Rabu, 07 November 2007

Di Balik Semarak Film Remaja Indonesia

(Esai ini dimuat di Sinar Harapan, Jumat 7 Mei 04)

SETELAH vakum selama 10 tahun, dunia industri film mulai menampakkan geliat yang cukup menggembirakan. Pencapaian puncak geliat itu terjadi akhir 2003 dengan diputarnya tiga film bersamaan, Eiffel...I’m in Love (yang disutradarai Nasry Ceppy), Biarkan Bintang Menari (Indra Yudhistira), dan Arisan (Nia Dinata). Bahkan, belum sempat kenangan ketiga cerita film itu hilang dari benak penonton, disusul pemutaran film 30 Hari Mencari Cinta (Upi Avianto). Meski diputar bersamaan, tetap tidak sepi penonton. Bahkan membludak dan saat membeli tiket terpaksa harus lewat antre yang panjang dan berdesakan. Sungguh semarak!


Kendati menggembirakan, prestasi itu tetap belum bisa dikata sebagai masa kebangkitan film Indonesia. Sebab tolok ukuran bangkitnya film itu tak sekadar dilihat dari kesemarakan. Fenomena ini baru menunjukkan geliat yang diwarnai gegap-gempita setelah lama mata rantai itu terputus.

Tetapi, yang perlu dicatat di sini adalah dengan munculnya bibit-bibit baru pembuat film, perfilman kita di masa datang mungkin kian marak. Adanya wajah semarak perfilman itu, tentu saja tak lepas dari kiprah Garin Nugroho, lalu Mira Lesmana, dan disusul Arya Kusumadewa, Riri Reza dan Rudy Soedjarwo.

Tiga figur terakhir, setidaknya bisa disebut sebagai generasi sineas transisi. Debut dan karya mereka lahir bersamaan dengan reformasi di negeri ini yang membawa keuntungan ”ruang gerak dan kebebasan” dalam berkreasi. Tak berlebihan, jika Arya Kusumadewa merilis film seperti Beth sampai Novel Tanpa Huruf R. Sementara, Riri menyutradarai film laris, Petualangan Sherina dan Eliana Eliana. Adapun Rudy Soedjarwo menggarap Bintang Jatuh (2000), Tragedy (2001), Ada Apa dengan Cinta? (2002) dan Rumah Ketujuh (2003).

Debut itu, kemudian diikuti sineas muda, seperti Indra Yudhistira (Biarkan Bintang Menari, yang sebelumnya sudah menggarap Andai Ia Tahu), Nia Nidata (Arisan, sebelumnya sudah memulai debut film Ca-Bau-Kan), dan Upi Avianto (dengan menghadirkan film 30 Hari Mencari Cinta). Juga, sineas lain, yang tak kalah keren seperti Nayato Fio Nuala (membuat film The Soul), Dimas Djayadiningrat (Tusuk Jalangkung) dan Richard Buntario (menghadirkan film 5 Sehat, 4 Sempurna dan berlanjut dengan sekuel Cinta 24 Karat).

Spirit para pembuat film untuk melahirkan karya dan diikuti lahirnya pula bintang-bintang baru (seperti Shandy Aulia, Dina Olivira, Samuel Rizal, Dian Sastro, Rizal Marcella dan masih banyak lagi) yang menerobos dunia film dan kemudian jadi gegap gempita di gelanggang infotainment media dengan satu bendera menjajakan tema (cinta) remaja, ternyata tak lebih sebuah titik awal dari sebuah persemaian film untuk bisa bangkit kembali.

Masih Mencari Bentuk
Setidanya, tahun lalu (2003) telah dicatat sekitar 15-an film yang diproduksi. Kuantitas itu memang masih belum mencengangkan, apalagi berjalan secara normal. Kendati demikian, sejumlah produser telah ancang-ancang untuk membuat film lagi. Rudy Soedjarwo misalnya, sudah menyiapkan film Selalu Ada Matahari. Begitu juga dengan Riri Reza yang sudah berani mempromosikan film berikutnya dengan mengangkat tokoh demonstran ‘66-an Soe Hok Gie. Bisa dibaca jika masa mendatang itulah, debut dan prestasi mereka akan dipertaruhkan.

Tetapi, alangkah merana jika usaha dan debut dari semua itu kemudian harus ditelan sejarah. Itu bisa dipahami, sebab selama ini film-film yang dihasilkan masih berkutat seputar tema remaja (semisal film Ada Apa dengan Cinta? dan Eiffel...I’m in Love), komedi satiris (film Arisan), komedi roman (seperti film Andai Ia Tahu), komedi situasi (film 30 Hari Mencari Cinta), musikal atau horor pop (film The Soul, Jalangkung, Tusuk Jalangkung). Hampir tidak ada yang bertema sosial atau bernuansa kemanusiaan. Jika karakter para pembuat film di masa datang, tak jauh beda dalam memilih tema dan ide cerita dari film-film sebelumnya, mustahil akan semakin mencerahkan. Sebab film yang dihasilkan tak beda jauh dengan sinetron atau bahkan telenovela.

Memang, sineas-sineas muda dengan hasil karya yang telah diputar di gedung bioskop saat ini, bisa dikata baru tahap belajar. Jika mau ditelisik lebih jauh, generasi ini lebih dimeriahkan dari para sineas yang tumbuh dari industri budaya pop dengan latar belakang televisi dan teknologi multimedia. Sebelum menjadi sutradara, sebagian besar dari mereka memulai debut dengan membuat vidio clip, iklan tv, juga sinetron. Anehnya, gayung itu bersambut. Artinya, proses belajar itu mendapat respons penonton yang sudah lama tak pergi ke bioskop kecuali untuk menonton film-film Hollywood. Tak salah kalau dikatakan bahwa sutradara sekarang ini mengerjakan film dengan spirit main-main dan spontan. Itu sama halnya dengan penonton yang sebagian besar kaum remaja, generasi yang maunya serba instan, mau senang. Jadi klop-lah! Apalagi, dunia film itu adalah dunia bisnis, yang mau tidak mau, harus mempertimbangkan pasar. Jika pasar ada respons, itulah yang memang dikejar.

Kondisi itu, jelas berbeda jauh dengan cara dan gaya Garin Nugroho yang menggarap film dengan gagasan dan tema dari ”narasi besar” sehingga ada saja nuansa lain yang mau disodorkan. Film Pasir Berbisik berupaya menyoroti kasus aborsi yang marak terjadi. Di sini, arti penting nyawa bayi disodokkan untuk direnungkan. Juga, film Daun di atas Bantal yang mengangkat kehidupan anak jalan dengan sisi keterlantaran yang selain kerap dilupakan masyarakat juga negara. Meskipun mengangkat kaum pinggiran, namun ada pesan moral yang menyentuh jiwa. Selain itu, jauh dari glamorisme.

Dengan begitu, wajah semarak perfilman kita saat ini bisa dicatat, setidaknya dari dua hal. Pertama, didasarkan pada tema cerita yang disajikan bisa dikata jika di tengah situasi euforia seperti sekarang ini para pembuat film masih dihembuskan angin semusim tema (cinta) remaja. Itu bisa diamati dari kesuksesan yang diraih film Ada Apa dengan Cinta?, lalu film berikutnya mengekor dengan mengangkat tema sama. Kedua, belum adanya karakter kuat yang menandai sebagai ciri utama dalam mencari bentuk yang pas. Itu bisa dipahami karena kebanyakan sineas generasi ini, baru berkarya satu sampai tiga film. Tak salah, jika dari dua hal itu akan dihadapkan pada tantangan masa depan yang harus dibuktikan; apakah film kita akan menunjukkan wajah sumringah atau sebaliknya, akan ambruk dan vakum kembali.

Prospek ke DepanBagaimana dengan masa depan film Indonesia? Sejak reformasi bergulir 1998, Garin Nugroho (sutradara dan pengamat film) memetakan sinema Indonesia ke dalam dua periode. Pertama, periode lima tahun pertama pasca-reformasi (1998-2003) yang disebut masa euforia dan persemaian. Di masa ini, ditandai munculnya penyemaian karya juga didukung oleh sineas muda dan penonton muda. Selain itu, diperkaya para sineas yang tumbuh dari lintas budaya pop. Kedua, periode lima tahun kedua 2004-2009 yang disebut sebagai periode tantangan dan pertumbuhan. Pada masa ini, akan tumbuh sikap kritis karena ada tuntutan kompetisi. (Konfigurasi Baru Generasi Pencari Cinta, Kompas, 11/1/2004).

Tak pelak, tahun 2004 ini tidak saja menjadi titik tolak bagi sineas untuk dilecut berkarya, melainkan juga sekaligus jadi barometer bagi mereka. Sebab tantangan di tengah meriahnya dunia hiburan film, mau tak mau, memicu adanya kompetisi yang itu terjadi tidak hanya di antara sutradara, artis dan rumah produksi untuk terus tumbuh.

Lebih dari itu, dituntut adanya selektivitas dan sikap kritis dari proses belajar setelah melalui periode lima tahun pertama persemaian, tetapi juga dipicu untuk tetap menjaga kreativitas. Dengan begitu, profesionalisme dan mutu sebuah karya menjadi satu tuntutan. Jika tidak, maka film yang akan dihasilkan jelas sepi dari penonton. Karena di masa mendatang, penonton juga sudah kritis dalam memilih film. Artinya, menonton film tak hanya demi satu tuntutan hiburan belaka, tapi penonton juga butuh bertambahnya wawasan, ilmu dan untuk mendapatkan inspirasi.

Dengan cukup sarkastis, di sini pun hukum alam juga berbicara. Itu setidaknya karena gegap-gempita titik semai sinema Indonesia sudah terlewati dan kini saatnya memasuki tantangan yang harus dihadapi dengan pola dan cara kerja yang harus lebih baik. Karenanya, jika masih tetap berjalan di tempat, maka tak mustahil titik semai dan wajah semarak dunia film kita akan tinggal jadi kenangan dan film yang akan dihasilkan tidak lebih dari sekedar semarak poster yang terpampang di bioskop, tapi sepi penonton. Sebab, saat ini dunia hiburan tv, dengan adanya chanel 11 tv swasta sudah membuat pemirsa pusing untuk hanya sekadar memilih seambrek hiburan yang ditawarkan.

Semoga hal itu tak akan terjadi. Karena siapa pun pasti tidak ingin dunia film nasional mati lagi. Justru semua berharap besar, dunia film harus tumbuh lebih semarak! Itu karena kita tidak ingin pergi ke bioskop melulu nonton film Hollywood, tetapi juga film karya sendiri pula. ***

*) n_mursidi, cerpenis dan peminat film.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar