di situ, bakat memang diakui sangat menunjang, tetapi yang lebih penting adalah kemauan, displin dan kerja keras. Tanpa tiga elemen itu, tidak mungkin orang akan jadi penulis. Siapa pun bisa jadi penulis asal mau belajar. Sebab menulis adalah suatu ketrampilan seperti renang, berpacu kuda dan sepak bola yang butuh proses belajar tak hanya dalam hitungan hari dan bulan, melainkan bertahun-tahun.
Secuil fakta lain, juga membuktikan bahwa seorang penulis tidak mesti lahir dari keluarga penulis. Sebutlah Hans Christian Anderson, penulis cerita anak asal Denmark, ternyata hanyalah anak dari seorang pembuat sepatu. Karena itu, tak cukup mengejutkan kalau selebritas pun mau disemati predikat sebagai penulis lalu ramai-ramai menerbitkan buku. Tentunya, "itu sah-sah saja". Kita tidak perlu kebakaran jenggot, dan menuduh sebagai aji mumpung, selain karena popularitas yang sudah direngkuh kalangan artis, akhirnya membuat buku-buku mereka laris manis bak kacang goreng.
Popularitas memang sebuah anugerah besar. Orang yang dikelilingi oleh popularitas tentunya akan mudah merambah ke bidang lain. Kasus nyata, adalah Michael Jordan, sang bintang bola basket. Setelah sukses di lapangan, ia bisa dengan mudah menjadi bintang iklan sepatu dan sempat bermain film. "Prestasi" yang cukup mencengangkan justru dialami Arnold, si bintang Hollywood yang di ujung karier justru terpilih jadi gubernur California.
Fenemena lain, sekarang artis ramai berkiprah di dunia kepengarangan. Sebuat nama Melly Goeslow, yang setahun lalu telah menerbitkan 10 Arrrrrgh... (kumpulan cerpen), Rieke Diah Pitaloka menerbitkan Renungan Kloset (kumpulan puisi) serta Kekerasan Negara (semula tesis S2). Dalam waktu dekat, Gramedia malah akan menerbitkan buku ketiga pemeran Oneng dalam senetron Bajaj Bajuri yang berjudul Ups. Artis lain, Ingrid Widjanarko --presenter-- menulis Surat untuk Rumput (kumpulan cerpen) dan akan terbit buku kedua Sex & The Cookies. Juga, Tamara Geraldine, beberapa waktu lalu telah menerbitkan buku Kamu Sadar Saya Punya Alasan untuk Selingkuh Kan Sayang?
Semarak artis terjun ke dunia kepengarangan bukanlah hanya terjadi di negeri ini. Di Barat ada nama Madonna yang menulis buku-buku anak sampai lima jilid; English Roses, Yakov and the Seven Thieves, Mr. Peabody`s Apples, The Adventure of Abdi dan Lotsa de Casha. Lain Madonna, artis Ethan Hawke menulis novel The Hottest State (1997) dan Ash Wednesday (2003).
Sebenarnya, kiprah selebritas menulis buku bukanlah hal baru. Karena, pemain gaek opera sabun Dinasty, Joan Henrietta Collins sudah menulis bukunya Past Perfect pada 1985.
Sementara untuk artis Indonesia dimulai dari gebrakan Dewi Lestari yang meluncurkan Supernova tahun 2001. Setelah itu, ramai-ramai kaum selebritas di Indonesia menulis (menerbit) buku. Uniknya, hampir semua buku yang ditulis artis dilirik pembaca. Lebih dipicu karena ketenaran nama, untuk buku pertama Madonna sempat diterbitkan dalam 42 bahasa serta beredar di 100 negara. Sedang, buku Melly dalam waktu kurang dari setahun sudah dicetak ulang 10 kali. Padahal, buku Melly sebelum diterbitkan Gagas Media, sempat "ditolak" sebuah penerbit. Kisah lain, juga dialami Rieke. Buku Renungan Kloset, awalnya ditolak penerbit, sehingga dia mengelurkan jurus dengan merogoh kocek dari kantong sendiri. Di luar dugaan, buku puisi yang di negeri ini tak laku ternyata untuk karya Rieke terjual 3 ribu eksemplar lebih.
Kiranya tak disangkal, larisnya sebuah buku pada hakekatnya ditopang oleh dua hal. Pertama, faktor isi/ide. Buku yang bisa terjual laris tak lepas dari ide yang bagus, isi yang menggugah dan mencerahkan. Buku dengan kategori itu, selain dicari-cari pembaca juga melampui penulisnya, sebab akan dikenang terus sekali pun sang penulis sudah wafat. Tak salah, kalau buku Das Capital sampai kini masih "dikeloni" oleh pembaca di seantero dunia.
Kedua, nama si penulis. Dalam kaitan larisnya buku-buku artis, karena nama artis itu terang telah memiliki nilai jual. Artis telah menduduki tempat istimewa dimata publik sehingga pembaca tak akan lagi memperhatikan buku yang ditulis seorang artis. Pendek kata, kalau artis itu sudah menjadi idola, maka akan dibeli tanpa pertimbangan. Karena, daya dorong beli bukanlah tergantung mutu, melainkan emotional yang digerakkan oleh kultus terhadap artis.
Dengan fenomena itu, beberapa pihak lalu menuduh artis memanfaatkan aji mumpung, sebab mutu buku yang dihasilkan memang tak memadai. Tapi, saya tidak berani menilai semua buku artis masuk dalam nominasi seperti itu. Sebab saya masih menaruh minat terhadap buku Kekerasan Negara karya Rieke dan buku Supernova Dewi Lestari. Untuk karya Dewi, sebab selain cukup bagus, juga ada gebrakan yang diusung dalam hal corak estetika. Bahkan, banyak kritikus yang menilai kepiawaian Dewi dalam hal lompatan sastra sains yang telah dicapai.
Akhirnya, kenapa kita perlu geram? Biarlah buku-buku karya artis itu memenuhi pasar. Sebab, setelah sebuah buku terbit, ia tidak lagi milik sang penulis. Ia milik pembaca. Karena pengarang sudah mati dan karya itulah yang nantinya akan diuji sejarah. Apakah ia sekedar sebuah catatan iseng atau buku bermutu yang memang layak disimpan di rak buku!***
*) n_mursidi, cerpenis asal Lasem, Jateng.
2 komentar:
Rekan2 pecinta buku, ada yg bìsa kasih info buku Das Capital, ed. Indonesia? Saya mau beli. -anang, papua-
mas, anang... thanks atas kunjungan anda. nanti jika ada info, aku ksh kabar....
Posting Komentar