Rabu, 14 November 2007

Gadis Komik

Cerpen ini dimuat di SURYA, Minggu 10 Okt 2004

/1/
SORE yang gamang. Sinar mentari menghujani bumi. Tapi, sinar emas yang terpancar itu seperti terpatahkan saat kendaraan lalu lalang menerjang keramaian. Asap berhamburan. Klakson mobil menjerit seru. Sepertinya, semua pengemudi hendak mengutuk waktu yang terasa cepat berlalu. Tetapi, gadis itu berjalan dengan pelan di tepian jalan, seolah tak peduli angin yang kerap mengibaskan ujung jilbabnya. Putih --yang sebenarnya tak serasi dengan warna kulitnya yang hitam, namun manis. Jalannya ringan seperti dihembuskan angin. Sehingga kedua tangannya terayun, selaras dengan gemulai tubuhnya.



Dari kejauhan, sekalipun wajahnya belum nampak jelas, aku sebenarnya sudah bisa menebak; siapa gerangan gadis itu. Usianya sekitar duapuluh tahun dan mungkin saja ia seorang mahasiswi. Memang, aku tak kenal -tak tahu siapa namanya. Tetapi gadis itu sudah sering lewat di depan toko tempatku bekerja, kala senja tiba dan di tangan kirinya selalu saja, kulihat beberapa komik tertenteng seadanya --yang mungkin barusan ia sewa dari sebuah taman bacaan.

Ia masih melangkah dengan pelan, sehingga semakin detik jarum jam berlalu, lamat-lamat nampak sosoknya dengan jelas. Wajahnya yang manis itu, kala sinar mentari sore menerpa pipinya seperti terpancar serpihan emas yang beterbangan. Ada sinar kekuning-kuningan yang menyergap mataku. Ia masih memakai kaos putih --seperti sore kemarin-- dan dibalut dengan jaket coklat. Tetapi, betapapun busana yang dikenakan itu menutupi sebagian tubuhnya, di mataku posturnya masih terlihat jenjang. Apalagi langkah kakinya tak terlalu pendek, yang membuktikan tubuh itu sungguh semampai.

Ia berjalan dengan mata tajam menatap ke depan. Langkahnya kian mendekat dan saat melintas tepat di depan toko, ah... ia sempat menoleh ke arahku. Malah, ia tersenyum dan di pipinya; kulihat ada lesung pipit yang mengembang seperti mekar kembang kamboja di musim hujan. Lalu ia berpaling dan berjalan dengan muka tertunduk. Seperti sore-sore biasanya, setelah itu ia berjalan lebih cepat sehingga dalam sekejam saja, ia sudah melenyap dalam keramaian setelah belok di sebuah tikungan.

Tapi, tatapan matanya yang tajam dan menghujam ke arahku itu, meski hanya sekilas dan sebentar, masih membekas. Bahkan sampai malam tiba...
***

/2/
SORE yang remang. Aku menunggu ia melintas, seperti menunggu petang yang sebentar lagi meradang hari. Jalanan masih ramai dan dari kejauhan, aku melihat sosok yang tak asing berjalan dengan pelan di tepian jalan, seolah tak peduli pada angin yang mengibaskan ujung jilbabnya. Tetapi, ia berjalan seperti dihembuskan angin. Tahu-tahu, ia sudah di depan toko. Wajahnya yang manis, tersenyum di hadapanku. Ia masih memakai jaket coklat yang tak pernah tanggal dari tubuhnya setiap kali aku berjumpa. Apakah ia tidak punya jaket lain, selain itu?

Tapi kali ini ia tak sekedar melintas, malah menghampiriku. Aku jadi tergeragap.

"Kakak" ia menyapa santun. "Boleh aku minta tolong buat menititipkan komik ini kepada Andika?"

Aku hanya tertegun. Bagaimana gadis ini bisa kenal Andika, teman kerjaku di toko ini? Juga, sejak kapan ia kenal Andika. Tapi, belum sempat semua pertanyaan itu kutanyakan dan bahkan pikiranku masih diliputi tanya, ia tiba-tiba berucap lagi;

"Mestinya, aku titipkan ini kemarin! Tapi selalu lupa membawanya dan aku sendiri tak pernah melihat Andika seminggu ini bekerja."

"Andika... sudah seminggu ini pulang ke rumah!"

"Oooo... pantas saja aku tak melihatnya! Tetapi, tak keberatan kan, kakak, kalau aku titip komik ini kepadanya?"

"Tidak!" jawabku spontan. "Biar nanti kusampaikan begitu ia datang!"

"Terima kasih, kak! Sekali lagi, terima kasih!"

Lalu, gadis itu pamit. Tapi, ia berlalu menghujamkan bintik-bintik, entah apa dalam dadaku. Kumpulan bercak yang tertinggal dari tatapan matanya kurasa begitu hambar. Senyumnya mengembang, tetapi terkekang sua yang kejam memaksa. Belum lagi, bayangan lesung pipit di pipinya yang sumir oleh sebuah kenangan di batok kepalaku. Aku, hanya tercenung, tak sempat berkenalan.

Aku pulang kerja, diterpa bimbang yang sumbang...
***


/3/
MALAM yang garang. Aku menyalakan lampu, setelah memasuki kamarku yang pengap --karena jarang kuhuni seharian, kecuali saat malam tiba untuk merebahkan tubuhku setelah merasakan lelah menerjang tulang.

Kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Kutatap langit-langit kamar. Tak ada bayangan hitam. Tak ada secuil coretan. Namun, seketika itu, aku ditikam kecamuk masa kanak-kanakku kala aku teringat gadis itu dan komik titipannya. Lalu kuraih komik dari tasku. Kubaca lembar demi lembar. Kutatap gambar demi gambar dengan degup jantung yang tak henti menikam takutku. Tapi, kian lama gambar itu kutatap, tiba-tiba hadir bayangan gadis itu dengan seulas senyum yang manis.

Namun, itu tak berlangsung lama. Sebab bayangan itu lalu tergantikan sosok perempuan setengah baya. Sosok yang tak asing di mataku, ibuku. Aku seketika tergeragap. Apalagi, ibuku menuding mukaku dengan ujung jarinya dan memarahiku seperti dulu, ketika aku sering mencuri kesempatan di kamar untuk membaca komik saat masih SD. Masih kuingat. Rupanya, ibu menguntitku setiap aku beranjak ke kamar. Jadi aku selalu ketangkap basah. Aku ketahuan membaca komik. Ibu marah sebab aku sering lupa mengerjakan PR hanya gara-gara suntuk membaca komik. Setelah itu, ibu mengadu ke ayah. Aku kena marah dua kali dan hal itu berlangsung terus. Tapi, aku tak jera mengulang dan mengulang lagi. Juga, ibu tak bosan memarahiku, mengomel dan mendampratku terus.

Jantungku berdegup kencang tak karuan dan rasa takutku meruncingkan bulu kudukku. "Kau masih tak jera kudamprat? Apa yang kaudapat dari membaca komik?" Tiba-tiba dari mulut ibu keluar suara yang tak kuduga.


Dug! Nafasku tersenggal. Kaget.

Aku berdiri. Komik terpelanting jatuh di atas lantai --masih dalam kondisi terbuka. Namun betapa senangnya hatiku, begitu aku berdiri bayangan sosok ibu tak lagi ada. Aku tenang dan nafasku kembali normal. Dalam hati, aku berpikir, kenapa ibuku masih tak merestuiku untuk sekedar membaca komik? Bukankah kini aku sudah tak lagi seorang anak kecil? Juga, bukankah kini aku bekerja di kota dan jauh dari ibu? Kenapa, bayangan ibu masih hadir kala aku membaca komik di malam ini?

Tak tahu aku. Lalu, kuambil komik yang tergeletak di atas lantai dan bayangan gadis itu, gadis komik hadir kembali. Gadis komik. Ah..., akhirnya nama itu tak sengaja kucomot untuk memanggilnya. Bukankah ia selalu membawa komik setiap kali aku berjumpa? Siapakah dia? Apa hubungannya dengan ibuku?

Aku berusaha menerka-nerka. Tapi, pikiranku melayang tak pernah bisa damai dengan senyumnya. Kemarahan ibuku? Aku takut membayangkan lagi kalau hal itu kembali terjadi. Apakah kemarahan ibuku ada hubungannya dengan gadis komik itu?

Aku baru seminggu bekerja di kota ini. Aku masih asing dengan gadis itu. Kurasa, memang sulit aku mengurai senyumnya. Rumit dan tumpang tindih dalam sejuta arti yang sungguh menyiksa. Malam itu, jiwaku dikeroyok sejuta tanya yang mendera. Siapa dia? Kenapa matanya tajam melilit dadaku? Juga, kenapa batinku sampai melanglang ke sudut-sudut waktu hanya sekedar mencari arti buat perkenalan itu yang akhirnya tak terjadi.

Aku tak tahu, apakah esok sore, matahari akan memihakku?

***

/4/
SORE yang resah. Aku menunggu ia melintas, seperti menunggu petang yang sebentar lagi meradang hari. Jalanan masih ramai dan dari kejauhan, aku melihat sosok yang tak asing berjalan dengan pelan di tepian jalan, seolah tak peduli pada angin yang mengibaskan ujung jilbabnya. Tetapi, ia berjalan seperti dihembuskan angin.

Lagi-lagi, ia sudah berada di depan toko. Wajahnya yang hitam manis, tersenyum di hadapanku. Ia memakai jaket coklat seperti sore sebelumnya. Apa ia memang tak punya jaket lain? Aku hanya tersenyum dalam hati.

"Eh, kau? Andika belum datang." sapaku dengan santun.

"Apa kakak tahu, kapan ia kembali?"

"Aku tak tahu, sebab ia tak bilang apa-apa sewaktu pulang dulu."

"Kalau begitu, maaf kak, komiknya saya minta dulu!"

"Lho!?!"

"Iya kak, maaf, karena mau saya kembalikan!"

Kuserahkan komik itu. Tak kuceritakan kalau semalam aku membacanya. Juga, tak cerita tentang sosok bayangan ibu yang tiba-tiba muncul memarahiku karena aku membaca komik tersebut.

Setelah kuserahkan komik itu, ia pamit. Ia berjalan dengan langkah pelan dan dari kejauhan, aku hanya bisa menatap punggungnya yang menyisakan sesosok bayangan ibuku. Perempuan setengah baya yang telah melahirkanku ke dunia ini. Aku Merinding, melongo, tak sempat berkenalan. Ah, gadis komik. Gadis komik! Siapa kau sebenarnya?
***

/5/
AKU tak pernah tahu siapa sebenarnya gadis komik itu karena Andika tak juga kunjung kembali dan malahan akhirnya ia keluar dari toko tempatku berkerja. Sejak itu, aku tidak pernah ketemu gadis itu lagi. Ia tak pernah lagi melintas di depan toko. Ia sepertinya telah ditelan bumi dan sejak itu aku merasa ada yang hilang dalam senjaku, kala aku biasa menunggunya untuk melintas. Apalagi seulas senyumnya yang masih menyilangkan sejuta jarum di memori kepalaku.

Aku sungguh rindu akan senyumnya yang ranum seperti daun jambu itu. Aku juga kagum dengan alis matanya yang hitam menyentik angin, kala gelora di bibirnya mengucapkan kata-kata dengan santun. Juga, lesung pipitnya yang selalu berdenting ke dalam saat ia tersungging. Lebih dari itu, ada dua hal yang selalu membuatku heran dan tak habis mengerti. Pertama, kenapa sosok ibuku selalu berkelebat kala bayangan gadis komik itu melintas di pikiranku. Kedua, kenapa saat kutemukan gadis lain yang juga pengagum komik, sosok ibu tak lagi muncul berkelebat.

Ya, kini aku tak lagi bisa melihat semampai tubuh gadis komik itu yang berjalan pelan dihembuskan angin. Ah, tinggal senyumnya yang tak bisa lenyap di waktu soreku yang kini terasa resah. Akhirnya, seminggu berlalu dan sebulan lewat, aku hanya dapat menunggu sore yang hampa, tanpa pernah melihat ia melintas.

Seperti yang aku katakan, entah kenapa sosok ibuku tak pernah muncul kembali dalam malamku yang sepi ketika aku mulai kenal dengan seorang gadis cantik, seseorang yang malah memberiku hadiah buku komik Palestina karya Joe Sacco. Gadis itu kukenal saat pameran buku dengan cara yang tidak istimewa, juga tanpa basa-basi. Rupanya, gadis itu sudah mengenalku lama dan pertemuan di pameran buku itu seperti takdir, bahwa antara aku dan dia memang harus ketemu. Sehingga tak berat bagiku untuk cepat akrab dengannya. Apalagi, aku sering mengajaknya nonton film, makan dan satu hal yang membuatnya senang; memburu buku-buku bekas klasik. Dari situ, ia mulai meninggalkan bacaan komiknya dan mulai keranjingan membaca buku-buku filsafat, sastra, sejarah dan biologi.

Ibuku rupanya sudah tahu hubunganku dengan gadis cantik itu, entah siapa yang menceritakannya kepada beliau. Aku tidak tahu. Yang jelas, sejak dulu aku tak pernah bercerita pada ibuku tentang kekasih-kekasihku. Sehingga di mata ibuku, mungkin gadis cantik itu adalah kekasih pertamaku. Padahal, ia adalah kekasihku yang kesembilan.

Bahkan, yang tak habis kumengerti adalah ketika aku mengajak gadis cantik kekasihku itu pulang ke rumah. Ibu tidak hanya menyambutnya dengan ramah, malah memujinya dan berpesan kepadaku, jangan sekali-kali melukai hatinya. Ah, ibu! Aku hanya nyengir saja.

Sampai aku balik ke kota, ibu rupanya masih belum tahu, kalau gadis cantik kekasihku itu adalah pengagum komik. Hanya saja, ia kini sudah dewasa dan bacaan di waktu senggangnya sudah berubah, buku-buku yang berbobot. Atau mungkin, ibu sebenarnya sudah tahu dan menganggapku sudah dewasa. Untuk itu, aku di mata ibu sudah bebas memilih dan menentukan pilihan, termasuk ketika aku sudah matang mengenal cinta. Juga, melangsungkan pernikahan. Ah, ibu! Kenapa engkau begitu sulit untuk kupahami?***

Cerita untuk Elida
Lasem-Yogya, Feb 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar