cerita pendek (Solo Pos, Minggu 8 Juni 2014)
SUBUH hampir berlabuh ketika Maliki terjaga dari mimpi. Sekelebat, bocah mungil yang masih duduk di bangku kelas tiga SD itu seperti melihat tubuh yang lembut turun dari hamparan langit, lantas bergulung dengan gemulai tepat di samping rumah. Tubuh lembut itu berjalan seperti mengambang di atas tanah. Gaun putih yang dikenakan menjuntai panjang bagai gulungan ombak, bergelombang seakan mengiringi langkah kakinya yang berjalan pelan ke arah jendela kamar tempat Maliki meringkuk kedinginan.
Maliki disergap takut. Dia bergidik, bulu-bulu tipis di sekujur tangannya berdiri bagai ilalang kering. Dalam benak, Maliki bertanya: apakah tubuh lembut itu peri kertas yang turun dari langit untuk menolong bocah malang sepertiku? Dia sempat melihat sekilas, memang mirip bidadari, bahkan serupa seorang putri dengan rambut yang tak cukup panjang. Tak ada pita merah yang terikat di rambutnya. Tak ada mahkota yang terpasang di kelapanya.
Tetapi Maliki melihat samar-samar, tubuh lembut itu menggenggam tongkat ajaib dengan percik sinar yang menyilaukan di ujungnya dan tangan sebelah membawa secarik kertas. Saat membayangkan sosok itu, Maliki kian disesap takut. Ia meringkuk, dan kembali menarik sarungnya. Tak berkata-kata. Tak menjerit. Dia memejamkan mata rapat-rapat, merapal doa. Dia berharap, tubuh lembuh itu adalah peri kertas yang selama ini datang menolongnya tepat di saat dia memasuki tahun ajaran baru sekolah. Kalau itu yang terjadi, pagi nanti dia akan bisa berangkat ke sekolah dengan riang, memanggul tas penuh dengan buku pelajaran tahun ajaran baru. Maliki tak takut lagi dimarahi Bu Dina, sebagaimana pagi kemarin, karena Maliki tak memiliki buku-buku pelajaran baru kelas tiga. Jadi, subuh itu, Maliki berdoa agar harapannya dikabulkan Tuhan.
Maliki berdoa cukup lama, hingga rasa takut yang menciutkan nyalinya hilang. Dan Maliki berharap, ketika membuka mata pelan-pelan, membayangkan peri kertas itu menjatuhkan buntelan buku terbungkus kertas coklat -di dekat jendela. Setumpuk buku yang terbungkus kertas coklat serupa baju seragam pramuka yang biasa dia kenakan di hari Jum`at dan Sabtu. Tapi, setelah lama memejamkan mata, dan membaca segala doa yang dia hapal, Maliki tidak mendengar sesuatu jatuh di dekat jendela. Dia penasaran, membuka mata. Saat itu, dia memiliki keberanian bangkit, berjalan menuju jendela dan memandang ke luar.
Di luar jendela, tidak ada siapa pun. Di samping rumah, Maliki hanya melihat tumpukan kardus bekas lusuh. Dia berdiri mematung di dekat jendela, memandang hamparan langit yang murung. Gumpalan awan bergelombang, bulan sepenggalan, dan bintang gemintang yang mengambang bagai kunang-kunang yang beterbangan, tetapi bekerjap letih. Di Subuh yang rapuh itu, Maliki merasa lemas lantaran tidak menjumpai buntelan buku di dekat jendela.
Dia kembali merebahkan tubuh, kemudian tidur lagi.
Maliki tergerapap bangun ketika ibunya berteriak meminta Maliki segera mandi dan berangkat ke sekolah. Tetapi sebelum Maliki berangkat ke sekolah, Maliki sempat menceritakan kejadian itu kepada Maimunah.
***
Maimunah setengah tak percaya dengan cerita anak semata wayangnya itu. Meski pun berkali-kali Maliki bercerita kepada ibunya bahkan sejak kali pertama menerima buntelan buku dari peri kertas yang baik hati sewaktu masuk kelas satu SD, Maimunah justru menuduh Maliki telah mencuri buku-buku tersebut dari toko buku di dekat sekolah.
"Dari mana kau dapatkan buku-buku pelajaran ini?" tanya Maimunah ketika pertama kali mendapati tas anak lelakinya itu penuh dengan buku. Padahal, ia belum membelikan buku-buku tersebut.
"Dari...," Maliki bingung menjawab. Sebab, dia tidak kenal dengan tubuh lembut yang turun dari hamparan langit waktu Subuh itu. Dia hanya sekilas melihat sosok lembut serupa bidadari yang turun dari langit seperti kisah yang diceritakan oleh ibunya: sosok peri kertas yang datang untuk menolong anak-anak yang ditimpa kesedihan.
"Katakan dengan jujur, anakku? Dari mana kau dapatkan buku-buku ini?"
"Dari peri kertas" jawab Maliki spontan. Dia menyebut sosok lembut yang mirip bidadari itu dengan sebutan peri kertas lantaran bidadari itu mirip seperti yang dikisahkan ibunya.
"Anakku, Ibumu selama ini tidak mengajarimu untuk berbohong. Jadi, katakan dengan jujur, dari mana kau dapatkan semua barang ini?"
Maliki bergidik takut karena dia sendiri tak tahu bagaimana harus menjelaskan pada ibunya tentang bidadari baik hati yang datang di waktu Subuh itu. Maklum, dia sendiri seperti bermimpi. Tahu-tahu, saat bangun tidur, dia menjumpai buku-buku itu ada di dekat jendela, dan dia sekilas melihat sekelebat tubuh lembut turun dari langit. Jadi, Maliki yakin bahwa bidadari itulah yang meninggalkan buku tersebut di dekat jendela. Tapi, bagaimana dia harus menjelaskan? Maliki benar-benar bingung!
"Apakah kau mendapatkan buku-buku ini dengan cara mencuri?"
Maliki menggelengkan kepala.
Maimunah semakin bingung, dan tak mengerti. Maimunah memeluk anak semata wayangnya itu, menangis sesenggukan, lantas meminta kepada Maliki berjanji untuk tidak mencuri. ”Berjanjilah pada Ibu, kau akan jadi anak baik, dan tak mencuri walaupun kelaparan.”
Maliki mengangguk.
"Lalu, dari mana kau dapatkan buku-buku pelajaran ini?"
Maliki kemudian menceritakan kejadian yang di mata Maimunah cukup muskil itu, yang terjadi tiga tahun lampau. Maliki menceritakan apa adanya, seperti yang dia lihat tentang tubuh lembut yang turun dari langit, bergulung dengan gemulai, tepat di samping rumah. Seteleh itu Maliki melihat samar-samar tubuh itu meninggalkan bungkusan buku di dekat jendela.
"Jadi, buku-buku ini kau dapatkan dari peri kertas?"
Maliki mengangguk.
Maimunah kembali memeluk anak semata wayangnya itu, tetapi di dalam hati, Maimunah tak habis pikir bahkan tak percaya sepenuhnya dengan cerita itu. Apalagi, sejak peristiwa tak masuk akal itu, setiap tahun ajaran baru, Maliki selalu bercerita tentang peri kertas yang turun dari langit, kemudian meninggalkan bungkusan buku di dekat jendela. Diam-diam, Maimunah merasa bersalah --bukan semata-mata dia tidak mampu membelikan buku-buku pelajaran buat Maliki, tetapi juga lantaran dia sering kali bercerita tentang kehidupan peri.
***
DULU, sebelum Maliki masuk sekolah, setiap malam Maimunah selalu bercerita tentang kehidupan peri. Dengan cerita itu, dia berharap anaknya tumbuh jadi anak pemberani. Tetapi, kala itu Maimunah bercerita tentang peri jahat.
"Apakah semua peri itu jahat?"
"Tidak semua peri itu jahat, anakku. Ada peri yang baik hati."
Sejak itulah, Maimunah selalu bercerita tentang peri yang baik hati. Entah dari mana Maimunah mendapat cerita tentang peri yang baik hati itu tapi di depan Maliki dia seperti mendapat ilham dari langit tentang kisah peri yang dijuluki Maimunah dengan peri kertas; peri yang turun dari langit untuk menolong anak-anak kecil yang dirundung masalah dengan memberi makanan, minuman, permen, atau apa pun yang dibutuhkan anak-anak malang hanya dengan mengibaskan secarik kertas. Dari kertas tersebut, peri baik hati itu seperti bisa menyulap hal-hal yang tak mungkin menjadi mungkin.
"Tetapi, saya bukan anak yang malang, Bu! Saya masih memiliki Ibu yang baik hati! Hanya saja, ayah pergi meninggalkan Maliki sehingga Maliki merasa kesepian."
"Anakku, suatu hari nanti, ayahmu pasti akan kembali."
"Apakah peri yang baik hati itu akan mengantarkan ayah pulang?"
"Ibu tidak tahu, Nak. Karena itu, kita sebaiknya berdoa agar peri yang baik hati itu --besok atau entah kapan-- akan datang ke rumah kontrakan ini mengantarkan ayahmu!"
Maliki tersenyum, lalu melonjak-lonjak girang.
"Hari sudah malam, sebaiknya Maliki tidur. Tetapi, sebelum tidur, kita berdoa semoga Tuhan mengirimkan peri baik hati yang datang entah kapan untuk mengantarkan ayahmu pulang."
Maimunah mengajari Maliki membaca doa sebelum tidur, kemudian ditambah dengan permintaan agar ayahnya segera pulang. Usai berdoa, Maliki langsung tertidur. Tapi, mata Maimunah tak bisa terpejam. Sepanjang malam, ia tertegun. Ia ingat dengan suaminya yang tanpa ada kabar sejak Maliki masih berumur dua tahun. Waktu itu, suami Maimunah pamit pergi ke Kalimantan untuk melihat keadaan di tanah rantau yang konon menurut cerita salah satu teman suaminya cukup menjanjikan.
"Nanti jika kehidupan di rantau itu benar-benar menjanjikan, saya akan mengajak kamu dan Maliki pindah ke sana untuk mengubah nasib."
Maimunah mengangguk, meski sebenarnya ia berat melepas kepergian suaminya. Bahkan, di benak Maimunah, ia merasa ada yang terlintas dalam pikiran dan itu membuat Maimunah takut. Walaupun di Jakarta suaminya hanya jadi buruh bangunan, tetapi Maimunah sudah bahagia. Sebab, di mata Maimunah, suaminya itu pendiam, tak suka judi, tak main perempuan. Baginya, itu sudah cukup --meski dari tahun ke tahun masih kontrak rumah petak di perkampungan kumuh. Tapi, apa yang sempat ditakutkan Maimunah itu terjawab dengan kabar simpang siur.
Ketika bulan berbilang, dan suami Maimunah tak kunjung pulang, tersiar kabar yang tak menentu. Ada yang mengabarkan suami Maimunah telah mati. Ada yang mengabarkan kesengsem wanita lain sehingga tak pulang. Ada lagi kabar; suaminya dipenjara lantaran terlibat kasus pembunuhan. Tapi dalam hati, Maimunah yakin suaminya masih hidup dan suatu hari kelak akan pulang.
Tetapi, setelah tahun berbilang, dan suaminya tak kunjung pulang, Maimunah tidak bisa terus menunggu. Ia membesarkan Maliki seorang diri, dan untuk mencukupi kebutuhan hidup terpaksa jadi buruh cuci. Seiring usia Maliki yang bertambah besar, Maimunah seperti tak bisa menjawab ketika anak semata wayangnya menanyakan kepulangan ayahnya, kecuali ia bercerita tentang peri kertas yang baik hati.
***
PAGI ini, Maimunah tahu Maliki berangkat ke sekolah tidak membawa buku pelajaran. Maimunah menatap wajah Maliki yang sarapan dengan buru-buru. Sebentar lagi, bocah itu berangkat ke sekolah, dan seperti yang diceritakan Maliki tempo hari, Ibu Dina pasti akan marah lantaran Maimunah belum memiliki uang untuk membelikan buku.
Maimunah sudah terbiasa dengan kehidupan seperti yang terjadi di pagi ini. Tetapi, pagi ini lain. Sudah berhari-hari, ia tak mendapatkan uang cukup tak saja untuk membelikan buku buat Maliki, tetapi juga keperluan bayar kontrakan. Maka selepas Maliki pergi, ia tidak kuasa menahan air matanya. Apalagi, pagi ini, tenggat waktu bayar kontrakan. Karena pemilik kontrakan seminggu yang lalu sudah datang menagih. Tak mungkin, pagi ini Maimunah berbohong dan meminta kelonggaran waktu lagi.
Maimunah berharap, pagi ini terjadi keajaiban. Maliki tak dimarahi Ibu Dina. Dan ia mendapat jalan keluar mendapatkan uang. Sungguh, ia tak ingin, siang nanti Maliki pulang menangis. Ia juga tak ingin ketika nanti pemilik kontrakan datang, ia ditimpa amarah. Maimunah berharap ada keajaiban. Ia berharap tiba-tiba suaminya pulang, diantar peri yang baik hati, membawa banyak uang sehingga bisa menyelamatkan hidupnya dari kenestapaan. Ia berharap, bahkan sungguh berharap peri kertas baik hati yang dikisahkan kepada Maliki itu benar-benar datang menolongnya.
Tapi, tiba-tiba ia mendengar suara pintu diketuk dari luar. Jantung Maimunah berdebar. Dan, jantung Maimunah semakin berdetak kencang ketika ia beranjak hendak membuka pintu. ***
Condet, 2012-2014
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Republika, Jurnal Nasional, Suara Karya, Tabloid Nova, Majalah Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Batam Pos, Radar Surabaya, Surabaya Post, Surya, Lampung Post, Bengawan Pos, Solo Post, dan Tabloid Cempaka. Selain menulis cerpen, dia juga bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit “Dua Janji” (2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar