Lima belas abad yang lalu, Rasulullah saw. pernah memprediksi, bahwa di akhir zaman nanti akan terjadi berbagai peristiwa dan kejadian yang belum pernah dialami pada masa beliau hidup. Rupanya, apa yang dikatakan oleh Rasulullah itu tidak meleset. Kini, kita dapat menemukan kebenaran dari apa yang dikatakan Rasulullah itu di tengah perubahan zaman yang terjadi sekarang ini.
Islam memang tak berubah dan zamanlah yang mengalami perubahan. Dengan kata lain, Islam tidak akan pernah tergerus zaman. Toh, kemudian ada perubahan, itu sebenarnya terjadi di tingkat keberagamaan umat sebagai akibat dari perkembangan serta kemajuan teknologi. Salah satu contoh, belakangan ini, kita dapat menyaksikan fenomena religiositas yang hadir dalam wajah bahkan bentuk yang baru atau lain.
Kalau dahulu, umat Islam butuh siraman rohani harus dengan susah payah mendatangi majelis taklim atau tempat pengajian, rupanya peristiwa itu kini dapat ditemui dalam "bentuk baru". Sebab orang bisa saja duduk di depan komputer dan tinggal mengakses internet untuk belajar agama Islam. Layanan bagi umat yang “ingin tahu” tentang Islam, sekarang dirancang dan disetting secara modern sebagai layanan dakwah yang bisa diakses dari website, homepage atau situs-situs Islam. Tidak cuma itu, sekarang ini sudah hadir sebuah layanan agama atau informasi ruhani secara seluler yang bisa diakses lewat hp. Maka, lahirlah "seperangkat layanan Islami" seperti Al-Qur`an seluler, SMS Paket Doa, SMS Paket Hadis, MMS Risalah Doa dan sejenisnya. Itu sebagian contoh dari layanan agama yang awalnya dimotori oleh seorang muallaf bernama Craig Abrurrahim Owensby sebagai penggagas Al-Qur`an Seluler.
Menampilkan Islam Secara Populer
Bagi Craig Abrurrahim Owensby, konsep "Al-Qur`an Seluler" merupakan sebuah konsep tentang bagaimana orang dapat belajar tentang Al-Qur`an dengan cara mudah dan menarik. Ide ini muncul dari keinginan Craig untuk berdakwah dan memperkenalkan Al-Quran kepada umat Islam secara massal. Layanan Al-Qur`an Seluler, intinya memperdengarkan pembacaan ayat-ayat Al-Qur`an disertai kupasan hikmahnya secara singkat selama 6 menit. Urutannya berupa pembacaan tiga atau lebih ayat suci Al-Qur`an selama 1 -2 menit, kemudian disusul dengan pembacaan hikmah ayat termaksud selama 2-3 menit kemudian ditutup dengan pembacaan Muratal -pembacaan ayat dalam bacaan asli Al-Qur`an- selama 2 menit. Dengan demikian, layanan setiapkali akses akan berlangsung sekitar enam menit. Bahkan, sekarang pelanggan bisa mengakses nasyid, seperti dari Aa Gym, Debu, dan MQ Voice.
Dengan keberadaan layanan dan informasi ruhani seperti itu, setidaknya ada satu keinginan kuat dari mereka untuk menampilkan Islam dengan cara populer, sehingga baik sebagai ajaran maupun sebagai komunitas, Islam dapat "diterima" oleh semua kalangan (umat)-–terutama bagi kalangan atas yang disibukkan dengan dunia kerja dan tak ada waktu untuk belajar Islam. Padahal, ghirrah untuk belajar Islam itu ada dan cukup kuat di hati.
Dari fenomena di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, Islam adalah agama yang bisa menyesuaikan zaman dan bukan merupakan agama di masa lalu yang hanya dipeluk oleh orang-orang terdahulu saja. Buktinya, dengan perkembangan zaman di tengah arus globalisasi, Islam dalam bentuk dan wajah yang sekarang ini dapat diharapkan diterima oleh semua kalangan dan lapisan. Terlepas dari unsur bisnis ataupun komersialisasi agama, setidaknya kecanggihan teknologi itu tidak semata-mata berdimensi negatif sebagaimana selama ini ditakutkan oleh sebagian umat Islam.
Kedua, fenemona di atas itu -diakui atau tidak- merupakan lahirnya semangat dari sebagian umat terutama kalangan atas untuk belajar Islam dengan cara mudah tanpa perlu merasa takut, atau malu lagi. Sebab dengan layanan yang disediakan AQS, misalnya, itu akan menjadi satu alternatif lain untuk memperkenalkan keindahan Al-Qur`an kepada masyarakat, khususnya di saat orang terlalu sibuk untuk membaca dan mempelajari Al-Qur`an secara khusus dengan mendatangi majlis-majlis taklim dan tempat pengajian (masal).
Hadir dalam Bentuk Tanda
Media dakwah, layanan agama dan informasi ruhani dari media digital, internet dan seluler itu memang membawa nilai plus. Karena, hal itu memberikan kemudahahn bagi mereka -–sebagian umat Islam—- untuk belajar agama maupun mempertebal iman. Kendati demikian, tentunya ada sisi lain yang terkesampingkan.
Pertama, keberagamaan umat Islam akibat kecanggihan teknologi itu telah melahirkan bentuk spiritualitas digital atau seluler. Dengan kata lain, agama hadir dalam bentuk "tanda-tanda" atau simbol-simbol. Tak salah, kalau kemudian meneguhkan pola hidup eksklusif keberagamaan dari sebagian umat Islam sebagai akibat moderniasasi --di mana bentuk individualisme menjadi satu hal yang tidak dapat dimungkiri.
Kedua, model pembelajaran Islam lewat media digital dan seluler itu setidaknya telah menjadi alternatif, meski tak lantas membuat umat jauh dari majelis taklim atau tempat pengajian. Sebab cara belajar klasik mendatangi kiai atau ustadz, tidak dinafikan menjadi "pembelajaran" yang paling efektif. Sebab, belajar agama tidak dapat ditempuh dalam hitungan hari, melainkan sejak lahir sampai meninggal. Jika demikian yang terjadi, maka pembelajaran agama (baca: Islam) dalam bentuk seperti itu akan melahirkan insan muslim yang bisa diibaratkan pemetik buah dari pohon agama dengan jalan pintas.
Diakui atau tidak, bahwa layanan agama atau informasi ruhani itu memang dapat menjangkau kalangan tertentu yang semula tidak mengenal Islam atau belum paham Islam secara mendalam. Dengan demikian, tentunya fasilitas dan kemudahan itu bisa menjadi pintu masuk seseorang untuk merengkuh Islam secara kaffah, tentunya setelah melalui rentang waktu yang lama dan panjang. Kalau itu yang dimaksud, maka dampak Islamisasi seluler (digital) adalah sesuatu terobasan yang tidak bisa ditolak apalagi dikecam!
*) N. Mursidi, alumnus Aqidah-Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Islam memang tak berubah dan zamanlah yang mengalami perubahan. Dengan kata lain, Islam tidak akan pernah tergerus zaman. Toh, kemudian ada perubahan, itu sebenarnya terjadi di tingkat keberagamaan umat sebagai akibat dari perkembangan serta kemajuan teknologi. Salah satu contoh, belakangan ini, kita dapat menyaksikan fenomena religiositas yang hadir dalam wajah bahkan bentuk yang baru atau lain.
Kalau dahulu, umat Islam butuh siraman rohani harus dengan susah payah mendatangi majelis taklim atau tempat pengajian, rupanya peristiwa itu kini dapat ditemui dalam "bentuk baru". Sebab orang bisa saja duduk di depan komputer dan tinggal mengakses internet untuk belajar agama Islam. Layanan bagi umat yang “ingin tahu” tentang Islam, sekarang dirancang dan disetting secara modern sebagai layanan dakwah yang bisa diakses dari website, homepage atau situs-situs Islam. Tidak cuma itu, sekarang ini sudah hadir sebuah layanan agama atau informasi ruhani secara seluler yang bisa diakses lewat hp. Maka, lahirlah "seperangkat layanan Islami" seperti Al-Qur`an seluler, SMS Paket Doa, SMS Paket Hadis, MMS Risalah Doa dan sejenisnya. Itu sebagian contoh dari layanan agama yang awalnya dimotori oleh seorang muallaf bernama Craig Abrurrahim Owensby sebagai penggagas Al-Qur`an Seluler.
Menampilkan Islam Secara Populer
Bagi Craig Abrurrahim Owensby, konsep "Al-Qur`an Seluler" merupakan sebuah konsep tentang bagaimana orang dapat belajar tentang Al-Qur`an dengan cara mudah dan menarik. Ide ini muncul dari keinginan Craig untuk berdakwah dan memperkenalkan Al-Quran kepada umat Islam secara massal. Layanan Al-Qur`an Seluler, intinya memperdengarkan pembacaan ayat-ayat Al-Qur`an disertai kupasan hikmahnya secara singkat selama 6 menit. Urutannya berupa pembacaan tiga atau lebih ayat suci Al-Qur`an selama 1 -2 menit, kemudian disusul dengan pembacaan hikmah ayat termaksud selama 2-3 menit kemudian ditutup dengan pembacaan Muratal -pembacaan ayat dalam bacaan asli Al-Qur`an- selama 2 menit. Dengan demikian, layanan setiapkali akses akan berlangsung sekitar enam menit. Bahkan, sekarang pelanggan bisa mengakses nasyid, seperti dari Aa Gym, Debu, dan MQ Voice.
Dengan keberadaan layanan dan informasi ruhani seperti itu, setidaknya ada satu keinginan kuat dari mereka untuk menampilkan Islam dengan cara populer, sehingga baik sebagai ajaran maupun sebagai komunitas, Islam dapat "diterima" oleh semua kalangan (umat)-–terutama bagi kalangan atas yang disibukkan dengan dunia kerja dan tak ada waktu untuk belajar Islam. Padahal, ghirrah untuk belajar Islam itu ada dan cukup kuat di hati.
Dari fenomena di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, Islam adalah agama yang bisa menyesuaikan zaman dan bukan merupakan agama di masa lalu yang hanya dipeluk oleh orang-orang terdahulu saja. Buktinya, dengan perkembangan zaman di tengah arus globalisasi, Islam dalam bentuk dan wajah yang sekarang ini dapat diharapkan diterima oleh semua kalangan dan lapisan. Terlepas dari unsur bisnis ataupun komersialisasi agama, setidaknya kecanggihan teknologi itu tidak semata-mata berdimensi negatif sebagaimana selama ini ditakutkan oleh sebagian umat Islam.
Kedua, fenemona di atas itu -diakui atau tidak- merupakan lahirnya semangat dari sebagian umat terutama kalangan atas untuk belajar Islam dengan cara mudah tanpa perlu merasa takut, atau malu lagi. Sebab dengan layanan yang disediakan AQS, misalnya, itu akan menjadi satu alternatif lain untuk memperkenalkan keindahan Al-Qur`an kepada masyarakat, khususnya di saat orang terlalu sibuk untuk membaca dan mempelajari Al-Qur`an secara khusus dengan mendatangi majlis-majlis taklim dan tempat pengajian (masal).
Hadir dalam Bentuk Tanda
Media dakwah, layanan agama dan informasi ruhani dari media digital, internet dan seluler itu memang membawa nilai plus. Karena, hal itu memberikan kemudahahn bagi mereka -–sebagian umat Islam—- untuk belajar agama maupun mempertebal iman. Kendati demikian, tentunya ada sisi lain yang terkesampingkan.
Pertama, keberagamaan umat Islam akibat kecanggihan teknologi itu telah melahirkan bentuk spiritualitas digital atau seluler. Dengan kata lain, agama hadir dalam bentuk "tanda-tanda" atau simbol-simbol. Tak salah, kalau kemudian meneguhkan pola hidup eksklusif keberagamaan dari sebagian umat Islam sebagai akibat moderniasasi --di mana bentuk individualisme menjadi satu hal yang tidak dapat dimungkiri.
Kedua, model pembelajaran Islam lewat media digital dan seluler itu setidaknya telah menjadi alternatif, meski tak lantas membuat umat jauh dari majelis taklim atau tempat pengajian. Sebab cara belajar klasik mendatangi kiai atau ustadz, tidak dinafikan menjadi "pembelajaran" yang paling efektif. Sebab, belajar agama tidak dapat ditempuh dalam hitungan hari, melainkan sejak lahir sampai meninggal. Jika demikian yang terjadi, maka pembelajaran agama (baca: Islam) dalam bentuk seperti itu akan melahirkan insan muslim yang bisa diibaratkan pemetik buah dari pohon agama dengan jalan pintas.
Diakui atau tidak, bahwa layanan agama atau informasi ruhani itu memang dapat menjangkau kalangan tertentu yang semula tidak mengenal Islam atau belum paham Islam secara mendalam. Dengan demikian, tentunya fasilitas dan kemudahan itu bisa menjadi pintu masuk seseorang untuk merengkuh Islam secara kaffah, tentunya setelah melalui rentang waktu yang lama dan panjang. Kalau itu yang dimaksud, maka dampak Islamisasi seluler (digital) adalah sesuatu terobasan yang tidak bisa ditolak apalagi dikecam!
*) N. Mursidi, alumnus Aqidah-Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar