(Cerpen ini dimuat di Surabaya News, Minggu, 8 Juni 2003)
AKU bangun ketika pagi meneteskan embun pada pucuk-pucuk dedaunan di pekarangan. Langit masih gelap, semerbak bau kembang pagi yang bersemi menggelorakan aroma wangi pada kesunyian dan dingin pagi sungguh terasa menusuk tulang. Semilir angin menyingkap gorden jendela kamarku, lalu terasa menampar tepat di sudut mataku. Ah, aku rasakan dingin pagi itu semakin membuat tubuhku menggigil, seraya aku sadar bahwa di celanaku telah ternoda oleh sperma. Basah!
AKU bangun ketika pagi meneteskan embun pada pucuk-pucuk dedaunan di pekarangan. Langit masih gelap, semerbak bau kembang pagi yang bersemi menggelorakan aroma wangi pada kesunyian dan dingin pagi sungguh terasa menusuk tulang. Semilir angin menyingkap gorden jendela kamarku, lalu terasa menampar tepat di sudut mataku. Ah, aku rasakan dingin pagi itu semakin membuat tubuhku menggigil, seraya aku sadar bahwa di celanaku telah ternoda oleh sperma. Basah!
Kugerangi celanaku. Benar! Ada cairan yang membentuk pulau kecil tertinggal si sana. Ah, aku mimpi basah lagi! Semula, aku tak yakin; bagaimana mungkin aku mencumbuinya? Seperti tikus dan kucing saja, aku tak tahu siapa yang memulai. Aku hanya ingat ketika tangannya menarikku dan bibirnya yang tipis telah berani melumat bibirku, dan celanaku tanggal dari tubuh, hingga akhirnya... aku baru tersadar ketika malam telah keburu berganti pagi dan bersamaan itu, di sela selangkangaku kurasakan ada cairan yang pekat dan melekat.
Adakah aku lahir karena cinta? Aku kira, detik jarum jam pun kian terpelanting dari waktu. Saat itu, pagi aku rasakan lambat benar beranjak. Juga aku, kantuk masih membisu dan menunggu. Apalagi ketika aku rasakan tubuhku ini seperti telah remuk. Letih benar-benar tak kuasa kutanggungkan. Kutarik selimut. Aku pikir, alangkah baiknya tidur barang sebentar! Toh, subuh masih belum habis dan sirna.
Tetapi, mimpi basah malam itu benar-benar masih belum sirna dari ingatanku. Sulit benar aku mendayungkan mataku untuk terpejam serta tenggelam di balik gelapnya subuh, dan hitam bola mataku terkatung-katung dalam kisaran bayangannya. Aku melihat ada sekelabat sebuah bayangan hitam yang tak jelas. Ia seolah menghinaku, menari-nari di atas sosokku yang sedang terbaring. Kian lama, bayangan itu tambah mencekam. Aku sungguh tak kuasa untuk mengusirnya.
Hingga akhirnya, aku benar-benar ditikam rasa takut. Jantungku bergemuruh akibat desiran halus yang mendongkak kuat di urat limpaku. Sebuah gemuruh yang menggetarkan dadaku, seperti gemuruh yang aku rasakan sepuluh tahun yang lalu ketika aku habis mengalami mimpi basah pertama kalinya. Usiaku empat belas tahun waktu itu. Seperti desir yang kurasakan di pagi ini, aku tergeragap ketika pagi sudah merekah. Rupanya, malam itu aku telah didewasakan oleh tubuh lain jenis yang membuatku terkulai dan tiba-tiba kurasakan desiran halus bersemanyam di dada, aku ditikam rasa takut dan dicekam perasaan cemas.
Untunglah! Aku masih belum kesiangan, dan mimpi basah itu membuatku harus segera mandi dan setelah itu cepat-cepat sarapan, lalu berangkat ke sekolah. Pelajaran di sekolah yang kuikuti tak bercokol sama sekali di batok kepalaku. Semua berjalan dalam kisaran waktu, menjemukan dan dadaku kian bergetar dengan dahsyat.
Lalu, kupandang wajah Rina, yang duduk tepat disebelahku. Aku yang selama itu menganggapnya biasa saja, tak ada kelebihan, tiba-tiba kulihat ada sesuatu yang telah berubah pada tubuh dan parasnya. Bibirnya telah merekah dan parasnya kian ayu disungging senyum. Adakah aku ditikam cinta?
Bel berdenting tiga kali. Lalu, kami semua murid pulang. Seperti biasanya, aku pulang bareng dengan Rina, menggayut sepeda mini masing-masing. Ketika memasuki jalan kecil menuju ke kampungku, aku mengajaknya istirahat ketika melintasi tepat di kebun milik kakekku.
"Lihatlah bunga itu, indah bukan?" tanyaku kepadanya ketika kami memasuki kebun yang rimbun dengan bunga dan semak-semak.
"Yang mana?" tanyanya, tambah membuatku gemas saja.
"Yang itu, yang berwarna merah," ujarku, seraya aku beranjak mengambil sekuntum bunga mawar merah yang tengah mekar.
"Oh, itu." Aku kemudian balik ke arahnya dan memberikan bunga itu kepadanya. "Ini untukmu," seraya kuberikan bunga itu kepadanya.
"Ah, ambil untukmu saja. Aku...".
"Kamu... kenapa?"
"Ayah melarangku untuk menerima bunga selain yang diberikan ibuku. Itu alasannya, aku harus menolak bunga ini. Karena bisa jadi, itu simbul..."
"Simbul apa?"
"Simbul kasih sayang!"
Aku diam.
Desir di dadaku semakin membuatku dilanda rasa takut untuk berkata lagi.
"Ah, ayo kita pulang saja," ajaknya dan aku menurut saja. Sepuluh tahun telah berlalu. Tapi rasa takut itu masih benar-benar menikamku. Adakah ia akan datang lagi hari ini? Mimpi basah yang ke 99 pada pagi hari ini telah hadir dan menemuiku. Aku masih malas untuk beranjak. Kutengok jam dinding. Hari masih benar-benar pagi. Aku bersembunyi di balik selimut, aku harus tidur lagi dan berharap semoga bisa menemui mimpi lagi yang bisa memberikan jawaban atas mimpi basahku. Karena hari ini, aku mau tidak mau harus menemukan jawabannya!
***
MIMPI basah! Ah, tak pernah aku mengundangnya. Sungguh! Karena jika ia datang, tak kudapatkan apa-apa kecuali kenikmatan yang kemudian disusul sebuah kenyataan hidup yang penuh teka-teki. Memang, pada saat-saat tertentu aku pernah juga mengharap ia hadir.
Tapi, mimpi seperti itu, jika ditunggu justru tak kunjung tiba. Bunga tidur, demikian kata orang, memang sungguhlah absurd. Seperti sebuah bayangan, ia kadang hanya ilusi. Kenangan dan harapan. Atau, bisa jadi ia adalah sebuah firasat buruk. Sejak aku berusia empat belas tahun, mimpi basah yang kemudian menjadikanku akil baligh itu, seingatku telah mengunjungiku sebanyak 99 kali. Kucatat selalu, setiap kali aku habis mengalaminya.
Ah, sungguhlah absurd! Bagai sebuah tontonan atau hiburan film dalam tidurku, mimpi basah itu memang memberikan sedikit cerita dan tak sadar tiba-tiba malam telah berganti jadi pagi. Aku ditikam kegelisahan dan ketakutan. Setelah itu, aku harus menelan beribu teka-teki yang ditikam akibatnya. Asik memang, tapi tak masuk akal dan membuatku masih bingung sampai sekarang ini. Siapakah yang tahu kapan datangnya sebuah malapetaka?
Tak kupahami, angin tak pernah mengabarkan duka. Isak tangis ibuku sewaktu melahirkanku adalah wujud kasih seorang ibu pada anaknya. Tapi, tangis siapakah ini yang aku dengar ketika pagi hanya ada desah nafasku dan kokok ayam jantan yang mendendangkan keindahan alam? Aku tahu, itu bukan tangisku. "Lelaki haruslah kuat dan perkasa. Jangan pernah sekalipun kamu menangis", demikian pesan ayahku sewaktu aku masih kecil.
Dan kini, teka-teki hidup telah membukakan mataku bahwa mimpi basah telah memberiku soal hidup yang harus kujawab sendiri. Sejak bunga mawar merah yang kupetik tak diterima oleh Rina, aku masih ditikam ketakutan. Rasa takut itu bahkan selalu datang ketika mimpi basah habis menghampiriku kali ini. Meski tak seperti desir pada mimpi basah kedua kalinya, yang aku catat dalam buku harianku, aku tahu bahwa pada siang harinya aku kemudian ditubruk motor.
Deretan mimpi basah selanjutnya adalah desiran lain dengan ukuran dan kadar yang tak bisa kuterjemahkan. Ya, begitulah setidaknya. Setelah aku mimpi basah untuk ketiga kalinya (lagi-lagi aku tak pernah lupa mencatat dalam buku harianku dan selalu kuingat), aku ditempeleng guru matematekaku karena lupa mengerjakan PR sewaktu kelas tiga SMP dulu.
Mimpi basah keempat, aku terpeleset di kamar mandi dan sempat menginap di rumah sakit. Mimpi basah kelima, keenam dan berikutnya hampir semuanya berakhir dengan jawaban hidup yang sial. Bahkan tepat setelah mimpi basah yang kedua puluh, aku tidak diterima masuk SMA negeri di kotaku. Aku sempat shock. Mimpi ke tujuh puluh, aku ditikam nasib tak diterima dalam seleksi UMPTN.
Namun hidup bukanlah untuk diratapi, melainkan untuk dijalani berdasarkan pengalaman dan ditimba sisi-sisi gelap yang bisa membuahkan hikmah. Hingga akhirnya, aku kemudian masih bisa kuliah di tahun berikutnya. Namun, rasa takut akibat desiran mimpi basah sepertinya tak akan berujung dan berakhir. Sebuah desiran dahsyat yang selalu membuatku untuk bangun, berdiri dan mencari jawaban atas teka-teki hidup ini masih menghantuiku di pagi hari ini.
***
AKU terbangun, ketika kudengar pintu kamarku ada yang mengetuk. Buru-buru aku membukanya. Aku terkejut. Kupandangi perempuan yang sudah lama aku kenal itu, Elma. Ia berdiri tepat di depan pintu kamarku. Akhirnya, ia mau datang juga untuk menemuiku setelah tiga bulan kami tak saling menghubungi. Ya, itu karena di antara kami sempat terjadi salah paham. Lantas, ada apakah ia datang hari ini untuk menemuiku?
"Oh, siang begini masih juga kamu belum bangun", ucapnya membuka pembicaraan seperti tak pernah ada kesalahpahaman di antara kami sebelumnya.
"Ada tugas yang harus aku lembur semalam," belaku untuk sekedar membohonginya. "Aku cuci muka dulu, ya?"
Ia kemudian duduk di kursi depan teras kamarku. Sekembaliku dari kamar mandi, aku langsung menyorongkan pertanyaan, "Tumben, kau mau datang ke sini. Aku kira siapa!"
"Aku kangen kamu. Setidaknya aku ingin melihat muka jelekmu yang belepotan air liur begitu bangun dari tidur."
Aku cuma nyengir, dan kemudian duduk di kursi, tepat di sebelahnya. Dengan malu-malu kupandangi wajahnya. Ia masih tampak cantik, tak ada perubahan yang terjadi di raut mukanya yang ayu, yang membuatku masih belum bisa melupakannya. Cuma kini, rambutnya semakin panjang dan itu justru membuatnya tampak lebih jelita. Tanpa kusengaja, akhirnya meluncur juga kata-kata dari mulutku: "Kau semakin tampak cantik, Elma!"
"Masih sempat-sempatnya kamu memuji. Aku sudah hapal rayuanmu."
Aku cuma tertawa. Tapi, belum sempat tawaku itu berakhir, ia sudah keburu mengucapkan kata-kata yang membuatku terkejut.
"Eh, kamu bisa datang, khan?"
"Datang ke mana dan untuk acara apa?" tanyaku penasaran.
"Aku bulan depan mau menikah!"
Dia diam. Aku tambah diam, tentunya dengan menelan ludahku sendiri.
"Aku tak bisa menolak, salah seorang sepupuku telah melamarku. Dan orangtuaku telah menerimanya tanpa sepengetahuanku."
"Kenapa kamu tidak berontak atau menolaknya?"
"Percuma! Itu percuma saja! Memang, aku bisa saja minggat dan tak pulang lagi ke rumah. Tapi, bagaimana dengan kedua orangtuaku?"
Bagai di sambar petir, desir di dadaku kian membuatku tertelan dalam lingkaran ketidakberdayaannya. Aku pandangi wajahnya, lagi. Ia menunduk. Ia sungguh tampak semakin cantik. Aku tak rela ia akan menikah. Apa yang aku takutkan, kini benar-benar telah terjadi. Padahal, aku hari ini telah benar-benar jatuh cinta kepadanya, dan ia tak kuasa untuk memberontak. Tubuhku seketika dibakar api cemburu, sedang aku tambah tak kuasa lagi menghalaunya, karena aku sudah kalah sebelumnya, dilanda sebuah ketakutan akibat mimpi basah yang kualami semalam.***
Kado perpisahan buat Elma
Yogyakarta, Januari 2003
Tulisan yang bagus sekali ,,, :)
BalasHapusNice Share ,, benar2 kisah sedih Mimpi Basah .. hihi
trm ksh sdh mampir di blog ini, dan membaca cerpen "Mimpi Basah", kisah sedih yg lucu hehehe
BalasHapus