Senin, 10 Desember 2007

buku berbau lendir dan moralitas penulis

Tanggapan utk Ahmad Fatoni

HARI itu, Sabtu 18 Juni 2005. Jakarta masih sesak dengan denging mobil dan kemacetan saat saya turun dari bus dan menginjakkan kaki persis di depan toko buku Gramedia, Matraman. Di akhir pekan seperti itu, saya biasa "melanglang buana" untuk melepas kejenuhan sejak lima bulan bekerja di Jakarta. Sebelum kuputuskan untuk masuk ke toko buku Gramedia, saya melangkahkan kaki ke kios koran. Kubuka Sinar Harapan terbitan hari itu, dan ketika membaca kolom budaya berjudul "Melirik Buku-Buku Berbasis Lendir" (Sabtu, 18/06/05) karya Ahmad Fatoni, seketika saya dibuat tercengang dan kaget.



Kekagetan saya itu semata-mata bukan karena tulisan Fatoni itu bagus dan mematik polemik, tetapi tak lebih dilatari dua hal. Pertama, tulisan Fatoni berjudul "Melirik Buku-Buku Berbasis Lendir" itu pernah dimuat Jawa Pos, Minggu 24/10/2004. Anehnya, dari segi isi maupun judul, tidak ada yang dirubah. Artinya, tulisan yang di Sinar Harapan itu ternyata sama persis dan tidak ada perbedaan sama sedikitpun dengan tulisan di Jawa Pos --yang dimuat hampir setahun lalu.

Kedua, setelah dimuat tulisan Ahmad Fatoni di Jawa Pos, seminggu kemudian saya menanggapi dan memberikan argumen kalau di balik seksualitas tetaplah ada nilai positif yang diambil pembaca dan kita tak semena-mena mengutuk buku semacam itu sebagai sampah semata. Saya tunggu-tunggu juga tanggapan balik Fatoni dan ternyata tak juga muncul sehingga saya berkesimpulan kalau tulisan itu sudah tidak lagi menjadi polemik.

Tetapi, kenapa setelah hampir satu tahun sejak dimuat di Jawa Pos itu, kini tulisan Ahmad Fatoni yang sama persis (judul dan isinya) masih dikirim (dimuat) lagi di Sinar Harapan?

Kritik di Level Permukaan
Tatkala saya membaca ulang tulisan Ahmad Fatoni, saya memang memahami betul "kegelisahan" yang dirasa Fatoni berkaitan dengan terbitnya buku esek-esek yang menjamur setelah era reformasi. Sebab tak sedikit buku berbau lendir membanjiri pasar dan pembaca juga memberi respon. Tak salah jika Fatoni geram dan mengutuk moralitas penulis. Karena itu, Ahamd fatoni dalam tulisannya itu kemudian menuduh para penulis buku berbau lendiri, antara lain; pertama, sudah ditikam kuatnya aroma kapitaslisme sehingga menulis tak lebih hanya tuntutan untuk mencari uang semata. Fatoni dalam tulisan itu menuduh Muhidin menulis seperti berak! Apalagi, tanpa tedeng aling-aling mencoba mengungkap seksualitas, pornografi dan detil tubuh agar laku di pasar.

Kedua, penulis sengaja memilih judul-judul untuk bukunya juga dengan bau lendir, dengan alasan yang sama setidaknya untuk menarik pembaca. Maka, kita bisa menjumpai judul buku semisal Wajah Sebuah Vagina, Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur, Selingkuh Itu Indah, Jangan Main-Main dengan Kelaminmu dan juga masih banyak lagi.

Tapi bagi saya, Fatoni cuma menyentuh level permukaan. Artinya, Fatoni hanya menyingkap judul dan tidak melihat isi detal buku. Sebab, buku-buku di atas jika dibandingkan dengan buku-buku dari karangan Ayu Utami, Djenar dan kawan-kawannya masih belum seberapa. Apalagi, Fatoni dalam tulisannya hanya menyoroti buku Muhidin dan Naning Pranoto yang bagi saya tak ada apa-apanya. Dua buku itu biasa dan sama sekali tidak menyinggung soal seks, esek-esek apalagi detail tubuh intim wanita.

Karena itu, bagi saya Fatoni hanya melancarkan kiritik dan geram di level permukaan.

Moralitas Penulis
Selain kegeraman seperti di atas, Fatoni juga menyingggung masalah moralitas penulis buku esek-esek. Sebab, baginya seorang penulis selain memiliki tanggung jawab moral juga dipaksa untuk memerikan pesan dalam sebuah tulisan yang digarap. Saya sepakat dengan hal ini, namun yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah.... Ia menilai Muhidin dan Naning Pranoto tidak lagi mempertimbangkan moral. Alasannya apa?

Pertama, apakah Ahmad Fatoni memang sengaja c ulas dan curang dengan mengirimkan tulisan itu setahun kemudian, karena saya sebagai seorang penulis juga pernah mengalami saat-saat sulit dan kadang hal itu membuat penulis yang terjebit berbuat kurang sopan dengan mengirimkan tulisan yang sudah pernah dimuat di satu media, ke media yang lain.

Kedua, ataukah redakturnya memang lupa dan ketelengsut sehingga tulisan yang mungkin di kirimkan oleh Ahmad Fatoni setahun lalu baru ditemukan dan merasa bagus sehingga dimuat. Sebab, saya sendiri pernah mengalami sebuah tulisan dimuat setahun kemudian dari pengiriman. Anehnya, tulisan tersebut saya anggap tidak dimuat

*) n. mursidi, esais dan cerpenis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar