Rabu, 07 November 2007

penulis, mana sumbanganmu pada peradaban?

(esai ini dimuat di Suara Pembaruan, Minggu 18 Juni 2004)

Orang boleh saja kecewa dengan lahirnya reformasi yang tidak membawa angin perubahan di bidang politik. Sebab, tumbangnya Orde Baru ternyata tak serta-merta membuat tatanan pemerintahan lebih baik, bersih, dan negara bisa maju sebagaimana agenda reformasi yang dihembuskan sejak enam tahun lalu. Bisa dikatakan, korupsi malah merajalela dan tampil dengan vulgar. Ya, reformasi di bidang politik mengalami stagnan. Juga reformasi hukum masih menunjukkan anomali keadilan. Lebih parah lagi, ekonomi tak semakin membaik, malah kian menggelisahkan perut rakyat.


Tetapi siapa yang kecewa dengan "angin reformasi" yang telah membuka kran kebebasan di bidang pers dan penerbitan buku? Hampir tak ada yang dapat menyangkal jika kebebasan pers menunjukkan "buah manis" yang menggembirakan.

Pasalnya, kebebasan pers yang dahulu dipasung dengan adanya SIUPP penguara, kini "dialihkan" ke pengadilan sehingga ada wajah baru demokrasi pers.

Tak jauh beda dengan nasib pers dunia perbukuan juga menghirup udara bebas. Buku-buku yang dulu dilarang terbit, kini bisa dengan mudah didapat. Fenomena itu yang bisa diamati dari terbitnya buku-buku Pramodya Ananta Toer yang di era Orde Baru dilarang terbit, karena dianggap penguasa mengajarkan marxisme-leninisme. Kini buku-buku karya sastrawan kelahiran Blora itu mulai diterbitkan ulang di samping buku-buku "kiri" lainnya. Hanya, yang patut dicatat dari fenomena "kebebasan" penerbitan buku itu jika dihubungkan dengan angin reformasi setidaknya bisa dikemukakan dua periode yang kemudian bisa menandai konfigurasi baru dunia penerbitan di Indonesia.

Pertama, periode lima tahun pertama pascareformasi (1998-2004), yang dapat disebut periode euforia. Periode kedua, periode lima tahun kedua, 2004-2009, yang bisa disebut periode tantangan.

Buku Seks Jadi Idola
Pada periode pertama pasca-reformasi, 1998-2004 dunia buku di negeri ini ditandai dengan euforia dengan maraknya buku yang diterbitkan. Sebagian memang hasil terjemahan, tetapi karya penulis lokal juga tak bisa dinafikan. Untuk karya penulis lokal, jika dibandingkan dengan dunia penerbitan di masa Orde Baru, di masa pertama pasca-reformasi, dunia buku Indonesia bisa dikata menuai pertumbuhan.

Ada euforia yang telah melahirkan para penulis muda yang tak segan untuk menulis. Di antara para penulis muda itu adalah Muhidin M Dahlan, Nur Khalik Ridwan, Eka Kurniawan dan penulis-penulis muda lain yang hadir dengan buku yang semula skripsi. Kecenderungan lain, ada warna baru tentang kebenaran yang dituliskan oleh para penulis seolah euforia ini merupakan kesempatan emas untuk membuat sejarah baru. Sangat beralasan jika buku-buku sejarah dan politik membanjiri pasaran.

Ada suara sumbang yang coba didengungkan untuk mengungkap "sejarah" yang dulu dibenamkan penguasa Orba, kini "ditulis" kembali untuk diluruskan. Di antara buku-buku seperti ini semisal sejarah pelurusan pemberontakan PKI.

Kecenderungan lain lagi, adalah gereget nuansa baru yang seolah-olah tanpa tedeng aling-aling untuk berani merekam dan menyuarakan fenomena seks yang dulu dianggap tabu, kini diumbar habis-habisan dan bahkan cukup detail. Itu tak hanya merebak di ranah buku-buku sastra seiring dengan lahirnya para penulis perempuan, malahan telah menjadi seperti tren pada masa euforia ini kalau "tema seks" adalah tema yang digandrungi dan jadi kecenderungan pasar yang tak terbantahkan.

Di antara buku-buku sastra karya penulis perempuan itu antara lain Saman dan Larung (Ayu Utami), Tujuh Tahun Semusim (Clara NG), Djenar Maesa Ayu (Jangan Main-Main dengan Kelaminmu), Herlinatiens (Garis Tepi seorang Lesbian). Memang menghadirkan adegan syur atau mengumbar seks bukanlah jadi ukuran kalau karya itu kemudian bisa diklaim murah. Buktinya, terlepas dari pesan moral yang ingin disampaikan, karya-karya di atas dapatlah digolongkan karya sastra bermutu. Saman, karya Ayu Utami malah menjuarai sayembara. Juga untuk cerpen Waktu Naela karya dari Djenar Maesa Ayu terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas tahun 2003.

Tak kalah dengan buku sastra yang mengumbar seks, buku-buku populer bertema seks juga jadi idola pembaca. Misalnya, Jakarta Under Cover (Muammar Emka), Seks in the kost, Pemerkosaan atas Nama Cinta, Campus "Fresh Chicken" (Iip Wijayanto), Pelacur Yogya (Wahyudin) dan masih banyak lagi. Anehnya, buku "bertema seks" seperti Jakarta Under Cover malah laris manis di pasaran dengan terjual 50 ribu eksemplar dalam waktu lima bulan sejak diterbitkan. Juga, buku Seks in The Kost laku sekitar 10 ribu eksemplar. Sebuah fenomena yang cukup mengiris-iris akal. Yang jadi pertanyaan besar; ada apa di balik realitas seks di negeri ini sehingga buku bertema seks jadi idola pembaca?

Memang, mengumbar dan mengeksploitasi seks memang tak salah dan itu adalah hak penulis ketika harus diungkap dalam sebuah buku. Di Prancis saja, ada penulis Marquis de Sade, dengan Les 120 journees de Sodome, yang menulis orgy seks sampai pada tindakan yang tak mungkin terbayangkan. Dalam Justine ia menulis Juliette yang digauli 128 kali dengan cara yang sama, 128 kali dengan cara berbeda, dan seorang korban kaum biarawan Sainte-Marie-de-Bois, wanita muda yang hamil 3 bulan, yang mereka perkosa berkasurkan duri dan dedaunan mawar, yang setiap darah yang mencul dari tunas luka mereka cecapi dengan gairah yang luar biasa. Tragis!

Meski demikian, seks tak selamanya dilihat sebagai seks belaka. Ada pemikir kenamaan, Michael Fouchaul yang melihat seks dalam kaitannya dengan sejarah yang ia tuangkan dalam The History of Sexuality. Anthony Gidden yang dikenal sebagai sosiolog juga meneropong seks dan erotisme dalam masyarakat modern dilihat dari kaca maca sosiologi yang bisa dibaca dalam karyanya The Transformation of Intimacy. Tapi di Indonesia, "seks" ternyata hanya sebagai realitas yang direkam untuk diutarakan, kecuali mungkin hanya buku karya Otto Sukatno, Seks Para Priyayi yang bisa dikata sebagai sebuah buku ilmiah.

WarisanPada periode lima tahun kedua, 2004-2009 mungkin akan terasa berbeda sekali dengan masa lima tahun sebelumnya. Kenapa? karena, pada masa 5 tahun ini, adalah masa tantangan di mana sejarah akan membuat siapa (penulis) yang akan tetap berkarya dan buku-buku "apa" yang akan dibutuhkan di pasaran demi masa depan bangsa ini. Memang soal buku-buku terjemahan sudah lama mulai nampak kecenderungan masih kurang dikerjakan serius pada masa 5 tahun pascareformasi (1998-2004). Hal itu bisa diamati dari terbitnya buku terjemahan (terutama yang diterbitkan penerbit Yogyakarta) yang mulai gencar digugat.

Tapi kini sudah ada koreksi dan selektivitas yang menggembirakan. Sebab, pada masa tantangan ini mulai jelas bahwa buku terjemahan yang jelek pasti tidak akan laku di pasaran. Pada masa lima tahun ini kecenderungan menurunnya euforia tidak bisa dinafikan sudah kentara. Artinya, baik penulis maupun penerbit sudah mulai tumbuh sikap kritis dan selektif dalam membaca pasar. Itu karena dalam masa lima tahun pertama pasca-reformasi, telah dijadikan "cermin" untuk berbenah dalam melakukan koreksi. Tak pelak, kini sudah lahir sebuah kesadaran bahwa menerbitkan buku tak semata untuk urusan bisnis (mencari keuntungan), tetapi satu keharusan di mana buku adalah warisan berharga bagi generasi mendatang.

Dengan begitu, mutu dan kualitas buku menjadi sebuah kebutuhan yang tak bisa dibantah. Sebab, maju tidaknya sebuah bangsa dapat "diukur" dengan buku yang dihasilkan dan seberapa besar minat baca dalam mengapresiasi buku untuk bekal di masa depan. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan; apa itu akan jadi sebuah kesadaran yang benar-benar bisa tumbuh di Indonesia. Hanya niat dan kesungguhan yang bisa membuat sejarah baru penerbitan buku di Indonesia. Dengan kata lain, buku akan tetap jadi warisan berharga selama buku ditulis dengan limpahan pikiran, nurani dan akal yang memihak pada kebenaran dan tuntutan zaman.

Selebihnya, masa depan buku akan jadi dunia yang penuh keintiman di mana dialog antara penulis dan pembaca dapat membangun bangsa ini dengan aneka pengetahuan dan ilmu. Meski hadirnya buku-buku karya penulis penjaja seks tidak sepenuhnya mati, buku-buku berbobot akanlah lahir pada masa ini karena buku tak bisa dimungkiri akan dilihat sebagai "warisan berharga" demi masa depan anak cucu kita demi perkembangan peradaban. Sehingga kita tak akan lagi mendengar sebuah pertanyaan, seperti yang pernah penulis dengar dari seorang pembicara dalam pertemuan penulis Mizan: "penulis, mana sumbanganmu pada peradaban?"

*) n. mursidi, peresensi buku dan cerpenis, tinggal di Yogya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar