Sabtu, 27 Juni 2015

Setengah Jam Setelah Pemakaman

Cerpen (Tabloid Cempaka edisi 14, 27 Juni - 3 Juli 2015)

AKU tiba di rumah mertuaku, setengah jam setelah pemakaman. Aku datang terlambat, tepat saat orang-orang kampung baru saja pulang dari tempat pemakaman umum. Aku turun dari ojeg, lantas melangkah dengan menunduk. Di halaman rumah mertuaku, aku melihat ceceran bunga, terpal yang meneduhi rumah dan deretan kursi yang kosong. 


Aku memasuki rumah mertuaku dengan mengucap salam sekaligus diliputi rasa bersalah. Tapi di ruang tamu itu, aku hanya menemui wanita-wanita asing. Semua mata menatapku dengan kaget. Tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenal. Mungkin mereka itu keluarga dari ibu atau ayah mertuaku. Tapi aku belum pernah melihat mereka sebelumnya atau barangkali aku lupa karena aku memang jarang pulang --hanya pulang setahun sekali saat lebaran dan itu pun tidak lama. Paling hanya dua atau tiga hari untuk keperluan mengantar istriku.

Tetapi dalam suasana kikuk itu, rupanya ada yang menyelamatkanku. Dari sekumpulan wanita asing di ruang tamu itu, ada yang mengenalku. "Istrimu ada di kamar. Ia masih sedih dan menangis...Ibu mertuamu berusaha menenangkan,
" ujar seorang wanita yang tak kukenal, dengan menunjuk ke kamar depan.

Aku melangkah ke kamar. Di luar kamar, aku mendengar isak tangis yang tertahan. Aku meraih daun pintu, membuka dengan pelan. Suara tangis istriku kian pecah dan kencang setelah melihatku di ambang pintu. Aku berjalan ke arah ranjang, dan duduk di sisinya setelah mencium tangan ibu mertuaku.

Ibu mertuaku kemudian memilih keluar kamar, tetapi istriku masih tetap menangis.

"Aku datang terlambat, padahal aku sudah berjuang sekuat tenaga untuk bisa datang pagi tadi..."

Istriku masih menangis, tak menanggapi alasanku. Aku semakin bingung. Dari dulu, aku memang selalu bingung menghadapi wanita saat menangis, tidak hanya menghadapi istriku tetapi juga perempuan-perempuan lain yang pernah menjadi kekasihku.

"Menangislah, jika itu membuatmu lega dan tidak merasa bersalah kepada ayahmu," kataku menenangkan.

Aku tahu, ia benar-benar merasa bersalah karena saat ayah mertuaku meninggal ia tak ada di rumah. Ia menceritakan itu lewat telepon sebelum aku pulang.

"Aku hanya menyesal kenapa saat ayah meninggal aku tidak ada di rumah, tak ada di sisinya," ujarnya pelan, tatkala ia menelponku untuk minta segera pulang karena ayah mertuaku meninggal mendadak.

Tak pernah terpikirkan oleh istriku jika ayahnya pergi selamanya dalam waktu singkat. Istriku bercerita, ia tak punya firasat apa pun. Hari itu, saat ayahnya meninggal, keluarga istriku dirundung musibah. Kakak istriku mengalami kecelakaan dan semua keluarga datang ke rumah sakit, karena kakak istriku dilarikan ke rumah sakit--untuk menjalani operasi. Di rumah, hanya ada ibu mertuaku. Pagi itu, ayah mertuaku hanya mengeluh sakit perut. Tidak ada yang lain. Tetapi berselang tiga jam kemudian kabar sedih itu sampai ke telinga istriku yang ada di rumah sakit. Ibu mertuaku menelepon jika ayah mertuaku meninggal. 

"Kenapa sebelum pergi ke rumah sakit itu aku tak pamitan lebih dulu kepada ayah?"

Ia terus merasa bersalah. Dan aku ikut merasa bersalah. Tetapi, aku merasa beruntung karena seminggu sebelum mertuaku meninggal, aku mengizinkan istriku pulang. "Kamu justru akan merasa menyesal, dan merasa bersalah seumur hidup kalau seminggu yang lalu tidak pulang. Kau tidak akan bisa bertemu ayahmu, bahkan sebelum kematian menjemputnya," balasku.

Ia mulai melirihkan tangisnya. Aku yakin, ia sudah merasa sedikit lega. Tetapi, saat tangis istriku sudah mulai reda, sejujurnya aku justru ingin menangis. Aku ingin menangis lantaran ingatanku tiba-tiba melintasi dua keping peristiwa kematian yang terjadi pada saat yang berbeda, tetapi kepingan kenangan itu hampir sama. Uniknya, dua keping kenangan itu membuatku tak bisa juga menebus perasaan bersalah di lubuk hatiku.

Aku melangkah ke arah jendela lantas membukanya lebih lebar. Sore itu, aku melihat langit berwarna kelabu. Dari balik punggungku, aku tahu istriku masih terpukul dan isak tangisnya, aku tahu, sudah membasahi sarung bantal.

"Aku ingin membelikan obat buat ayah. Tetapi, aku sudah tidak punya uang lagi. Tolong transfer uangku yang aku simpan di almari," pinta istriku lewat telepon seminggu yang lalu setelah dia sampai di kampung.

"Ya, nanti aku transfer," jawabku singkat.

Tapi, sejatinya aku bingung. Saat itu tanggal tua, aku belum gajian. Uang di dompetku hanya tinggal seratus ribu, dan di dalam almari cuma ada dua ratus lima puluh ribu rupiah. Tetapi, istriku memang tak meminta banyak. Ia hanya minta uang dua ratus lima pulih ribu. Akhirnya, saat mengirim uang istriku itu, aku lebihkan lima puluh ribu rupiah. Jadi, aku mengirim uang tiga ratus ribu rupiah.

Tapi, aku tak pernah menyangka, seminggu kemudian ayah mertuaku meninggal, dan uang lima puluh ribu rupiah itu adalah uang pemberianku pertama sekaligus yang terakhir buat ayah mertuaku.

Aku mendengar ranjang istriku berderit. Dari balik kaca jendela, aku tahu istriku bangkit dari ranjang kemudian duduk di sisi ranjang. Ia sudah tidak menangis lagi, tetapi saat aku menoleh, aku melihat matanya masih memerah, basah, dan cekung.

Ia menatapku. "Kau memikirkan apa?"

"Aku menyesal, kenapa saat itu aku hanya melebihkan uang lima puluh ribu rupiah untuk ayah. Jika aku tahu ayahmu akan meninggal, mungkin aku akan mencari uang tambahan," jawabku jujur.

Ia tersenyum dengan pahit. Dalam suasana duka, aku tahu ia sebenarnya ingin menertawakan kekonyolanku, tapi kesedihan tak bisa membuatnya tertawa lepas.

Istriku bangkit, lalu keluar kamar, karena ibu mertuaku memanggilnya.

Aku masih berdiri di dekat jendela, menatap langit yang berwarna kelabu. Satu keping peristiwa kematian lagi yang tak bisa kulupakan seumur hidupku tiba-tiba melintas; kematian ayah kandungku. Saat itu aku baru lulus kuliah dan baru bekerja di sebuah pabrik kertas sebagai kuli angkut. Gajiku belum banyak, karena masih masa percobaan. Tapi, aku sungguh beruntung masih bisa mendapatkan gaji yang ternyata masih tersisa untuk ayahku.

Tiga hari setelah aku menerima gaji, kebetulan ada temanku yang mampir ke kontrakanku dan berniat mau pulang kampung. "Kau tidak menitipkan sesuatu untuk ayahmu?"

"Sebentar," jawabku pendek, seraya masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, aku rogoh saku celanaku yang menggantung di balik pintu. Setelah kugeledah dengan teliti, ternyata tak kutemukan uang, kecuali hanya satu lembar lima puluh ribu rupiah. Buru-buru, uang itu aku masukkan ke dalam amplop dan sebelum dia pamit pulang, kutitipkan amplop itu kepadanya.

"Ini buat ayahku. Sampaikan salamku. Ceritakan aku sudah bekerja, meski hanya menjadi buruh pabrik. Mungkin, uang ini kecil, tetapi saya berharap bisa membeli obat buat ayahku yang sering sakit-sakitan..."

Dia mengangguk.

Tetapi, aku tak pernah menduga jika uang itu adalah pemberianku untuk pertama kali dan sekaligus yang terakhir kepada ayahku. Karena, seminggu kemudian, aku mendapat kabar yang mengejutkan. Ayah jatuh dari sepeda, dan dilarikan ke rumah sakit. Ayahku terkena strok. Seketika itu, aku pulang. Tiga hari kemudian, ayahku meninggal tanpa pernah meninggalkan pesan apa pun, dan sepatah kata pun.

Kenapa seumur hidupku, aku hanya mampu memberi uang lima puluh ribu rupiah kepada ayahku dan bahkan sebesar lima ribu rupiah juga kepada ayah mertuaku? Irosnisnya, uang itu pemberianku yang pertama sekaligus yang terakhir. Setelah itu, aku tak akan pernah bisa memberi apa pun lagi kepada ayahku dan juga mertuaku.

Dari bingkai jendela, aku menatap langit yang berwarna kelabu. Di luar kamar, aku mendengar ada tamu yang datang. Aku tak tahu siapa tamu yang datang, tetapi tiba-tiba istriku masuk ke dalam kamar.

"Ada uang lima puluh ribu?"

Aku merogoh saku celanaku untuk mengambil dompet, tapi tidak kutemukan uang, kecuali hanya satu lembar uang lima ribu rupiah.

"Hanya ada ini," jawabku sambil menunjukkan uang lima puluh ribu rupiah dari dalam dompet.

"Hanya segitu memang yang dibutuhkan!" jawab istriku.

"Memang untuk apa?"

"Untuk tambahan melunasi uang obat ayah yang kemarin belum terbayar."

Aku bernapas lega. Aku benar-benar merasa beruntung, karena dengan uang terakhir yang aku miliki, ternyata aku masih bisa memberi uang lima puluh ribu lagi buat ayah mertuaku yang sudah meninggal. ****  
    
Cililitan, 2014-2015

*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Selain menulis cerpen ia juga menulis novel dan reportase untuk sebuah majalah Islam di Jakarta. Novel terbarunya Tidur Berbantal Koran (Elex Media: 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar