Minggu, 27 Juli 2008

kematian (Sejarah) novel (?)

esai ini dimuat di Seputar Indonesia, Minggu 27 Juli 08

Jauh-jauh hari, ketika film Ayat-ayat Cinta (AAC) sedang santer diberitakan akan diangkat --diadaptasi-- ke layar lebar, saya sudah memprediksi kalau kelak film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu pasti akan melampaui novelnya. Ternyata, dugaan saya itu tidak meleset. Setelah film AAC diluncurkan dan diputar di sejumlah gedung bioskop, apa yang saya ramalkan itu tidak salah. Tidak kurang empat juta penonton (dari segala umur), rela antre berdesak-desakan untuk sekedar menonton akting Fedi Nuril, Rianti Catwright, Saskia A. Mecca, Carissa Putri, dan Melanie Putria.



Padahal, novel Ayat-ayat Cinta besutan Habiburrahman El-Shirazy yang fenomenal itu, hanya mampu menembus penjualan sekitar 500.000 eksemplar (dalam rentang waktu tiga tahun). Jelas jumlah penonton film Ayat-ayat Cinta itu telah melibas jauh -delapan kali lipat. Tidak mustahil, tatkala Riri Reza sekarang ini sedang bekerja keras memproduksi novel bestseller Laskar Pelangi (besutan Andrea Hirata), saya pun berani bertaruh jika -kelak- film yang mengangkat kisah perjalanan hidup pengarang kelahiran Belitong itu pun akan melampaui (jumlah pembaca) novelnya.

Fenomena itu seakan mempertegas kematian sejarah novel di era budaya visual sekarang ini. Pasalnya, kesuksesan film AAC dalam menjaring jumlah penonton, tidak semata-mata mengukuhkan akan rendahnya tingkat baca masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, dapat dibaca sebagai sebuah pertanda kematian (sejarah) novel.

Kemenangan Budaya Visual
Kematian (sejarah) novel, tidak lain karena dunia sekarang ini telah mengalami pergeseran (masa transisi); dari dominasi fantasi, atau imajinasi ke konsumsi gambar instan (dunia visual). Pada masa transisi ini, sebagaimana diungkapkan John Naisbitt, dunia tulis Gutenberg atau sejarah tulisan yang dikenal sejak 6.000 tahun yang lalu telah direbut paksa faktor visual, mulai dari seni, arsitektur, fesyen hingga desain.

Sebelum kehadiran zaman film, TV, video, dunia memang dikuasai oleh narasi literal. Tidak salah, Aristoteles dalam Poetics pernah berujar, "Hal yang terhebat di dunia ini, adalah menjadi penguasa metafora." Apa yang dikatakan Aristoteles itu, memang tidak salah. Pasalnya, waktu itu dunia dikuasai oleh penguasa motafora. Tak mustahil, pada zaman itu, penulis cerita, dan penyair dihormati.

Tetapi, masa kejayaan metafora itu sekarang telah memudar. Peradaban dunia imajinasi kini telah dikalahkan gambar langsung film, TV, video, dan DVD yang telah merebut dan bahkan mengganti kekuasaan cerita (cerpen, puisi dan novel). Maka, kini yang menjadi penguasa budaya (dunia) tidak lagi penguasa metafora (sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles), melainkan sang penguasa visual yang diperankan oleh artis.

Fenomena akan kemenangan kekuasaan visual di dunia inilah, yang kemudian menjadikan artis seperti Fedi Nuril, Rianti Catwright, Saskia Mecca, bahkan Carissa Putri lebih dikenal oleh orang daripada Kang Abik --panggilan akrab pengarang Ayat-ayat Cinta-- bahkan sutradara film tersebut; Hanung Bramantyo. Kemenangan dari dunia visual itu dalam kasus yang lebih akrab bisa diamati dari tayangan acara infotainment.

Fakta "peralihan" dari dunia narasi literal yang sekarang diambil alih oleh narasi visual ini pun semakin mempertegas akan kematian sejarah Novel. Logis, kalau Sir Vidia Naipaul, pemenang hadiah Nobel 2001 dalam bidang kesusastraan pernah berucap lantang, "Saya tidak yakin, novel akan dapat bertahan; hidupnya hampir berakhir." Ironisnya, dia bahkan menegaskan novel sudah "sekarat" --setidaknya-- selama satu abad.

Memang tidak hanya Sir Vidia Naipaul yang mengklaim novel telah sekarat. Tetapi Vadarajan (redaktur fitur editor Wall Street Journal Europe-- ternyata tidak "menelan" mentah-mentah ucapan Naipaul itu. Pasalnya, ia justru menaruh curiga pada Naipaul bahwa "dibalik" ucapan itu, Naipaul bisa jadi justru sesumbar; ingin menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada --pengarang-- yang menulis novel sebaik dirinya.

Terlepas, apakah kecurigaan Vadarajan itu benar atau salah, yang jelas dunia sekarang ini telah diambil alih budaya visual. Imajinasi, sebagai kekuatan novel telah dilibas dominasi gambar visual dan novel pun berada di ambang kematian. Memang, novel yang sejatinya adalah ranah fantasi dan imajinasi, tidak mati. Tapi, tak dapat dimungkiri, sejarah novel sekarang ini telah mengalami pendarahan yang cukup parah.

Ketika dunia diambil alih budaya visual, penjualan novel di Indonesia yang mampu menembus penjualan 3.000 eksemplar lebih, jelas dianggap melegakan. Untuk sukses yang diraih Habiburrahman (Ayat-ayat Cinta) dan Andrea Hirata (Laskar Pelangi) jelas sebuah perkecualian. Kendati demikian, ketika diangkat ke layar lebar, toh visualisasi gambar melibas jumlah pembaca novel.

Geliat Novel Grafis
Pada saat novel konvensional mengalami pendarahan yang cukup parah justru novel bergambar (novel grafis) menunjukkan geliat yang bertolak belakang. Jika novel konvensional di era sekarang ini sedang sekarat, anehnya novel grafis semakin menggeliat dan mendapatkan tempat yang istimewa. Dua tahun terakhir, skala penjualan novel grafis rupanya semakin menunjukkan pertumbuhan. Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan juga di seluruh dunia. Di negara Inggris tidak sedikit penerbit yang memperluas koleksi novel grafis untuk diterbitkan.

Seiring dengan pertumbuhan novel grafis itu, belakangan juga sedang tren sebuah film yang diangkat dari novel grafis. Jika dulu kisah heroik yang diangkat dari komik, bisa disebut seperti Supermen, Batman, X-Men, kini pun mulai dikenal; From Hell, The League of Extraordinary Gebtlemen dan V for Vendetta.

Fenomena apakah yang dapat dibaca dibalik geliat pertumbuhan novel grafis, di saat novel konvensional justru mengalami sekarat? Setidaknya, ada dua hal yang menjadikan novel grafis bisa bersinar terang pada era budaya visual. Pertama, novel grafis tak semata-mata sebuah cerita yang lahir dengan mengandalkan narasi literal. Lebih dari itu, berusaha menjembatani kekuatan teks dan image untuk berkesinambungan. Karena itu, novel grafis tak ikut sekarat.

Kedua, dalam novel grafis, kehadiran teks --sekali pun ada-- tidak lebih sebagai "sarana" untuk menjelaskan sebuah gambar (image). Kekuatan teks --sebenarnya-- bukan lagi suatu keharusan, karena sudah ada unsur motion yang dapat dianggap sebagai "jati diri" kekuatan novel grafis. Pada konteks ini, adanya ungkapan sebuah gambar bisa mewakili seribu kata seakan mempertegas kehadiran teks dalam novel grafis hanya sebagai pelengkap belaka. Karena itu, Claude Beylie dan F. Laccasin memasukkan komik (sekarang dikenal novel grafis) sebagai bagian dari seni; seni kesembilan.

Jadi keberadaan novel grafis tidak bisa disamakan dengan novel konvensional. Karena novel konvensional kini sedang sekarat. Kelak pemutaran film Laskah Pelangi setidaknya akan mempertegas kematian dari (sejarah) novel.***

*) N. Mursidi, cerpenis dan esais, tinggal di Ciputat, Tangerang

2 komentar:

  1. Ini tho, blogger yang menang di lomba blog pestabukujakarta.

    Selamat ya...

    Layak menang! :)

    BalasHapus
  2. terima kasih kunjungannya. tapi yang memang bukan blog potlot ini, melainkan blog etalasebuku.... salam buku, dan sukses untuk cicero

    BalasHapus