Rabu, 07 November 2007

Hujan yang Menyisakan Mendung

(Cerpen ini dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 3 juli 04)

Jika saja aku tahu kalau hujan yang turun saat aku keluar dari mal bersama kekasihku usai mengantarnya belanja itu bukan hujan sembarang hujan, maka aku tak bakalan mengharapkan hujan yang tidak saja membuat bulu kudukku bergidik, tubuhku beku dan kekasihku harus diserang flu itu turun untuk yang ketiga kalinya. Sebab, aku tahu hujan yang kau kirim itu tidak saja pertanda cintamu, juga tanda tragedi bagiku di kemudian hari. Karenanya, aku -mau tak mau- selalu menjaga gerimis pada ritmis rendah dan mengundang angin untuk datang mengusir awan di angkasa agar jarum-jarum air yang kau turunkan itu tak sampai membuat kepalaku jadi pening.



Ya, cukup dua kali saja hujan buatanmu itu turun dan jangan sampai berlanjut. Sebab, tak saja masih kuingat saat paras kekasihku berubah merah ditikam resah saat menatap guyuran kristal-kristal air di jalanan dan lebih tersiksa lagi, taksi pun tak juga kunjung lewat. Bagaimana tidak cemas? Saat aku dan kekasihku memasuki mal langit tampak cerah dengan bintang-gemintang bertaburan seperti kedip kunang-kunang di tengah persawahan. Tetapi, begitu kami keluar mal, tiba-tiba hujan turun deras. Angin seperti tak bergeming. Orang-orang tak lagi berjalan lalu lalang, kecuali berteduh -di teras mall- dalam beku yang menyanyat sumsum.

Sementara, di pojok depan mal itulah, kulihat kau menikmati dingin hujan dengan kedip mata nakalmu, karena kekasihmu mendekap pundakmu, lirikan matamu selalu tertuju ke arahku. Aku tahu kau mencuri pandang ke arahku saat kekasihmu tertegun tak menemukan taksi yang melintas. Sementara aku sesekali melirik kekasihku untuk memastikan apakah ia tahu kalau aku dan kamu sering bersitatap mata.

Sebuah tatapan mata yang tak saja membuatku berdegup, gugup dan juga gelisah. Namun seperti ditelikung rasa aneh yang menjalar dalam pikiranku, dan aku merasakan sedikit pening. Aku menatapmu dan kau tampak manja didekap kekasihmu. Melihatmu, entah kenapa aku jadi iri pada kekasihmu, meskipun di sampingku ada kekasihku yang sebenarnya tak kalah manja denganmu. Tetapi, bibirmu mengundangku untuk selalu lumat menelan air liurku yang merekas.

Baru kali itu aku melihatmu, memang. Sekali itu di depan mal bahkan cuma di malam itu. Sebelumnya tak pernah. Tetapi, matamu yang nakal telah membingkai kenangan yang abadi dalam takjubku. Tak salah jika kau mengundang hujan untuk turun sebagai saksi pertemuan itu. Sayang, sungguh mati aku tak kuasa menangkap angin untuk mengusir mendung. Makanya, satu-satunya pilihan yang kuambil adalah harus lekas beranjak dari situ.

Sebab aku tahu kekasihku terganggu oleh hujan itu.

Syukurlah! Tak selang lama, taksi lewat dan aku melihat lebih duluan sorot lampu kuning memecah genang air pada biasan warna kuning yang menderu. Secepat kilat kutarik tangan kekasihku. Aku rela basah supaya dapat mencapai tepian jalan dan menghadang taksi. Aku—di matamu—mungkin agak kasar saat menyeret kekasihku dengan paksa, memang. Tapi, itu terpaksa kulakukan untuk mendahului kekasihmu yang kutahu ingin mengejarku.

Namun, kekasihmu tak saja lengah, tetapi juga terlalu menikmati hujan yang kau kerat sehingga aku dan kekasihku bisa menangkap pintu taksi sebelum kau dan kekasihmu, tiba lebih dulu.

Sorot matamu seketika merah meredam kecewa, bukan lantaran langkahku lebih cepat daripada langkah kekasihmu, melainkan karena kau sepertinya tak rela pertemuan itu berlalu. Terus terang, aku kasihan juga kepadamu. Tetapi, kekasihku harus segera pulang, sebab ia tidak biasa begadang dan bisa-bisa diserang sakit jika dingin menghambat peredaran darah pada aortanya. Sungguh mati, aku sebenarnya tak rela pertemuan itu berlalu, apalagi ketika taksi meluncur pelan dan hujan masih turun deras. Dari kaca belakang aku melihatmu basah.

Ah... kasihan sekali kamu. Aku melihat kekasihmu menuntunmu kembali ke teras mal dan tangan kekasihmu yang kekar itu membuatku iri —dekapan itu di mataku meradang dingin. Namun, sosokmu semakin tampak kecil dan tak lama kemudian melenyap setelah taksi belok di tikungan.


***

TAPI sosokmu adalah sebuah bayangan yang masih menggenangi pikiranku sampai aku bertemu kau kembali di depan mal itu sebulan kemudian, lagi-lagi hujan kau datangkan untuk menghalau kepergianku. Ingin aku mengumpat, karena hujan yang kau kehendaki itu sungguh menggangguku. Sayangnya, aku tak kuasa menahan gerimis tetap pada ritmis yang membuatku leluasa menerjang jatuhnya air meski kepalaku bisa saja sedikit pusing.

Aku hanya menatapmu dengan tatapan mata konyol, karena kau seperti membuntutiku sejak awal kepergianku. Aku sendirian, memang! Sebab kekasihku sakit. Tapi melihatmu yang sendirian di pojok depan mal, membuatku berubah hati. Aku tak jadi sedih atas hujan yang kau datangkan. Hanya saja, di mana kekasihmu kini? Apakah kau barusan putus?

Kini, aku bisa memandangmu lama dan tak lagi ada rasa iri muncrat, sebab di sisimu tak ada kekasihmu. Tapi, kesakitan kekasihku tentu tak bisa kubiarkan dengan balasan pulangku yang terlambat. Untuk itu, aku tidak bisa meluangkan waktu berkenalan denganmu, apalagi bercengkrama. Aku ingin cepat pulang. Tapi, belum ada taksi yang melintas kian membuatku cemas, menggigit bibir. Aku melihat arloji, kesal. Sembari menenteng barang bawaan, sesekali aku menyorongkan tubuhku untuk memastikan apakah ada taksi yang muncul nun di jauh sana. Rupa-rupanya Tuhan memihakku. Aku melihat taksi di kejauhan. Buru-buru, aku menerjang hujan dan melambaikan tangan untuk menghentikannya.

Namun, sebelum aku membuka pintu, kulihat kau mematung mendekapkan tubuhmu. Senyum manismu tertinggal di ujung bibir mungilmu yang basah. Aku cepat-cepat membuka pintu, namun—entah kenapa dalam sekejap—sopir taksi kusuruh menunggu seraya aku melambaikan tangan ke arahmu. Kau masih mematung dan seperti tak percaya saat aku tak jadi naik, malah turun mendatangimu.

”Hari sudah terlalu malam, apakah kau tak ingin lekas pulang?” bujuk rayuku, karena aku kasihan melihatmu ngelayut. Tak menyangka, kau mau naik taksi juga bersamaku. Taksi melaju, kuajak kau berkenalan. Aku bertanya, ”Ke mana kekasihmu?”. Kau tak menjawab, malah balik bertanya tentang kekasihku. Aku menjawab pendek, kalau kekasihku sakit.

Kau tersenyum. Bangsat! Aku tersinggung sebab saat kekasihku sakit, kau tampak senang. Tapi, senyummu itu mengundangku untuk hanyut dalam senyap diammu. Aku tak lagi menanyakan tentang kekasihmu, tetapi kau rupanya tidak kuasa menahan diam. Hingga kau mau bercerita kalau kekasihmu pindah kerja ke kota lain. Kini, kamu seperti dihajar sepi. Apakah karena sepi itulah kamu mendatangkan hujan kembali untuk mencegahku agar tak segera pulang?

Saat taksi sudah tiba di depan rumahmu, hujan reda. Kau menawari aku untuk mampir. Aku menolak, karena tak ingin kekasihku menahan rasa sakit. Ia harus minum obat, untuk itu aku masih perlu mampir ke apotek sebelum sampai di rumah.


***

Sejak itulah aku tahu kenapa kau sengaja mendatangkan hujan untukku. Aku sepenuhnya tahu, bahwa hujan yang kau kirim itu bukanlah hujan sembarang hujan. Kau butuh menghadirkan hujan seperti kau butuh tv agar malammu tidak sepi. Aku juga senang dengan kehadiranmu, seperti mengharap hujan itu tidak turun lebih tiga kali. Aku sudah cukup dengan kadar cinta yang tumbuh akibat hujan yang kau datangkan itu.

Aku tahu jika kekasihmu datang tiga bulan sekali, dan selama itu aku bisa leluasa mengajakmu makan malam, pergi nonton dan sampai begadang karena kau tidaklah sama dengan kekasihku yang selalu tidur tepat jam sembilan. Aku seperti menemukan malamku kembali dengan kehadiranmu di sampingku. Aku tidak pernah merasa berdosa dengan kekasihku, seperti juga kau tak pernah merasa bersalah pada kekasihmu sebab kita memang tak melakukan hal aneh-aneh. Aku hanya menemanimu bermain komputer, baca novel dan berbincang sekedarnya kala kekasihku tak ada di sisiku, karena ia begitu sibuk dengan kuliah dan sering kali menemani bundanya.

Aku menikmati hubungan seperti itu, pergi, makan dan melakukan kerja membuat desain dengan cepat sehingga selalu kutahan gerimis tak sampai jadi hujan. Anehnya, setiap kali kita berjalan, berbincang di taman kota, gerimis selalu memihakku. Karena jika hujan turun lebat, pastilah aku akan ditikam mendung di kelopak mataku dan langit menggelorakan guntur yang bisa membuat aku ngelayut. Aku mencintaimu seperti ritmis gerimis, tak sampai kolap sebab hujan kutahan untuk tak turun deras. Aku menguasaimu dan mengendalikanmu untuk menikmati turun gerimis yang mirip serpihan salju di negeri jauh nun sana.

Untuk itulah, setelah hampir enam bulan hubunganku denganmu berlalu, aku tak saja tahu makanan kesukaanmu bahkan termasuk parfum dan kosmetikmu yang harus kubelikan sebagai hadiah. Kau butuh kehadiranku seperti aku butuh berbincang denganmu di saat aku ditinggal pulang kekasihku yang menyita sepi hubunganku dengannya.

Meskipun kekasihku pernah pada satu kali memergokiku berjalan mesra denganmu, aku toh bisa berkelit. Ada seribu alasan bisa aku katakan padanya untuk menutupi hubungan kita seperti kamu tak pernah merasa bersalah ketika kekasihmu juga tahu hubungan kita. Rupanya, kita adalah orang pendusta dan kekasihmu dan juga kekasihku adalah orang-orang pemaaf yang tak ingin ribut. Tak ingin mempermasalahkan hubungan kita karena kekasihku dan juga kekasihmu sama-sama sibuk. Kekasihku gila kegiatan kampus, kekasihmu gila kerja.


***

Jika saja aku tahu kalau hujan yang turun saat aku keluar dari mal bersama kekasihku usai mengantar belanja di bulan ketujuh sejak pertemuanku denganmu adalah hujan ketiga yang kau turunkan untuk mengakhiri hubunganku denganmu, aku pasti tak jadi keluar untuk mengantar kekasihku dan tidak akan pernah melihatmu dan kekasihmu berjalan kembali dalam kemesraan yang lebih puitis. Aku bisa bersama kekasihku belanja di mal lain, atau nonton teater, atau makan malam di kafe sehingga tak belanja di mal yang sama denganmu sehingga tak menemui hujan yang kau turunkan.

Memang, aku sudah seminggu ini mencium bau kedatangan kekasihmu yang kembali kerja di kota ini. Namun, karena kekasihku sedang liburan kuliah dan selalu bersamaku, telah menyita banyak waktuku untuk tak menjengukmu. Benar! Apa yang pernah kutakuti kini terjadi. Aku tak saja melihatmu dan kekasihmu berdiri di pojok depan mal, tetapi nakal matamu tak lagi berbinar. Aku tak melihatmu menoleh ke arahku dan hujan yang kau turunkan tiba-tiba itu, jelas membuatku terkejut sebab rintik-rintik kecil air terbawa angin menyentuh kulitku. Langit jadi gelap.

Hujan itu juga telah melumat bening matamu jadi merah menyala bagai nyala obor yang menyerap minyak tanah. Haruslah kuakui, kalau hujan yang kau datangkan saat aku keluar mall itu sebagai pertanda burukku. Karena cintaku padamu yang kupelihara harus kuakui sudah menggeliat seperti proses hidup seekor cacing di kolam belakang rumahmu yang pernah kau perlihatkan padaku. Tetapi, kenapa kini kau bunuh sehingga rasa sakit akibat hujan ketiga yang kau datangkan itu jadi tragedi, karena hujan itu ternyata tak cuma membuatku kedinginan, juga menyisakan mendung.

Aku, kali ini tidak lagi kuasa menahan suhu udara agar gerimis tidak jadi berubah hujan deras. Aku seperti tersenggal saat bernapas. Rupanya, kau tak perduli lagi. Bahkan saat ada taksi melintas, kamu dan kekasihmu dengan ringan melenggang pergi meninggalkanku dan kekasihku dalam hujan deras yang kau datangkan. Seketika itu, aku melihat ada badai di langit yang menyisakan mendung di mataku. Tapi kenapa kau mendatangkan hujan? Bukankah kita bisa memupuk hubungan itu dengan sembunyi-sembunyi? Kenapa kau sepihak membuat hubungan kita harus putus?

Sudah kuduga jika keputusan ini pastilah kau ambil di tengah gemuruh badai dan hujan yang aku temui bukanlah lagi sebuah pertanda cinta melainkan tragedi. Karenanya, aku sudah menyangka jika cinta itu harus jadi rasa sakit dan berhenti sampai di sini. Apalagi, saat kau dan kekasihmu telah melenyap bersama deru knalpot yang tak terdengar lagi, aku rasa sakit di dadaku jadi alunan batuk. Jantungku berdebar kencang dan langit benar-benar jadi hitam pekat.

Hujan itu, di malam pada bulan ketujuh sejak pertemuanku denganmu masih turun deras dan mendung di mataku menorehkan rasa kesal yang tak bisa menerima akan kepergianmu begitu saja. Apalagi, kini aku benar-benar ditikam pening dan kekasihku lemas menahan dingin. Mataku jadi berkunang-kunang tak melihat ada malam yang begitu indah bersamamu kembali akibat hujan yang kau kehendaki menyisakan mendung.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar