Senin, 10 Desember 2007

Tiga Kisah Cinta

(Cerpen ini dimuat di Suara Pembaruan, Minggu 19 Maret 2006)

/1/.
LELAKI itu pulang pada saat malam sudah menjelang pagi. Ia berjalan dengan langkah semponyongan. Bau alkohol yang menyeruak dari mulutnya kian bergumul dengan aroma busuk air comberan yang mampet di sebelah kiri gang sempit ke arah pondokannya. Tetapi, kedua kakinya masih bisa meniti jalan di gang sempit itu tanpa mengalami kesalahan. Tidak sampai kakinya menginjak mulut got, lalu ia terpeleset dan tercebur. Meski kerapkali, ia harus jeda sejenak dan menyandarkan tubuh pada tembok di sepanjang lorong yang penuh dengan corat-coret. Mural.



Gang kecil ke arah kostnya itu memang cukup panjang untuk dilewati. Kalau saja, ia tak sedang mabuk, mungkin ia bisa secepat kilat berlari dan dalam hitungan detik pastilah sudah sampai di depan pintu kost. Lalu membuka pintu dengan gegas dan merebahkan tubuhnya di atas springbed setelah menutup pintu. Ia akan terlentang dan sebentar kemudian -seperti biasanya- pastilah sudah tertidur lelap. Mendengkur.

Tapi, kali ini ia sedang mabuk. Ia tidak bisa berlari secepat kancil seperti pada saat pulang menjelang pagi dengan rasa takut yang menyanyat di ubun-ubun, karena di gang ke arah kostnya itu dikenal penduduk cukup angker. Ya, ini adalah pengalaman pertama lelaki itu mabuk, juga pengalaman pertama masuk hotel dengan seorang pelacur. Tapi kali ini ia sungguh sial. Ia harus mengulum ludah pahit, lalu dengan geram; mengutuk dan kutukan itu untuk seumur hidupnya.

Sebab ia tidak pernah membayangkan akan bertemu Winaty, yang pernah jadi kekasih pertamanya di sebuah hotel pada malam keparat itu. Bahkan, dia sudah terlanjur memesan perempuan itu jauh-jauh hari serta membayangkan akan yang indah-indah. Tapi bayangan itu malah berbalik duka. Ia masih ingat kala pintu hotel terbuka dan sesosok perempuan cantik muncul bersamaan derit pintu yang terkuak perlahan. Sungguh, betapa terkejut saat ia menatap pelacur yang ditunggu hampir setengah jam itu, ternyata telah ia kenal.

Ia hanya diam, matanya nanar memeloti sesosok wajah yang tak pernah ia lupakan itu. Sebaliknya, Winaty hampir saja menjerit. Tetapi, terlanjur sudah basah tak membuat mulut Winaty memekik. Ia mundur dua langkah sebelum akhirnya tenang kembali. Tapi keduanya masih saling bersitap. Tidak ada yang diucapkan kedua manusia itu, kecuali rasa saling tidak percaya yang bercokol di batok kepala masing-masing. Hingga sesaat kemudian Winaty berucap, "Kenapa jika hanya untuk hal seperti ini kau dulu tak mau, saat aku mengajakmu bahkan aku sudah pasrah. Anehnya, kini kau malah menginginkan aku dengan cara membayar."

Seperti disambar petir, kata-kata perempuan itu tidak saja membuatnya tak berkutik, tapi hasratnya kemudian punah seketika. Wajahnya, merah padam. Ia, merasa malu. Juga, dilecehkan. Karenanya, tanpa perlu berpikir panjang jika sekedar memberi alasan pada rasa runyam di dadanya, ia langsung melesak pergi. Membanting pintu dan mengumpat.

Untung saja, di depan hotel ada taksi yang mangkal. Disuruhnya sopir taksi cepat-cepat meninggalkan tempat terkutuk itu melesak ke diskotik. Saat masuk ruangan penuh asap dan alunan musik ingar-bingar, ia sigap menceburkan diri. Memesan vodka. Minum dengan bibir bergetar sebab sebelumnya dia tak pernah menyeruak alkohol. Satu gelas tandas, belum membuatnya hilang ingatan. Dua gelas masuk tenggorokan, mengubah matanya memerah. Samar. Kabur. Ruangan gelap setelah gelas ketiga ludes lewat bibir mungilnya dengan selingan asap rokok yang menohok jantung.

Sempat ia terkatup di sebuah kursi dalam pening yang sungguh runyam. Sepanjang malam itu ia ingin menghabiskan waktu seperti merenda esok untuk tak cepat berlalu. Sedikit banyak, itu membuatnya tidak lagi terluka, lupa tentang kenangan indah di masa lalu. Untuk membuang jauh-jauh ingatannya, ia pada malam itu hanya bisa menebusnya dengan mabuk. Saat menjelang pagi, dia dibangunkan seseorang pelayan kalau diskotik mau tutup dan membuatnya harus beranjak pulang.

Lelaki itu masih berjalan sempoyongan dan tinggal beberapa langkah lagi ia sampai di pondokannya. Tetapi, langkah kakinya seperti terasa berat diajak menapaki jalan. Apalagi, tubuhnya dirasai bergoyang tak seimbang. Ya, ia melihat semua tak ubahnya sebuah bayang-bayang. Hanya cahaya kerlip lampu yang menyala redup di teras pondokan yang membuatnya lega. Sebab, dengan itu ia akan sampai di pondokannya.


/2/.
BERDIRI di depan pintu dengan kepala terasa pening, tidak membuatnya lama-lama mematung. Setelah mengeluarkan kunci dari saku, lalu membuka pintu dan terdengar suara derit yang menyanyat ia langsung melesak ke dalam. Tapi, sebelum menutup pintu, di atas lantai ditemui undangan pernikahan berwarna cokelat tua dengan gambar bunga di kanan-kiri. Tanpa repot membukanya apalagi membacanya, ia sebenarnya sudah tahu dari siapa surat undangan itu.

Meski demikian, ia tetap memungutnya. Seperti memungut puntung rokok yang jatuh di lantai, ada rasa kesal yang tersisa di dada untuk dikutuk. Tak salah jika sesaat kemudian ia melempar undangan ke atas meja. Kecewa. Kesal. Lalu, membanting tubuh di atas kasur. Tetapi, matanya masih terus berkunang, tak bisa terpejam.

Undangan yang baru diterima kian membuatnya tersayat. Juga, sungguh membuatnya sulit tidur. Meski ia jauh hari sudah mendengar kabar pernikahan perempuan bernama Elisa, mantan kekasih keduanya, tapi pernikahan itu lebih dirasakan sebagai tamparan. Sebab apa yang dibayangkan setahun lalu sebelum ia memutuskan hubungan, kini dirasakan lain; ada yang hilang. Meski ia dulu sudah meyakin-yakinkan dirinya bahwa lebih baik putus daripada hubungan itu diteruskan, karena tidak ada lagi kecocokan, entah kenapa, kini dia seperti hilang ingatan.

Kepala lelaki itu masih pening, tetapi tiba-tiba ingatannya mencuat untuk mengenang saat pertemuan terakhir di sebuah stasiun tua sebelum kedua kekasih itu berpisah. Ia tidak saja masih ingat akan sedu-sedan Elisa, yang membuat hampir seluruh penumpang yang menunggu kereta harus menoleh, tetapi derai tangis di kelopak mata perempuan itu masih terkenang di sapu tangannya yang hingga kini masih disimpan rapi di almari kayu. Sebuah sapu tangan yang meninggalkan rasa sedih yang tak perlu dikenang. Tak perlu dikisahkan pada siapa pun.

"Aku akan pergi!"

"Kau sungguh egois. Juga, lebih mencintai dirimu sendiri."

"Maafkanlah! Aku kira kau bisa mencari lelaki lain yang lebih dari aku!"

"Tak perlu minta maaf. Bukankah itu sudah menjadi keputusanmu?" ucap Elisa untuk terakhir kali, sebelum kereta berangkat membawanya pergi untuk meninggalkan kota kenangan.

Air mata yang mengalir di pipi perempuan itu tak membuatnya batal berangkat. Ia sebenarnya tak tega pergi, tapi kepergiannya juga tidak butuh alasan yang perlu dikemukakan. Ia pergi sebab kepergian itu tidak membutuhkan sebuah tujuan yang harus dituju dan ia hanya pergi karena ingin pergi. Itu saja, meski ia tahu tak akan mendapatkan apa yang ia cari.

Saat lelaki itu tidak lagi bisa berkata lebih dari sebuah kesedihan yang harus ditanggungnya, peluit kereta keburu berkoar dan kereta berangkat. Ia telah pergi dan pertemuan itu mengakhiri kisah manis yang dijalani hampir dua tahun. Hingga setahun berlalu, ia mendengar kabar itu. Kabar yang sempat membuatnya lega, karena berarti tak ada alasan baginya untuk bersedih lagi. Waktu itu, ia malah berdoa, "Semoga Elisa bahagia dengan pernikahan itu!"

Tetapi, entah kenapa, kini ia merasa kehilangan. Kini, undangan itu sudah ia terima. Benar, pernikahan itu tidak bohong. Hanya saja, ia tak bisa membuang kenangan bersama Elisa, perempuan baik yang pernah banyak membantu kuliahnya, terutama soal biaya hidup selama keduanya menjalin kisah asmara dan ia kerapkali ditraktir. Sebab, Elisa adalah putri seorang petani cengkeh yang kaya di sebuah kota kecil. Kini, ia semakin linglung saja. Ia tak bisa membuang kenangan itu seperti membakar kertas dengan melumatkan pada api.

Ingin, ia menambah rasa pening dengan menenggak vodka biar segalanya tuntas dan ludes dalam ketidaksadaran. Tapi ia tak punya persediaan vodka di kamar dan pengalaman pertama mabuk kali ini telah membuatnya jauh tersiksa. Ia sungguh tak bisa tidur. Belum lagi rasa mual dan ingin muntah. Ia sungguh merasa tersiksa karena telah dihajar duka akibat kenangan di masa lalunya.


/3/.
MASIH belum bisa tidur, membuat lelaki itu kemudian melongo menatap langit-langit. Setelah lama, ia menggeleng bingung. Lalu, matanya tertumbuk tiga foto perempuan cantik yang tertempel apik di dinding kamar. Saat sorot matanya menatap perempuan bernama Ani Ayuningtiyas, kekasihnya yang ketiga, tak ada yang dipikirkan kecuali rasa sesal, bersalah dan berdosa. Ia merasa bukan lelaki kuat. Bahkan kini ia mulai digayuti penyesalan setelah ditikam pening akibat dari reaksi alkohol sudah mulai berkurang.

Matanya masih tertumbuk sosok perempuan cantik adik angkatan kuliah di sebuah kota yang kini dihuninya. Perempuan itu, sebelum jadi kekasihnya, dulunya suka ngobrol dan merokok di sebuah taman kota bersamanya. Saat itu, hari sudah sore. Lelaki itu masih ingat saat-saat mendebarkan sebelum kedua manusia itu jadi sepasang kekasih.

"Aku bisa meramalmu. Jika kau percaya, aku dapat mengatakannya saat ini juga!"

Ia, lelaki itu hanya diam.

"Kau tak percaya?"

Lelaki itu masih diam.

"Diammu itu tanda setuju! Kau jangan marah, ya, jika aku mengatakan sesuatu padamu!"

Lalaki itu masih tak mengucapkan sepatah katapun.

"Kamu itu," ucap perempuan itu dengan menyentil hidungnya, "ternyata tak bisa menggaet perempuan! Kamu pasti tak percaya? Tapi untungnya, kamu kenal denganku sehingga aku yang akan menggaetmu."

Lelaki itu masih mengingat kejadian di taman kota itu, sebab sebulan kemudian memang benar apa yang dikatakan perempuan itu kepadanya. Ia awalnya memang tidak mencintainya, tetapi setelah dalam waktu panjang dilewati dalam kebersamaan, akhirnya ia terpikat. Ada getar yang dirasai aneh saat keduanya kemudian menjalani kisah manis yang dilewati tanpa sepenuhnya ia tahu secara persis. Ia kemudian berkesimpulan kalau cinta itu tak saja aneh, melainkan juga tak masuk akal.

Hingga sesuatu kemudian terjadi dan ia tak bisa berbuat banyak sebab perempuan itu harus melewati masa skripsi dan akibat penelitian yang ditulis tak disetujui berulangkali oleh dosen pembimbingnya, perempuan itu mengalami depresi. Awalnya, ia masih bisa memberikan semangat, menanamkan keberanian, dan memberi bantuan semampunya. Namun, itu tak berlangsung lama.

Karena, pada akhirnya perempuan itu putus asa dan ia sama sekali tak mau ditemui. Sebulan kemudian, malah diketahui jika perempuan kekasihnya itu mondok di rumah sakit jiwa. Anehnya, keluarga perempuan itu tak mengizinkan ia untuk menjenguk. Malah ia diharapkan untuk tak mencampuri urusan keluarga dan lebih baik melupakan saja apa yang selama ini terjadi. Artinya, ia harus pergi dan melupakan perempuan itu selama-lamanya, meski ia dibuat limbung yang kemudian membawanya sakit jiwa sendiri. Lalu ia memberanikan diri untuk melacur dan malah membuatnya tanak oleh duka yang perih, karena mengingatkan pada ketiga kenangan akan tiga perempuan cantik yang pernah jadi kekasihnya.

Kini kepalanya dirasa tak lagi pening, tetapi rasa kantuk merengsak di kelopak matanya. Ia ingin tidur. Namun gelap pagi belum sirna, setidaknya dengan kemunculan mentari di ufuk timur, ia berharap ada setitik cahaya yang membuatnya bisa melihat sedikit keramaian di luar, meski dengan samar-samar, karena mabuk yang menderanya belum sepenuhnya sirna.

Ya, cahaya pagi itu belum merekas. Ia masih terkapar tak berdaya. Ia butuh sesaat lagi untuk bisa sadarkan diri.*

Yogyakarta, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar