Minggu, 01 Juni 2008

lelaki kayu

cerita ini dimuat di Jurnal Nasional Minggu 1 Juni 2008

/1/
SAAT pertama kali aku bertemu dengan lelaki itu aku seakan-akan basah kuyup diguyur hujan. Aku merasakan ruangan seketika dingin. Padahal kala itu, aku sedang berada di ruang konferensi pers Mahkamah Konstitusi. Tapi, tubuhku tiba-tiba berkeringat. Punggungku basah. Dan, badanku disergap gigil. Aku kedinginan.



Sorot mata lelaki itu tajam. Sesekali melirik ke arahku, mencuri-curi pandang. Aku sempat melihatnya ketika ia mendongakkan kepala, lantas saat dia kembali melirikku, mata kami sempat bertemu. Kami hanya saling pandang, dalam diam. Ia membisu, serupa kayu dan tubuhnya kaku seolah-olah habis keluar dari kulkas. Dan, lantaran tubuh kakunya itulah kelak aku menamainya lelaki kayu.

Lama kami bersitatap pandang. Tetapi satu hal yang masih kuingat dari sorot matanya; ia seolah-olah menghakimiku dengan kutukan hujan.

Mataku lebam seperti diterjang badai. Tak kuat menahan pedih di sudut mataku, aku merunduk. Sisa keringat masih membasahi pakaianku kala konferensi pers selesai dan tidak kusangka, ia sudah berdiri di depanku. Ia mengerdipkan mata, entah untuk apa. Aku serasa menangkap sebuah isyarat, ia mau mengajakku berkenalan. Kami kemudian bercakap-cakap sejenak.

Ketika akhirnya kami berpisah, ia melenggang pergi meninggalkan desah seperti bunyi genta yang kelak ternyata menggetarkan jantungku.
***

/2/
LAMA kami tak pernah bertemu lagi. Ia menghilang seperti sebuah musim yang hanya akan datang jika waktunya tiba. Aku pun tidak ingat lagi pertemuan menyedihkan itu hingga dua bulan kemudian kami bertemu kembali di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Terik mentari masih meninggalkan sisa panas di kaca, tatkala aku tengah memandangi sorot kamera usai tampil live memberitakan soal kondisi kritis mantan presiden di negeri ini, dan sepasang mataku menangkap sekelebat sosoknya berdiri dari kerumunan wartawan asing.

Ia menyibak lalu lalang orang, dan kemunculannya itu sempat membuatku terkejut. Di tengah kerumunan, sepasang matanya itu serupa petir. Tak sepatah kata pun yang ia ucapkan saat ia menyodorkan secarik kertas kosong.

Aku menatap matanya. Ia masih diam, mematung serupa arca. "Kamu hanya membuatku bingung!" ucapku.

"Tulis aja alamat emailmu dan nomor hp-mu, setelah itu aku akan pergi agar kau tak lagi bingung! Gampang, kan?" pintanya setengah memaksa.

Gemetaran, aku menulis email dan nomor hp-ku di secarik kertas kosong yang disodorkan. Tatapan matanya mengambang dan dia hanya mengucapkan sepatah kata pendek yang tidak puitis --sebagai tanda terima kasih. Lalu, lelaki kayu itu pergi dengan meninggalkan aroma parfum --yang kelak ternyata menggetarkan degup jantungku.

Aku hanya menatap diam ketika ia berjalan di tengah kerumunan, tetapi sebelum ia menghilang, aku tiba-tiba ingin meminta nomor ponselnya. "Jack..," teriakku membuatnya menoleh bersamaan dengan orang di sekitarnya. "Miss call aku, dong...!"

Ia berhenti, menarik napas panjang dan kemudian memasukkan nomor yang tertera di atas kertas. Tidak lama kemudian, hp-ku bergetar. Tampak sederatan nomor baru di layar ponselku, yang membuatku kembali basah kuyup seperti saat pertama kali bertemu dengan lelaki itu.
***

/3/
MALAM belum berumur renta, saat aku menarik selimut untuk tidur lebih awal. Maklum, besok pagi buta aku harus kembali dihajar liputan. Tapi tatkala aku mematikan lampu kamar, tiba-tiba ponselku menyalak. Kuraih hpku dari meja dan aku bergidik ketika membaca di layar hp tertera sepenggal nama berinisial lelaki kayu. Entah ada dorongan apa, malam itu aku mau menerima telponnya.

"Hallo...!" jawabku.

"Angga, bisakah kamu meliput peristiwa kebakaran di dekat rumah susun tempat hunianku? Aku kini ada di balik jendela, lagi melihat kobaran api yang menyala dan bising orang-orang bergegas berlarian karena ditikam rasa takut!" mintanya, dengan bibir bergetar.

"Wah, aku tak lagi tugas! Tapi, aku bisa minta reporter lain untuk ke lokasi!"

"Cepet ya, mumpung belum ada satu wartawan pun di tempat kejadian!"

Hening. Sunyi. Denging suara di seberang, tak lagi kudengar. Rupanya, ia telah mematikan ponselnya, sebelum aku menyambung alasan tidak ada jaminan pasti yang bisa kujanjikan. Tetapi, desah napasnya masih terasa dalam ponsel genggamku. Aku dapat membayangkan bibirnya bergetar, seperti kunang-kunang di malam hari yang muncul dari balik kegelapan, tatkala dia melihat kobaran api itu membakar malam.
***

/4/
SETELAH kebakaran itu, ia kerap menelponku. Tapi, ia kerap menelponku tidak pada waktu yang tepat. Ia menelponku tatkala aku dihajar sibuk lantaran dikerjar deadline. Aku merasa iba saat menatap getar hp-ku tergeletak sia-sia dan membayangkan dia mengejang-ngejang ditikam kecewa. Tapi apa yang bisa aku perbuat?

Aku pikir, dia akan membuatku tak lagi dapat konsentrasi bekerja. Aku merasakan, dia serupa hantu yang tiba-tiba ada untuk mengejutkanku. Tiba-tiba menelpon mengangetkan malam-malamku yang harus istirahat selepas dihajar oleh penat di lapangan lantas lembur di sebuah kantor stasiun televisi swasta. Aku seringkali tak menjawab telponnya.

Hingga suatu hari, dia mengejutkanku, tiba-tiba berdiri di hadapanku.

"Kau memberi nomor hp-mu hanya sekadar membuatku kecewa. Berulangkali aku menelponmu, tetapi kau membiarkanku! Apa aku perlu menghapus nomor-mu, di depanmu kalau itu yang kau minta agar kau tahu aku tak lagi mengenalmu?"

Aku diam, hanya menatap matanya. Lelaki kayu itu, entah kenapa, mampu membuatku tercekat. Mata lelaki kayu itu, seperti hamparan laut yang dipenuhi warna biru. Setiap kali aku menatapnya lekat-lekat, aku seperti melihat warna kesenduan dalam matanya. Mata yang terlalu gelisah, untuk seorang lelaki yang dihajar oleh resah. Tapi sorot mata itulah yang mungkin membuatku kasihan.

"Kenapa harus kau hapus? Nanti malam kau bisa menelponku jam sepuluh! Kujamin pasti akan kujawab!"

Ia memandangku, seakan tidak percaya. Aku melihat kejengahan di sudut matanya. Warna biru laut, membentang dalam gulungan ombak yang meneduhkan dan seketika itu aku merasakan kemurungan yang aneh, saat ia pergi meninggalkanku dengan diiringi suara genta yang sarat dengan kenangan ganjil. Dan, aku tidak tahu, apakah aku mencintainya atau sekadar merasa kasihan?
***

/5/
MALAM, seperti gelisah. Aku murung dalam kamar. Saat hendak meringkuk di balik selimut tebal dan memejamkan mata, lelaki itu menelponku --tepat jam sepuluh malam.

"Aku pikir, kamu tak akan mengangkat teleponku!" bentaknya, membuatku gelagapan. Tetapi dapat kuasakan getaran bibirnya yang cemas, di balik lembut suaranya yang nyaris marah.

"Kenapa mas masih tak percaya janjiku? Mungkin, karena mas belum lama mengenalku sehingga ragu kalau-kalau aku tak mengangkat telpon?"

"Angga..., sudah enam bulan aku kenal kamu. Meski aku kerap mendengar cerita-cerita miring tentang kamu yang katanya sombong, jutek dan angkuh, aku tetap percaya kalau kau itu perempuan baik. Karena itulah, aku mau mengenalmu lebih dekat. Aku ingin mengajarimu membawakan berita yang renyah agar kau tak terlihat seperti arca dalam kotak televisi."

"Rupanya, mas sering juga melihatku live!"

"Tak pernah kutinggalkan, Angga! Aku tak ingin wajahmu harus melintas sia-sia. Maski aku dikejar deadline, aku sempatkan melihatmu! Kamu tahu ngak, apa yang ingin aku katakan padamu?"

Aku hanya diam, tak ingin menerima kutukannya!

"Kau itu terlalu tegang..."

"Aku terlalu sibuk mas..., jadi kurang rileks!"

"Makanya, luangkan waktu untuk minum kopi atau teh ke kafe. Kapan kau ada waktu? Aku tak keberatan jika harus menemanimu..."

"Aku cuma ada waktu hari minggu, mas! Itu pun kalau ibu tak memintaku untuk pulang ke Cileungsi!"

"Apa susahnya ngopi sebentar, habis itu aku nanti mengantarmu pulang. Hitung-hitung, kau mengenalkanku pada ibumu! Coba, bayangkan jika kau pulang lalu ibumu bertanya, kenapa kamu tidak pernah mengenalkan calonmu kepada ibu? Kamu ini sudah berumur 26 tahun dan sudah pantas jika ibumu bertanya begitu!"

Aku tak menjawab. Dalam hati, aku tersipu. Tidak pernah kuduga, kalau lelaki kayu dapat merayuku. Aku bahkan nyaris tak percaya saat ia melanjutkan merayuku, "Berapa sih maharmu biar sejak sekarang aku mulai mengumpulkan uang untuk menabung!"

Deg! Jantungku, berdegup kencang. Rayuannya itu, memang bukan sesuatu yang mencengangkan. Tapi aku tetap saja merasakan suatu kemurungan yang makin membentang, seperti laut biru yang bergulung-gulung, kala diterjang gelombang air pasang.

Dan malam itu, setelah kami bercengkrama hampir dua jam, aku tak bisa tidur nyenyak.
***

/6/
BARANGKALI, benar apa yang kamu katakan. Aku sudah direnggut usia tua dan sudah selayaknya cepat-cepat menikah. Usiaku 26 tahun dan aku setiap hari tampil di televisi -untuk melaporkan liputan berita. Aku tak ingin ada lelaki kecewa setelah kenal denganku. Padahal aku gampang jatuh cinta pada laki-laki yang belum lama kukenal. Sementara itu aku sudah mengenal lama seorang lelaki yang baik dan lebih dewasa darimu. Ia sering menjemputku sepulang bekerja. Ia juga akrab dengan keluargaku.

Jadi, maafkan aku jika aku telah membuatmu kecewa!
***

/7/
"PERNAHKAH mas berpikir, bahwa jatuh cinta itu kelak menjadi kenangan yang menjengkelkan? Maka sampai sekarang aku hanya diam, kala kedua orantuaku menanyakan pernikahanku. Kadang, aku menganggap perkenalanku denganmu itu tak lebih cinta ganjil yang menggelisahkan," jelasku melalui telpon, tatkala kamu memintaku untuk jujur. "Jadi.. maafkan aku mas, kalau ternyata aku tidak bisa memenuhi janjiku minum kopi bersamamu hari minggu kemarin."

"Kenapa kau tak bisa pergi bersamaku?" tanyamu meminta sebuah alasan.

"Aku tak ingin mengecewakanmu, mas! Lantaran aku sudah memilih lelaki yang lebih dulu mengumpulkan uang untuk maharku. Maafkan, aku mas!"

Aku menutup telpon. Aku tidak tega, merasakan penderitaanku mendengar suaramu yang mengingatkanku akan sebuah kutukan, saat pertama kali melihatmu! Dan malam itu, aku melihat hamparan langit berwarna gelap. Juga, menyeruakkan suara petir dan disusul hujan yang sebentar. Ketika itu, aku bayangkan matamu mendung. Sepasang mata yang tiba-tiba menjadi murung, dan sedih untuk seorang lelaki -yang dulu kukenal pernah membuatku basah kuyup diguyur hujan. Seorang lelaki yang kemudian aku panggil dengan sebutan lelaki kayu.

Tapi sampai kapanpun, mendung di sudut matamu itulah yang akan selalu mengingatkanku padamu. Sepasang mata yang telah mengutukku untuk jatuh cinta, dan aku harus dihajar derita, karena mengingatmu tidak lebih seperti kenangan ganjil.***

Kado pernikahan buat Zaki AM
Ciputat, 30 Maret 08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar