cerita pendek ini dimuat di Republika, Minggu 20 April 2014
TELEVISI di ruang tengah rumah Noura masih menyala.
Noura duduk bersimpuh di karpet, dengan tangan kanan memegang pensil dan di hadapannya terbentang dua ruas buku tulis yang sudah penuh coretan. Gadis berusia sepuluh tahun yang duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar itu bingung menuliskan angka di lembaran kertas. Sesekali, ia menambahkan beberapa angka. Sayang, ia tak tahu apa yang harus dilakukan.
Ia benar-benar tak bisa menghitung. Tak mungkin, ia akan bertanya kepada Bik Munah, wanita setengah baya yang menjadi pembantu di rumahnya. Wanita itu jelas tak akan tahu apapun soal pekerjaan rumah satu ini. Sialnya, ia tak bisa bertanya lagi kepada Ibunya, Meisya. Ibunya barusan pergi. Sepuluh menit lalu, telepon ganggam ibunya berdering. Ia tidak tahu: telepon itu dari siapa. Ia hanya tahu, seketika itu, ibunya menyalakan televisi. Gugup, dan pucat.
"Saya sudah menyalakan televisi. Tak ada berita apes seperti yang kau ceritakan itu," ucap ibunya kepada seseorang di seberang.
Noura menatap ibunya. Ia tak tahu kenapa ibunya gugup.
"Jika begitu saya akan segera ke kantor!"
Ibunya masuk kamar, keluar buru-buru dengan dandanan seadanya seraya memanggil Maimunah. Wanita yang sudah bertahun-tahun jadi pembantu di rumah itu, bahkan sebelum Noura lahir tergopoh-gopoh datang, dan membungkuk.
"Munah, tolong jaga Noura! Aku mau pergi!"
"Ya, Bu!"
Meisya membelai rambut putri semata wayangnya itu sebelum pergi.
"Noura, kamu di rumah jangan nakal, ya!"
"Ibu mau ke mana?"
"Ibu ada urusan! Ibu berjanji hanya keluar sebentar!"
"Tapi, PR matematika dari Ibu Merta belum rampung. Noura tak bisa mengerjakan tanpa bantuan Ibu."
"Itu urusan gampang! Ibu besok akan menelepon gurumu! Segalanya bisa diatur. Jadi kau tidak usah khawatir..."
Noura termangu bingung ketika ibunya pergi tidak seperti biasanya dan dari dalam rumah ia hanya mendengar suara mobil menderu, sebelum akhirnya tak terdengar apa pun, kecuali suara televisi di ruang tengah itu. Ia lebih tidak tahu, dan bingung ketika ibunya berkata PR matematika itu urusan gampang dan besok bisa diatur. Padahal, besok pagi sekali, pada jam pelajaran pertama, ia harus sudah menyerahkan pekerjaan rumah itu.
Siang tadi, sebelum pelajaran berakhir, ia ingat Ibu Merta hampir memarahinya. Jika Ibu Merta tidak ingat siapa ayah Noura, pasti sudah memarahinya.
"Hari ini ibu akan minta kalian mengejarkan tugas matematika, tapi lain dari yang lain," ujar Ibu Merta saat membuka pelajaran.
Anak-anak kelas 5 Sekolah Dasar itu pun saling pandang. Tak ada yang bisa menebak apa yang akan ditugaskan Ibu Merta. "Siapa yang bisa selesai lebih dulu, dia bisa pulang."
Suasana kelas langsung riuh. Anak-anak bersorak senang.
"Tugas kalian kali ini menghitung berapa gaji orangtua kalian, lalu gaji itu dikurangi oleh pengeluran atau kebutuhan seluruh orang rumah. Hitung juga uang saku kalian! Berapa sisa dari pendapatan orangtua kalian setelah dikurangi pengeluaran, atau semua kebutuhan orang di rumah. Ibu mengajak kalian mengelola uang supaya kelak, kalian semua bisa mengatur rumah tangga yang baik..."
Anak-anak kelas 5 itu melongo, tak membayangkan tugas aneh yang diberikan oleh Ibu Merta. Semua tak paham atau masih bingung dengan tugas yang diberikan Ibu Merta.
"Ibu, ayahku bekerja sebagai tukang batu," ujar Anton mulai mengungkapkan kebingungannya. Ayahku biasa mendapat upah tujuh puluh lima ribu per hari. Uang ayah langsung habis hari itu juga, setelah dikasih ibu empat puluh ribu, lalu uang saku saya sebesar lima ribu. Sisanya, buat ayah beli rokok dan membeli kopi di warung sebelum berangkat kerja atau sepulang kerja. Bagaimana aku menghitungnya? Apa dihitung per bulan, atau per hari? Kalau menghitung per bulan, malah nanti ruwet, Bu! "
"Ya, jika orangtua kalian pekerja swasta seperti ayah Anton, atau pedagang, sopir atau pekerja swasta yang lain, tak perlu menghitung per bulan. Cukup dihitung per hari saja. Dan lantaran pekerja swasta, kadang mendapatkan gaji per hari tidak tentu, maka dibulatkan saja; berapa rata-rata pendapatan atau gaji ayah kalian per hari...."
Anak-anak kelas 5 di ruangan itu langsung memegang pena menuliskan deretan angka kemudian mengurangi pengeluaran atau kebutuhan di rumah masing-masing. Tidak sampai lima menit Anton sudah mengumpulkan tugas yang diberikan Ibu Merta di selembar kertas. Kemudian disusul oleh Widya, Santi, dan Mualim --yang ayahnya bekerja sebagai guru. Sepuluh menit setelah itu disusul oleh anak-anak lain yang sebagian besar ayah mereka itu pekerja swasta.
Selang lima belas menit, semua anak sudah mengumpulkan tugas mereka, kecuali Noura.
Di depan kelas, ibu Merta meneliti satu per satu tumpukan lembar tugas dari 30 anak di kelas itu. Ibu guru matematika itu meletakkan kaca matanya, beranjak dari kursi, dan berjalan ke tempat duduk Noura.
"Noura, apa ada yang sulit? Lihatlah teman-temanmu sudah selesai dan pulang..."
"Saya tak tahu apa yang harus saya tulis, Bu!
"Kenapa? Bukankah ayahmu anggota dewan dan setiap bulan mendapat gaji pasti?"
Noura tidak menjawab, hanya menoleh ke sekeliling. Ia hanya melihat kursi dan bangku yang kosong. Ia kembali menekuri lembar kertas, dan ingatannya melayang pada satu peristiwa yang terjadi tiga tahun yang lalu. Setelah ayahnya dilantik, dalam waktu seminggu, silih berganti orang mendatangi rumahnya untuk bertemu ayahnya. Ada yang minta sumbangan, dan mengaku sebagai saudara lalu minta uang, bahkan ada yang sengaja datang tengah malam membicarakan sesuatu yang tak pernah diketahui Noura. Ia hanya tahu, esok paginya, ada mobil baru di garasi.
"Bu, apakah saya harus menulis jujur apa yang ada dalam lembaran ini?"
"Tentu saja, Noura!"
"Tapi saya tak tahu dan bingung..."
"Apa yang membuatmu bingung, Noura?
Gadis itu tidak menjawab, justru menyajukan pertanyaan,"Boleh tugas ini saya kerjakan di rumah? Biar nanti saya tanya kepada ayah atau Ibu..."
Ibu Merta hampir saja marah, tapi urung dilakukan: ia tahu siapa ayah Noura. Jadi, tak mungkin memarahinya. "Baiklah, kau bisa mengerjakan tugas ini di rumah. Tapi, besok pagi, kau harus sudah menyerahkan kepada Ibu di ruang guru."
Noura langsung mengemasi bukunya dan pulang. Di luar, Bik Munah sudah menunggu. Noura tak sabar ingin cepat sampai di rumah. Ada satu pertanyaan yang ingin diajukan kepada orangtuanya. Sebab, ia bingung. Enam bulan setelah ayahnya dilantik, di garasi ada penambahan tiga mobil baru. Padahal, saat mencalonkan jadi anggota dewan, ayahnya pernah bilang tidak punya banyak uang dan utang ke beberapa orang. Lalu dari mana ayahnya bisa membeli tiga mobil baru dan satu rumah mewah dalam enam bulan?
Noura tahu berapa gaji ayahnya. Ia pernah menemukan slip gaji ayahnya di almari. Tapi dalam benaknya, ayah dan ibunya menyembunyikan sesuatu. Dan ia seperti tak diharapkan untuk tahu...
"Noura..., tugasmu itu sekolah yang rajin. Kau tak usah bertanya hal-hal aneh, termasuk dari mana ayahmu mendapatkan semua itu," ujar ibunya menjawab pertanyaan Noura beberapa saat setelah tiba di rumah. Bahkan, ibunya mengumpat. "Gurumu itu sinting! Kenapa ingin tahu gaji orang? Kurang kerjaan saja!"
"Tapi, apa salah jika Noura ingin tahu?"
"Semua yang ayahmu kerjakan itu kelak untuk masa depanmu! Jadi, jangan berpikir jauh dan tidak-tidak."
Tiba-tiba telepon genggam Meisya berdering. Setelah itu, ibunya pergi dan lupa mematikan televisi.
Televisi di ruang tengah masih menyala. Noura kesal. Bik Munah seperti tahu apa yang menggumpal di hati Noura, lantas pamit untuk membuatkan teh. Sejenak, Noura menoleh ke layar kaca. Ada sosok wanita cantik yang membacakan berita. Lalu muncul berita yang mengejutkan --ada seorang anggota dewan tertangkap tangan oleh KPK. Noura benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihat di layar kaca.
Di dapur, Bik Munah tidak mendengar suara apa pun. Ia sibuk menyeduh teh. ***
Jakarta, 14/11/2013
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Republika, Jurnal Nasional, Suara Karya, Tabloid Nova, Majalah Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Batam Pos, Radar Surabaya, Surabaya Post, Surya, Lampung Post, Bengawan Post, Solo Post, Inilah Koran, Suara Merdeka, dan Tabloid Cempaka. Dia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Karya terbarunya: Tidur Berbantal Koran (Elex Media: 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar