Senin, 14 Maret 2011

Mursidi, Loper Koran yang 'Terjebak' di Dunia Menulis

tulisan ini dimuat di tnol.co.id Minggu, 13 Maret 2011
oleh: Safari Sidakaton

Nama Nur Mursidi (36 tahun) mungkin sudah tidak asing lagi bagi Anda yang gemar membaca resensi buku di berbagai media nasional. Hampir sebelas tahun lelaki kelahiran Rembang, 30 Maret 1975 ini kerap menulis resensi buku dalam berbagai tema yang dimuat di media nasional. Seperti, Kompas, The Jakarta Post, Majalah Tempo, Koran Tempo, Majalah Gatra, Media Indonesia, Republika, Seputar Indonesia dan masih banyak yang lain.

Padahal, sebelumnya lelaki yang akrab disapa Mursid ini adalah seorang penjual koran alias loper koran di sekitar Terminal Umbulharjo Yogyakarta. Mursid mulai terpacu untuk membaca ketika mendapati tukang becak yang membeli korannya membaca berita koran dengan tekun. Ditambah saat membaca ada mahasiswa yang tulisannya berhasil dimuat di Kedaulatan Rakyat dan Harian Bernas Hasrat.

“Setiap membaca tulisan-tulisan penulis yang masih berstatus mahasiswa, otak saya serasa mendidih. Ada sekelebat mimpi di dada untuk bisa menulis dan menorehkan nama saya di koran. Dalam hati, saya berjanji suatu saat nanti harus bisa menulis di koran.

“Sejak itu aku pun mulai rajin membaca koran dan mempelajari tulisan yang dimuat di koran secara otodidak,” kenang Mursid yang saat itu tercatat sebagai Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Akidah ini.

Mursid mulai belajar menulis pada malam hari dan mengirimkannya ke sejumlah koran . Tapi, jalan yang dilalui tidaklah mulus karena semua tulisannya ditolak oleh redaktur media tersebut. Namun, hal tersebut tidak membuatnya patah arang. Dengan usaha keras, ditunjang kesabaran dan mental yang kuat ia tetap mengirimkan tulisannya ke berbagai media.

Setelah berjuang dengan keras, satu persatu, tulisannya dimuat di koran lokal hingga kemudian menembus koran nasional. Karena kepiawainnya menulis berbagai resensi buku, putra Abdul Mu’id dan Masmi’ah ini kerap menjadi pembicara dalam diskusi seputar dunia kepenulisan. Dan, TNOL berkesempatan menemui lelaki berpenampilan sederhana dengan rambut ikal agak gondrong ini saat menjadi pembicara dalam diskusi di ajang Islamic Book Fair Senayan Jakarta.

Usai menjadi pembicara ia menuturkan kepada TNOL, menulis resensi buku adalah langkah untuk mengikat makna agar buku yang pernah dibaca itu tidak lupa. Tapi, kalau lupa maka tidak lagi perlu membaca buku itu dari awal hingga akhir melainkan tinggal membaca resensi yang telah ditulis

“Karena itu, agar makna atau pemahaman kita atas sebuah buku itu tetap teringat dan terjaga, setelah membaca sebuah buku selayaknya menulis resensi (atau minimal membuat sinopsis). Itu langkah yang baik,” kata lelaki ini memberi alasan.

Menurut Mursidi, yang juga berprofesi sebagai wartawan di majalah Hidayah ini mengatakan, modal utama dalam meresensi buku adalah paham (berusaha mendekati maksud yang dikehendaki penulis buku) tentang “sebuah buku yang hendak diresensi”. Jika modal utama itu sudah digenggaman otak, maka menulis resensi tidak lagi sesuatu yang sulit. Karena hal-hal yang lain, seperti teknik menulis resensi, memilih jenis buku, dan unsur-unsur yang harus dikuasai dalam menulis resensi bisa mengikuti.

Lebih lanjut Mursid mengatakan, bagi yang tidak mempunyai uang untuk membeli buku juga bukan berarti jalan untuk bisa meresensi buku kemudian tertutup rapat-rapat. Karena saat awal-awal menulis resensi buku, ia juga kerap meminjam buku dari teman jika memang tidak punya uang untuk beli buku.

“Setelah saya intens menulis resensi buku dan mulai kenal akrab dengan bagian promosi beberapa penerbit buku, saya tidak segan meminta buku untuk dikirimi. Apalagi sebagian besar penerbit juga menganjurkan kepada saya untuk memintanya jika ada buku yang saya kehendaki,” jelas lelaki yang pernah kuliah di Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa dan Akademi Teater dan Film Indonesia ini.

Penerbit tidak akan keberatan mengirim bukunya mengingat permintaan buku oleh peresensi bisa dikata sebanding lurus dengan promosi sebuah buku. Di sini, ada timbal balik antara penerbit dan peresensi.

Menulis resensi buku, sambung Mursid, mudah atau susah itu tergantung dari kemauan atau ketekunan seseorang. Setiap ada kemauan, pastilah ada jalan. Jadi kalau ingin menulis resensi buku dan serius maka menulis resensi itu akan jadi mudah. Tapi sebaliknya, bagi orang yang malas dan mudah menyerah bahkan tak mau belajar maka menulis resensi buku itu akan menjadi sesuatu yang sulit.

Kunci utama
Untuk bisa maksimal meresensi buku, kunci utama adalah memahami isi buku. Karena itu, dibutuhkan pembacaan yang detail (menyeluruh) agar nanti dapat meresensi dengan bagus. Bisa saja, membaca buku dengan cara membaca sekilas, tapi hasil resensinya tidak akan bisa maksimal. Ada “celah dan lubang” yang tidak bisa diungkap karena membaca buku yang diresensi dengan tidak detail.

Ada beberapa unsur dalam meresensi, pertama, judul buku. Dalam membuat judul, usahakan yang menarik dan mewakili isi tulisan resensi. Kedua, data buku; meliputi judul buku, penulis, penerbit, tahun terbit, cetakan, tebal buku dan harga buku. Ketiga, pengantar atau pembuka resensi.

Pembuka inilah yang cukup memiliki kekuatan muat, karena dengan pembuka yang memikat bisa dipastikan redaktur akan terpikat setidaknya untuk pertama kali membaca sebuah resensi. Keempat, mengungkap isi buku; lebih jauh lagi jika kemudian dijelaskan dengan mengikutkan “teori” yang bisa menjelaskan buku itu dengan analisis yang tajam.

Kelima, kritik peresensi atas buku itu (mengungkapkan kelebihan dan kekurangan buku, tema yang diangkat, teknis penulisan dan lain). Keenam, penutup; mengungkap kontektualitas buku dikaitkan dengan kondisi kekinian, untuk siapa buku itu ditulis dan bisa ditambah lain lagi ulasan khusus tentang buku tersebut secara spesifik.

Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan oleh peresensi agar resensi yang ditulis itu bisa dimuat. Pertama, adalah pilihan buku yang diresensi. Kedua, adalah siapa penulis buku itu. Karena penulis yang terkenal bisa dipastikan memiliki nilai muat yang tinggi. Ketiga adalah mengetahui kecenderungan (spesifikasi) keilmuan redaktur sebuah media yang bersangkutan.

“Kalau ketiga faktor tersebut diperhatikan, maka peresensi tidak akan mengalami kesusahan untuk menembus atau bisa dimuat di media. Memang, kedekatan peresensi dengan redaktur itu bisa sedikit banyak membantu, tetapi hal itu bukanlah segalanya,” jelasnya.

Ada banyak keuntungan dalam meresensi buku. Pertama bisa belajar (dari membaca semua jenis buku), mendapat honor, mendapat buku gratis (secara berkala), dan di belakang hari akan menemukan bahwa menulis – entah itu resensi buku atau menulis genre lain adalah sebuah pertarungan, pergulatan hidup dan sekaligus menemukan jati diri.

“Adapun satu kerugian dalam meresensi buku yang pada ujungnya menjadikan kecanduan. Saya seperti terjebak pada genangan lumpur dan anehnya saya susah meloloskan diri,” paparnya.

Kini, sudah sebelas tahun lebih Mursid menjadi penulis freelance di sejumlah koran lokal dan nasional: menulis resensi buku, opini, esai sastra, esai film dan cerita pendek. Tidak kurang ada sekitar 300 tulisan resensi yang sudah dimuat di koran lokal dan nasional.

“Semua prestasi itu seperti sebuah mimpi. Pasalnya, sejarah hidupku nyaris selalu diliputi rentetan kegagalan,” tandasnya.(Subhan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar