Rabu, 14 November 2007

Siapa Membangunkanku di Waktu Tidur?

cerpen ini dimuat di Surabaya Pos, Minggu 5 Sep 2004

/1/
BUKANLAH salahmu jika kau kemudian kenal dengan lelaki semacam aku. Seorang lelaki brengsek, sok dan egois yang akhirnya harus kau kenal setelah melalui rentang waktu yang panjang dan tak jelas apa yang kumau darimu dan kenapa kau mau juga. Meski aku tahu, seribu pertanyaan pernah membuatmu penasaran untuk sekedar mengetahui; siapa aku? Itu karena, sampai saat ini, kau belum tahu siapa namaku, di mana kota asalku, apalagi sampai hal sepele, seperti kapan hari ultahku, apa sio dan bintangku. Juga, berapa umurku, apa pekerjaanku dan tentu masih banyak lagi. Sebab, selain aku berupaya keras merahasiakan diriku kepadamu, kau sendiri --entah kenapa-- juga tak pernah bertanya tentang semua itu padaku.



Ya, sebuah persahabatan yang unik, tak masuk akal dan mungkin kau menganggapnya absurd. Karena aku yakin, kau tak pernah menjalin persahabatan dengan lelaki lain yang pernah kaukenal seperti ini sebelumnya. Tapi bagiku, justru itu sebuah persahabatan dua lawan jenis yang tulus. Sebab, aku juga tak tahu siapa namamu. Juga tak mau tahu dan berupaya tahu. Apalagi sampai tahu di mana kau dilahirkan, tanggal berapa aku harus ucapkan selamat ultah untukmu, soal binatang yang jadi sio dan juga bintangmu. Aku, juga tak tahu apakah kau mahasiswi ataukah sudah bekerja.

Sebab bagiku sudahlah cukup saat kutahu kau adalah seorang perempuan ketika aku sempat menelponmu, dan suaramu yang merdu itu, sempat membuatku terkejut, gugup dan kaget. Ah, kau sungguh perempuan yang baik. Namun, aku justru mau menjalin hubungan denganmu bukan lantaran kau seorang perempuan yang baik, melainkan karena kau dan aku sama-sama manusia. Apa yang salah jika kita saling kenal, bukan? Itulah yang kemudian mendasari satu kemauanku untuk membujukmu agar kau mau jadi temanku, meski aku tahu; pada mulanya kau tak percaya, ragu dan takut akan kehadiran diriku dalam hidupmu.

Tetapi kau, sekali lagi, sungguh perempuan yang baik. Karena setelah berjalannya waktu membuat kita saling dipertautkan oleh kesepian, kau justru semakin berani dan seolah membutuhkanku. Padahal, semakin aku membutuhkanmu, aku justru dihantui rasa takut. Ya, aku takut kalau kau itu ternyata seorang perempuan yang sudah bersuami. Aku sungguh takut hal itu jadi kenyataan. Apa jadinya jika suamimu sampai tahu? Apa jadinya jika aku terlanjur jatuh cinta padamu dan tak bisa melupakanmu? Sementara, kau sudah bersuami dan memiliki anak! Apa yang akan dan bisa kuperbuat?

Untung saja, selama ini kau tak pernah mengatakan hal itu. Sehingga, mau tidak mau, terpaksa kubunuh rasa takutku itu ketika malam gulita dan bayangmu tak bisa kutepis menjelang tidurku. Aku selalu memikirkanmu dalam remang rembulan bisu dan diam. Aku mau tak mau, akhirnya meyakinkan diriku sendiri bahwa kau itu seorang perempuan lajang, seorang mahasiswi dan belum memiliki kekasih. Dengan begitu, aku tak takut lagi jika suatu saat nanti aku jatuh cinta padamu...
***

/2/
JIKA saja kau menganggap hubungan kita ini sebuah misteri, aku justru menganggap perkenalan kitalah yang sebenarnya satu misteri. Sebab aku tak pernah menyangka akan kenal dengan kamu. Juga sebaliknya, aku yakin kau pun tak pernah menyangka jika kemudian kenal dengan aku. Sebab, kita belum pernah bertemu, tak pernah tahu dan mau tahu wajah masing-masing. Kenapa bisa perkenalan kita terjadi dengan begitu saja?

Ya, itu karena perkenalan kita sungguh absurd. Berawal dari kiriman smsku yang kukirim ke nomor sembarangan di tengah malam gulita kala aku tak bisa tidur ditikam resah, setelah iseng menulis satu pesan yang isinya minta tolong dibangunkan di pagi hari, mungkin kau berpikiran aku salah kirim sms. Tetapi, aku tidak salah kirim sms, aku sekedar iseng saja mengirim ke nomor sembarangan dan kebetulan sms itu terkirim ke nomormu. Akupun tak tahu dan tak menyangka kalau itu nomormu. Karena, terus terang, aku hanya menulis dan iseng saja melakukan semua itu.

Tetapi, kau sungguh perempuan yang baik. Karena, kala pagi itu tiba, kau benar-benar membangunkanku meski kau sendiri sempat kaget, terkejut dan bengong setelah membaca smsku. Pagi itu, terus terang aku tergeragap bangun dan tak percaya kala kau ternyata mau membangunkanku, meski itu hanya kau lakukan dengan cara missed call.

Lalu, setelah aku bangun, kau mengirim sms padaku. Siapa aku? Apakah aku salah kirim sms? Dengan bohong, aku membalas smsmu dengan berkata salah kirim. Ya, aku berbohong karena kau sungguh serius menanggapi permintaanku. Aku, tak pernah membayangkan, apa jadinya jika aku mengaku iseng padamu. Aku yakin pasti kau akan marah, sewot dan emosi. Atau bisa jadi, kau mengumpatku dengan sumpah serapah yang tak enak kudengar.

Sengaja aku tak jujur padamu. Tetapi, aku tahu kau adalah perempuan baik. Untuk itu, setelah kau mau susah-susah membangunkanku dan setelah itu aku jadi pergi ke luar kota untuk mengambil sisa gajiku yang akan kugunakan menyambung hidup, sorenya aku menghubungimu. Suara merdumu, terus terang, sempat membuatku terhenyak, kagum dan terpikat, sampai-sampai aku tak bisa bicara banyak padamu untuk menanyakan siapa namamu, asalmu, usiamu, kecuali aku hanya meminta maaf dan mengucapkan terima kasih.

Kau hanya diam dan tak berkomentar banyak. Seperti aku, kau juga tak menanyakan siapa namaku, berapa usiaku, di mana tinggalku. Mungkin saja kau tak percaya kalau aku akan mengucapkan terima kasihku yang tak terhingga dan memujamu sebagai perempuan baik yang pernah kukenal, sehingga sebelum telpon kututup, kau masih juga diam kala aku merayumu untuk kuajak berteman.

Apa tujuanku? Apa mauku berteman denganmu? Aku sendiri tak tahu. Tapi karena kau di mataku sungguh perempuan yang baik, jadi aku ditikam kecewa jika harus melupakan kebaikanmu begitu saja. Untuk itu, aku seperti memaksamu untuk berteman denganku meski dalam rentang waktu selanjutnya, kau-lah yang paling sering kumintai bantuan untuk membangunkanku dan bahkan sampai pada hal sepele, seperti soal memilih pakaian, menu makananku dan aku sering bertanya banyak hal tentang dunia perempaun yang selama ini belum kukenal, seperti soal seks, menstruasi dan sampai pada kasih sayang seorang ibu pada anaknya.

Dan, kau tak pernah bosan-bosannya menanggapi pertanyaanku dan permintaanku kala aku memintamu untuk membangankanku pada jam-jam tertentu untuk jadwal berangkat kerjaku. Selalu, seperti itu pintaku sampai-sampai kau itu tak beda jauh dengan jam waktuku untuk mengatur cara hidupku yang terbengkalai.
***

/3/
AKU sudah menduga jauh-jauh hari sebelumnya kalau kau itu seorang perempuan yang sungguh memikatku. Karena aku tak pernah membayangkan jika kau itu ternyata sosok perempuan yang berdisiplin tinggi, cekatan, tanggap dan luwes, meskipun aku sendiri belum pernah melihat bagaimana cara hidupmu dengan mata kepalaku. Jangankan untuk tahu gaya hidupmu, tentang wajahmu saja, aku tak tahu. Apakah kau cantik atau tidak, itu tak jadi soal bagiku. Apakah kau lebih tua dariku, itu juga tak pernah menjadi pertimbanganku untuk menjalin sebuah hubungan denganmu lebih abadi.

Tetapi, perhatianmu kepadaku yang selalu mengingatkanku dalam banyak hal gaya hidupku, seperti melarangku tidur terlampau malam, menasehati untuk makan tepat waktu dan mandi selalu kala pagi tiba setelah kau membangunkanku lewat hp-mu dengan missed call, sungguh membuatku tak bisa melupakanmu kala malam tiba, apalagi saat-saat aku sulit tidur. Aku selalu membayangkanmu dan ingin sekali berjumpa denganmu. Setidaknya, meski hanya sekali saja dan aku ingin tahu juga di mana kau tinggal selama ini. Aku ingin sekali membuktikan seperti apakah kehidupanmu, sampai-sampai aku jadi terpikat padamu.

Tak kuduga, kalau pada akhirnya kau bahkan kubayangkan seperti ibuku yang punya empati lebih pada anaknya. Sebab, kala aku sakit dan sengaja tak memberimu tahu, ternyata kau seperti punya perasaan untuk mengetahui kondisi fisikku. Aku tak pernah menyangka kalau kau sampai punya empati dan perasaan lebih padaku sampai tahu kalau aku sedang sakit sekalipun. Sementara, aku sendiri tak pernah merasakan satu empati atas dirimu kala kau sakit, dan aku baru tahu jika kau sedang sakit setelah kau mengatakannya padaku.

Aneh, kau seperti tak mengenal jiwaku saja, melainkan juga fisikku. Apa yang kau tahu dariku? Apa yang kau rasakan tentang kehadiranku dalam hidupmu? Aku tak pernah tahu apa yang kau rasakan atas kehadiranku. Aku juga tak bisa menjamin bahwa kau itu perempuan kesepian dan aku adalah sahabatmu yang kerap dan pandai menghiburmu. Tetapi, kau tak juga mau mendepakku meski aku sering membuat waktumu tersita banyak. Kau masih juga mau membangunkanku selalu kala pagi tiba dan memintaku untuk segera berangkat kerja. Jika sudah begitu, aku membayangkanmu seperti istriku yang tak berwujud saja.
***

/4/
ENTAH sudah berapa lama aku mengenalmu. Aku sudah lupa perkenalan itu terjadi, tepatnya kapan. Toh, perkenalan itu sendiri, bagiku tidaklah penting karena setelah aku mengenalku sebenarnya ada satu hal yang baru kutahu sekarang ini ternyata lupa kupraktekkan; memahamimu sebagaimana kau memahamiku. Aku yakin, kau tak ingin kuanggap sebagai pembantuku yang selalu membangunkanku kala pagi tiba, saat-saat aku harus berangkat ke kantor.

Selain itu, aku juga tak ingin berhutang banyak padamu atas jasamu selama ini yang selalu memiliki perhatian lebih padaku seolah-olah aku ini adalah suamimu atau jika tidak, ya kekasihmu. Untuk itu, sampai saat ini hanya ada satu pikiran yang masih bercokol dalam batok kepalaku; bagaimana aku harus membalas semua kebaikanmu itu?

Terus terang aku tak ingin menjadikanmu pembantu untuk kasus semisal membangunkaku agar aku tak terlambat ke kantor, karena kau tak kugaji. Kau juga tak pernah kutraktir sekedar makan, nonton film, membelikanmu pakaian atau aku juga tak pernah sekalipun mengucapkan selamat ulang tahun padamu. Apakah kau sendiri tak pernah berpikir semua itu atas apa yang selama ini kau lakukan padaku?

Hingga kini, aku baru sadar kalau hubunganku denganmu ternyata tak masuk akal, aneh dan muskil untuk dipahami banyak orang. Untuk itu, aku kini mulai berpikir bagaimana caranya untuk menjumpaimu dan mengenalmu secara fisik. Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya. Seperti apa wajahmu, berapa usiamu, dari mana asalmu, dan masih banyak lagi --tentunya.

Kini aku tak peduli, sekalipun jika nanti aku jatuh cinta padamu, setelah aku menemuimu ternyata kau seorang perempuan yang sudah bersuami atau sudah punya kekasih. Toh, aku hanya ingin membalas kebaikanmu. Karena, sampai saat ini aku tak pernah tahu siapa yang membangunku waktu tidur? ***

Yogyakarta, Nov 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar