tag:blogger.com,1999:blog-60933909463872850652024-02-07T09:46:46.492+07:00P O T L O Tmalam ini aku harus menulis novel setebal 1000 halaman. jika sampai ayam jantan berkokok aku masih belum rampung, maka aku akan berubah menjadi patung. kekasihku, kenapa kau mengutukku?penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.comBlogger138125tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-69278730816858826382016-09-11T15:43:00.001+07:002016-09-11T15:45:16.069+07:00Idul Adha Terakhir<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvI2J6Ldc7a97Fr-Ad2F_tEL0L5tFMnH3I3lLnMXrtVFUPI8ZBU4Qmw16OGWX-IGfsXTKMaJu-kLO2MC_5uyRumQKCBSHkau9-s6B6tDNXQT05LfBayXE0VUpj1IhBrN1JewxQDdmZkg0/s1600/ilustrasi+cerpen+Idul+Adha+Terakhir+%252802%2529.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvI2J6Ldc7a97Fr-Ad2F_tEL0L5tFMnH3I3lLnMXrtVFUPI8ZBU4Qmw16OGWX-IGfsXTKMaJu-kLO2MC_5uyRumQKCBSHkau9-s6B6tDNXQT05LfBayXE0VUpj1IhBrN1JewxQDdmZkg0/s200/ilustrasi+cerpen+Idul+Adha+Terakhir+%252802%2529.jpg" width="157" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
cerpen (Kedaulatan Rakyat, Minggu 11 Sept 16)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
TIGA hari sebelum menghembuskan napas terakhir, ayah yang terbaring tak sadarkan diri selama beberapa hari di bangsal rumah sakit, tiba-tiba mengigau. Hanya satu kata yang keluar dari bibir ayah, "Kambing."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Kami -tiga anak ayah, dan ibu- saling pandang. Seperti ada satu keajaiban yang turun dari langit. Kami seperti dibuai harapan bahwa ayah telah sadar. Pasalnya, ayah yang koma selama berhari-hari, bahkan tidak bergerak, kecuali detak jantungnya yang berdegup pelan, tiba-tiba bersuara -walaupun tak jelas dan samar. Sontak, kami yang kebetulan ada di dekat ayah langsung beringsut mengelilingi tempat ayah terbaring. </div>
<a name='more'></a><div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Ayah minta dibelikan sate kambing?" tanya ibu seraya mengguncang-guncang tubuh ayah. Ibu hapal, dan tahu apa makanan kesukaan ayah, salah satunya adalah sate kambing. Tapi, ayah tak bersuara lagi. Ayah yang terbujur tak ubahnya seperti balok es batu, hanya diam, tak menjawab apa pun. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu mengedarkan pandangan ke arah kami semua. "Kalian dengar apa yang diucapkan ayahmu tadi?"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Dengar," jaWab kami serentak.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Lalu, apa yang diinginkan ayahmu dengan menyebut kambing?"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Kami --adikku, aku dan kakakku-- diam. Tetapi, di kepalaku terlintas satu kenangan pada masa lalu. Satu kenangan yang tak mungkin bisa kulupakan.</div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
DI keluarga kami, tatkala ada salah satu buah hati ayah masuk sekolah dasar, ayah memberi hadiah kambing. Sebenarnya, itu bukan hadiah. Lebih tepatnya tabungan. Aku ingat, saat aku masuk SD, seminggu kemudian ayah mengajakku ke pasar hewan dan memintaku memilih kambing yang aku suka. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Kelak, kambing ini akan menjadi masa depanmu!"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Waktu itu, aku tak paham ucapan ayah. Belum genap setahun, kambingku menemui ajal. Padahal, belum sempat beranak. Aku menangis sepanjang hari. Tapi, ayah membelai rambutku, "Tidak usah menangis. Besok ayah belikan lagi kambing yang lebih besar dan mahal." </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ayah selalu menepati janji. Bulan berbilang, kambingku tak kunjung bertambah. Orang bilang, kambingku majer (mandul). Aku hanya bisa mengurung diri di kamar, kala mendengar cibiran orang-orang. Lagi-lagi, ayah membelai rambutku, dan memberiku harapan. "Besok ayah akan menukar kambingmu dengan kambing yang lebih baik." </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Tahun berbilang, kambing kakakku dan adikku pun beranak pinak dan kian banyak. Tapi, kambingku selalu memiliki cerita yang tragis. Jika tidak mati, kambingku mandul. Aku tak pernah memiliki kambing lebih dari tiga ekor dan bahkan pada akhirnya ludes. Tapi ayah kembali memberiku harapan. "Setiap anak memiliki nasib yang berbeda-beda. Tak ada salahnya ayah membelikanmu tanah untuk mengganti kambingmu yang mati." </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa tahun kemudian, ketika aku hampir lulus SMA, ayah didatangi orang dari kota. Orang itu datang hendak membeli tanah milikku untuk dijadikan sebuah resort, karena letaknya strategis. Ayah masuk ke kamarku, dan menanyakan hal itu padaku. Aku menolak. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi dari hasil penjualan itu, uangnya bisa untuk biaya kuliahmu..."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tetap tak mau melepas walau orang kota itu menawar dengan harga menggiurkan. Ketika aku kemudian kuliah, terpaksa ayah menjual kambing-kambing yang dimiliki. Hingga kambing ayah habis. Setiap hari raya Idul Adha tiba, ayah terpaksa membeli kambing untuk kurban. Padahal, tahun-tahun biasa, jika hari Idul Adha tiba, ayah tinggal mengambil dari kandang untuk kurban. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
IBU duduk dengan syahdu di samping ranjang ayah. Sesekali, ibu memandang dua bungkus porsi sate kambing di atas meja, yang tadi saing dibeli adikku di depan rumah sakit. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu kenapa tidak makan?" tanya kakakku, "Jika ibu tak makan, nanti malah ibu sakit. Kita semua yang akan bingung dan tambah repot."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu tidak lapar," jawab ibu.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi, ibu harus menjaga kesehatan. Ibu tidak boleh nanti malah sakit," bujukku.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu kembali memandang dua bungkus porsi sate kambing di atas meja, yang tadi dibeli adikku. Tapi, ibu tetap diam. Ibu seperti tak selera menyentuh bungkusan itu. Padahal, waktu dulu aku masih kecil, ayah dan ibu selalu mengajak kami makan sate di sudut alun-alun, di warung sate langganan ayah. Ibu pernah bercerita di warung sate itulah, ibu pertama kali bertemu ayah. Wajar, ibu mengira ayah ingin sate kambing saat sakit seperti ini. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Hingga Maghrib tiba. Ibu tidak menyentuh satu tusuk pun sate. Ayah tetap terbaring, belum sadarkan diri. Takbir malam Idul Adha berkumandang syahdu, dan kami semua bermalam di rumah sakit untuk menjaga ayah.</div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SEPULANG shalat Ied, aku kembali menjaga ayah. Kakak dan adikku masih di rumah. Aku minta ibu pulang; untuk istirahat di rumah. Begitulah kami bergiliran menjaga ayah. Beberapa menit setelah ibu meninggalkan rumah sakit, ayah kembali mengigau. Lagi-lagi, hanya satu kata yang keluar dari bibir ayah, "Kambing."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Ayah minta dibelikan sate kambing?" tanyaku, seraya mengguncang tubuh ayah. Tapi ayah tidak bersuara lagi. Ayah yang terbujur tak ubahnya seperti balok es batu, hanya diam, tak menjawab apa pun.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
TIGA hari setelah lebaran Idul Adha, ayah menghembuskan napas terakhir. Kami semua sedih, terutama ibu. Selama hampir 3o tahun menemani ayah, ibu memang sudah berusaha sebaik mungkin mendapingi, melayani, dan merawat ayah. Tetapi, ada satu hal yang masih mengganjal di benak ibu dengan igauan ayah sebelum ayah menutup mata untuk selama-lamanya. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Tiga hari setelah ayah dikebumikan, kakak dan adikku balik ke kota. Aku tak tega meninggalkan ibu sendirian --apalagi setelah ayah tiada. Jadi, aku memutuskan tinggal di rumah beberapa hari lagi. Apalagi, usahaku di kota sudah diurus oleh tiga karyawanku. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Malam ketujuh selepas ayah dikebumikan, aku bermimpi. Dalam mimpiku itu, ayah mengajakku ke sebidang tanah yang dulu sempat mau dibeli orang kota, tapi aku menolak. Di tanah lapang itulah, ayah memintaku terbaring. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Tuhan memintaku untuk menyembelihmu!" ujar ayah dengan mulut bergetar.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi, ayah bukanlah Nabi Ibrahim yang mendapat wahyu untuk menjalankan ibadah ini dengan mengorbankan nyawaku."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Ayah memang bukan Nabi Ibrahim, Nak. Tapi, ayah menuntutmu untuk berkorban dan kamu hanya diam. Kambing-kambing ayah sudah habis. Jadi, ayah hanya bisa berkurban dengan menyerahkan nyawamu kepada Tuhan...."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Aku berusaha berontak, dan meronta-ronta. Tetapi tangan kekar ayah lebih kuat untuk kulawan. Aku akhirnya pasrah, dan sebelum golok ayah itu menyentuh leherku, tiba-tiba aku terbangun. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhku. Aku lunglai dan ambruk dari kasur. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Selang beberapa menit, aku baru tersadar. Rupanya, ayah kemarin mengingau dengan menyebut kambing adalah sebuah tanda bahwa ayah meminta kami --atau lebih tepatnya aku-- untuk menunaikan korban kambing atas nama ayah. Sudah tiga tahun terakhir ini, sejak ayah pensiun dari pegawai negeri, memang ayah sudah tidak pernah berkurban lagi. Uang pensiunan ayah selalu habis. Ludes untuk biaya berobat, dan kontrol ke dokter. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, sayangnya, aku terlambat untuk sadar, dan mengetahui semua ini. Aku tak memenuhi permintaan ayah, padahal untuk sekadar membeli kambing tidaklah berat bagiku. Aku benar-benar merasa berdosa. Sebab, Idul Adha tahun ini ternyata Idul Adha terakhir bagi ayah. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Jakarta, 2016</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*) N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa nasional dan lokal. Dia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah Islam di Jakarta. </div>
<br />penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-90812102303881784902016-09-04T03:03:00.001+07:002016-09-04T03:10:29.246+07:00Tiga Wanita yang Menangis untuk Sebuah Kematian<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9nwyTvcTBrnZGXSJekKw0gju_sqpgylfrJNGJOat8_PCJrHVfMIHPDs8I0ODTk47Wke555sweHR4_kUgWRPJiurWLfM_o4Z7clwr3KEEB5F-EZVa3JKx4VX50uDnIuXtpzMHDyfEOgow/s1600/cerpen+Tiga+Wanita+%2528Solo+Pos+28+Agustus+2016%2529.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9nwyTvcTBrnZGXSJekKw0gju_sqpgylfrJNGJOat8_PCJrHVfMIHPDs8I0ODTk47Wke555sweHR4_kUgWRPJiurWLfM_o4Z7clwr3KEEB5F-EZVa3JKx4VX50uDnIuXtpzMHDyfEOgow/s200/cerpen+Tiga+Wanita+%2528Solo+Pos+28+Agustus+2016%2529.jpg" width="120" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
cerpen (Solo Pos, Minggu 28 Agustus 16)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SEPULUH tahun yang lalu, isak tangisku memecah gulita malam. Ada rasa hampa yang mengisi rongga dadaku, yang membuat kisah sedih terasa semakin mendidih dan kekal. Aku seperti patung yang dirayapi sepi dan dingin, masih menangis, dan terjaga sendiri. Hening seperti memadat meski detak jarum jam di dinding berdenyut ritmis bagai benda ajaib yang bernapas. Dan lelaki di sampingku masih meringkuk setengah telanjang, dan mendengkur. Temaram lampu kamar menyala redup, membingkai waktu seperti merambat dengan lambat. Tak lagi kuingat, bagaimana pesta pernikahan yang megah itu berakhir setelah orang-orang pulang. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku merasa letih ketika musik tak lagi berisik. Tenda mulai dilipat. Laki-laki itu --entah kenapa aku enggan menyebut dia suamiku-- mengamit pinggulku, menggenggam tanganku dengan erat lalu menuntunku ke kamar. Setelah pintu kamar ditutup, tak ada sebait pengantar yang puitis saat dia melolosi pakaian pengantin yang menempel di tubuhku. Dalam sekejap, aku dibaringkan di ranjang pengantin yang wangi. Ada rasa perih yang menggumpal, membuat aku merasa kesakitan. Tapi aku pura-pura melenguh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di luar, gerimis turun dengan ritmis. Lelaki itu melenguh, diam, kemudian tersungkur lemas di sampingku, tertidur dan mendengkur. Dingin merayap. Hening. Hanya suara dengkur lelaki itu, detak jarum jam dan isak tangisku. Aku sedih dan menagis. Sebab di malam yang ganjil itu, malam yang seharusnya membuat mempelai pengantin bahagia, tapi malam itu justru menjadi kisah sedih dalam hidupku. Setelah malam itu, aku yakin, kisahku akan diliputi kesedihan yang kekal. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Dan semua kisah sedih itu dimulai dari pesta pernikahan yang ganjil. Aku menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai. Itulah alasan, kenapa malam itu aku menangis.</div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
MALAM itu, pesta pernikahan megah digelar. Pesta pernikahan Lusy dan Handoko. Sebenarnya, Lusy tidak ingin pernikahan itu berlangsung. Tapi Lusy tak kuasa. Tiga bulan sebelum pernikahan, Lusy sudah menutup hati, menutup pintu kamar rapat-rapat dan menutup telinga tentang cerita lelaki yang melamar Lusy. Tetapi Laksmi, Ibu Lusy, selalu mengetuk pintu kamar Lusy dengan lembut, mengantar makanan kesukaannya bahkan tak henti-henti merajuk.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Lelaki ini serius melamarmu. Lalu, apa yang membuatmu tak mau membuka hati?"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Bunda, bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan lelaki yang tidak aku sukai?" Akhirnya, Lusy menjawab dengan jujur.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Lama. Dua wanita itu saling pandang. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Lusy merasa jengah kenapa Ibunya tega memaksanya menikah dengan Handoko tanpa alasan yang jelas. Padahal, Laksmi tahu Lusy sudah memiliki kekasih, Alex. Laksmi pun tahu, Lucy dan Alex berpacaran sudah tujuh tahun sejak mereka lulus SMA. Hingga suatu hari, Lusy dikejutkan dengan kedatangan lelaki berpakaian koboi, dan berambut gondrong yang meminangnya. Lusy bergidik, menutup pintu kamar dan tak ingin keluar meski Ibu dan ayahnya berkali-kali meminta Lusy menemui lelaki itu --yang diketahui bernama Handoko.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Lusy," ucap Laksmi lembut sambil membelai rambut putrinya yang tergerai di atas kasur "Ibu tahu Lusy ingin bertanya, kenapa Ibu ingin kau menerima pinangan Handoko..."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Lusy mengangguk. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Baiklah, Lusy. Aku akan menceritakan semua ini. Saat kau berumur tujuh tahun, Ibu pernah ditolong dokter Cokro, ayah Handoko," Laksmi akhirnya berkata jujur. "Waktu itu, Ibu merasa ajal ibu sudah dekat setelah dokter Cokro mendiagnosis Ibumu ini terkena kanker sirosis hati. Tapi dokter Cokro menolong Ibu, dan berjanji mencarikan donor buat Ibu bahkan mengantar ibu menjalani operasi di Tibet. Kamu masih kecil, waktu itu. Dan, Ibu tak pernah menceritakan rahasia ini padamu. Tapi, beberapa tahun kemudian, Ibu tahu bahwa pendonor hati itu ternyata adik kandung dokter Cokro yang kuliah di Tibet dan meninggal akibat kecelakaan. Jadi, Ibu merasa berhutang budi kepada dokter Cokro."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Lusy termenung. "Jadi, Ibu menikahkan saya semata-mata untuk membalas kebaikan dokter Cokro?"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Laksmi mengangguk. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Lusy tak bisa menjawab. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Laksmi bangkit, meninggalkan kamar Lusy. Tapi di ambang pintu, Laksmi urung keluar, menoleh sekilas dan berucap "Kini Ibu sudah bercerita. Rasanya, setelah ini Ibu tidak akan memintamu lagi untuk menikah dengan Handoko. Jadi, pikirkan apa yang Ibu ceritakan."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Lusy sudah bertekat tidak akan menerima lamaran Handoko. Tapi dua hari kemudian, Lusy tak berdaya ketika ia menjumpai Ibunya lunglai, tak berdaya dan harus dilarikan ke rumah sakit. Lusy tidak ingin Ibunya meninggal. Maka, tidak ada janji yang membuat Lusy bisa membuat Ibunya punya harapan kecuali ia berucap dengan gemetar, "Ibu harus sembuh, Lusy rela menikah dengan Handoko."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Janji Lusy itu seperti mantra. Ibu Lusy perlahan-lahan sembuh. Dan setelah Ibunya sembuh, Lusy memenuhi janjinya. Ia menikah dengan Handoko, lelaki yang tidak ia cintai. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
DELAPAN tahun yang lalu, jerit tangisku memecah gulita malam. Aku hanya bayi mungil yang meronta-ronta, dan menangis. Setelah sembilan bulan diam dalam rahim waktu, aku akhirnya dihembaskan kekuatan dahsyat yang menggulung semesta rumahku. Aku mencium aroma wangi, bau amis darah yang berleleran, dan desau angin yang asing. Maklum, sebelumnya, aku hanya mengenal gelap dan pekat. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah aku sedih sewaktu lahir ke dunia? Aku hanya bayi mungil yang tak tahu kenapa aku harus lahir dan menangis. Aku hanya tahu, tatkala sepasang tangan kekar meraihku, membisikkan kata-kata yang merambat lembut, dan halus. Tengkukku seperti dialiri hawa dingin yang menentramkan. Tapi, aku hanya bisa mengingat masa laluku samar-samar. Aku menangis dan meronta-ronta lalu baru diam setelah sepasang tangan kekar itu menimang tubuh mungilku. Dalam pelukan tangan kekar itu, aku merasa damai. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tumbuh, merangkak, dan berdiri dengan tergopoh-gopoh hingga akhirnya bisa berjalan. Dan sepasang tangan kekar itu selalu menceritakan dongeng-dongeng yang mengagumkan hingga aku menitikkan air mata. "Putriku, jangan engkau tumpahkan semua tangismu ketika kau sedih. Ada kalanya kau kelak membutuhkan air mata itu di saat kebahagiaan datang." </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Aku mengingat pesan yang tidak henti-henti dibisikkan di telingaku itu, hingga beberapa tahun kemudian, aku baru tahu jika pemilik sepasang tangan kekar itu adalah ayahku. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
LUSY tak habis mengerti kenapa bayi yang ia lahirkan itu kerap menangis terlebih ketika terlalu lama ada di dekatnya. Bahkan, Lusy tidak habis pikir ketika bayi yang diberi nama Berta itu tumbuh dan mulai bisa bicara dengan lincah justru kerap sakit bersamaan ketika ayahnya sakit. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Semula, Lusy tak menyadari semua itu. Lusy baru terhenyak kaget tatkala Handoko mendapat tugas ke luar kota tiba-tiba menelpon. "Dari tadi, perasaanku tidak enak. Apakah benar Berta demam?"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Bagaimana kau bisa tahu?"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Sebab, aku sedang demam," tegas Handoko. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Lusy diam, tak bisa berkata apa pun. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Kapan Berta mulai demam?"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Tidak lama setelah ayahnya pergi."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Dugaanku tak salah" ujar Handoko. "Tapi tak usah khawatir. Jika aku sembuh, perlahan-lahan Berta pasti sembuh."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak sampai enam jam, Handoko menelpon lagi. Dia mengabarkan demamnya sembuh. Sesaat sebelum Handoko menelpon, Lusy ingat betul panas Berta pun turun. Waktu itu, Berta masih berumur 4 tahun. Tapi sejak itu kala Handoko sakit, bisa dipastikan Berta sakit. Dan sakit yang diderita Handoko dan Berta selalu sama. Ketika Handoko sakit sariawan dan enggan makan, Berta pun sariawan. Saat Handoko atau Berta, salah dari mereka sembuh, salah satu yang lain ikut sembuh.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Kejadian-kejadian di luar akal sehat itu, kian membuat Lusy benci Handoko. Lusy merasa Berta lebih mencintai ayahnya daripada dirinya. Bahkan ketika Handoko mendapat tugas untuk ke luar kota dari kantor tempatnya kerja, Berta selalu bertanya: kapan ayahnya pulang? Sepanjang malam, selama Handoko di luar kota, Berta kerap tak bisa tidur. Padahal Lusy tergolong wanita yang hidup teratur, termasuk kebiasaan tidur tepat waktu, pukul sepuluh malam. Maka, Berta yang tak mau tidur sebelum ayahnya menelpon dan mendongeng, membuat Lusy keropotan. Celakanya, Lusy tak bisa mendongeng. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Lusy tambah kesal. Tahun berbilang. Usia pernikahan Lusy dan Handoko hampir sepuluh tahun berlalu. Tetapi, kedekatan Berta dengan Handoko, kian menambah Lusy sakit hati. Lusy merasa ia punya alasan membenci Handoko bahkan sepanjang pernikahan mereka. Apalagi, Handoko dan Lusy, banyak memiliki perbedaan. Handoko suka musik, seni dan tidak tertarik fasion. Sebaliknya, Lusy benci musik, seni, dan suka fasion. Tragisnya, Berta memiliki banyak kesamaan dengan Handoko. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Kelahiran Berta, perlahan-lahan, tidak menjadikan Lusy jatuh cinta kepada Handoko. Justru, Lusy semakin punya seribu alasan untuk membenci Handoko setengah mati. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
HARI ini, aku terbujur kaku di rumah duka. Waktu seperti berhenti, dan membeku. Ruangan rumah duka penuh dengan aroma bunga. Tidak lama berselang, setelah aku dimasukkan ke rumah duka, Lusy dan Berta datang. Putriku menangis, memanggil-manggil namaku. Gema tangisnya terasa menyanyat ke segala ruangan. Aku tahu putriku terpukul dan merasa bersalah saat menjumpai sosok ayahnya mati dalam kecelakaan yang tragis. Dan istriku menangis tersedu. Setelah bertahun-tahun aku tidak pernah melihat Lusy menangis, apakah sekarang ia menangis demi aku? Apakah ia merasa kehilangan setelah aku tak lagi bernyawa? </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tidak lagi ingat, bagaimana mobil yang aku kemudikan itu menubruk trotoar ketika aku melaju kencang setelah Berta menelponku dan memintaku pulang karena ia habis dimarahi Lusy. Aku hanya ingat samar-samar dan setelah itu semua yang kulihat hitam pekat. Aku hanya merasakan ada sepasang tangan halus yang merogoh sukmaku. Apakah itu malaikat? Aku ragu.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Lusy mendekapku seperti tak ingin melepas kepergianku. Tapi sayang, semua itu sudah terlambat. Sekelebat, aku justru melihat bayangan seseorang berpakaian hitam di sekitar rumah duka. Rasanya, ia akan tetap di luar sana, dan aku tahu ia pasti menangis. Sebab aku mendengar dan mengenal betul isak tangis itu. Isak tangis yang membuatku merasa tenang dan damai.***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Condet, 2012-2016</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-43280082798142880452016-07-30T04:36:00.000+07:002016-07-30T04:42:00.418+07:00Tanggung Jawab Moral Penulis Biografi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDDbrGs3gDB-WFczmWvpF-hWvNbU0q5MjN2-4bRLnHj9X1DEF4YNM2yrn4ewd2PBmOYT9FP9mPJd3veH0XIzPfrLjVlk9VvKc-mHrBYhCT0-8_H4ky3mjba2WehCsm5Cd3zUPpzsQZcqE/s1600/black-and-white-1031_.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDDbrGs3gDB-WFczmWvpF-hWvNbU0q5MjN2-4bRLnHj9X1DEF4YNM2yrn4ewd2PBmOYT9FP9mPJd3veH0XIzPfrLjVlk9VvKc-mHrBYhCT0-8_H4ky3mjba2WehCsm5Cd3zUPpzsQZcqE/s200/black-and-white-1031_.jpg" width="135" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Satu tahun yang lalu (tepatnya tanggal 7 Agustus 2015), aku menerima "sebuah e-mail" dari seseorang yang tidak kukenal. E-mail tersebut diberi judul "permohonan". Dari judul yang dibuat, rasanya tidak ada yang menarik untuk kubaca lebih jauh. Sejenak aku berpikir: ah, ini paling-paling surat elektronik dari seseorang yang ingin minta sumbangan, atau bisa jadi surat elektronik dari orang di luar negeri untuk minta bantuan kepadaku lantaran dia dinikahi orang asing, lalu suaminya meninggal (biasanya kecelakaan), dan dia memiliki dana cukup besar yang ditawarkan kepadaku untuk bisa kurahasiakan. </div>
<a name='more'></a><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku yakin, kamu pasti pernah menerima surat elektronik semacam itu. Jadi, beberapa detik, aku merasa tak ada hal yang istimewa dari email tersebut. Tapi, entah kenapa email tersebut seperti menggedor-gedor rasa penasaranku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk membaca email tersebut --lantaran ada sesuatu yang melintas di sudut otakku bahwa semua ini, tak semata-mata kebetulan. Setelah aku membaca dengan cermat, teliti, dan seksama, aku seperti disentak halilintar. Kutengok ke luar kamarku. Langit cerah dan hari tidak sedang dirundung mendung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, di sudut hatiku yang paling dalam sekali, seperti ada yang berdenyut-denyut setelah kutahu bahwa email tersebut ditulis oleh anak dari seorang bandar narkoba yang namanya sangat terkenal dan tak asing di negeri ini. Dalam email tersebut, dia bercerita ayahnya sedang dijatuhi hukuman mati. Dia menceritakan bahwa dia menghubungiku lantaran sang ayah ingin menulis sebuah buku biografi dan dia menawariku untuk menulis biografi tersebut. Selain ingin dikenang, sang ayah ingin mengungkapkan kehidupan gelap narkoba dan yang lebih penting lagi --sebagaimana kupahami--, kebobrokan para penegak hukum di negeri ini. Di akhir email tersebut, sang anak memohon (bantuan) dengan sangat kepadaku agar aku bersedia menulis buku biografi sang ayah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak langsung menjawab email tersebut. Aku tiduran di atas kasur, menatap langit-langit dan merenung; siapakah aku ini? Aku bukan penulis terkenal, apalagi penulis biografi yang mumpuni. Aku hanya penulis jalanan yang kadang-kadang mengirim tulisan di koran. Itu saja! Tetapi, kenapa dia menghubinguku? Apa "alasan" dia menulis e-mail dan menghubingiku untuk menulis buku biografi sang ayah?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mungkin, sampai sepuluh tahun pun jika aku menebak-nebak sendiri semua pertanyaan itu, aku tak akan menemukan jawaban yang memuaskan dan melegakan. Aku akhirnya memutuskan untuk menyimpan semua pertanyaan itu, dan menjawab pendek jika aku bisa membantu untuk mewujudkan penulisan biografi itu, tentu aku bantu. Apalagi jika buku itu kelak bisa dipetik sebagai pelajaran dan bermanfaat bagi pembaca. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi, sebenarnya hatiku masih bimbang. Aku diselimuti rasa bersalah, dan tanggung jawab moral jika aku akhirnya mau menerima tawaran tersebut. Aku pun berusaha melupakan email tersebut, tetapi tiap jam berlalu; jantungku seperti berdugup tak henti-henti. Apalagi, tidak selang lama dia membalas emailku; mengajak bertemu dan ingin mempertemukanku dengan sang ayah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi aku tidak langsung menyanggupi. Berhari-hari aku bertanya pada hati nuraniku, dan bertanya kepada beberapa teman tentang implikasi apa yang akan aku terima jika aku menerima tawaran tersebut. Setidaknya, ada beberapa jawaban dari beberapa teman yang bisa aku kelompokkan dalam beberapa kategori. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pertama, aku diminta untuk menerima tawaran tersebut sebab bayarannya pasti besar. Kedua, ada yang menyarakankan agar aku bekerja (baca: menulis) dengan profesional. Jadi, tidak usaha memandang yang aku tulis itu siapa --yang penting: berkerja secara profesional. Ketiga, beberapa teman memintaku untuk menanyakan hal itu kepada hati nuraniku. Ini yang menurutku paling membuatku tambah bimbang. Sebab, jika memintaku untuk kembali ke hati nuraniku, kenapa aku minta saran padamu???</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berhari-hari, aku tak kunjung memutuskan apakah aku menerima atau menolak tawaran ini. Akibatnya, aku selalu mengulur waktu ketika sang anak dari bandar narkoba tersebut memintaku untuk dipertemukan dengan sang ayah. Hingga suatu hari, setelah datang email bertubi-tubi dan meminta waktuku untuk bertemu, aku memutuskan TIDAK MENERIMA TAWARAN tersebut. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kini, setelah satu tahun berlalu, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kabar "eksekusi mati" yang dilakukan oleh "tim regu tembak" di Nusakambangan -dan tragisnya lagi salah satu dari yang dieksekusi itu ada "orang" yang riwayat hidupnya sempat mau kutulis biografinya. Sebenarnya, berita itu tidak mengejutkanku. Sebab kabar tentang hukuman matinya pun sudah lama kudengar. Tapi di balik cerita eksekusi itu, ada yang membuatku terkejut --sebagaimana yang diungkapkan oleh Haris Azhar-- jika selama ini almarhum yang telah dieksekusi mati itu, ternyata sudah menyetor uang (baca kurang lebih) 450 milyar ke BNN dan 90 milyar ke pajabat di mabes Polri. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat saya membaca kesaksian Haris Azhar tersebut, aku langsung diingatkan dengan peristiwa setahun yang lalu. Aku pun langsung mengobrak-abrik surat elektronik yang sempat kuterima dari anak yang ayahnya dikenal sebagai bandar narkoba dan juga hampir saja riwayat hidupnya mau kutulis dalam sebuah "biografi". Aku kembali membaca email itu: satu per satu, dan menemukan jawaban kenapa dia menawariku untuk menulis sebuah buku biografi. Dari beberapa email tersebut, ia menceritakan bahwa ayahnya sebenarnya ingin mengungkap semua ini lewat buku biografi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dini hari ini, waktu aku menulis catatan ini, sempat aku membayangkan apa yang terjadi jika aku dulu menerima tawaran tersebut? Aku membayangkan apa reaksi orang-orang. Sejenak aku bahkan membayangkan buku biografi itu ada di deretan buku-buku yang pernah kutulis, dan aku mengenang bahwa dalam sejarah perjalanan kepenulisanku, aku sempat menulis sebuah buku "biografi orang yang dieksekusi mati". Tetapi, semua itu hanya bayanganku. Sebab, aku tak pernah memutuskan untuk menulis biografi itu. Dan aku sama sekali tak menyesal dengan keputusan yang telah kubuat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sudah hampir satu bulan setengah aku tidak menulis satu tulisan pun --baik di koran, di tempatku bekerja atau di blog yang aku miliki. Tapi dini hari ini, tiba-tiba tanganku seperti digerakkan oleh keinginan untuk menulis. Keinginan yang tidak bisa aku bendung, dan semua itu mengalir begitu saja. Itu saja yang bisa aku lakukan! Aku menulis "catatan" ini untuk sedikit mengenang masa laluku --setidaknya hal itu sebagai tanggung jawab moral penulis biografi atau mungkin catatan di balik sebuah eksekusi mati. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah saya panjang lebar menulis catatan ini, pasti kamu tahu: siapa orang itu. Jadi, kalau kamu ingin menulis buku biografi, saranku cuma satu: jangan menghubungiku!!! Sebab, aku tidak tahu bagaimana nasibmu di masa yang akan datang. </div>
<br />
Jakarta, dini hari 30/07/2016<br />
<br />penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-52778031972099979772016-06-12T03:22:00.000+07:002016-09-11T16:38:35.487+07:00Aroma Kematian<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLnZdUxsOaKOps107tnFpUnOfAQLpxcZLHtHvFpNBq4YWicbdDYGOngD-XyQua304h7BV8J-oA97vSD12MJbk_OWlE3OTe1kKnejU-TludxSHs4vWHSQhmwIrTyXLNaOfVEW4JoHkWl40/s1600/aroma-kematian+%2528ilustrasi%2529.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLnZdUxsOaKOps107tnFpUnOfAQLpxcZLHtHvFpNBq4YWicbdDYGOngD-XyQua304h7BV8J-oA97vSD12MJbk_OWlE3OTe1kKnejU-TludxSHs4vWHSQhmwIrTyXLNaOfVEW4JoHkWl40/s200/aroma-kematian+%2528ilustrasi%2529.jpg" width="135" /></a></div>
cerpen (Tribun Jabar Minggu 12 Juni 16)</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
TEPAT tengah malam, ustadz Ma`ruf terbangun. Samar-samar, dia merasakan tanah di bawah ranjang seperti retak, seakan bumi digoncang gempa. Keringat membasahi dahi, kening, dan punggungnya. Apalagi, setelah dia mendengar suara aneh yang tiba-tiba menelusup telinga. Suara ganjil yang terdengar seperti tubrukan dua benda asing yang beradu, dan menimbulkan suasana mencekam dan menakutkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a> <br />
<div style="text-align: justify;">
Sudah terbiasa ustadz Ma`ruf bangun tengah malam untuk menunaikan shalat Tahajud di mushalla, di sebelah rumahnya, lalu membaca al-Qur`an sekitar satu juz. Tapi malam itu, dia merasakan suasana lain, seolah-olah berada di sebuah tempat sempit yang membuatnya sesak napas, tapi dia sadar bahwa dia tidak sedang bermimpi.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Dia turun dari ranjang, bersijingkat menuju jendela. Dari balik gorden, dia mengintip ke arah mushalla. Berkali-kali, dia memicingkan mata, hampir tak percaya. Keranda di samping mushalla bergoyang seakan minta diturunkan dari tempatnya. Tak jauh dari tempat keranda itu, kayu pemukul bedug berdiri di atas lantai seperti menari-nari. Sesekali, menimbulkan suara ganjil akibat beradu dengan lantai. Belum pupus keheranan ustadz Ma`ruf dengan apa yang dia lihat, hidungnya mencium bau aneh yang menguar dari keranda seperti bau bangkai. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ustadz Ma`ruf menutup hidung, tak kuat menahan bau busuk yang menguar ke segala penjuru. Kira-kira semenit. Lalu keranda itu tak bergoyang. Kayu pemukul bedug tak bergerak. Perlahan aroma tak sedap pun hilang. Ustadz Ma`ruf tercenung, berdiri kaku di balik jendela, tapi tak memiliki firasat apa pun tentang kejadian itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Dan malam itu, ustadz Ma`ruf tak jadi menunaikan shalat tahajud. Dia masuk ke kamar, menarik selimut, kembali tidur. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
MENJELANG Subuh, ustadz Ma`ruf masih meringkuk, berselimutkan sarung.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Maimunah heran. Tak pernah ia bangun pada sepertiga malam menjumpai suaminya masih tidur seperti pagi itu. Ia memegang kening suaminya. Dugaannya tidak salah, suaminya sakit. Keningnya panas. Ia enggan membangunkan lelaki yang telah mendampinginya selama lima tahun itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi menjelang Subuh, ia mendengar pintu rumahnya diketuk. Setelah membuka pintu, ia menjumpai Saripah berdiri di depan pintu dengan napas tersengal. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Lelaki saya...," ujar Saripah seperti berat melanjutkan sepatah kalimat yang mengganjal di tenggorokan. Ada sesuatu yang berat untuk dikatakan. "Suami saya... sakaratul maut. Saya ke sini untuk meminta tolong ustadz datang ke rumah agar mau membimbing suami saya sebelum ajal menjemput."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Maimunah ikut gugup, merasakan kecemasan yang dialami Saripah. Tetapi ia bimbang membangunkan suaminya. Ia diam cukup lama, hingga rasa iba menjalar pelan-pelan. "Baiklah, Mbak pulang dulu. Saya akan meminta ustadz segera datang. Semoga semuanya dimudahkan Allah."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Selepas kepergian Saripah, ketika berjalan ke kamar hendak membangunkan suaminya, ia masih bimbang. Tapi, ia terperanjat saat memasuki kamar justru suaminya sudah bangun. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Siapa yang datang?" </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Saripah. Ia bilang suaminya sakaratul maut. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ustadz Ma`ruf tercengang. Dia teringat peristiwa ganjil tadi malam. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Oh, ya... Saripah ke sini meminta ustadz datang ke rumahnya."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Saya akan segera datang." </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi... bukankah ustadz sedang demam?"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Urusan umat harus didahulukan daripada kepentingan pribadi," jawab ustadz Ma`ruf tegas. Padahal, dia sendiri heran. Peristiwa aneh itu tiba-tiba membuatnya demam, tapi setelah mendengar kabar suami Saripah sakaratul maut, perlahan dia pulih. Tiba-tiba, tubuhnya sehat. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Selepas mengambil air wudhu, ustadz Ma`ruf bergegas ke rumah Saripah. Tapi, ketika dia menginjakkan kaki di rumah Saripah, suami Saripah sudah menemui ajal. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Sepanjang jalan pulang, tak henti-henti dia tercenung.</div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
SEJAK kejadian itu, ustadz Ma`ruf seperti bisa mencium aroma kematian. Awalnya, dia tidak yakin jika peristiwa ganjil malam itu adalah sebuah isyarat tentang datangnya kematian orang-orang di kampungnya. Tapi, setelah kejadian itu terjadi berulang kali, dia tidak menepis dan semakin yakin jika peristiwa keranda di sebelah mushalla yang bergoyang seakan minta diturunkan, kayu pemukul bedug yang berdiri di atas lantai menari-nari, dan bau bangkai itu adalah kabar dari langit yang memberi isyarat tentang kematian seseorang yang akan terjadi.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Seminggu sejak kejadian ganjil itu, dia kembali terbangun tergerap, lalu mengintip dari balik jendela, dan lagi-lagi melihat keranda bergoyang, kayu pemukul bedug menari-nari, juga mencium bau busuk yang menyengat hidung. Dalam hati, dia membatin: apakah ini pertanda... Tapi, dia tidak berani mendahului takdir. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ustadz Ma`ruf merasa heran, jika selepas kejadian tengah malam seminggu yang lalu, dia tiba-tiba demam, tetapi kali ini justru dia tidak kuasa menepis bau busuk yang tak kunjung hilang dari hidungnya. Bau busuk itu pun mengingatkannya pada misteri kematian. Apalagi, bau busuk itu menguar tak kunjung hilang. Meski bau itu menguar dari jarak yang cukup jauh, tetapi merambatkan kabar ke hidung ustadz Ma`ruf. Diam-diam, selepas shalat tahajud ustadz Ma`ruf mengikuti rambatan bau busuk yang menguar itu, dan mengantarkannya ke sebuah rumah di pinggiran kampung. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Dan ternyata siang harinya, ustadz Ma`ruf mendapat kabar bahwa salah satu orang yang menghuni rumah tersebut meninggal. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Apa yang aneh dengan peristiwa itu? Ustadz Ma`ruf tidak pernah bisa menebak. Dia mengingat-ingat masa lalunya dan baru sadar kalau dulu sewaktu masih jadi santri di salah satu pesantren di Jawa Timur dia memang pernah menjalani puasa untuk mendapatkan kesaktian. Tapi, dia merasa puasanya itu gagal karena ketika dia mengujinya dengan menggoreskan golok di tangan dan kakinya, ternyata kulitnya tergores. Apakah kesaktian itu baru muncul sekarang ini meski kesaktian itu tidak berujud kekebalan tubuh, tapi penciuman yang tajam membaca kematian? Ustadz Ma`ruf sendiri tak yakin. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, sejak kejadian pada malam yang ganjil itu, dia seperti dianugerahi penciuman yang tajam dan seakan bisa membaca kabar dari langit tentang kematian. Apalagi, setelah kejadian itu terjadi berulang kali, dan ustadz Ma`ruf menjumpai rumah yang menebarkan aroma busuk, ternyata pada pagi atau siangnya, didapati salah satu dari penghuni rumah tersebut mati. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Dia tahu, tak ada satu orang pun yang bisa membaca kabar kematian seseorang. Tetapi, setelah dia menjumpai kejadian ganjil itu dan menemukan kenyataan yang tidak dapat dia tepis, dia tetap tidak sombong dan merasa tahu sebelum kejadian itu terjadi. Dia yakin semua itu adalah anugerah dari Allah. Maka ustadz Ma`ruf menyembunyikan semua itu, tak menceritakan kepada siapa pun tentang kelebihan yang dianugerahkan Tuhan bahwa dia bisa mencium aroma kematian, termasuk kepada istrinya. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
SUDAH berulangkali ustadz Ma`ruf terbangun tengah malam dan menjumpai peristiwa ganjil seperti itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Hingga suatu hari, ustadz Ma`ruf terbangun dan merasakan tanah seperti retak. Lalu, dia beranjak menuju jendela, dan mengintip keluar. Dia melihat keranda di sebelah mushala bergoyang seakan minta diturunkan, kayu pemukul bedug berdiri di atas lantai, menari-nari kemudian diiringi semerbak bau bangkai yang menyesakkan hidung. Tatapi, kini, ustadz Ma`ruf benar-benar tidak bisa menelusuri muasal bau busuk itu. Selepas Subuh, dia hanya tahu jika bau busuk itu tak jauh dari rumahnya. Sayang, walaupun sudah mondar-mandir mengelilingi rumah, tetap saja dia tidak menemukan sumber bau itu. Anehnya lagi, setelah dia keluar dari rumah, bau busuk itu tetap menyertainya. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Kali ini, ustadz Ma`ruf merasa kesaktiannya bisa mencium aroma kematian benar-benar hilang. Hingga matahari di atas ubun-ubun, dia bahkan tidak kunjung menemukan muasal bau itu. Akhirnya, dia pun pulang. Tapi sesampai di rumah, dia justru dikejutkan ucapan istrinya, "Dari tadi, saya mencium bau busuk di rumah ini. Saya sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tak kunjung menemukan muasal bau itu."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Jadi, bau busuk itu ada di rumah kita?"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Ya," jawab Maimunah. "Tapi, saya rasa..., ada yang aneh."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Ada yang aneh?"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Saat ustadz tadi keluar rumah, justru bau itu hilang."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ustadz Ma`ruf merasa heran, tapi dia seketika sadar. Dia mencuim bajunya, dan betapa terkejutnya dia ketika tahu bau busuk itu justru dari sekujur tubuhnya. Dan dia ingat, tadi pagi, dia menerima amplop dari salah satu tim sukses pemilihan calon gubernur. Saat dia menerima amplop itu, masih terngiang di telinganya, "Ustadz jangan lupa, dalam cemarah besok ustadz harus berceramah untuk mengarahkan calon pemilih, mau tak mau, mereka harus memilih calon yang kami usung."</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ustadz Ma`ruf langsung merogoh saku baju koko yang dikenakan, menemukan amplop dalam saku, dan langsung menciumnya. Rupanya, bau itu bersumber dari amplop tersebut. Buru-buru, dia berlari ke teras dan menyalakan sepeda motor. Beberapa menit kemudian, dia sudah melaju kencang di atas sepeda motor, entah hendak pergi ke mana. Berkali-kali istrinya memanggil, tapi dia seperti tak peduli. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Hari itu, Maimunah melihat tingkah suaminya dengan penuh tanda tanya. Lebih aneh lagi, ia merasa seperti mencium aroma kematian. ***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Condet, 2012-2014</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-75253837481606789582015-12-20T17:45:00.001+07:002015-12-20T20:03:25.010+07:00Tikus<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxW14-YOGTIMbMdxgvlAD1-eVWG5Pa3XeoShB0XPiT3Z9XKWmuJYjOjvJuhyphenhyphenVOBB6VY39G0siQZ54oV9DtYjWZij8iChuv81azsAZ0pve62qDWX24hKsF0kSJOAZnCUQhh3oaQ92j6dDQ/s1600/2_DSC_0497.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxW14-YOGTIMbMdxgvlAD1-eVWG5Pa3XeoShB0XPiT3Z9XKWmuJYjOjvJuhyphenhyphenVOBB6VY39G0siQZ54oV9DtYjWZij8iChuv81azsAZ0pve62qDWX24hKsF0kSJOAZnCUQhh3oaQ92j6dDQ/s200/2_DSC_0497.JPG" width="133" /></a></div>
cerpen (Solo Pos, Minggu 20 Desember 15)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SUDAH lama Ibrahim bermimpi punya rumah. Rumah sederhana, yang tak terlalu besar, asal bisa membuat dia tidur nyenyak sepulang dari kerja. Itu sudah cukup. Rumah yang membuat Ibrahim tak lagi mengontrak, tak pindah dari satu kampung ke kampung lain. Apalagi, sejak Ibrahim menikah enam tahun lalu. Mimpi itu pun melintas kuat di otak Ibrahim.</div>
<div style="text-align: justify;">
<a name='more'></a><br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi mimpi itu tinggal mimpi. Bulan berlalu, dan tahun pun berbilang, Ibrahim masih terus mengontrak rumah. Ibrahim tak kunjung bisa mewujudkan mimpi membeli rumah, walaupun rumah tipe 21. Padahal sudah 10 tahun dia merantau, bekerja banting tulang di ibu kota. Sayang keinginan punya rumah itu seperti mimpi di siang bolong. </div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Selama 10 tahun merantau di Jakarta, sudah 6 kali dia pindah kontrakan. Kini rumah keenam yang dikontrak boleh dikata sederhana. Memang tak cukup besar tapi sudah layak ditinggali. Ada 2 kamar tidur. Rumah yang pas untuk pasangan muda seperti Ibrahim yang baru memiliki satu anak. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebenarnya, kontrakan terakhir ini jauh lebih layak jika dibandingkan dengan rumah kontrakan yang disewa pada tahun-tahun sebelumnya. Di rumah ini, Ibrahim sudah merasa cocok; kerasan. Bahkan, dia sempat berpikir kontrakan ini jadi kontrakan terakhir dan setelah itu dia berencana beli rumah. Tapi tak demikian dengan Fatimah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kalau bisa besok kita pindah kontrakan," ujar Fatimah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibrahim melongo. Kaget. Tak ada angin, tak ada hujan, istrinya tiba-tiba minta pindah. "Kita baru seminggu tinggal di sini, dan sudah bayar satu tahun. Jika kita pindah, tak mungkin uang kita dikembalikan! Lalu, uang dari mana lagi kita bayar kontrakan yang baru?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi, rumah ini tak layak ditinggali..." ujar Fatimah, seraya menarik tangan suaminya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibrahim mengikuti Fatimah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Coba kau melongok ke bawah, dan kau lihat apa yang ada di sana!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibrahim mencium bau tak enak, tapi dia tetap merunduk lalu melongok ke kolong bawah mesin cuci. Ibrahim terpana. Tak terbayangkan jika di bawah mesin cuci itu dia melihat tahi tikus berceceran. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Astaga... Kenapa ini bisa terjadi?" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Itu belum seberapa," ujar Fatimah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibrahim bingung, geleng-gelang kepala.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Fatimah kembali menggeret tangan Ibrahim, membawanya ke dapur. Ibrahim yang tak banyak berkecimpung di dapur menurut. Kembali, Fatimah minta Ibrahim melongok di kolong bawah kompor, tempat tabung gas. Lagi-lagi, dia mencium bau tak sedap. Dia tak membayangkan jika di kolong bawah kompor gas juga telah dipenuhi tahi tikus. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi selama ini aku tak melihat tikus berkeliaran..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kau jarang di rumah, dan pulang kerja larut malam. Jadi pantas tak melihat tikus di rumah ini. Suatu hari nanti, aku yakin kau akan tahu apa yang dilakukan tikus-tikus itu di rumah ini..."</div>
<div style="text-align: justify;">
*** </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SEBENARNYA Ibrahim sudah bosan mengontrak. Apalagi sejak terjadi peristiwa tahi tikus di kolong mesin cuci dan dapur. Hati Ibrahim tertusuk, dan mimpi memiliki rumah itu pun membuatnya tak bisa tidur. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hampir sepanjang malam, dia berpikir keras bagaimana bisa beli rumah. Seminggu yang lalu, saat rumah yang dikontrak tahunan jatuh tempo, dia terpaksa bobol tabungan. Padahal, dia mengumpulkan uang itu susah payah. Dia menyisihkan seperempat gajinya, sebelum dikasihkan ke Fatimah untuk belanja. Rasanya, dia seperti sia-sia menabung karena selalu habis dibuat bayar kontrakan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dia ingat, sepulang dari rumah pak Kosim, pemilik kontrakan, istrinya berseloroh. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kita ini menabung tiap bulan, tetapi sia-sia saja! Lalu, kapan kita bisa membeli rumah bila seperti ini terus?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kali ini aku serius. Aku berani berjanji, tahun depan kita akan punya rumah sendiri."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Hampir setiap tahun, terlebih setelah bayar uang kontrakan, aku selalu mendengar janji seperti itu. Dulu, aku senang mendengarnya dan berharap tahun depan bisa menempati rumah baru. Tapi, janji itu kini seperti angin lalu..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibrahim menoleh ke arah istrinya, dan tersenyum. Ibrahim memang selalu berjanji seperti itu, hampir setiap tahun. Dan dulu, dia melihat istrinya berbinar bahagia habis mendengar janji seperti itu. Dia tak pernah melihat binar mata yang bening di kelopak mata istrinya, dan itu hanya terjadi dulu ketika dia berjanji seperti itu di awal-awal tahun pernikahan. Tapi kini telah berubah. Tak ada binar mata yang bening di kelopak mata istrinya walau dia berjanji akan membelikan rumah tahun depan. Bahkan seminggu lalu, saat dia berjanji seperti itu, dia melihat istrinya menitikkan air mata.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Jika kau tak mampu memenuhi janjimu, tolong tak usah berjanji...."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selama menikah, Ibrahim tak pernah melihat istrinya menangis dengan mata diliputi kecewa, kecuali malam itu. Ibrahim ingat itu. Dia tercenung sepanjang malam. Setiap kali dia membayangkan peristiwa itu dia merasa gagal membahagiakan istrinya. Awal-awal menikah dulu dia merasa ekonomi rumah tanggannya lebih baik. Waktu itu, istrinya masih bekerja jadi guru di salah satu SDIT bonafit di Jakarta. Tapi, tiga tahun lalu, istrinya memutuskan keluar setelah melahirkan dan sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga untuk membesarkan Noura, putrinya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kini, apa kuasa Fatimah? Ia hanya ibu rumah tangga. Tak lagi punya tabungan. Tidak lagi menerima gaji bulanan seperti dulu. Ibrahim menduga Fatimah menangis karena tak lagi kerja, dan tak lagi mendapatkan gaji. Mungkin, Fatimah menyesal karena memilih menjadi ibu rumah tangga sehingga tak bisa menabung lagi. Tanpa sadar Ibrahim yang sedang merenung pun menitikkan air mata. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi tiba-tiba dia dikejutkan sekelebat tikus yang berlari di lantai. Dia terperanjak kaget, seraya menjerit. Jerit Ibrahim membuat Fatimah terbangun. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kenapa?" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Aku melihat tikus," jawab Ibrahim</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Aku melihat tikus tiap hari, tapi tak histeris sepertimu."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi aku baru melihat sekarang ini...."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Besok kau akan tahu tikus-tikus itu berbuat lebih jauh dari itu. Kau tunggu saja!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Fatimah kembali tidur, tetapi Ibrahim masih tercenung di ruang tamu. Dia berpikir lagi bagaimana caranya bisa membeli rumah. Kali ini, terpikir untuk mengajukan KPR. Tapi dia terpikir lagi; bagaimana mendapat uang muka? Ibrahim terus berpikir, hingga disergap kantuk lalu tertidur. Tapi belum sampai Subuh tiba, dia merasa ada sesuatu yang menggelitik di ujung kakinya. Dia terjaga, menjerit keras karena ujung kakinya dirasa pedih dan sakit. Dia menengok ke arah ujung kakinya, dan kaget ketika ujung kakinya dilihat penuh darah. Darah itu bahkan menetes, dan membasahi lantai. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Fatimah terbangun. Ia melihat Ibrahim di ruang tamu meringis kesakitan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kenapa?" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kakiku digigit tikus, bahkan hingga darah mengucur di lantai," jawab Ibrahim.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Hampir setiap minggu kakiku digigit tikus, bahkan darahku juga mengucur di lantai," jawab Fatimah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi kenapa baru kali ini kakiku digigit tikus?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Besok kau akan merasakan tikus-tikus itu akan berbuat jauh lebih dari itu."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Fatimah kembali tidur, tapi Ibrahim tak bisa tidur sepanjang malam.</div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
IBRAHIM tak tahu apa yang akan terjadi besok. Dia tak tahu apa yang akan dilakukan tikus-tikus itu. Berkali-kali dia mendesak istrinya bercerita apa yang akan dilakukan tikus-tikus itu, Fatimah diam. Dia tahu, Fatimah menyembunyikan sesuatu. Dan Fatimah memilih diam karena tuntutannya untuk pindah rumah kontrakan tak dipenuhi Ibrahim.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibrahim memutuskan berbuat sesuatu sebelum tikus-tikus itu berulah lebih kejam. Dia memutuskan membeli racun tikus.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sehari kemudian, dia merasa apa yang dilakukan itu berhasil. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kini kita tak perlu pindah rumah," ujar Ibrahim. "Tikus-tikus di rumah ini sudah mati."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kita harus pindah rumah! Titik! Jika tidak, aku tak tahu apa yang akan terjadi di rumah ini seminggu atau dua minggu ke depan. Dulu aku sudah pernah membeli racun tikus. Jadi, apa yang kau lakukan itu akan sia-sia..." bantah istrinya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiga hari kemudian, kontrakan Ibrahim dipenuhi bau menyenyat. Fatimah marah; mencari bangkai ke mana-mana, tetapi tak ketemu. Berkali-kali, ia memburu bangkai itu, hanya membuatnya kesal. Bahkan, sehari kemudian ia menemukan belatung-belatung menggeliat hampir di setiap sudut kontrakan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kau ini hanya menambah pekerjaan rumah aja! Tikus-tikus itu memang mati tapi sebagai gantinya tikus itu mendatangkan belatung."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi setelah ini, aku yakin kontrakan ini tak lagi menjadi sarang tikus," bantah Ibrahim.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi aku tetap ingin pindah! Titik! Jika tidak, aku tak tahu apa yang akan terjadi di kontrakan ini beberapa hari ke depan," ujar Fatimah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibrahim yakin tikus-tikus itu telah mati. Tetapi, apa yang diramal Ibrahim salah. Tanpa diduga, malam itu, tiba-tiba dia melihat sekelebat tikus berlari di lantai. Ibrahim berang. Dia mengejar tikus itu. Di luar perkiraanya, tikus itu masuk ke kamar mandi, lalu menelusup lubang WC. Perut Ibrahim mual. Malam itu, Ibrahim memutuskan untuk membunuh tikus itu dengan sebatang kayu dan siap mengintai di balik kamar mandi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lima menit kemudian, Ibrahim girang. Dia melihat tikus itu keluar dari lubang WC. Dia siap membunuh dengan sebatang kayu. Tetapi, usaha Ibrahim itu sia-sia. Tikus itu berlari dengan kencang, lalu tikus-tikus yang lain berhamburan keluar dari lubang WC. Tikus-tikus itu berlarian di lantai rumah. Ibrahim tidak bisa berkutik. Setiap kali Ibrahim berusaha membunuhnya, tikus-tikus itu kembali masuk lubang WC. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibrahim tak bisa berbuat apa-apa. Dan, malam itu, Ibrahim memutuskan; besok pagi dia harus pindah rumah kontrakan.*** </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
CL-14</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Selain menulis cerpen ia juga menulis novel dan reportase untuk sebuah majalah Islam di Jakarta. Novel terbarunya Tidur Berbantal Koran (Elex Media: 2013)</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-22345796078923437482015-08-09T21:38:00.000+07:002015-08-09T21:45:35.895+07:00Uang Bau Tanah<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivfW8ceyk2qXVToSuGRE5R1h2j8EQazRYemjhEG32E_yWDb8FY5Dq-QrnOjxCLxQk4qXcRBSeItj4AhnSd3BfcYO2bm5x3zV2ceTO-wxWSS_VYKTFRnoGxDTxNUy8nnBginxUchCuYvBU/s1600/ilustrasi+cerpen+Uang+Bau+Tanah+%2528KR+9+Agustus+15%2529.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivfW8ceyk2qXVToSuGRE5R1h2j8EQazRYemjhEG32E_yWDb8FY5Dq-QrnOjxCLxQk4qXcRBSeItj4AhnSd3BfcYO2bm5x3zV2ceTO-wxWSS_VYKTFRnoGxDTxNUy8nnBginxUchCuYvBU/s200/ilustrasi+cerpen+Uang+Bau+Tanah+%2528KR+9+Agustus+15%2529.jpg" width="200" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Cerpen (KR, Minggu 9 Agustus 15)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
SEJAK satu bulan yang lalu, Haikal sudah berjanji tak akan menyentuh uang itu lagi. Uang yang ia sebut-sebut uang bau tanah, dan telah membuat celaka dua orang yang telah dia tolong dengan tulus. Tetapi, pagi ini Haikal bimbang. </div>
<a name='more'></a><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Semua itu bermula dari dering telepon ibunya. Awalnya, Haikal tak peduli nada handphone berdering kencang dari dalam rumah. Haikal tetap khusuk membaca koran di teras, hingga tiba-tiba, dia dikejutkan istrinya yang berlari tergopoh-gopoh dari dalam rumah dengan suara mengagetkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Mas, ada telepon dari ibu." </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Haikal sempat terdiam beberapa detik. Perasaannya seperti digulung gelombang dahsyat yang mencemaskan. Sebab dia tahu ibunya tak pernah menelepon, kecuali ada hal penting. Sepontan dia meletakkan koran, menerima handphone dari tangan Maimunah, istrinya. Tangan Haikal bergetar, dia seperti sudah merasakan ada isyarat berita sedih. Dan, dugaan Haikal tak keliru. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah mengucap salam, Haikal tak bersuara. Ia diam mendengarkan ibunya bercerita. Maimunah masih berdiri di samping Haikal, samar-samar mendengar pembicaraan mertuanya dan lelaki yang menikahinya lima tahun silam itu: pembicaraan seputar ibu mertuanya yang sudah terkena katarak, dan dalam waktu dekat dokter menyarankan untuk operasi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu sudah menelepon Kakak?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Belum. Ibu hanya menceritakan hal ini kepadamu!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu tak perlu cemas soal biaya operasi," tegas Haikal "Saya nanti yang akan menanggung biayanya. Ibu harus mengikuti saran dokter untuk menjalani operasi!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari seberang, Haikal seperti melihat seulas senyum yang merambat dari mulut ibunya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi sebelum ibunya menutup telepon, Haikal sempat bimbang. Bukan lantaran Haikal tak punya uang, tapi Haikal sudah berjanji tak akan menggunakan uang itu. Tapi, kini Haikal harus melanggar janjinya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Wajar, saat Haikal menutup telepon, istrinya langsung bertanya, "Jadi, Mas besok akan pulang dengan membawa uang bau tanah itu?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tak ada pilihan lain," jawab Haikal.</div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
DUA bulan lalu, Haikal mendapat rezeki tak terduga. Rezeki yang dianggapnya turun dari kolong langit. Tanpa dia duga, Pak Syamsudin, teman SMA Haikal datang dan mengucapkan rasa terima kasih atas bantuannya. Dan, saat mau pulang, Pak Syamsudin memberi salam tempel amplop putih tebal. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Uang dalam amplop ini tak seberapa, tolong diterima," ujar Pak Syamsudin seraya pamit pulang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ini apa-apaan, Pak," Haikal sempat bingung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kau pasti tak lupa kejadian enam bulan lalu saat aku datang ke sini minta bantuan dicarikan tanah. Anggap ini persen dariku," tegas Pak Syamsudin.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Haikal meletakkan amplop itu di atas meja, mengantar Pak Syamsudin sampai pintu pagar rumah dan menunggu hingga mobil Pak Syamsudin hilang di tikungan jalan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, betapa terkejutnya Haikal setelah masuk rumah, membuka amplop dari Pak Syamsudin dan menghitungnya: lima puluh juta rupiah. Dia dan Maimunah saling pandang. Sebab, awalnya, dia hanya berniat membantu mencarikan tanah buat usaha property Pak Syamsudin. Tak lebih dari itu. Tapi, berkat bantuan itu Haikal ternyata mendapatkan bagian. <br />
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SEBENARNYA, tak hanya kali itu Haikal mendapatkan uang dalam jumlah besar. Uang yang bisa disebut rezeki tak terduga. Tiga tahun lalu, saat Maimunah hendak melahirkan Noura, anak pertamanya, dia sempat digulung cemas. Usia kandungan Maimunah, waktu itu sudah menginjak delapan bulan. Tapi, dia tak punya tabungan untuk biaya persalinan. Padahal, istrinya diperkirakan dokter akan melahirkan lewat operasi caesar. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba Haikal mendapatkan rezeki tak terduga. Dia memenangkan undian, dan mendapat uang tunai dua puluh juta rupiah. Bagi Haikal, yang hanya karyawan rendahan di sebuah pabrik kertas dengan gaji tiga jutaan, tentu uang dua puluh juta itu sangat banyak. Apalagi, waktu itu Haikal sedang butuh biaya kelahiran anaknya. Uang itu akhirnya bisa menyelamatkan kegetiran hidup Haikal. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rezeki tak terduga yang kedua datang tatkala Haikal kembali digulung masalah. Haikal dililit banyak utang. Beruntung, saat tagihan itu hampir jatuh tempo, sementara dia tidak punya apa pun yang bisa dijual, istrinya membawa kabar gembira bahwa dia mendapat bagian warisan. Haikal bisa melunasi utang-utangnya, bahkan bisa menempati rumah baru -setelah mengajukan kredit rumah, dan bisa membayar uang muka lima puluh persen. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Haikal selalu beruntung. Dua bulan lalu, Pak Syamsudin datang membawa rezeki. Ia dapat amplop lima puluh juta rupiah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hanya saja, saat itu Haikal sedang tak dililit masalah. Dia pun menyimpan uang itu di dalam almari. Tapi, belum genap tiga hari uang itu dalam genggaman Haikal, datang kabar salah satu temannya butuh biaya operasi usus buntu. Haikal menyumbang lima juta. Dia berharap, dari bantuan uang itu, temannya bisa segera sembuh dari penyakit yang diderita. Tapi, harapan Haikal itu ternyata tak seperti yang dibayangkan. Temannya meninggal lima hari kemudian.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seminggu kemudian, datang kabar yang menyedihkan. Salah satu temannya di Surabaya menderita kanker paru-paru stadium IV dan harus operasi. Haikal ikut solidaritas teman-teman yang lain untuk meringankan biaya operasi dengan menyumbangkan uang dari pak Syamsudin sebesar lima juta. Tiga hari setelah itu, Haikal dikejutkan kabar duka. Temannya itu meninggal.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berita itu membuat Haikal langsung merenung. Dia bahkan penasaran. Malam itu, ketika istrinya sedang tidur pulas, dia mengambil uang dalam amplop yang disimpan di almari, lalu mencium lembaran uang dari Pak Syamsudin itu. Hidung Haikal seperti menemukan aroma aneh. Uang dari Pak Syamsudin menguar bau tanah. Sejak malam itu, ia berjanji menyimpan uang bau tanah itu di almari, dan tidak bersedia menyentuhnya lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, telepon dari ibunya membuat dia harus ingkar janji. Haikal tak punya pilihan lain, dia terpaksa mengambil uang bau tanah dari dalam almari, dan memberikan semua uang itu buat biaya operasi mata ibunya. Kemarin, saat dia menyerahkan uang dalam amplop itu kepada ibunya yang terbaring setelah tiga hari melakukan operasi katarak, tangan Haikal sempat gemetaran. Ia nyaris tak bisa berkata apa pun. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Anakku, selama ini aku tahu kamu hidup pas-pasan, dan tidak memiliki tabungan," kata ibunya, "Lalu, dari mana engkau mendapat uang sebanyak ini?" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Haikal sempat diam, dan bingung untuk menjelaskan asal muasal uang itu. Tapi, sejak kecil Haikal tak pernah berbohong pada ibunya. Kemudian, Haikal bercerita jujur asal usul uang itu. Wanita setengah baya yang sudah ditinggal pergi ayah Haikal sepuluh tahun yang lalu itu pun hanya mengangguk-angguk. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Aku berharap dengan uang ini Ibu dalam waktu dekat bisa sehat dan bisa kembali melihat tanpa gangguan," ucap Haikal. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibunya memegang tangan Haikal dengan erat dan Haikal membalas memegang tangan ibunya. Air mata ibunya menitik. Haikal merasa momen itu merupakan kebahagiaan puncak yang dialaminya sebagai seorang anak. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tiga hari setelah ini, aku akan menelepon Ibu," janji Haikal sebelum balik ke Jakarta. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SEBENARNYA, Haikal tidak lupa dengan janji yang telah diucapkan. Dia tahu, hari ini adalah hari ketiga setelah Haikal balik ke Jakarta. Dia seharusnya menelepon ibunya. Tapi, dia tak memiliki keberanian. Bayangan dua temannya yang mati setelah dia menyumbang uang untuk biaya operasi berkelebatan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Haikal tak ingin ada kabar duka lagi. Apalagi, jika kabar itu menimpa ibunya. Akhirnya, malam itu, dia memilih tidur lebih awal. Dan, tatkala Subuh menyingsing, samar-samar dia mendengar suara seseorang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Bangun, bangun Mas! Ada kabar dari rumah! Kakakmu menelepon...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Haikal terjaga dari tidur, memicingkan mata ke arah jam dinding. Jarum pendek menunjuk angka lima. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ada berita apa?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ibumu…” ujar istrinya. Dan begitu panggilan untuk wanita setengah baya yang telah melahirkan Haikal itu disebut, dia langsung lemas. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku tak ingin mendengar berita duka! Apalagi, jika itu menimpa Ibu...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Istighfar, Mas.... Istighfar! Ibu masih sehat!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Lalu?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kakakmu menelepon mau mengatakan bahwa dia mau mengembalikan uangmu, dan bahkan akan mengembalikan sebesar tiga kali lipat yang mas berikan kepada ibu...!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Haikal seketika bersimpuh. Dia merasa salah menebak rahasia Tuhan. *** </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jakarta, 2013-2015</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Republika, Jurnal Nasional, Suara Karya, Tabloid Nova, Majalah Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Batam Pos, Radar Surabaya, Surabaya Post, Surya, Lampung Post, Bengawan Post, Solo Post, Inilah Koran, Suara Merdeka, dan Tabloid Cempaka. Dia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah Islam di Jakarta. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-6356260047491103582015-06-27T21:30:00.000+07:002015-08-09T21:47:49.406+07:00Setengah Jam Setelah Pemakaman<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZyaJc8MlVOLrsiPQgPj2BH_meFI3aBpjq7yZdk4Izt7E-yY4v5ibdrAoKfYXisj7aZL_I8AAh9gxgU-0h2fuT2-BaYTH-OZcphlPb0jl3SBOiWsz34MbsDVRcTr3WMtFtdZaXvMul4mk/s1600/2_DSC_0170.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZyaJc8MlVOLrsiPQgPj2BH_meFI3aBpjq7yZdk4Izt7E-yY4v5ibdrAoKfYXisj7aZL_I8AAh9gxgU-0h2fuT2-BaYTH-OZcphlPb0jl3SBOiWsz34MbsDVRcTr3WMtFtdZaXvMul4mk/s200/2_DSC_0170.JPG" width="133" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Cerpen (Tabloid Cempaka edisi 14, 27 Juni - 3 Juli 2015)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
AKU tiba di rumah mertuaku, setengah jam setelah pemakaman. Aku datang terlambat, tepat saat orang-orang kampung baru saja pulang dari tempat pemakaman umum. Aku turun dari ojeg, lantas melangkah dengan menunduk. Di halaman rumah mertuaku, aku melihat ceceran bunga, terpal yang meneduhi rumah dan deretan kursi yang kosong. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<a name='more'></a><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Aku memasuki rumah mertuaku dengan mengucap salam sekaligus diliputi rasa bersalah. Tapi di ruang tamu itu, aku hanya menemui wanita-wanita asing. Semua mata menatapku dengan kaget. Tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenal. Mungkin mereka itu keluarga dari ibu atau ayah mertuaku. Tapi aku belum pernah melihat mereka sebelumnya atau barangkali aku lupa karena aku memang jarang pulang --hanya pulang setahun sekali saat lebaran dan itu pun tidak lama. Paling hanya dua atau tiga hari untuk keperluan mengantar istriku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi dalam suasana kikuk itu, rupanya ada yang menyelamatkanku. Dari sekumpulan wanita asing di ruang tamu itu, ada yang mengenalku. "Istrimu ada di kamar. Ia masih sedih dan menangis...Ibu mertuamu berusaha menenangkan,</div>
<div style="text-align: justify;">
" ujar seorang wanita yang tak kukenal, dengan menunjuk ke kamar depan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku melangkah ke kamar. Di luar kamar, aku mendengar isak tangis yang tertahan. Aku meraih daun pintu, membuka dengan pelan. Suara tangis istriku kian pecah dan kencang setelah melihatku di ambang pintu. Aku berjalan ke arah ranjang, dan duduk di sisinya setelah mencium tangan ibu mertuaku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu mertuaku kemudian memilih keluar kamar, tetapi istriku masih tetap menangis. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Aku datang terlambat, padahal aku sudah berjuang sekuat tenaga untuk bisa datang pagi tadi..." </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Istriku masih menangis, tak menanggapi alasanku. Aku semakin bingung. Dari dulu, aku memang selalu bingung menghadapi wanita saat menangis, tidak hanya menghadapi istriku tetapi juga perempuan-perempuan lain yang pernah menjadi kekasihku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Menangislah, jika itu membuatmu lega dan tidak merasa bersalah kepada ayahmu," kataku menenangkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tahu, ia benar-benar merasa bersalah karena saat ayah mertuaku meninggal ia tak ada di rumah. Ia menceritakan itu lewat telepon sebelum aku pulang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Aku hanya menyesal kenapa saat ayah meninggal aku tidak ada di rumah, tak ada di sisinya," ujarnya pelan, tatkala ia menelponku untuk minta segera pulang karena ayah mertuaku meninggal mendadak. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak pernah terpikirkan oleh istriku jika ayahnya pergi selamanya dalam waktu singkat. Istriku bercerita, ia tak punya firasat apa pun. Hari itu, saat ayahnya meninggal, keluarga istriku dirundung musibah. Kakak istriku mengalami kecelakaan dan semua keluarga datang ke rumah sakit, karena kakak istriku dilarikan ke rumah sakit--untuk menjalani operasi. Di rumah, hanya ada ibu mertuaku. Pagi itu, ayah mertuaku hanya mengeluh sakit perut. Tidak ada yang lain. Tetapi berselang tiga jam kemudian kabar sedih itu sampai ke telinga istriku yang ada di rumah sakit. Ibu mertuaku menelepon jika ayah mertuaku meninggal. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kenapa sebelum pergi ke rumah sakit itu aku tak pamitan lebih dulu kepada ayah?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia terus merasa bersalah. Dan aku ikut merasa bersalah. Tetapi, aku merasa beruntung karena seminggu sebelum mertuaku meninggal, aku mengizinkan istriku pulang. "Kamu justru akan merasa menyesal, dan merasa bersalah seumur hidup kalau seminggu yang lalu tidak pulang. Kau tidak akan bisa bertemu ayahmu, bahkan sebelum kematian menjemputnya," balasku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia mulai melirihkan tangisnya. Aku yakin, ia sudah merasa sedikit lega. Tetapi, saat tangis istriku sudah mulai reda, sejujurnya aku justru ingin menangis. Aku ingin menangis lantaran ingatanku tiba-tiba melintasi dua keping peristiwa kematian yang terjadi pada saat yang berbeda, tetapi kepingan kenangan itu hampir sama. Uniknya, dua keping kenangan itu membuatku tak bisa juga menebus perasaan bersalah di lubuk hatiku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku melangkah ke arah jendela lantas membukanya lebih lebar. Sore itu, aku melihat langit berwarna kelabu. Dari balik punggungku, aku tahu istriku masih terpukul dan isak tangisnya, aku tahu, sudah membasahi sarung bantal. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Aku ingin membelikan obat buat ayah. Tetapi, aku sudah tidak punya uang lagi. Tolong transfer uangku yang aku simpan di almari," pinta istriku lewat telepon seminggu yang lalu setelah dia sampai di kampung. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ya, nanti aku transfer," jawabku singkat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, sejatinya aku bingung. Saat itu tanggal tua, aku belum gajian. Uang di dompetku hanya tinggal seratus ribu, dan di dalam almari cuma ada dua ratus lima puluh ribu rupiah. Tetapi, istriku memang tak meminta banyak. Ia hanya minta uang dua ratus lima pulih ribu. Akhirnya, saat mengirim uang istriku itu, aku lebihkan lima puluh ribu rupiah. Jadi, aku mengirim uang tiga ratus ribu rupiah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, aku tak pernah menyangka, seminggu kemudian ayah mertuaku meninggal, dan uang lima puluh ribu rupiah itu adalah uang pemberianku pertama sekaligus yang terakhir buat ayah mertuaku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku mendengar ranjang istriku berderit. Dari balik kaca jendela, aku tahu istriku bangkit dari ranjang kemudian duduk di sisi ranjang. Ia sudah tidak menangis lagi, tetapi saat aku menoleh, aku melihat matanya masih memerah, basah, dan cekung. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia menatapku. "Kau memikirkan apa?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Aku menyesal, kenapa saat itu aku hanya melebihkan uang lima puluh ribu rupiah untuk ayah. Jika aku tahu ayahmu akan meninggal, mungkin aku akan mencari uang tambahan," jawabku jujur. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia tersenyum dengan pahit. Dalam suasana duka, aku tahu ia sebenarnya ingin menertawakan kekonyolanku, tapi kesedihan tak bisa membuatnya tertawa lepas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Istriku bangkit, lalu keluar kamar, karena ibu mertuaku memanggilnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku masih berdiri di dekat jendela, menatap langit yang berwarna kelabu. Satu keping peristiwa kematian lagi yang tak bisa kulupakan seumur hidupku tiba-tiba melintas; kematian ayah kandungku. Saat itu aku baru lulus kuliah dan baru bekerja di sebuah pabrik kertas sebagai kuli angkut. Gajiku belum banyak, karena masih masa percobaan. Tapi, aku sungguh beruntung masih bisa mendapatkan gaji yang ternyata masih tersisa untuk ayahku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiga hari setelah aku menerima gaji, kebetulan ada temanku yang mampir ke kontrakanku dan berniat mau pulang kampung. "Kau tidak menitipkan sesuatu untuk ayahmu?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Sebentar," jawabku pendek, seraya masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar, aku rogoh saku celanaku yang menggantung di balik pintu. Setelah kugeledah dengan teliti, ternyata tak kutemukan uang, kecuali hanya satu lembar lima puluh ribu rupiah. Buru-buru, uang itu aku masukkan ke dalam amplop dan sebelum dia pamit pulang, kutitipkan amplop itu kepadanya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ini buat ayahku. Sampaikan salamku. Ceritakan aku sudah bekerja, meski hanya menjadi buruh pabrik. Mungkin, uang ini kecil, tetapi saya berharap bisa membeli obat buat ayahku yang sering sakit-sakitan..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dia mengangguk. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi, aku tak pernah menduga jika uang itu adalah pemberianku untuk pertama kali dan sekaligus yang terakhir kepada ayahku. Karena, seminggu kemudian, aku mendapat kabar yang mengejutkan. Ayah jatuh dari sepeda, dan dilarikan ke rumah sakit. Ayahku terkena strok. Seketika itu, aku pulang. Tiga hari kemudian, ayahku meninggal tanpa pernah meninggalkan pesan apa pun, dan sepatah kata pun. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kenapa seumur hidupku, aku hanya mampu memberi uang lima puluh ribu rupiah kepada ayahku dan bahkan sebesar lima ribu rupiah juga kepada ayah mertuaku? Irosnisnya, uang itu pemberianku yang pertama sekaligus yang terakhir. Setelah itu, aku tak akan pernah bisa memberi apa pun lagi kepada ayahku dan juga mertuaku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari bingkai jendela, aku menatap langit yang berwarna kelabu. Di luar kamar, aku mendengar ada tamu yang datang. Aku tak tahu siapa tamu yang datang, tetapi tiba-tiba istriku masuk ke dalam kamar. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ada uang lima puluh ribu?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku merogoh saku celanaku untuk mengambil dompet, tapi tidak kutemukan uang, kecuali hanya satu lembar uang lima ribu rupiah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Hanya ada ini," jawabku sambil menunjukkan uang lima puluh ribu rupiah dari dalam dompet. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Hanya segitu memang yang dibutuhkan!" jawab istriku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Memang untuk apa?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Untuk tambahan melunasi uang obat ayah yang kemarin belum terbayar."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku bernapas lega. Aku benar-benar merasa beruntung, karena dengan uang terakhir yang aku miliki, ternyata aku masih bisa memberi uang lima puluh ribu lagi buat ayah mertuaku yang sudah meninggal. **** </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Cililitan, 2014-2015</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Selain menulis cerpen ia juga menulis novel dan reportase untuk sebuah majalah Islam di Jakarta. Novel terbarunya Tidur Berbantal Koran (Elex Media: 2013)</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-26044160533824212112014-06-08T01:06:00.000+07:002014-06-18T01:16:02.975+07:00Peri Kertas<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiC6j7it4ZdC7e104aWUWFnu4QPqGrsCPqmkpz06ohP2IWI9KdWOd161cusevmNvERiHPg0WaqwHlEJImJJ894-e3heIWTHltVPUPF1lNP6ahP0Pxch64KQNZT3H2TckjGFMCDjxa1x0l8/s1600/cerpen+PERI+KERTAS+(Solo+Pos+8+Juni+2014).jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiC6j7it4ZdC7e104aWUWFnu4QPqGrsCPqmkpz06ohP2IWI9KdWOd161cusevmNvERiHPg0WaqwHlEJImJJ894-e3heIWTHltVPUPF1lNP6ahP0Pxch64KQNZT3H2TckjGFMCDjxa1x0l8/s1600/cerpen+PERI+KERTAS+(Solo+Pos+8+Juni+2014).jpg" height="200" width="108" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
cerita pendek (Solo Pos, Minggu 8 Juni 2014)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SUBUH hampir berlabuh ketika Maliki terjaga dari mimpi. Sekelebat, bocah mungil yang masih duduk di bangku kelas tiga SD itu seperti melihat tubuh yang lembut turun dari hamparan langit, lantas bergulung dengan gemulai tepat di samping rumah. Tubuh lembut itu berjalan seperti mengambang di atas tanah. Gaun putih yang dikenakan menjuntai panjang bagai gulungan ombak, bergelombang seakan mengiringi langkah kakinya yang berjalan pelan ke arah jendela kamar tempat Maliki meringkuk kedinginan. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Maliki disergap takut. Dia bergidik, bulu-bulu tipis di sekujur tangannya berdiri bagai ilalang kering. Dalam benak, Maliki bertanya: apakah tubuh lembut itu peri kertas yang turun dari langit untuk menolong bocah malang sepertiku? Dia sempat melihat sekilas, memang mirip bidadari, bahkan serupa seorang putri dengan rambut yang tak cukup panjang. Tak ada pita merah yang terikat di rambutnya. Tak ada mahkota yang terpasang di kelapanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi Maliki melihat samar-samar, tubuh lembut itu menggenggam tongkat ajaib dengan percik sinar yang menyilaukan di ujungnya dan tangan sebelah membawa secarik kertas. Saat membayangkan sosok itu, Maliki kian disesap takut. Ia meringkuk, dan kembali menarik sarungnya. Tak berkata-kata. Tak menjerit. Dia memejamkan mata rapat-rapat, merapal doa. Dia berharap, tubuh lembuh itu adalah peri kertas yang selama ini datang menolongnya tepat di saat dia memasuki tahun ajaran baru sekolah. Kalau itu yang terjadi, pagi nanti dia akan bisa berangkat ke sekolah dengan riang, memanggul tas penuh dengan buku pelajaran tahun ajaran baru. Maliki tak takut lagi dimarahi Bu Dina, sebagaimana pagi kemarin, karena Maliki tak memiliki buku-buku pelajaran baru kelas tiga. Jadi, subuh itu, Maliki berdoa agar harapannya dikabulkan Tuhan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maliki berdoa cukup lama, hingga rasa takut yang menciutkan nyalinya hilang. Dan Maliki berharap, ketika membuka mata pelan-pelan, membayangkan peri kertas itu menjatuhkan buntelan buku terbungkus kertas coklat -di dekat jendela. Setumpuk buku yang terbungkus kertas coklat serupa baju seragam pramuka yang biasa dia kenakan di hari Jum`at dan Sabtu. Tapi, setelah lama memejamkan mata, dan membaca segala doa yang dia hapal, Maliki tidak mendengar sesuatu jatuh di dekat jendela. Dia penasaran, membuka mata. Saat itu, dia memiliki keberanian bangkit, berjalan menuju jendela dan memandang ke luar. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di luar jendela, tidak ada siapa pun. Di samping rumah, Maliki hanya melihat tumpukan kardus bekas lusuh. Dia berdiri mematung di dekat jendela, memandang hamparan langit yang murung. Gumpalan awan bergelombang, bulan sepenggalan, dan bintang gemintang yang mengambang bagai kunang-kunang yang beterbangan, tetapi bekerjap letih. Di Subuh yang rapuh itu, Maliki merasa lemas lantaran tidak menjumpai buntelan buku di dekat jendela. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dia kembali merebahkan tubuh, kemudian tidur lagi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maliki tergerapap bangun ketika ibunya berteriak meminta Maliki segera mandi dan berangkat ke sekolah. Tetapi sebelum Maliki berangkat ke sekolah, Maliki sempat menceritakan kejadian itu kepada Maimunah. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maimunah setengah tak percaya dengan cerita anak semata wayangnya itu. Meski pun berkali-kali Maliki bercerita kepada ibunya bahkan sejak kali pertama menerima buntelan buku dari peri kertas yang baik hati sewaktu masuk kelas satu SD, Maimunah justru menuduh Maliki telah mencuri buku-buku tersebut dari toko buku di dekat sekolah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dari mana kau dapatkan buku-buku pelajaran ini?" tanya Maimunah ketika pertama kali mendapati tas anak lelakinya itu penuh dengan buku. Padahal, ia belum membelikan buku-buku tersebut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dari...," Maliki bingung menjawab. Sebab, dia tidak kenal dengan tubuh lembut yang turun dari hamparan langit waktu Subuh itu. Dia hanya sekilas melihat sosok lembut serupa bidadari yang turun dari langit seperti kisah yang diceritakan oleh ibunya: sosok peri kertas yang datang untuk menolong anak-anak yang ditimpa kesedihan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Katakan dengan jujur, anakku? Dari mana kau dapatkan buku-buku ini?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dari peri kertas" jawab Maliki spontan. Dia menyebut sosok lembut yang mirip bidadari itu dengan sebutan peri kertas lantaran bidadari itu mirip seperti yang dikisahkan ibunya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Anakku, Ibumu selama ini tidak mengajarimu untuk berbohong. Jadi, katakan dengan jujur, dari mana kau dapatkan semua barang ini?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maliki bergidik takut karena dia sendiri tak tahu bagaimana harus menjelaskan pada ibunya tentang bidadari baik hati yang datang di waktu Subuh itu. Maklum, dia sendiri seperti bermimpi. Tahu-tahu, saat bangun tidur, dia menjumpai buku-buku itu ada di dekat jendela, dan dia sekilas melihat sekelebat tubuh lembut turun dari langit. Jadi, Maliki yakin bahwa bidadari itulah yang meninggalkan buku tersebut di dekat jendela. Tapi, bagaimana dia harus menjelaskan? Maliki benar-benar bingung! </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Apakah kau mendapatkan buku-buku ini dengan cara mencuri?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maliki menggelengkan kepala. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maimunah semakin bingung, dan tak mengerti. Maimunah memeluk anak semata wayangnya itu, menangis sesenggukan, lantas meminta kepada Maliki berjanji untuk tidak mencuri. ”Berjanjilah pada Ibu, kau akan jadi anak baik, dan tak mencuri walaupun kelaparan.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maliki mengangguk. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Lalu, dari mana kau dapatkan buku-buku pelajaran ini?" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maliki kemudian menceritakan kejadian yang di mata Maimunah cukup muskil itu, yang terjadi tiga tahun lampau. Maliki menceritakan apa adanya, seperti yang dia lihat tentang tubuh lembut yang turun dari langit, bergulung dengan gemulai, tepat di samping rumah. Seteleh itu Maliki melihat samar-samar tubuh itu meninggalkan bungkusan buku di dekat jendela. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Jadi, buku-buku ini kau dapatkan dari peri kertas?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maliki mengangguk. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maimunah kembali memeluk anak semata wayangnya itu, tetapi di dalam hati, Maimunah tak habis pikir bahkan tak percaya sepenuhnya dengan cerita itu. Apalagi, sejak peristiwa tak masuk akal itu, setiap tahun ajaran baru, Maliki selalu bercerita tentang peri kertas yang turun dari langit, kemudian meninggalkan bungkusan buku di dekat jendela. Diam-diam, Maimunah merasa bersalah --bukan semata-mata dia tidak mampu membelikan buku-buku pelajaran buat Maliki, tetapi juga lantaran dia sering kali bercerita tentang kehidupan peri.</div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
DULU, sebelum Maliki masuk sekolah, setiap malam Maimunah selalu bercerita tentang kehidupan peri. Dengan cerita itu, dia berharap anaknya tumbuh jadi anak pemberani. Tetapi, kala itu Maimunah bercerita tentang peri jahat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Apakah semua peri itu jahat?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tidak semua peri itu jahat, anakku. Ada peri yang baik hati."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sejak itulah, Maimunah selalu bercerita tentang peri yang baik hati. Entah dari mana Maimunah mendapat cerita tentang peri yang baik hati itu tapi di depan Maliki dia seperti mendapat ilham dari langit tentang kisah peri yang dijuluki Maimunah dengan peri kertas; peri yang turun dari langit untuk menolong anak-anak kecil yang dirundung masalah dengan memberi makanan, minuman, permen, atau apa pun yang dibutuhkan anak-anak malang hanya dengan mengibaskan secarik kertas. Dari kertas tersebut, peri baik hati itu seperti bisa menyulap hal-hal yang tak mungkin menjadi mungkin. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tetapi, saya bukan anak yang malang, Bu! Saya masih memiliki Ibu yang baik hati! Hanya saja, ayah pergi meninggalkan Maliki sehingga Maliki merasa kesepian."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Anakku, suatu hari nanti, ayahmu pasti akan kembali."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Apakah peri yang baik hati itu akan mengantarkan ayah pulang?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu tidak tahu, Nak. Karena itu, kita sebaiknya berdoa agar peri yang baik hati itu --besok atau entah kapan-- akan datang ke rumah kontrakan ini mengantarkan ayahmu!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maliki tersenyum, lalu melonjak-lonjak girang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Hari sudah malam, sebaiknya Maliki tidur. Tetapi, sebelum tidur, kita berdoa semoga Tuhan mengirimkan peri baik hati yang datang entah kapan untuk mengantarkan ayahmu pulang."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maimunah mengajari Maliki membaca doa sebelum tidur, kemudian ditambah dengan permintaan agar ayahnya segera pulang. Usai berdoa, Maliki langsung tertidur. Tapi, mata Maimunah tak bisa terpejam. Sepanjang malam, ia tertegun. Ia ingat dengan suaminya yang tanpa ada kabar sejak Maliki masih berumur dua tahun. Waktu itu, suami Maimunah pamit pergi ke Kalimantan untuk melihat keadaan di tanah rantau yang konon menurut cerita salah satu teman suaminya cukup menjanjikan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Nanti jika kehidupan di rantau itu benar-benar menjanjikan, saya akan mengajak kamu dan Maliki pindah ke sana untuk mengubah nasib."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maimunah mengangguk, meski sebenarnya ia berat melepas kepergian suaminya. Bahkan, di benak Maimunah, ia merasa ada yang terlintas dalam pikiran dan itu membuat Maimunah takut. Walaupun di Jakarta suaminya hanya jadi buruh bangunan, tetapi Maimunah sudah bahagia. Sebab, di mata Maimunah, suaminya itu pendiam, tak suka judi, tak main perempuan. Baginya, itu sudah cukup --meski dari tahun ke tahun masih kontrak rumah petak di perkampungan kumuh. Tapi, apa yang sempat ditakutkan Maimunah itu terjawab dengan kabar simpang siur. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika bulan berbilang, dan suami Maimunah tak kunjung pulang, tersiar kabar yang tak menentu. Ada yang mengabarkan suami Maimunah telah mati. Ada yang mengabarkan kesengsem wanita lain sehingga tak pulang. Ada lagi kabar; suaminya dipenjara lantaran terlibat kasus pembunuhan. Tapi dalam hati, Maimunah yakin suaminya masih hidup dan suatu hari kelak akan pulang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi, setelah tahun berbilang, dan suaminya tak kunjung pulang, Maimunah tidak bisa terus menunggu. Ia membesarkan Maliki seorang diri, dan untuk mencukupi kebutuhan hidup terpaksa jadi buruh cuci. Seiring usia Maliki yang bertambah besar, Maimunah seperti tak bisa menjawab ketika anak semata wayangnya menanyakan kepulangan ayahnya, kecuali ia bercerita tentang peri kertas yang baik hati. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
PAGI ini, Maimunah tahu Maliki berangkat ke sekolah tidak membawa buku pelajaran. Maimunah menatap wajah Maliki yang sarapan dengan buru-buru. Sebentar lagi, bocah itu berangkat ke sekolah, dan seperti yang diceritakan Maliki tempo hari, Ibu Dina pasti akan marah lantaran Maimunah belum memiliki uang untuk membelikan buku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maimunah sudah terbiasa dengan kehidupan seperti yang terjadi di pagi ini. Tetapi, pagi ini lain. Sudah berhari-hari, ia tak mendapatkan uang cukup tak saja untuk membelikan buku buat Maliki, tetapi juga keperluan bayar kontrakan. Maka selepas Maliki pergi, ia tidak kuasa menahan air matanya. Apalagi, pagi ini, tenggat waktu bayar kontrakan. Karena pemilik kontrakan seminggu yang lalu sudah datang menagih. Tak mungkin, pagi ini Maimunah berbohong dan meminta kelonggaran waktu lagi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maimunah berharap, pagi ini terjadi keajaiban. Maliki tak dimarahi Ibu Dina. Dan ia mendapat jalan keluar mendapatkan uang. Sungguh, ia tak ingin, siang nanti Maliki pulang menangis. Ia juga tak ingin ketika nanti pemilik kontrakan datang, ia ditimpa amarah. Maimunah berharap ada keajaiban. Ia berharap tiba-tiba suaminya pulang, diantar peri yang baik hati, membawa banyak uang sehingga bisa menyelamatkan hidupnya dari kenestapaan. Ia berharap, bahkan sungguh berharap peri kertas baik hati yang dikisahkan kepada Maliki itu benar-benar datang menolongnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, tiba-tiba ia mendengar suara pintu diketuk dari luar. Jantung Maimunah berdebar. Dan, jantung Maimunah semakin berdetak kencang ketika ia beranjak hendak membuka pintu. ***</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Condet, 2012-2014</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Republika, Jurnal Nasional, Suara Karya, Tabloid Nova, Majalah Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Batam Pos, Radar Surabaya, Surabaya Post, Surya, Lampung Post, Bengawan Pos, Solo Post, dan Tabloid Cempaka. Selain menulis cerpen, dia juga bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit “Dua Janji” (2010).</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-87826495349581598922014-04-20T19:37:00.000+07:002014-04-22T22:41:57.640+07:00PR Matematika<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIy9OmlpbM5IBEXS4GmVAGamy618AKVoLfCVxaiKumEplYYkMCkO3Lp76Q23n-e-CP2TwPIgAw3qCZmwvhi3l5y6d1DpiZzELhEnCBMMzdrJ1Yy-AkJL4ACZgwQNJxkqrkamxIcKFUaDs/s1600/cerpen+PR+Matematika+-+Copy.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIy9OmlpbM5IBEXS4GmVAGamy618AKVoLfCVxaiKumEplYYkMCkO3Lp76Q23n-e-CP2TwPIgAw3qCZmwvhi3l5y6d1DpiZzELhEnCBMMzdrJ1Yy-AkJL4ACZgwQNJxkqrkamxIcKFUaDs/s1600/cerpen+PR+Matematika+-+Copy.jpeg" height="200" width="166" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
cerita pendek ini dimuat di<span style="color: #cc0000;"> Republika</span>, Minggu 20 April 2014</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
TELEVISI di ruang tengah rumah Noura masih menyala. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Noura duduk bersimpuh di karpet, dengan tangan kanan memegang pensil dan di hadapannya terbentang dua ruas buku tulis yang sudah penuh coretan. Gadis berusia sepuluh tahun yang duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar itu bingung menuliskan angka di lembaran kertas. Sesekali, ia menambahkan beberapa angka. Sayang, ia tak tahu apa yang harus dilakukan. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Ia benar-benar tak bisa menghitung. Tak mungkin, ia akan bertanya kepada Bik Munah, wanita setengah baya yang menjadi pembantu di rumahnya. Wanita itu jelas tak akan tahu apapun soal pekerjaan rumah satu ini. Sialnya, ia tak bisa bertanya lagi kepada Ibunya, Meisya. Ibunya barusan pergi. Sepuluh menit lalu, telepon ganggam ibunya berdering. Ia tidak tahu: telepon itu dari siapa. Ia hanya tahu, seketika itu, ibunya menyalakan televisi. Gugup, dan pucat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Saya sudah menyalakan televisi. Tak ada berita apes seperti yang kau ceritakan itu," ucap ibunya kepada seseorang di seberang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Noura menatap ibunya. Ia tak tahu kenapa ibunya gugup. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Jika begitu saya akan segera ke kantor!" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibunya masuk kamar, keluar buru-buru dengan dandanan seadanya seraya memanggil Maimunah. Wanita yang sudah bertahun-tahun jadi pembantu di rumah itu, bahkan sebelum Noura lahir tergopoh-gopoh datang, dan membungkuk. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Munah, tolong jaga Noura! Aku mau pergi!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ya, Bu!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Meisya membelai rambut putri semata wayangnya itu sebelum pergi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Noura, kamu di rumah jangan nakal, ya!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu mau ke mana?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu ada urusan! Ibu berjanji hanya keluar sebentar!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi, PR matematika dari Ibu Merta belum rampung. Noura tak bisa mengerjakan tanpa bantuan Ibu."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Itu urusan gampang! Ibu besok akan menelepon gurumu! Segalanya bisa diatur. Jadi kau tidak usah khawatir..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Noura termangu bingung ketika ibunya pergi tidak seperti biasanya dan dari dalam rumah ia hanya mendengar suara mobil menderu, sebelum akhirnya tak terdengar apa pun, kecuali suara televisi di ruang tengah itu. Ia lebih tidak tahu, dan bingung ketika ibunya berkata PR matematika itu urusan gampang dan besok bisa diatur. Padahal, besok pagi sekali, pada jam pelajaran pertama, ia harus sudah menyerahkan pekerjaan rumah itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Siang tadi, sebelum pelajaran berakhir, ia ingat Ibu Merta hampir memarahinya. Jika Ibu Merta tidak ingat siapa ayah Noura, pasti sudah memarahinya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Hari ini ibu akan minta kalian mengejarkan tugas matematika, tapi lain dari yang lain," ujar Ibu Merta saat membuka pelajaran.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Anak-anak kelas 5 Sekolah Dasar itu pun saling pandang. Tak ada yang bisa menebak apa yang akan ditugaskan Ibu Merta. "Siapa yang bisa selesai lebih dulu, dia bisa pulang."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suasana kelas langsung riuh. Anak-anak bersorak senang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tugas kalian kali ini menghitung berapa gaji orangtua kalian, lalu gaji itu dikurangi oleh pengeluran atau kebutuhan seluruh orang rumah. Hitung juga uang saku kalian! Berapa sisa dari pendapatan orangtua kalian setelah dikurangi pengeluaran, atau semua kebutuhan orang di rumah. Ibu mengajak kalian mengelola uang supaya kelak, kalian semua bisa mengatur rumah tangga yang baik..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Anak-anak kelas 5 itu melongo, tak membayangkan tugas aneh yang diberikan oleh Ibu Merta. Semua tak paham atau masih bingung dengan tugas yang diberikan Ibu Merta. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu, ayahku bekerja sebagai tukang batu," ujar Anton mulai mengungkapkan kebingungannya. Ayahku biasa mendapat upah tujuh puluh lima ribu per hari. Uang ayah langsung habis hari itu juga, setelah dikasih ibu empat puluh ribu, lalu uang saku saya sebesar lima ribu. Sisanya, buat ayah beli rokok dan membeli kopi di warung sebelum berangkat kerja atau sepulang kerja. Bagaimana aku menghitungnya? Apa dihitung per bulan, atau per hari? Kalau menghitung per bulan, malah nanti ruwet, Bu! "</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ya, jika orangtua kalian pekerja swasta seperti ayah Anton, atau pedagang, sopir atau pekerja swasta yang lain, tak perlu menghitung per bulan. Cukup dihitung per hari saja. Dan lantaran pekerja swasta, kadang mendapatkan gaji per hari tidak tentu, maka dibulatkan saja; berapa rata-rata pendapatan atau gaji ayah kalian per hari...." </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Anak-anak kelas 5 di ruangan itu langsung memegang pena menuliskan deretan angka kemudian mengurangi pengeluaran atau kebutuhan di rumah masing-masing. Tidak sampai lima menit Anton sudah mengumpulkan tugas yang diberikan Ibu Merta di selembar kertas. Kemudian disusul oleh Widya, Santi, dan Mualim --yang ayahnya bekerja sebagai guru. Sepuluh menit setelah itu disusul oleh anak-anak lain yang sebagian besar ayah mereka itu pekerja swasta. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selang lima belas menit, semua anak sudah mengumpulkan tugas mereka, kecuali Noura. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di depan kelas, ibu Merta meneliti satu per satu tumpukan lembar tugas dari 30 anak di kelas itu. Ibu guru matematika itu meletakkan kaca matanya, beranjak dari kursi, dan berjalan ke tempat duduk Noura. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Noura, apa ada yang sulit? Lihatlah teman-temanmu sudah selesai dan pulang..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Saya tak tahu apa yang harus saya tulis, Bu!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kenapa? Bukankah ayahmu anggota dewan dan setiap bulan mendapat gaji pasti?" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Noura tidak menjawab, hanya menoleh ke sekeliling. Ia hanya melihat kursi dan bangku yang kosong. Ia kembali menekuri lembar kertas, dan ingatannya melayang pada satu peristiwa yang terjadi tiga tahun yang lalu. Setelah ayahnya dilantik, dalam waktu seminggu, silih berganti orang mendatangi rumahnya untuk bertemu ayahnya. Ada yang minta sumbangan, dan mengaku sebagai saudara lalu minta uang, bahkan ada yang sengaja datang tengah malam membicarakan sesuatu yang tak pernah diketahui Noura. Ia hanya tahu, esok paginya, ada mobil baru di garasi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Bu, apakah saya harus menulis jujur apa yang ada dalam lembaran ini?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tentu saja, Noura!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi saya tak tahu dan bingung..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Apa yang membuatmu bingung, Noura? </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Gadis itu tidak menjawab, justru menyajukan pertanyaan,"Boleh tugas ini saya kerjakan di rumah? Biar nanti saya tanya kepada ayah atau Ibu..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu Merta hampir saja marah, tapi urung dilakukan: ia tahu siapa ayah Noura. Jadi, tak mungkin memarahinya. "Baiklah, kau bisa mengerjakan tugas ini di rumah. Tapi, besok pagi, kau harus sudah menyerahkan kepada Ibu di ruang guru."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Noura langsung mengemasi bukunya dan pulang. Di luar, Bik Munah sudah menunggu. Noura tak sabar ingin cepat sampai di rumah. Ada satu pertanyaan yang ingin diajukan kepada orangtuanya. Sebab, ia bingung. Enam bulan setelah ayahnya dilantik, di garasi ada penambahan tiga mobil baru. Padahal, saat mencalonkan jadi anggota dewan, ayahnya pernah bilang tidak punya banyak uang dan utang ke beberapa orang. Lalu dari mana ayahnya bisa membeli tiga mobil baru dan satu rumah mewah dalam enam bulan?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Noura tahu berapa gaji ayahnya. Ia pernah menemukan slip gaji ayahnya di almari. Tapi dalam benaknya, ayah dan ibunya menyembunyikan sesuatu. Dan ia seperti tak diharapkan untuk tahu...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Noura..., tugasmu itu sekolah yang rajin. Kau tak usah bertanya hal-hal aneh, termasuk dari mana ayahmu mendapatkan semua itu," ujar ibunya menjawab pertanyaan Noura beberapa saat setelah tiba di rumah. Bahkan, ibunya mengumpat. "Gurumu itu sinting! Kenapa ingin tahu gaji orang? Kurang kerjaan saja!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi, apa salah jika Noura ingin tahu?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Semua yang ayahmu kerjakan itu kelak untuk masa depanmu! Jadi, jangan berpikir jauh dan tidak-tidak."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiba-tiba telepon genggam Meisya berdering. Setelah itu, ibunya pergi dan lupa mematikan televisi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Televisi di ruang tengah masih menyala. Noura kesal. Bik Munah seperti tahu apa yang menggumpal di hati Noura, lantas pamit untuk membuatkan teh. Sejenak, Noura menoleh ke layar kaca. Ada sosok wanita cantik yang membacakan berita. Lalu muncul berita yang mengejutkan --ada seorang anggota dewan tertangkap tangan oleh KPK. Noura benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihat di layar kaca. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di dapur, Bik Munah tidak mendengar suara apa pun. Ia sibuk menyeduh teh. *** </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jakarta, 14/11/2013</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Republika, Jurnal Nasional, Suara Karya, Tabloid Nova, Majalah Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Batam Pos, Radar Surabaya, Surabaya Post, Surya, Lampung Post, Bengawan Post, Solo Post, Inilah Koran, Suara Merdeka, dan Tabloid Cempaka. Dia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Karya terbarunya: Tidur Berbantal Koran (Elex Media: 2013)</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-82994916705690036652014-04-12T08:41:00.000+07:002014-05-06T08:48:59.686+07:00Golput dalam Pemilu 2014<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRez90bpnx70790agxwmmgtg4eET3n13hfJOLgXs21lDRq3BquX7Ai5AMXC9B4PZAUgIYNazVdwbi8VG_fqytO7AVP_kfV7on3EgHnNeHFenkt8pSvm-oaf7YyDpmczdIGQf6ltm5s-qk/s1600/foto_opini.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRez90bpnx70790agxwmmgtg4eET3n13hfJOLgXs21lDRq3BquX7Ai5AMXC9B4PZAUgIYNazVdwbi8VG_fqytO7AVP_kfV7on3EgHnNeHFenkt8pSvm-oaf7YyDpmczdIGQf6ltm5s-qk/s1600/foto_opini.jpg" height="200" width="153" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
opini ini dimuat di Bisnis Indonesia Sabtu, 12 April 2014</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
PEMILU legislatif (yang digelar 9 April 2014) telah usai. Meski, KPU (Komisi Pemilihan Umum) belum resmi mengumumkan hasil akhir perhitungan suara pemilu 2014, dari beberapa hasil hitung cepat bisa dipastikan PDIP menang. Pasalnya, dari hasil hitung cepat beberapa lembaga survey tidak jauh berbeda. Quick qount yang dirilis Cyrus-CSIS (Kamis 10/4/14) menempatkan PDIP pada posisi atas --di antara 12 partai politik peserta pemilu yang lain-- dengan mendulang suara 18,90 persen, disusul Partai Golkar 14,30 persen, dan Partai Gerindra 11,80 persen.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Partai Demokrat yang dalam pemilu 2009 menduduki peringkat atas, ternyata mengalami "terjun bebas" --hanya mendulang suara sekitar 9,70 persen. Peningkatan dratis diduduki PKB yang menempati peringkat lima dengan perolehan suara 9,20 persen, disusul PAN 7,50 persen, PKS dan Nasdem 6,90 persen, PPP 6,70 persen, dan Hanura 5,40 persen. Adapun PBB mendapat suara 1,60 persen dan PKPI 1,20 persen.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Peta politik hasil perhitungan sementara pemilu legislatif 2014 ini memang bisa dipastikan akan mengubah "masa depan" bangsa. Sebab, PDIP (pada pemilu 2009 menduduki peringkat ketiga dengan suara 14.45%) telah berhasil menggeser posisi Partai Demokrat (dalam pemilu 2009 meraih posisi atas dengan perolehan suara 20.85%). Tapi terlepas dari pergesaran perolehan suara yang mempengaruhi peta politik itu, ada satu hal yang kerap dilupakan; angka golput masih tinggi dalam pemilu 2014.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Angka Golput Selalu Tinggi</div>
<div style="text-align: justify;">
Setiap kali pemilu digelar, angka atau tingkat pertisipasi masyarakat yang abstain atau kerap disebut "golput" selalu pada kisaran angka yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam pemilu 2014 ini, angka golput masih tetap tinggi. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) memperkirakan angka golput pada pemilu kali ini mencapai sekitar 34,02 persen. Jadi dengan angka 34,02 persen itu, golput sebenarnya bisa diklaim sebagai pemenang pemilu 2014 ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Angka golput yang tetap tinggi dalam setiap episode pemilu, memang bukan hal yang baru. Bahkan, dalam setiap episode Pemilu, angka golput secara rata-rata bisa dikata selalu meningkat. Dalam pemilu 1971, misalnya, golput mencapai 6.64 persen, pemilu 1977 pada kisaran 8.40 persen, pemilu 1982 naik menjadi 8.53 persen, pada pemilu 1987 turun menjadi 8.39%. Tapi, pada pemilu 1992 naik signifikan menjadi 9.09 persen, pemilu 1997 menjadi 9.42 persen, pemilu 1999 mencapai 10.21 persen, pemilu 2004 naik drastis menjadi 23.34 persen dan pada pemilu 2009 naik lebih tinggi menjadi 39.1 persen.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika dalam pemilu 2014 ini, angka golput diprediksi mencapai 34,02 persen, secara umum golput selalu meningkat. Meski pada pemilu tahun ini prosentasenya jauh di bawah pemilu tahun 2009, tetap saja angka golput menduduki posisi selalu "tinggi" -bahkan dalam tiga episode pemilu terakhir (2004, 2009 dan 2014). Tingkat partipasi masyarakat yang rendah dalam menggunakan hak suaranya, atau lebih memilih abstain (golput) dalam setiap pemilu pada era reformasi (sejak 1999 kemudian 2004, 2009, dan 2014 lantaran prosentase golput tinggi), tentu menimbulkan pertanyaan kritis: kenapa pada "era reformasi" justru angka golput bisa jauh lebih tinggi dibandingkan pada masa Orde Baru?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada satu catatan yang bisa dijadikan alasan. Era reformasi yang awalnya memberikan angin segar perubahan ternyata tak bisa memenuhi harapan itu pada tahun-tahun selanjutnya. Hal itu bisa dilihat dari angka golput pada pemilu 1999; 10.21 persen kemudian meningkat menjadi 23.34 persen (pemilu 2004) dan meningkat lagi lebih tinggi menjadi 39.1 persen (pemilu 2009). Jadi sebagian besar orang yang memilih golput berasalan pemilu bahkan pada era reformasi sekali pun tidak membawa perubahan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mengikis Golput</div>
<div style="text-align: justify;">
Satu hal yang perlu dicatat bahwa angka golput yang "tinggi" bukanlah semata-mata karena apatisme masyarakat. Karena, ada beberapa faktor yang "berkelit kelindan" dalam setiap pemilu yang membuat prosentase golput tetap tinggi. Pertama, teknis atau mekanisme pemilu. Golput tinggi bisa dikata tak hanya saja karena masyarakat apatis, tetapi Pemerintah yang diwakili KPU sebegai penyenggara pemilu, secara tak langsung kerap membungkam hak suara rakyat untuk bisa memilih. Tak sedikit rakyat yang kehilangan hak suara semata-mata karena tidak terdaftar dalam DPT. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua, tak bisa disangkal jika faktor paling signifikan mendulang angka golput tinggi adalah sikap apatis masyarakat. Apalagi, sepuluh tahun ini elite partai politik dan anggota dewan yang duduk di senayan tidak banyak memberikan "teladan" dan mewakili aspirasi rakyat, tetapi lebih mementingkan golongan, partai, dan politik dagang sapi. Ujungnya, rakyat seperti muak, karena rakyat seperti dianggap/diperlukan saat menjelang pemilu tapi saat berkuasa dan duduk di senayan lupa dengan janjinya. Akumulasi kemuakan itu yang menjadikan orang apastis ikut pemilu. Kalangan ini kemudian lebih memilih bekerja daripada libur atau keluar rumah untuk mencoblos.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketiga, sumbangan angka golput bisa tinggi ditopang pula oleh kelompok golput idelogis. Kelompok ini justru diwakili kalangan terdidik atau orang-orang yang "melek" politik. Tetapi, karena kemelekan mereka pada politik itulah yang menjadikan mereka justru memutuskan untuk golput. Jadi, mereka golput karena mereka tahu apa yang harus dipilih; yakni golput. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebenarnya, angka golput bisa diminimalisir --paling tidak bisa berkurang. Sayang, pemilu yang selalu diselenggarakan setiap lima tahun sekali itu tidak dijadikan pengalaman dan pembelajaran yang "signifikan" dalam membuat sistem dan mekanisme pemilu yang baik untuk bisa meminimalisir golput. Justru, yang terjadi adanya upaya menjadikan pemilu bisa dimanipulasi untuk dimenangkan partai politik tertentu dengan penetapan DPT yang simpang siur. Ironisnya, hal itu masih ditambah lagi "bergulir wacana hukuman" penjara bagi golput dan fatwa haram bagi golput --yang ternyata tidak memberikan efek dapat menurunkan angka golput turun drastis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi, untuk mengikis golput setidaknya pemerintah ke depan menetapkan mekanisme yang bisa mewadahi semua rakyat ikut berpartisipasi dalam pemilu. Selain itu, hal penting lagi; elite partai memberikan teladan dan bisa menjadi aspirasi rakyat yang benar-benar mewakili segala keluh kesah di tengah masyarakat. Sebab, sebagian besar rakyat sekarang ini sudah kehilangan kepercayaan terhadap anggota dewan dan elite partai --karena tingkat korupsi tinggi, tidak betul-betul memperjuangkan rakyat, adanya skandal seks dan segala degradasi moral yang lain. Tanpa mempertimbangkan dua hal itu, golput tentu akan tetap tinggi dan tak terbendung.</div>
<br />
*) N. Mursidi, pemerhati sosial-politik, tinggal di Jakarta.penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-61840718044033437932014-02-09T08:20:00.000+07:002014-02-09T08:23:08.766+07:00Subuh Kesembilan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFqagZ0FP7fT7ALOun-1lQ1DxH973aNQITd56fki4JeteuQHf00lokJmkkhAmX-q-DpQ2FIgUXKJK23WExbr3SHfcyd7_c25gUFogiy-KISTOjZoAg6gHGuf4Hc6ApCLLv5fruPk4yxds/s1600/cerpen+Subuh+Kesembilan+(Republika+9+Deb+14).jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFqagZ0FP7fT7ALOun-1lQ1DxH973aNQITd56fki4JeteuQHf00lokJmkkhAmX-q-DpQ2FIgUXKJK23WExbr3SHfcyd7_c25gUFogiy-KISTOjZoAg6gHGuf4Hc6ApCLLv5fruPk4yxds/s1600/cerpen+Subuh+Kesembilan+(Republika+9+Deb+14).jpg" height="200" width="125" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Cerpen ini dimuat di <span style="color: red;">Republika</span>, Minggu 9 Februari 2014</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SUBUH. Mobil jeep melaju kencang dari arah Selatan, melintasi sebuah mushalla, lalu berhenti di tikungan jalan. Suara musik dari sound mobil memekakkan telinga. Seorang lelaki berumur tiga puluh lima tahun turun dari jeeb, lalu berjalan dengan gontai. Jeep menderu lagi dengan kencang, seperti pada Subuh yang lain, dan lelaki itu melangkah memasuki gang sempit ke arah rumahnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Bau alkohol masih menyeruak dari mulutnya bergumul dengan aroma busuk selokan di pinggir gang yang mampet. Lelaki itu hampir terpeleset saat kaki kirinya tanpa disadari menginjak lumut di pinggir gang. Untung, ia bisa menjaga keseimbangan, tak tercebur selokan. Sejenak ia menyandarkan tubuh ringkihnya di tembok rumah warga. Dalam keadaan mabuk, ia merasa gang ke arah rumahnya itu jauh. Ia seperti berjalan tak sampai-sampai. Padahal jarak tikungan dengan rumahnya tak sampai tiga ratus meter. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Adzan Subuh berkumandang. Ia menggigil; seperti merasa ada suara gaib yang merambat di telinganya. Ia masih bersandar di tembok. Suara adzan itu semakin mendenging jelas di telinganya. Ia pun mendengarkan adzan hingga selesai. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tatkala dia hendak melangkah pulang, dari arah depan gang, ia sekilas melihat sosok kakek tua bersurban yang berjalan tertatih dengan tongkat. Sudah seminggu ini, ia selalu bertemu kakek itu di gang. Kakek itu berjalan ke masjid, dia melangkah pulang. Tapi, kali ini ia baru sadar, kakek itu bukan warga asli kampungnya. Lalu siapa kakek itu? Tapi saat ingatannya belum menemukan jawaban, ia melihat keanehan lain. Surban si kakek memancarkan pendar cahaya putih berkilau, membuat matanya silau. Ia hanya termangu diam seperti patung. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kakek itu terus berjalan dalam gugusan cahaya dan tiba-tiba sudah ada di depannya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Selalu ada rumah untuk kembali," ucap kakek tua itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia tahu, kakek itu berbicara dengannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ada tempat yang bisa membuat hatimu lebih tenteram, kenapa kau mencarinya di tempat lain?" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebenarnya, ia tak paham ucapan kakek itu. Ia ingin bertanya. Sayang, mulutnya terkunci. Ia tak bisa mengucap sepatah kata pun. Bahkan setelah kakek itu menegurnya, ia merasa ada tangan gaib yang mengangkat tubuhnya untuk minggir, seakan-akan dia disingkirkan dari gang itu untuk memberi jalan kakek itu bisa melangkah. Dan benar, kakek itu lalu melangkah ke mushalla. Tertatih-tatih. Ia memandang dengan bingung, hingga kakek itu masuk mushalla. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia urung melangkah pulang. Ia penasaran, berbalik arah melangkah ke tikungan, mengintip ke ruang mushalla. Tidak lama kemudian, orang-orang di mushalla berdiri. Shalat berjamaah pun dimulai. Ia melihat orang-orang di mushalla itu tenteram, dan bahagia. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
DULU, lelaki itu dikenal warga bukan sebagai pemuda yang suka mabuk, dan pulang Subuh. Ia justru dikenal orang-orang kampung sebagai pemuda yang membanggakan; penyanyi yang berbakat. Pemuda itu bahkan pernah mengangkat nama kampungnya karena ia pernah mengisi acara musik di televisi swasta Nasional. Ia jadi bahan pembicaraan orang-orang. Di kampungnya, nama lelaki itu tenar, dan sering dijadikan teladan, dan contoh orang sukses yang merantau ke Jakarta. Para remaja mengidolakan dan ingin meniru jejak lelaki itu merintis jalan hidup menjadi penyanyi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dua tahun berselang, tidak ada satu orang pun yang tahu apa yang menimpa lelaki itu. Namanya perlahan meredup. Group band yang didirikan bubar. Ia seperti hilang dari dunia. Orang-orang tak pernah lagi mendengar namanya, bahkan kemudian mulai melupakan lelaki itu sebagai warga kampung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hingga suatu hari, dia pulang kampung. Tapi ia berubah: suka mabuk dan pulang dini hari. Orang-orang kampung seketika heran. Maklum, dulu, saat masih remaja hingga tamat SMA, dia pernah belajar agama di sebuah pesantren. Jadi, dia bukan pemuda yang tak mengenal agama. Ia sepenuhnya tahu: mabuk itu dilarang agama. Tapi, kehidupan kota Jakarta, kata orang kampung, bisa mengubah orang baik menjadi tidaK baik, termasuk pemuda itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari desas-desus yang beredar, orang kampung mendapat kabar bahwa lelaki itu frustasi ketika ia tak kuasa menundukkan persaingan dunia musik di ibu kota. Ia tersisih dan dipinggirkan. Pemuda itu kemudian menjadikan minuman keras sebagai tempat pelarian. Ia dulu bukan antipati minuman keras, kadang-kadang ikut minum. Tetapi, tidak kecanduan. Sejak ia tak lagi dikenal, dan tak memiliki jadwal manggung itulah ia mulai suka minum. Lama-lama, ia kecanduan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sayangnya, di Jakarta ia tak lagi bisa mendapat uang dengan mudah. Ia tak lagi seberuntung dulu. Lama-lama, dia tidak kuat hidup di Jakarta, apalagi menghabiskan waktu dengan minum. Setahun lalu, ia memutuskan pulang dan tinggal di kampungnya. Kebetulan, di kampung sebelah ada pemuda kaya yang suka musik dan punya band. Ia diminta untuk jadi pemandu. Dari situlah, ia bisa mendapat uang walau tidak seberapa. Setiap malam, ia tidak kehilangan akal untuk mendapatkan apa yang diinginkan: ia pun nongkrong di tempat mangkal anak-anak muda. Ia diminta mengajari main gitar dan bernyanyi. Dari situ, dia mendapatkan imbalan minuman, bisa mabuk dan baru pulang Subuh.</div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
TAPI semakin jauh ia tenggelam dalam dunia malam, ternyata ia merasa tak mendapatkan kedamaian. Awalnya, ia berharap, pelarian itu bisa memulihkan impiannya bisa membentuk band lagi seperti dulu, dan bisa bernyanyi lagi. Tapi, di kampung kecil itu, ia tak bisa berbuat banyak. Ia merasa hidupnya semakin suram. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya, Subuh yang mendebarkan itu ia bertemu kakek tua yang membuatnya merenung. Ia melihat orang bisa mendapatkan kebahagiaan di mushalla. Dia ingat masa lalunya ketika hidup di pesantren. Subuh sudah bangun, dan mandi rebutan kamar mandi, lalu shalat jamaah di masjid pesantren. Ada nuansa damai yang menelusup dalam hati. Ia merindukan suasana seperti itu lagi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Subuh itu, setelah ia melihat orang-orang shalat berjamaah di mushalla, ia buru-buru pulang. Jalannya sempoyongan dan matanya masih merah. Ia mengguyur seluruh tubuhnya, kemudian shalat Subuh. Itulah shalat Subuh yang ia tunaikan dengan syahdu setelah hampir lima tahun ia tak shalat.</div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SUDAH seminggu ini, ia mengurung di kamar, dan tidak keluar rumah. Ia mengaku sakit ketika ada teman-temannya mencari atau mengajaknya pergi. Padahal, ia sedang merenung. Ia merenungkan kejadian aneh Subuh itu. Tapi, setiap kali ia merenungkan kejadian itu, ia tak pernah menemukan jawaban. Apalagi, sosok kakek tua itu. Ia kenal setiap wajah orang di kampungnya. Jadi, ia tak mungkin salah. Lalu, siapa kakek itu?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Diam-diam, sejak kejadian itu, esoknya ia ikut shalat Subuh di mushalla. Tapi ia tak pernah lagi bertemu dengan kakek itu. Semula, ia berpikir, kakek tua itu mungkin sakit. Tetapi ia penasaran. Ia pun ikut shalat jama`ah Dhuhur, Asar, Maghrib, atau Isya`. Siapa tahu, pada shalat lain itu ia bisa bertemu kakek itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi ia tetap tak bertemu kakek misterius itu. Ia putus asa dan ingin melupakan kejadian Subuh yang menggetarkan itu. Tapi pada Subuh kesembilan, sejak kejadian menggetarkan itu, selesai mengucap salam, ia melihat kakek tua itu ikut berjamaah. Kakek itu persis ada di belakangnya. Ia memutuskan; usai dzikir ia akan menemuinya dan mengajaknya bicara. Tapi, begitu usai dzikir, dan jamaah bubar, lalu ia menoleh, kakek itu sudah tidak ada. Ia buru-buru keluar dari mushalla, mengejar jejak kakek itu. Ia pikir, tak mungkin orang tua itu sudah melangkah jauh. Benar, ia menemukan kakek itu berjalan tertatih di gang, tepat ia bertemu dengannya pada Subuh yang menggetarkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia pun berlari ingin menuntun kakek itu berjalan. Tetapi begitu sudah dekat dengan kakek itu, tiba-tiba orang tua itu menghilang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia celingukan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tak mungkin!" Ia mengusap matanya. Ia tak percaya apa yang terjadi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sementara itu, di belakangnya, empat orang kampung yang tadi ikut jamaah Subuh pulang melintasi gang itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Gito, kau sedang mencari apa?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia diam tak menjawab. Ia bingung. Ia seperti orang mabuk yang tak tahu apa pun. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Uangmu hilang di gang ini?" tanya yang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lelaki berumur tiga puluh lima tahun itu pun makin pusing. Apalagi, ketika ia kemudian bertanya kepada mereka tentang sosok kakek tua bersurban yang berjalan tertatih dengan tongkat kayu, dan sering ikut jamaah Subuh. Keempat orang kampung itu menggeleng, dan merasa tak pernah melihat apalagi mengenal kakek tua bersurban putih yang ikut shalat Subuh berjamaah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Benarkah?" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Keempat orang itu saling pandang. Mereka mengira bekas penyanyi itu mabuk lagi dan benar-benar belum taubat.***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jakarta, 12/11/2013</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Republika, Jurnal Nasional, Suara Karya, Tabloid Nova, Majalah Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Batam Pos, Radar Surabaya, Surabaya Post, Surya, Lampung Post, Bengawan Post, Solo Post, Inilah Koran, Suara Merdeka, dan Tabloid Cempaka. Dia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Karya terbarunya: Tidur Berbantal Koran (Elex Media: 2013)</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-73718433535947262402014-01-05T12:14:00.001+07:002014-01-05T14:26:47.282+07:00Tak ada Bidadari Pada Malam Tahun Baru<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwaceTuhwh5deE4Gd-lj24ZDSOg6qkzulINRDKYFi8bFHiRys_dPjH1d01MTc0_kg1GgM8BbIyEdVVmmsOIZKBfrqL3xPI3fOD5NHTGF3xIw9R2JPS7vc8lEx2QC_xOiSAH9RNv-9sTg0/s1600/2_DSC_0170.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwaceTuhwh5deE4Gd-lj24ZDSOg6qkzulINRDKYFi8bFHiRys_dPjH1d01MTc0_kg1GgM8BbIyEdVVmmsOIZKBfrqL3xPI3fOD5NHTGF3xIw9R2JPS7vc8lEx2QC_xOiSAH9RNv-9sTg0/s200/2_DSC_0170.JPG" width="133" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
cerpen ini dimuat di <span style="color: red;">Kedaulatan Rakyat</span>, Minggu 5 Januari 2014</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
/1/</div>
<div style="text-align: justify;">
APAKAH perempuan misterius yang mengirimiku pesan pendek pada malam tahun baru itu adalah bidadari? </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Malam itu, aku tiba di rumah. Perjalanan jauh dari Jakarta, ternyata tidak mampu membuatku langsung tertidur. Sekadar mengusir sepi, aku mengirim pesan pendek ke beberapa kenalan. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Tapi setengah jam berlalu, aku tak mendapat balasan. Satu jam, ponselku seperti beku. Aku menaruhnya di meja, lantas menarik selimut. Saat aku memejamkan mata, ponselku bergetar. Ada pesan masuk, tapi aku malas membukanya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terompet tahun baru terdengar lagi. Satu dua petasan meletus disusul petasan lain. Aku heran orang-orang di kampungku kini sudah seperti orang kota; merayakan tahun baru. Padahal, saat aku kecil, tak ada petasan dan kembang api saat pergantian tahun. Kesiur angin seperti merintih, daun-daun di pekarangan bergoyang dan merambatkan irama ganjil. Aku berusaha memejamkan mata. Tapi kantuk tak kunjung menyergapku. Aku mengambil ponsel. Malam menggigilkan tengkukku saat aku lihat di layar ponsel; nama perempuan itu lagi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Malam itu, ia mengirimiku pesan pendek lagi. Sebuah pesan yang menggiringku pada ruang yang rumpil, dan menyudutkanku di lorong sepi. Ia mengutukku pada malam tahun baru.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
/2/</div>
<div style="text-align: justify;">
AKU tak mengenal perempuan itu kecuali lewat sebuah perkenalan yang tak terduga, tepat lima hari sebelum tahun baru. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Siang itu, aku disergap bingung setelah mencari buku di rak, tak menemukan buku yang kucari. Aku tercenung, mengingat terakhir kali menyentuh buku itu. Lalu, tiba-tiba, aku dikejutkan getar ponselku. Aku meraihnya. Tak kusangka, ternyata pesan itu datang dari nomor asing. "Aku nawang, boleh kenalan? Jika tak keberatan, siapa namamu?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Boleh! Tapi, kau dapat nomor-ku dari mana?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak ada balasan. Hingga tengah malam, pesanku tak dibalas. Aku berkesimpulan; ia iseng. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
/3/</div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, betapa terkejut ketika bangun tidur, aku mendapat pesan balasan. Aku buka. Lagi-lagi, aku dikejutkan perempuan misterius itu. "Aku dapat nomormu dari temanku yang kaubenci setengah mati," balasnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak punya musuh, mengapa kini ada perempuan menuduhku membenci orang sampai setengah mati? Aku membalas, "Maaf, aku tak pernah membenci siapa pun. Tak ada alasan aku benci temanmu setengah mati! Mungkin, kau salah orang..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak ada balasan. Aku kecewa. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tengah malam, pesan singkatku belum dibalas. Aku berkesimpulan; ia iseng. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
/4/</div>
<div style="text-align: justify;">
TIGA hari lagi tahun baru, dan aku sudah mengambil cuti. Siang itu, aku membeli tiket di stasiun. Saat antre, iseng-iseng aku mengirim pesan kepada kekasihku. Tak sampai satu menit, ada pesan masuk. Aku senang. Tetapi, aku salah. Pesan yang menelusup justru dari perempuan misterius itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tidak! Aku tak salah. Aku hanya heran, kenapa kau membenci temanku setengah mati, sampai tega menuduh ia gila?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Deg! Jantungku berdetak. Angin berhembus kencang, seakan badai datang tiba-tiba. Apa ia itu Ani, adik kelasku waktu kuliah di Yogyakarta? Aku menahan napas, tak membalas pesannya! Tapi, aku penasaran: siapa dia? </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Orang di depanku yang antre tiket sudah berlalu, dan aku mendapat giliran maju. Akhirnya, aku mendapatkan tiket yang akan membawaku pulang esok hari. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
/5/</div>
<div style="text-align: justify;">
SELEPAS subuh, kereta membawaku pulang. Aku menyandarkan tubuh, ingin tidur. Tapi belum sempat disergap mimpi, tiba-tiba pesan singkat masuk hpku. Penasaran. Aku buka. Apalagi, ibu sudah berkali-kali menanyakan kepulanganku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, lagi-lagi aku tertipu. Pesan itu bukan dari ibu melainkan dari perempuan itu lagi. "Kenapa kau menuduh ia gila? Bukankah kau yang sebenarnya gila?" tulisnya, singkat dan padat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hatiku bergemuruh, dibakar amarah. Semestinya, aku menelponnya untuk menjelaskan duduk perkara agar ia tak sembarang kirim pesan. Tapi, aku urung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kereta seperti merangkak, membawaku ke kampung. Dan aku memilih tidur...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
/6/</div>
<div style="text-align: justify;">
SAAT sampai Semarang, aku terbangun. Tapi lagi-lagi perempuan itu membuatku tercekat. Ia mengirim pesan lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kau belum tahu, siapa sebenarnya nama temanku yang kau tuduh gila itu khan? Ia Susan. Kini ia di Jepang. Kau mungkin bisa menghubungi, jika mau nanti kukasih kontaknya."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Oh, aku baru tahu jika teman perempuan misterius itu Susan. Sosok perempuan yang tak pernah kukenal, tetapi ia merasa kenal denganku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kini, aku tahu; ia salah paham.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
/7/</div>
<div style="text-align: justify;">
SEHARI sebelum tahun baru, aku akhirnya tiba di rumah. Ibu memelukku, seakan aku anak hilang yang baru pulang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu sudah siapkan ikan sotong yang katamu, selalu membuatmu tak betah tinggal di Jakarta karena di sana tidak seenak yang ibu buat." rayu ibu, membuat perutku seketika digaruk lapar. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku buru-buru makan. Setelah kenyang, ibu minta aku segera tidur. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
/8/</div>
<div style="text-align: justify;">
MALAM merambat. Tahun sebentar lagi berganti. Terompet dan petasan seperti memecah malam. Aku tidak bisa tidur. Letih nyaris melumat sekujur tubuhku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi, malam itu, ia mengirimiku pesan lagi. Pesan yang menggiringku pada ruang yang rumpil, menyudutkanku di lorong sepi. Aku tercekat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Benar kata Susan, kau memang lelaki gila. Tahu tidak? Dendam Susan padamu bagai petir! Siapa sebenarnya temanmu itu, yang tega melukai Susan dan kau diam? Ternyata, sebagai temannya, kau itu tak ubahnya binatang juga!" tulisnya. Menyakitkan!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hatiku pedih. Tapi aku tak membalas dengan pedas. Aku ingat pesan kiai yang pernah kukunjungi, jika kau diumpat orang dengan pedas bahwa kau dikata mirip binatang justru kau harus bersyukur. Pasalnya, binatang di sisi Allah itu tak punya dosa. "Umpatan itu mirip sebuah doa," ujar kiai itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maka aku membalas sopan. "Amin! Kau menganggapku orang gila bahkan binatang. Bukankah orang gila dan binatang itu tak punya dosa di sisi Allah? Terima kasih pada malam tahun baru kau mendoakanku tak punya dosa --seperti orang gila dan binatang yang tak punya dosa."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, ia malah membalas lebih pedas. Ia seperti tak tahu, jika malam tahun baru seharusnya ia merenung dan mengoreksi diri, bukan justru mengumbar kutukan. "Apa? Kau mengangap dirimu tidak punya dosa? Munafik! Bagaimana tak nyata saat kaulihat temanku terpuruk? Malah kau sms kepada temanku dan menuduh ia itu wanita gila dan pantas masuk rumah sakit jiwa. Ingat baik-baik ya... apa otakmu bisa disebut sebagai manusia saat Jum`at kelabu kau lihat temanku hampir mati bunuh diri, sedang engkau berpangku tangan? Cihhh..., tak malu mengaku sebagai orang suci!" balasnya, panjang dan menyulut amarah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kini aku tahu; ia benar-benar tidak tahu dan salah paham.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
/9/</div>
<div style="text-align: justify;">
Aku beranjak dari ranjang, mendekat ke arah jendela dan mendongak ke langit. Tak kulihat sekelebat perempuan berjubah putih. Tak ada bidadari pada malam tahun baru... ***</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Condet, Malam Tahun Baru 2014</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Republika, Jurnal Nasional, Suara Karya, Tabloid Nova, Majalah Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Batam Pos, Radar Surabaya, Surabaya Post, Surya, Lampung Post, Bengawan Post, Solo Post, Inilah Koran, Suara Merdeka, dan Tabloid Cempaka. Dia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit “Dua Janji” (2010).</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-15411758047157905412013-10-18T08:30:00.001+07:002013-10-18T08:36:56.693+07:00Berhaji dan Kesadaran Berzakat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXd7dRG5Gz08eO6S67EbcVSsevqAk7X1RoxCTVlMLACt2SWMUT95jhWEmq-_xGGsN8gr6Klkl4HNyvH-C1ypSzp5B4Fkkto8xnD9YcUW6vDqCxkVqgYftacP30250VRDc_wX2bcuaygWU/s1600/haji.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXd7dRG5Gz08eO6S67EbcVSsevqAk7X1RoxCTVlMLACt2SWMUT95jhWEmq-_xGGsN8gr6Klkl4HNyvH-C1ypSzp5B4Fkkto8xnD9YcUW6vDqCxkVqgYftacP30250VRDc_wX2bcuaygWU/s200/haji.jpg" width="157" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Opini ini dimuat di <a href="http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=336824">Suara Karya</a> Jumat 18 Oktober 2013</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
SEBAGAI salah satu dari pilar (rukun) Islam, zakat menduduki tempat istimewa lantaran termasuk dalam ketegori ibadah personal yang sekaligus bernilai sosial. Keistimewaan zakat itu menempatkan ibadah yang dikenal merupakan rukun Islam ketiga ini pun sebagai bentuk perwujudkan ibadah sosial seorang muslim. Maklum, berbeda dengan "ibadah" lain seperti shalat, puasa, dan haji, zakat memiliki dimensi sosial yang lebih kental. Sebab, zakat berkaitan erat dengan aspeks kehidupan sosial umat.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Sayangnya, sebagai ibadah personal, zakat sering kali dimaknai secara sempit --dimaknai dalam arti "kebaikan" bahkan "keselamatan". Makna zakat itu kemudian dilihat tidak lebih sebagai bentuk pensucian diri. Pasalnya, dalam kajian fiqh, zakat memang diartikan sebagai pemberian atau pembayaran hak yang mesti diambil dari harta milik. Dengan kata lain, zakat itu harus dikeluarkan karena dalam harta milik orang kaya itu ada bagian dari kaum miskin (yang harus ditunaikan sebagai "syarat" untuk membersihkan diri). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Anomali Kesadaran Berzakat</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai rukun Islam ketiga, zakat dihukumi wajib. Sebagaimana halnya dengan haji, "zakat" hanya diwajibkan bagi orang yang mampu, atau memiliki kelebihan kekayaan. Maka, umat muslim yang kaya seharuanya patut berbangga, karena bisa mendapatkan kesempatan memetik pahala dengan mudah, pahala yang nyaris tak bisa diamalkan dengan gampang oleh fakir miskin. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi, sungguh ironis kalau membandingkan dua gairah umat Islam Indonesia dalam menunaikan ibadah haji ke tanah suci dan gairah dalam membayar zakat. Ibarat langit dan bumi. Banyak umat Islam yang berbondong-bondong, dan bahkan berlomba-lomba untuk daftar haji. Kegairahan itulah yang menjadikan orang masuk ke daftar tunggu 6-7 tahun (waiting list), karena Indonesia --yang berpenduduk muslim terbesar di dunia— memang mengalami kelebihan quota. Karena kelebihan quota, maka jika orang daftar haji tahun ini akan berangkat beberapa tahun kemudian. Apalagi, pihak Arab Saudi kini mengurangi kuota haji. Dapat dipastikan antren atau daftar tunggu itu akan lebih panjang lagi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi bagaimana dengan kesadaran umat islam Indonesia dalam membayar zakat? Jawabnya jauh panggang dari api. Bertolak belakang dengan perlombaan orang meraih pahala pergi haji, untuk soal zakat (juga sedekaf, infaq bahkan wakaf) orang seperti sembunyi tangan. Enggan mengulurkan tangan dengan ringan. Perbandingan orang berburu pahala antara zakat dan haji itu sungguh memprihatinkan. Coba hitung, dana haji yang dikumpulkan dari orang yang hendak pergi ke Makkah dengan mudah didapat tapi dana zakat justru jauh dari hitungan rasional. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mendata potensi zakat yang dapat dihimpun di Tanah Air mencapai Rp 217 triliun per tahun. Tetapi, ironisnya, potensi zakat di Indonesia baru terserap, dan dikelola oleh lembaga amil zakat kurang lebih sekitar satu persen. Memang, setiap tahun penerimaan zakar di Indonesia mengalami peningkatan. Ini dapat dilihat dari data tahun 2011 jumlah penerimaan sebesar Rp 1,7 triliun. Jumlah itu mengalami peningkatan tahun 2012 menjadi Rp 2,73 triliun. Dengan melihat "potensi" zakat yang bisa dihimpun, dengan kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Lalu yang jadi pernyataan adalah: ke mana potensi zakat menguap? Itu fakta di lapangan! Ada anomali yang cukup kentara: antara gairah orang pergi haji dengan kesadaran dalam mengeluarkan zakat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Memang, salah satu jawaban simpel bahwa niat orang pergi haji tidak bisa dimungkiri akan menaikkan status sosial atau pamer akan kelebihan harta yang mereka miliki. Tapi jika membayar zakat nyaris tak dirasa dan tak memiliki implikasi dahsyat sebagaimana dampak yang diterima dari ibadah haji. Padahal, kewajiban membayar zakat itu memiliki urutan lebih awal dibanding pergi haji dalam rukun Islam. Itu menandakan bahwa ada hal "penting" dalam zakat yang tak bisa dikesampingkan. Zakat memiliki aspek sosial untuk mengentaskan kemiskinan, memupuk solidaritas dan menumbuhkan rasa empati pada sesama. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Membangun Kesadaran Berzakat</div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan melihat urutan kewajiban membayar zakat itu lebih awal dibanding dengan pergi haji dalam rukun Islam, maka tak ada pilihan lain, kecuali kegairahan orang pergi haji haruslah diimbangi dengan kegairahan berzakat. Sebab dalam berzakat ada nilai yang jauh lebih luas karena berimplikasi ibadah secara horisontal dan vertikal. Pendek kata, dalam menunaikan zakat itu ada implikasi sosial –karena dalam harta orang kaya itu terdapat hak mustahik --yang wajib ditunaikan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam tradisi sufi, ada satu cerita menarik yang mungkin bisa dijadikan bahan renungan untuk menggairahkan kesadaran orang dalam berzakat. Alkisah, ada sepasang suami-istri yang tak kaya ingin pergi ke tanah suci. Keduanya lantas mengumpulkan uang untuk dijadikan bekal pergi haji. Setelah membanting tulang, akhirnya terkumpul uang. Saat musim haji tiba, keduanya pun berangkat. Tapi sebelum keduanya sampai di tanah suci, di perjalanan menjumpai daerah yang berpenduduk miskin, dan anak-anak diserang busung lapar. Suami istri itu pun iba, dan memutuskan tak melanjutkan perjalanan ke tanah suci tapi memberikan semua bekal yang dibawa kepada penduduk tersebut. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suami istri itu memberikan bekal dan tak jadi pergi haji karena ingat sebuah hadits nabi, “Tidaklah beriman seseorang yang tidur lelap sementara ia mengetahui tetangganya kelaparan”. Keduanya paham bahwa ibadah haji adalah perintah Allah yang wajib ditunaikan tetapi manfaatnya hanya bagi mereka berdua. Karena itu, keduanya tak keberatan memberikan bekal yang dibawa dan kemudian pulang ke kampung halaman.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Anehnya, saat suami istri itu tiba di rumah, ada orang tak dikenal yang menunggu. USai salam, orang itu mengucapkan, “Selamat datang dari haji mabrur”. Suami istri itu terperangah, karena keduanya tak merasa pergi haji dan menceritakan kisah yang dialami di tengah perjalanan. Setelah mendengar cerita suami istri itu, orang tersebut menjawab, ”Itulah haji mabrur!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari kisah di atas, setidaknya ada beberapa poin penting yang bisa dijadikan renungan. Pertama, "kedudukan" zakat itu jika dilihat lebih cermat sebenarnya lebih utama daripada haji. Kedua, kepedulian seseorang terhadap tetangga, apalagi kalau tetangga dalam keadaan lapar, sebenarnya jauh lebih penting daripada ibadah haji. Apalagi, dalam hadits Nabi, dengan gamblang dan tegas disebutkan "Tidaklah beriman seseorang yang tidur lelap sementara ia mengetahui tetangganya kelaparan". Hadist ini seharusnya dijadikan landasan bagi setiap umat Islam untuk melihat tetangga sekitar dan kemudian tergerak mengeluarkan zakat. Sebab, kepedulian terhadap tetangga yang miskin dan menderita itu menjadi tolok ukur keimanan seseorang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketiga, hadiah istimewa yang diperoleh oleh seseorang muslim setelah dia membayar zakat, (termasuk sedekah, infak dan wakaf) ternyata tidak kalah dengan apa yang didapatkan oleh orang yang berhaji. Bahkan, setelah sepasang suami istri itu rela memberikan bekal yang ia bawa dan tak jadi pergi ke tanah suci, keduanya pun mendapat label haji mabrur (secara substansial). Kesadaran lain yang harus diingat, tidak ada seorang muslim yang membayar zakat, (termasuk sedekah, infak dan wakaf) kemudian jatuh miskin. Justru, tidak sedikit kisah dari mereka yang ringan tangan membayar zakat, (termasuk sedekah, infak dan wakaf) malah kian kaya dan makmur. </div>
<br />
*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengahpenulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-7376090842181675292013-08-06T04:27:00.001+07:002013-08-06T04:37:46.024+07:00Zakat dan Ekonomi Kerakyatan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwcMFszIxU8upMSgAVZAMrhxDwoat8Jv3HBJ0ztgXE73irLt8O_WXSFE_WhKy8QwhyphenhyphenDeIKXIjkNjWKsCz8PJpGc-3gU6pTlM-fE4K4F5mjD5lqJULr9PCwiXv8dR3p2ASB4yqE4MrM-8A/s1600/zakat.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwcMFszIxU8upMSgAVZAMrhxDwoat8Jv3HBJ0ztgXE73irLt8O_WXSFE_WhKy8QwhyphenhyphenDeIKXIjkNjWKsCz8PJpGc-3gU6pTlM-fE4K4F5mjD5lqJULr9PCwiXv8dR3p2ASB4yqE4MrM-8A/s200/zakat.jpg" width="175" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
opini ini dimuat di <a href="http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=332173">Suara Karya</a>, Selasa 6 Agustus 2013</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
PADA bulan Ramadhan, atau lebih tepatnya menjelang hari raya Idul Fitri, zakat menjadi tema yang aktual (urgen) untuk dibicarakan. Sebab umat Islam yang secara finansial punya kelebihan harta kekayaan dituntut untuk mengeluarkan zakat. Sebagai salah satu dari pilar Islam, zakat wajib ditunaikan. Bahkan kesadaran untuk mengalokasikan sebagian harta merupakan bentuk pengejawantahan dari upaya membersihkan diri dari harta yang dapat dikatakan subhat lantaran dalam harta itu ada hak bagi kaum fakir miskin (yang harus dibayarkan). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a><br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi, zakat secara makro memiliki dimensi yang jauh lebih luas. Dengan kata lain, zakat tidak sekadar sebagai upaya pembersihan diri, tetapi berkorelasi luas karena memiliki urgensitas yang berpotensi dapat membangun pilar ekonomi kerakyatan sebuah bangsa, terlebih bagi bangsa Indonesia ini. Apalagi, potensi zakat di Indonesia --sebagaimana pernah dikemukan oleh Dr Didin Hafidhudin-- sungguh tinggi: Rp 217 triliun per tahun. Sayang, potensi zakat di Indonesia baru terserap, serta dikelola oleh lembaga amil zakat sekitar satu persen. Pada 2011 jumlah penerimaan sebesar Rp 1,7 triliun kemudian pada 2012 menjadi Rp 2,73 triliun.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jumlah yang fantastis (potensi zakat Rp 217 triliun per tahun) itu, tidak dapat dimungkiri bisa dicatat sebagai modal penting dalam upaya membangun ekonomi kerakyatan. Apalagi, sejak 14 abad yang lalu, zakat merupakan salah satu instrumen yang dianggap mampu mengatasi kesenjangan dan bahkan krisis ekonomi di tengah masyarakat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dimensi Sosial Zakat</div>
<div style="text-align: justify;">
Berbeda dengan ritual lain seperti shalat, puasa, dan haji, zakat memiliki dimensi sosial yang lebih kental. Hal itu sebagaimana ditegaskan Allah dalam QS. Al-Maidah [5]: 55. Dari teks kitab suci itu, jelas digambarkan bahwa "salat" merupakan ibadah yang sifatnya vertikal sementara zakat adalah ibadah yang memiliki dimensi horizontal. Salat memiliki dimensi langsung kepada Allah sedangkan zakat adalah wujud dari kasih sayang Allah kepada manusia karena manfaat dari zakat itu bisa dirasakan langsung oleh kaum fakir miskin dalam menjalani kehidupan nyata di dunia ini. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam teks tersebut, secara gamblang bisa dibaca bahwa secara eksplisit Islam bukan sekedar agama personal yang tidak memiliki kepekaan pada aspkes sosial. Bahkan, Islam menegaskan kepada umatnya untuk "memperhatikan" kepentingan sesama. Sebab agama Islam mengajarkan setiap mukmin untuk menghormati orang lain, seperti tamu, tetangga dan bahkan Rasul pun menuntut umat Islam untuk berdiri sebagai bentuk penghormatan saat menjumpai jenazah diusung ke pemakaman --sekalipun jenazah itu bisa jadi orang Yahudi atau Nasrani. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kepedulian Islam dalam memberikan perhatian kepada sesama, terlebih kepada fakir miskin itulah yang diamanatkan oleh zakat. Sebab, zakat -secara umum- dapat dimaknai sebagai upaya untuk menjaga kesenjangan sosial, mengentaskan kemiskinan, dan bisa dijadikan sebagai "solusi" untuk mengurangi pengangguran. Tak berlebihan, jika zakat kerapkali dihubungkan sebagai upaya membangun kesejahteraan bagi kaum dhuafa atau fakir miskin.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tujuan zakat adalah sebuah amanah agung untuk mengangkat kesejehteraan kaum fakir miskin. Itu pesan yang diamanatkan dalam Al-Qur'an sebagaimana dijelaskan secara gamblang, bahwa "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang miskin, pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana" (QS. At-Taubah : 9: 60).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Itulah pesan penting (amanah) zakat sehingga zakat kerapkali disebut-sebut memiliki aspeks sosial yang kental. Sebab, dalam implementasinya zakat tak sebatas pelaksanaan rukun Islam tetapi satu ibadah yang mempunyai efek domino dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam mengangkat harkat dan martabat kaum miskin dari garis kemiskinan dan bisa jadi "solusi" kehidupan mereka agar menjadi lebih baik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Membangun Ekonomi Kerakyatan</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam teks kitab suci al-Qur`an, zakat secara tekstual memang dianjurkan untuk dibagikan kepada delapan golongan yang berhak untuk menerimanya. Tetapi, dalam kajian kontemporer, zakat telah mengalami reformasi konseptual dalam area operasional (pembagian zakat). Tak pelak, dana zakat kemudian tidak hanya dibagikan secara terbatas kepada delapan golongan --penerimaan zakat (mustahiq) yang diartikan secara sempit. Reformasi konseptual itulah yang kemudian memperluas cakupan "pembagian zakat" lebih luas, meliputi segala hal yang bersifat produktif yang tidak hanya diperuntukkan bagi kaum dhuafa saja, tapi juga telah dikembangkan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi ummat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan konsep itu, dana zakat yang terkumpul akan menjadi efektif sebab zakat tak hanya digunakan untuk hal-hal yang sifatnya charity atau dibagikan secara konsumtif. Tapi dana zakat itu diupayakan semisal, menjadi modal usaha bagi kaum fakir miskin yang bersifat produktif. Juga dana zakat dialokasilan untuk memiliki daya manfaat yang lebih panjang bagi mustahiknya. Karena itu, dana zakat dikelola dalam bentuk yang kreatif dan inovatif yang kemudian diberikan dalam kerangka "pemberdayaan" (ekonomi) umat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan melihat aspeks manfaat jangka panjang dari dana zakat yang dikelola dalam bentuk-bentuk usaha produktif, tidak dapat dimungkiri jika aplikasi zakat itu akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat. Secara luas, dana zakat itu mengangkat harkat dan martabat kaum miskin (masyarakat kecil) sebab memiliki misi untuk meningkatkan pendapatan dan pemasukan mereka. Pada akhirnya, upaya itu tidak hanya berdampak pada peningkatan produksi dan investasi, melainkan juga pada pengurangan pengangguran karena ada permintaan tenaga kerja. Maka, tingkat pengangguran dan angka kemiskinan jadi berkurang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi, dana zakat akan bisa efektif jika memang pengelola zakat itu efektif. Tanpa ada pengelolaan yang efektif dan memiliki misi mulia untuk membangun ekonomi kerakyatan, maka zakat yang terkumpul akan habis karena lebih bersifat konsumtif daripada sebagai "aset atau modal" yang produktif. Karena itulah, lembaga zakat --sebagai pelaksana operasional zakat-- harus mendapatkan dukungan secara politik, ekonomi dan hukum. Karena zakat tak semata-mata terkait dengan masalah ekonomi semata. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sayangnya, keberadaan lembaga zakat masih belum sepenuhnya menggenggam kepercayaan dari masyarakat luas. Tidak salah, jika sampai saat ini masih banyak orang-orang kaya yang kemudian membagi-bagikan zakat sendiri (tanpa melalui lembaga zakat). Padahal, dengan membagikan zakat secara pribadi itu selain zakat tidak membangun ekonomi kerakyatan, tidak sedikit juga yang telah meninggalkan kisah "sedih dan pilu". Sebab, tidak sedikit kaum fakir miskin yang berdesak-desakan yang kemudian pingsan dan bahkan yang lebih tragis lagi ada yang meninggal dunia hanya lantaran saling berebut demi mendapatkan zakat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak pelak, jika zakat itu harus dialokasilan secara profesional dengan melihat daya manfaat yang lebih panjang bagi mustahik. Dengan cara itu, dana zakat akan bisa memberikan dampak yang signifikan sebagai upaya dalam kerangka pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Sebab, dengan menjunjung misi dan visi zakat sebagai upaya membangun ekonomi kerakyatan, akan membangun umat memiliki jiwa kemandirian. Itulah bentuk nyata alokasi zakat sebagai bentuk kasih sayang Tuhan kepada umat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-62197312698788948142013-05-19T13:39:00.000+07:002013-06-03T19:43:59.257+07:00Kota Kenangan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8pcdLfd1JQCh1mw_5ig2DjYfMxd6z2bGgeqGOpKLJaL7483q3I5Y0E4xkdXQC7b2CJtkjfT2UUczVRnj5VYYif5uNgzt4Ddn4PGPh2lOcLkwsvkBZURjYIlu71WcDEW9Mgd4rHmSfKjQ/s1600/Tugu-Jogja+1.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8pcdLfd1JQCh1mw_5ig2DjYfMxd6z2bGgeqGOpKLJaL7483q3I5Y0E4xkdXQC7b2CJtkjfT2UUczVRnj5VYYif5uNgzt4Ddn4PGPh2lOcLkwsvkBZURjYIlu71WcDEW9Mgd4rHmSfKjQ/s200/Tugu-Jogja+1.jpg" width="183" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Cerita Pendek ini dimuat di <span style="color: #cc0000;">Tabloid Cempaka</span>, edisi 8, 18-24 Mei 2013</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SATU MINGGU yang lalu, aku setengah tak percaya ketika melihatmu berjalan di gang itu. Sebuah gang yang tidak pernah menyimpan secuil kenangan tentang kabarmu. Tanah basah yang ada di kota ini, seperti tak berbekas. Sudah empat tahun, aku tidak mampu menemukan denah kepergianmu. Kau pergi tidak meninggalkan jejak. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Hingga akhirnya, sore itu… aku melihatmu; sesosok perempuan yang berjalan di gang itu. Kamu berjalan menyusuri gang, melangkah pelan dan merunduk. Rambutmu yang pendek menutupi sebagian wajahmu. Kau memakai kaos putih, celana panjang dan membawa dompet mungil yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku sempat melihatmu sejenak saat kita berpapasan. Kamu tak melihatku. Tapi aku sempat melihat tengkukmu yang tersingkap ketika semilir angin menyingkap rambutmu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak pernah tahu, bahkan hingga hari ini kenapa kau senang merunduk setiap kali berjalan. Jika desir angin tak menyibak rambutmu, pasti aku tidak mengenalimu. Beberapa langkah setelah kita berpapasan, aku baru ingat... </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku menoleh. Kau pun menoleh. Apakah kita memang ditakdirkan untuk saling menoleh setelah kita seperti tak mengenal? Aku dan kau bersitatap. Kita seperti saling ragu, setelah lama berpisah dan bertemu secara tak sengaja. Kau gugup bersuara. Aku gemetaran, tetapi aku melangkah mendekatimu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Bagaimana kau sampai di sini?” tanyaku setengah tak percaya saat aku berdiri di hadapanmu. “Empat tahun aku mencarimu, dan baru kini bisa melihatmu kembali. “</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kamu hanya diam. Mungkin kamu setengah tak percaya bisa bertemu denganku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kamu ternyata sudah banyak berubah, bahkan lebih cantik,” aku memujimu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jika kau memang benar-benar mencariku, sepertinya itu bohong. Aku masih di kota ini dan tidak pergi ke mana pun. Jadi, jika kau mencariku pasti bisa menemukanku dari dulu.…” jawabmu telak, dan itu membuatku tak bisa menepis tuduhanmu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ah, mungkin kau benar. Aku memang tak mencarimu. Bahkan, aku benar-benar tak mencarimu. Jika aku mencarimu, kenapa aku tidak bisa menemukanmu? Kau gugup dan menunduk. Rambutmu menutupi wajahmu. Wajah yang masih memesonaku hingga aku tidak bisa melupakanmu. Dan sore itu, kau memintaku untuk mampir ke kontrakan barumu. Di teras kontrakanmu itu, kau kembali mengisahkan tentang bintang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi cerita bintang itulah yang kembali mengingatku tentangmu… </div>
<div style="text-align: justify;">
00O00</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
EMPAT tahun yang lalu. Aku tak lagi ingat, kapan tepatnya kita bertemu. Itu jika aku tidak salah ingat. Ah, mungkin aku salah. Tetapi, aku tidak pernah lupa pertemuan pertama itu. Pertemuan yang terjadi tak sengaja dan menggelikan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Malam itu, aku belum mengelamu dan aku mengunjungi kontrakan Melisa. Ia mengundangku datang setelah aku membantunya memberi masukan tentang skripsinya. Tapi, malam saat aku mengunjungi Melisa itu, dan kami bercengkrama santai, kau yang ternyata satu kontrakan dengan Melisa tiba-tiba keluar mencari makan. Kau melewati ruang depan, teras kontrakan dengan merunduk. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tak pernah tahu, kenapa kau selalu merunduk setiap kali berjalan bahkan di saat pertama aku melihatmu. Kau tidak menoleh ke arahku, berjalan pelan, tak peduli kehadiranku. Aku masih ingat, malam itu kau juga memakai kaos putih, celana panjang dan di tangamu tergenggam dompet. Sekilas, aku melihatmu. Tapi, aku tidak melihatmu jelas kecuali tengkukmu yang tersingkap tak sengaja ketika kau mengibak rambumu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dadaku seperti bergemuruh. Seperti ada gelombang yang merambatkan sengatan dingin ke sekujur tubuhku. Bahkan, setelah kau keluar dari kontrakan itu. Aku merasa semua menjelma senyap. Kau meninggalkan aroma parfum meski telah berjalan jauh. Dan aku hanya termangu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Hei, Kau melamun apa tidur?” ujar Melisa seraya melambaikan tangan tepat di depan mataku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tergeragap, seperti terjaga dari tidur. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Sekarang aku tahu…!” ujar Melisa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tahu?” aku balik bertanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku tahu, kau melamunkan temanku. Jika kau jujur, aku pasti membantumu.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Benarkah?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tunggu, ya! Lihat nanti apa yang akan kulakukan!” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku menganggap Melisa bercanda. Tapi, dugaanku salah. Beberapa menit setelah kau melintasi teras dan masuk ke kontrakan, Melisa mengikutimu. Lalu, Melisa kembali ke teras bersamamu. Kau diam terpaku, berdiri serupa patung. Mukamu berubah merah. Ronamu kontras dengan kaosmu yang putih. Tidak ada sepatah kata yang kau ucapkan, hingga Melisa membuka perckapan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ini ada temanku yang ingin bertemu denganmu. Duduklah yang manis dan kau temani ia ngobrol,” ujar Melisa tanpa basa basi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu, kau duduk manis di depanku dan Melisa pergi tanpa permisi. Kau tampak gugup. Wajahmu masih merona merah. Mungkin, kau merasa bingung bahkan canggung kenapa kau dipaksa duduk di depanku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku menyebutkan namaku, setelah kau duduk. Tapi kamu masih diam dan baru mengucapkan namamu setelah kutanya. Kau tahu, saat itu aku gugup. Kau pun melihat keringat mengucur di wajahku. Juga, sebagian bajuku seperti basah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Waktu seperti membeku. Denting jarum jam yang tertempel pada dinding ruang tamu berdetak, mengiringi dentak jantungmu. Itulah yang aku ingat dari pertemuan kita pertama itu. Pertemuan yang ganjil, seperti sebaris puisi yang tak tertulis pada selembar kertas. Sepi. Aku banyak diam. Kau bahkan tak banyak bicara. Bahkan, saat aku pulang, kau seperti melepaskan setengah hati. Tanpa lambaian tangan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiga hari kemudian, aku kembali mengunjungi kontrakanmu. Aku mengajakmu jalan. Kau mengangguk, dan sejak itu gerimis turun dari langit melelehkan kebekuan hatimu. Kau berbagi cerita tentang keluargamu, kuliahmu dan mimpi-mimpimu. Dan di warung makan lesehan itu, kau menikmati makan malammu tak seperti hari sebelumnya bahkan sejak itu, kau mengaku senang sewaktu aku mengantarmu pulang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tepat empat hari kemudian, aku kembali mengunjungimu. Di sakuku, tidak ada uang sepersen pun. Kau mungkin tidak tahu hal itu. Maka malam itu aku tak mengajak keluar. Kita bercengkrama di teras. Kau menatap kerlip bintang di langit, dan bermimpi bisa memetik bintang itu seperti memetik buah apel dari pohon. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Seandainya kau mampu memetik bintang di langit sana, lalu akan kamu apa kan bintang itu?” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kutaruh di kamar agar kamarku menjadi terang. Dengan begitu, aku tidak lagi memasang lampu.” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ah, kau ini bermimpi. Bagaimana mungkin kamarmu menampung bintang.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kau tertawa lepas. Sebuah tawa yang tak pernah kudengar sebelumnya. Dan aku tak pernah menyangka, jika tawamu itu adalah tawa terakhir yang pernah kudengar dan kulihat. Dan sejak malam itu, aku tak sempat mengunjungimu. Aku tidak pernah tahu kabarmu. Aku pergi ke kota lain, mengikuti kontrak kerja di sela-sela kuliahku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hingga akhirnya, empat bulan kemudian, aku bertandang ke kontrakanmu. Kau tak ada. Kontrakan itu pun berganti penghuni. Tak satu pun penghuni baru itu tahu kau pindah ke mana, bahkan termasuk ibu kostmu. Dan aku menyangka, sejak itu sepertinya kita tak akan pernah bertemu lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
00O00</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
HARI ini, empat tahun telah berlalu. Dan seminggu yang lalu, aku tidak sengaja bertemu denganmu. Kita kembali menjalani hari-hari, dan merajut kenangan di kota ini. Tetapi, ada satu rahasia yang aku sembunyikan darimu. Aku tidak menceritakanmu jika hari ini aku akan pergi selamanya meninggalkan kota ini. Kota yang sempat menjadikan kita terangkup dalam sebaris kenangan di kota ini. Dan siang ini, sebelum aku pergi, aku menemuimu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jujur, sebenarnya aku tidak ingin pergi. Tapi, pekerjaan ini adalah mimpiku yang dari dulu ingin kuraih. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Jadi, sore ini kau akan pergi?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku mengangguk. Kau diam, seperti tidak tega melihat kenyataan aku akan pergi dari kota ini. Kau hampir saja beranjak dari tempat dudukmu, mungkin kau marah dan tak terima dengan rencana kepergianku yang tiba-tiba dan tanpa ada kabar sebelumnya. Tetapi, aku langsung meraih tanganmu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kota ini sampai kapan pun akan menjadi kota kenangan. Mengapa? Karena kita tak dilahirkan di kota ini. Jadi, kota yang pernah kita singgahi ini, entah hari ini atau kapan pun, akan menjadi kota kenangan. Selebihnya, setelah kau lulus nanti, tentu kau bisa menyusulku…”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kau kembali duduk dan menatapku dengan tatapan yang dingin. Matamu seperti danau, dan tiba-tiba mengalirkan air. “Ayahku telah memintaku untuk kembali ke kota kelahiranku setelah aku nanti lulus kuliah. Aku tak akan bisa menyusulmu…”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku termangu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tampaknya, setelah hari ini kita seperti ditakdirkan untuk tak lagi bertemu. Aku akan pulang ke rumahku.” Kau diam, seperti berat mengungkapkan sesuatu yang ada di hatimu. Hingga akhirnya, kau melanjutkan “Kau tahu kan aku ini anak bungsu. Jadi, aku harus menjaga ayah dan ibuku setelah saudara-saudaraku pergi meninggalkan rumah.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kamu akan kembali ke ujung pulau?” tanyaku gugup, bahkan aku sendiri nyaris tak percaya kenapa bisa meluncur pertanyaan itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kau mengangguk. Bahkan tanpa ragu. Padahal, aku tahu sepenuhnya rumahmu berada di ujung pulau hampir berbatasan negara lain. Aku tak sanggup membayangkan jika aku harus hidup di kotamu, kota terpencil yang jauh dari mimpiku. Aku benar-benar tidak punya pilihan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dan siang itu…, aku pergi dari kontrakanmu. Kau diam melepasku pergi.</div>
<div style="text-align: justify;">
00O00</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SORE ini, aku duduk termangu di stasiun. Di tanganku, tergenggam tiket warna merah muda, tiket Kereta kelas Ekonomi. Aku menatap jam dinding di tembok stasiun. Pukul 16.50. Tinggal sepuluh menit lagi waktu yang tersisa, sebelum aku pergi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku berdiri di luar gerbong kereta. Sebagian penumpang, sudah duduk di kursi kereta. Tapi di luar gerbong, aku masih berdiri mematung, menunggumu. Aku berharap, kamu menemuiku di stasiun, setidaknya untuk terakhir kali bertemu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku menatap pintu peron, berharap ada sesosok yang berjalan merunduk, yang melepas kepergianku. Tetapi, tidak ada sosokmu muncul dari balik kerumunan. Seorang petugas stasiun kembali memberi pengumuman bahwa lima menit lagi kereta api akan berangkat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku kembali menatap ke arah pintu masuk. Lagi-lagi, tidak ada sosokmu muncul dari desakan orang-orang yang bergegas. Empat menit lagi, kereta akan berangkat. Dan aku merapat dekat pintu kereta, menunggumu datang ke stasiun. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hingga, tinggal tiga menit lagi waktu tersisa, sebelum kereta berangkat. Aku tak bisa berdiri terus. Kupanggul tas punggungku, menaiki tangga pintu kereta. Aku merasa penantianku sia-sia. Aku merasa sosokmu tak akan datang, dan aku menyusuri lorong kereta mencari tempat duduk. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tepat pukul 05.00 WIB kereta pun bergerak, merangsek seperti seekor ular yang berjalan pelan kemudian kereta pun bergoyang-goyang membawaku pergi meninggalkan kota kenangan ini. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, aku melongokkan kepala, menatap stasiun yang ada di belakang. Semakin jauh kereta merangkak, kian tak jelas mataku melihat kerumunan orang di stasiun. Dan aku tak melihatmu datang di stasiun itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
00O00</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
TIDAK jauh dari pintu peron stasiun, aku berdiri mematung seraya menatapmu dari kejauhan. Aku melihatmu; kau berdiri gelisah seperti tak ingin pergi meninggalkan kota kenangan ini. Tapi, aku tak tahu, kenapa akhirnya kau memilih pergi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat kau menaiki tangga kereta, aku ingin menjerit. Aku ingin menjerit keras dan kencang. Tetapi, semua terlambat, dan aku hanya bisa menebus dengan menitikkan air mata; bukan sedih lantaran kehilangamu tapi karena aku benci perpisahan… [ ] </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Jakarta, 03 Juli 11</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
*) N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa, seperti The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Republika Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Suara Karya, Tabloit Nova, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Surya, Surabaya Post, Batam Pos, Lampung Post, dan Solo Post. Selain menulis cerpen, dia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpen yang sudah diterbitkan “Dua Janji” (2010).</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-73413726184826761992013-05-09T21:13:00.001+07:002013-05-09T21:16:04.413+07:00Sang "Pemberontak" dalam Lipatan Sejarah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiM2j0G-nwUy9fn7gQQdKaVGewX2UP75xeQxLVfsv7eVOaBojkIHmYRIalDiNtzwAjBDnp0BHKjPDlkJGJjXr9kL41T7yqWSFBVB92DOEujtCSVogDQkDeeY9ohz5Yb0ofnZukN81kx64k/s1600/masakado.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiM2j0G-nwUy9fn7gQQdKaVGewX2UP75xeQxLVfsv7eVOaBojkIHmYRIalDiNtzwAjBDnp0BHKjPDlkJGJjXr9kL41T7yqWSFBVB92DOEujtCSVogDQkDeeY9ohz5Yb0ofnZukN81kx64k/s200/masakado.jpg" width="133" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
resensi buku ini dimuat di <span style="color: #cc0000;">Kompas</span>, Minggu 5 Mei 2013</div>
<br />
Judul buku : Taira no Masakado<br />
Penulis : Eiji Yoshikawa<br />
Penerbit : Kansha Books, Jakarta<br />
Cetakan : Pertama, Oktober 2012<br />
Tebal buku: 635 halaman<br />
ISBN : 978-602-971-96-9-7<br />
Harga : 89.800,-<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
SEJARAH --sebagai bahan literer sastra-- memang tidak pernah kering untuk dijadikan "latar" sebuah cerita --termasuk novel. Sebab, sejarah dapat diibaratkan serupa kotak pandora yang menyimpan kepingan-kepingan peristiwa dan kenangan di masa lampau. Tapi tidak semua kepingan peristiwa yang terjadi di masa lalu itu memiliki nilai penting dan bisa dikatakan berharga. Tugas pengaranglah yang kemudian harus memilah kepingan-kepingan cerita yang terserak di antara bongkahan batu karang literer sejarah itu untuk disuguhkan kembali dengan capaian estetis seraya meniti jalan berkelok dengan melakukan penafsiran.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Tak berlebihan, jika dari kepingan-kepingan itu, pengarang dapat melakukan rekonstruksi, bahkan memberi "tafsir baru" atas fakta di masa lalu. Tetapi, pada sisi yang lain, bisa jadi pengarang ingin mengenang --atau mengabadikan- sekeping kisah dari kehidupan seseorang yang pernah menorehkan "warna" dalam peta sejarah, mengingat tokoh itu memiliki nilai lebih --bahkan bisa jadi dipandang cukup berkesan, meninggalkan keteladanan, dan jiwa kepemimpinan yang layak dijadikan sebuah panutan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setidaknya, itu yang ingin dilakukan oleh Eiji Yoshikawa ketika dia memutuskan untuk menulis novel berjudul Taira no Masakado ini. Memang, Masakado bukanlah tokoh penting dan bahkan istimewa dalam peta sejarah Jepang. Dia (bisa jadi) dianggap tokoh yang hidup di pinggiran dan jauh dari kekuasaan pusat (istana). Tetapi, spirit di balik perjuangan hidup dan keberanian Masakado dalam melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh ketiga pamannya telah menyeretnya pada pusaran politik dan kekuasaan --bahkan hingga istana kaisar berang akibat ulah Masakado. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dituduh Pemberontak</div>
<div style="text-align: justify;">
Dia pun dituduh sebagai pemberontak. Masakado dituding sebagai pemberontak karena dia dipandang membuat kerusuhan di negeri Timur setelah dia berhasil menguasai delapan negeri di Timur -menyerbu Hitachi, menginvasi Kozuke, Shimotsuke, Sagama, Musashi dan Kazusa. Istana kekaisaran lebih berang lagi, ketika Masakado dipaksa menjadi kaisar oleh seseorang yang licik dan orang-orang di sekelingnya yang memiliki ambisi kekuasaan (hal. 577). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Meski Masakado masih memiliki titisan darah kaisar, lantaran ia merupakan cucu generasi keenam kaisar Kanmu, tapi hal itu merupakan puncak dari rentetan kesalahan yang diderita Masakado. Tak pelak, kalau pihak istana kemudian mengirim jenderal besar penundukan di bawah Tadabumi untuk menumpas Masakado. Padahal Masakado sebenarnya tidak memiliki ambisi untuk berkuasa. Dia terlibat rentetan perang tak lebih ingin menuntut hak atau harta warisan yang ditinggalkan oleh ayahnya, Yoshimochi yang dikenal sebagai penguasa Shimosa. Jadi, semula ia berperang tidak lebih untuk mempertahankan wilayah dan kehormatan keluarga. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi, keberanian Masakado untuk menuntut harta warisan itu justru dianggap oleh ketiga pamannya --Kunila, Yoshikane dan Yoshimasa-- sebagai bentuk perlawanan. Padahal, ketiga pamannya itu justru telah memperlakukan Masakado dengan tidak adil bahkan berniat hendak membunuh dan ketika upaya pembunuhan itu tidak berhasil, ketiga pamannya itu kemudian mengirim Masakado ke ibukota untuk menjadi pelayan di kediaman Fujiwara no Tadahira -–yang waktu itu jadi Menteri Sayap Kiri. Tetapi, rentetan perlakukan tidak adil dan kesewenang-wenangan pamannya itu justru membuat Masakado didewasakan oleh penderitaan dan kehinaan. Masakado akhirnya menjadi kuat dan bangkit. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Masakado semakin menjadi pemimpin yang kuat ketika ia berhasil membalas dendam --mengalahkan pamannya dan mengalahkan dua anak Minamoto no Mamoru, klan utama Hitachi Genji, dan menjadi penguasa delapan delapan negeri di Timur. Padahal Masakado itu lugu, bodoh, mudah panik bahkan mudah menitikkan air mata. Tetapi, dia sejatinya memiliki jiwa kepemimpinan yang dicintai banyak orang. Bahkan Masakado sejatinya setia dan cinta damai. Tak pelak jika Eiji Yoshikawa menganggap Masakado dipermainkan oleh zaman (hal. 635). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Subjektif Pengarang</div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan mengangkat tokoh Masakado ini, Yoshikawa setidaknya ingin rekonstruksi bahkan memberi "tafsir baru" atas fakta di masa lalu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pertama, tidak dipungkiri bahwa selepas Masakado meninggal, pemimpin yang pernah menguasai delapan (8) wilayah negeri Timur itu diliputi mitos. Berbagai peristiwa buruk yang menimpa orang-orang yang berkaitan dengan kematian Masakado dianggap terkena "kutukan". Bahkan, tatkala ada wabah penyakit, juga kejadian bencana alam pun disebut-sebut sebagai kutukan Masakado. Pada konteks ini, Eiji Yoshikawa mengambarkan bagaimana kuatnya mitos pada masa kehidupan Masakado (abad ke 10), itu lantaran Jepang masih primitif. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua, dalam novel ini Eiji Yoshikawa mengambarkan Masakado jauh dari sosok pemberontak. Bahkan, dengan mengutip data sejarah, pengarang kenamaan Jepang ini pun mengamini pendapat penasehat besar Karasumaru Mitsuhiro yang dengan tegas berkata, "Tidak benar jika Masakado disebut sebagai pemberontak besar atau setan. Itu kebohongan besar." (hal 631). Dalam hal ini, tak dapat dimungkiri, bahwa perjuangan dan keberanian Masakado dalam melawan ketidakadilan menjadi "latar belakang" pemberontakan yang menjadikan dia harus berperang, melawan dan tidak mau ditindas. Dia tidak ingin diperlakukan sewenang-wenang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketiga, lewat novel ini, Yoshikawa tidak menepis jika politik dan kekuasaan itu diliputi elite politik yang culas dan licik. Tak berlebihan, jika Eijo Yoshikawa berpendapat bahwa meskipun beberapa elite politik --seperti Sadamura dan Hidesato- memiliki nama baik hingga sekarang, tetapi sosok mereka hanya jadi patung. Tapi Masakado lain. Di bagian akhir novel ini Eiji Yoshikawa menulis, Kita tetap merasakan sosok kemanusiaannya yang asli sampai kini. Walau Dia dituduh pemberontak dan pernah mengaku kaisar, sebagian besar orang nyaris tak percaya cerita itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hal itu menandakan bahwa Masakado --di mata Yoshikawa-- sebagai pemimpin heroik, dan selalu dikenang sepanjang zaman. Tetapi, di sinilah justru pandangan subjektif Yoshikawa cukup kentara. Dalam novel ini, dia nyaris tidak melihat belang atau keburukan Masakado. Dia menggambarkan Masakado sosok yang nyaris sempurna, dan kuat --kecuali, kadang jika dirundung masalah, Masakado jadi cengeng dan mudah menitikkan air mata. Selebihnya, Yoshikawa tidak secuil pun melihat Masakado dari sisi buruk. Padahal, walau sekecil apa pun manusia tetap punya sisi buruk. Di sini, Yoshikawa menutupi kelemahan Masakado, dan menyanjung setinggi langit! ***</div>
<br />
*) N. Mursidi, blogger buku dan cerpenis, tinggal di Jakartapenulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-65975611730775466292013-04-04T21:32:00.001+07:002013-04-04T21:39:28.236+07:00Nur Mursidi: Memoar Si Raja Resensi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3vPX0cU3PHwQJ7j1SjkovqsN558D9DT0w0kSDxuhZvKC6B-l1svAfgSG1BvOY2XzWuWC5vcpY2nUW7g8_3M1Fqg3hDWy8UIibTrBOn4XqKDo3tG4cpRmogmAtsbQFh0kOqekAd3EKRPc/s1600/img_8928.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="212" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3vPX0cU3PHwQJ7j1SjkovqsN558D9DT0w0kSDxuhZvKC6B-l1svAfgSG1BvOY2XzWuWC5vcpY2nUW7g8_3M1Fqg3hDWy8UIibTrBOn4XqKDo3tG4cpRmogmAtsbQFh0kOqekAd3EKRPc/s320/img_8928.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
<div style="text-align: center;">
Oleh: Andi Sapto Nugroho, wartawan Jurnal Nasional</div>
<div style="text-align: center;">
(dimuat di <a href="http://www.jurnas.com/halaman/16/2013-03-14/236746">Jurnal Nasional</a>, Kamis 14 Maret 2013)</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
NUR MURSIDI (38) suntuk dengan komentar teman-temannya di facebook, malam itu. Banyak yang mengapresiasi buku pertamanya terbit, Tidur Berbantal Koran (2013). Buku itu bukanlah sekedar novel, lebih tepatnya sebuah memoar tentang hidupnya hingga menembus jagad perbukuan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mungkin tak banyak yang mengenal sosoknya. Tapi, namanya sudah merajalela di media nasional maupun daerah. Di jagad tulis-menulis, namanya terkenal lewat berbagai resensi buku, esai, puisi, dan cerita pendek.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Tak kaget bila bertandang ke kontrakannya, Jalan Ciliwung No 11 RT5/RW6, Condet, Cililitan Jakarta Timur, buku-buku berjejalan di rak. Ia jarang atau hampir dikatakan tak membeli buku-buku itu. Ia selalu mendapatkan kiriman dari berbagai penerbit atau meminta dikirimi buku untuk kemudian diresensi. Keprigelannya dalam meresensi adalah modal utama Mursidi mendapatkan kepercayaan dari penerbit.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada 2003, ia menulis sebanyak 56 artikel dalam berbagai genre yang dimuat dalam majalah atau koran. Itu adalah capaiannya tertinggi sejak mulai menulis pada1998. Sampai kini, “Tak kurang ada 300 tulisanku dimuat di koran lokal dan nasional. Mimpiku untuk bisa menjadi penulis akhirnya terwujud. Bahkan, berkat banyaknya tulisanku yang dimuat di koran, saya kemudian bisa menjadi wartawan,” tulis Mursidi dalam bukunya itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lima tahun kemudian, ia menjadi juara pertama lomba blog buku (http://www.etalasebuku.blogspot.com), yang diadakan oleh IKAPI di Pesta Buku Jakarta 2008. Namanya pun melambung. Ia banyak diundang ke beberapa diskusi buku. Ia juga diundang sebagai narasumber dalam program acara “Apa dan Siapa TVOne” 2011 dalam tajuk “Dari Jalanan untuk Masa Depan“.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jalan berliku dilalui Mursidi untuk akhirnya bisa menembus media dan menerbitkan buku. Perkenalannya dengan buku, ketika ia kuliah di Yogyakarta pada 1995.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
_MG_8952Niat meneruskan kuliah, ia sempat tak diperbolehkan oleh orangtuanya, karena keterbatasan biaya. Orangtuanya hanyalah pedagang pakaian di pasar daerah Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Mursidi adalah anak kedua dari tiga bersaudara, tadinya diminta untuk meneruskan usaha bapaknya. Tapi, ia memberontak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pepatah Arab yang diperolehnya ketika mengaji adalah alasan ia ingin pergi dari kampungnya. “Jika ada seorang anak yang melanjutkan usaha orangtuanya, maka dia termasuk seorang anak yang tidak kreatif,” ceritanya dalam memoar itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Saya tidak ingin menjadi anak yang tidak kreatif. Karena itu saya ingin mencari jalan dan pekerjaan lain.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tekadnya sudah bulat, orangtuanya pun melepasnya pergi ke Yogyakarta. Ia masuk jurusan ekonomi di Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa, yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Di situ, ia hanya sanggup bertahan satu semester. “Biaya kuliah tidak ada. Orangtua juga sudah jarang mengirim uang,” kata saat ditemui Jurnal Nasional dua pekan lalu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan kondisi seperti itu, ia terpaksa banting setir. Dunia kampus ia tinggalkan dan bergelut di jalanan. Ia berjualan koran sejak pagi hari. Pada 1995, harga koran masih Rp200 per eksemplar dan ia mendapatkan untung Rp100. Saat itu, ia terpaksa berbohong kepada ibunya. Ia mengaku cuti kuliah, padahal syarat cuti, harus sudah mengikuti kuliah selama dua semester.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, tahun berikutnya ia memutuskan kuliah kembali di IAIN Yogyakarta. Selama masa “cuti”, ia mengumpulkan uang untuk bertahan hidup di perantauan. Ia sama sekali tak memikirkan kuliah. Ia berkenalan dengan kehidupan Malioboro. Hidupnya nomaden dengan berbekal sepeda onthel milik ayahnya. Ia sering iri ada mahasiswa yang bisa menulis di koran. Makanya, ia bertekad namanya bisa dicetak di kolom artikel.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia belajar menulis tiap malam dengan mesin ketik yang dibeli dari temannya seharga Rp35.000. Tulisan pertamanya dimuat di Kedaulatan Rakyat pada 1 November 1998, yaitu resensi berjudul “Potret Yogya Sehari-Semalam“. Sejak itulah, kemudian nama-namanya menghiasi sejumlah koran.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam memoar itu, ia banyak mengisahkan tentang lika-liku, kehidupan jalanan. Bagaimana ia mengenal copet, tukang becak hobi baca koran, preman jalanan, dan lainnya. Juga, beberapa tip menulis di koran.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mursidi tak menyangka banyak respon positif terhadap buku memoarnya itu. “Dulu, saya merasa pengalaman hidup saya itu tidak berharga dan tidak penting. Biasa!,” katanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tapi, tidak saya sangka, ternyata ada penerbit yang berminat dan meminta saya untuk menulis pengalaman hidup saya itu,” ia menambahkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia merampungkan tulisan itu selama sebulan pada 2010. Proses terbitnya pun tak semulus dugaan awal. Ketika diterima di Penerbit Elex Media pada Agustus 2011, naskah tersebut bakal terbit pada 2012. “Saya merasa dapat angin surga…tetapi setelah saya tunggu-tunggu ternyata tidak ada kabar lagi,” katanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
IMG_8919Ia pun mengirim surat elektronik ke editor yang bersangkutan tapi ia tak mendapatkan balasan. Sampai akhirnya, ia tahu bahwa editor bukunya tersebut sudah meninggal. “Saat itu, saya benar-benar terperanjat kaget, tatkala pada pertengahan bulan Juni 2012, saya membaca status seorang teman di facebook yang menulis berita bela sungkawa,” katanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Dan orang yang ditulis meninggal itu, tidak salah lagi adalah editor, yang saya titipi naskah buku ‘Tidur Berbantal Koran’.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Saya benar-benar merasa kehilangan, dan sedih-meski pun saya belum pernah sekali pun bertemu dan berbicara melalui telepon dengan editor tersebut. Saya pun teringat, lalu bagaimana dengan naskah saya?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di tengah ketidakjelasan itu, ia berencana menerbitkan buku sendiri dengan dibantu salah seorang teman percetakan. Tapi jani temannya itu tak kunjung datang. “Saya pun pasrah dan berusaha melupakan naskah itu. Saya berusaha melupakan hingga selupa-lupanya,” katanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Memang rejeki Tuhan itu selalu datang pada saat tiba-tiba. Ia lalu menerima sebuah surel dari Elex Media bahwa naskahnya sudah diedit dan siap terbit.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bagaimana perasaannya setelah buku terbit? “Campur aduk. Seperti menunggu kelahiran anak yang lama tidak lahir, dan akhirnya lahir. Setengah terharu dan tidak percaya…,” katanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Meski buku tersebut dipersembahkan untuk ibundanya di Lasem — ayahnya sudah meninggal lebih dulu, tetapi sampai saat ini ibunya tidak tahu tentang memoarnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ibu saya adalah sosok tangguh yang tak perlu membaca buku ini, karena kisah ini adalah setitik dari genangan doa dan jerih payah beliau,” katanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kenapa tidak perlu membaca? “Karena ibu saya sudah lama sakit mata, dan hampir tak bisa membaca. Jadi saya yang seharusnya membacakan buku ini untuk beliau,” katanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia sempat putus asa, ketika setahun belajar menulis tapi tak ada tulisan yang dimuat. Ia hampir putus asa dan kembali ke Lasem. Saat di rumah, ia seperti dibukakan mata oleh Tuhan untuk melihat perjuangan ibunya. “Pada sepertiga malam, ketika saya tidur dengan nyenyak, tiba-tiba saya mendengar namaku disebut oleh ibu, dan ia meminta Tuhan untuk memberikan jalan lempang bagi masa depanku,” katanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Saat itu, saya menitikkan air mata. Saya yang merasa berjuang mati-matian, ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuangan ibu,” ia menambahkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari situlah, ia kemudian bertekad untuk terus bekerja keras menulis. Baginya, buku tersebut adalah jawaban dari banyak orang yang bertanya kepadanya tentang bagaimana belajar menulis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tugas saya sebagai penulis hanyalah menulis, dan berusaha. Setelah itu, saya serahkan takdir: ke mana jodoh naskah itu akan terbit,” ujar wartawan majalah Hidayah itu.</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-20940945790117617342013-03-12T11:09:00.000+07:002013-03-12T11:49:49.914+07:00Jalan Panjang Kelahiran Buku "Tidur Berbantal Koran"<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBZJR3Yrs7GhDQXsl7mQuNcPEAUDp64yZ9hFMk3JfeQGh0Z0PeKaAmp_0734moAmomYlZ4iWzlS4W1eBPvAR1xjqjK7Noi-kgq7nmZEinQz4P1RZ9DXuSULeRS5MgEYwoCuj7KCJMGsfk/s1600/cover+Tidur+Berbantal+Koran1++(kecil).jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBZJR3Yrs7GhDQXsl7mQuNcPEAUDp64yZ9hFMk3JfeQGh0Z0PeKaAmp_0734moAmomYlZ4iWzlS4W1eBPvAR1xjqjK7Noi-kgq7nmZEinQz4P1RZ9DXuSULeRS5MgEYwoCuj7KCJMGsfk/s200/cover+Tidur+Berbantal+Koran1++(kecil).jpg" width="143" /></a></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
"Tugas saya --sebagai penulis-- hanyalah menulis dan berusaha. Setelah itu saya serahkan takdir: ke mana jodoh naskah itu akan terbit." Sepenggal kalimat itu, mungkin dapat dikatakan ungkapan yang tepat setelah saya mengalami "pengalaman" agak panjang terkait dengan terbitnya buku saya Tidur Berbantal Koran. Sebab saat menulis buku itu, saya tak tebersit pikiran akan menerbitkan buku tersebut di Elex Media Komputindo. Tapi, tidak saya duga, akhirnya naskah tersebut diterbitkan penerbit Elex Media Komputindo.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a><br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dulu, saya merasa pengalaman hidup saya itu tidak berharga, dan tidak penting. Biasa! Itu menurut saya! Tetapi, tidak saya sangka, ternyata ada penerbit yang berminat dan meminta saya untuk menulis pengalaman hidup saya itu --tentu, kini sudah bisa dibaca di buku Tidur Berbantal Koran (yang terbit 27 Februari 2013). Anehnya, meski sudah dipesan oleh penerbit saya tak juga kunjung sadar. Saya tak segera menulisnya. Perasaan gamang dan tak PD masih mengganjal keberanian saya. Akhirnya, naskah itu pun urung saya tulis. Waktu itu, tahun 2008, dan saya belum menikah</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dua tahun berlalu. Awal tahun 2010. Ketika itu, saya sudah menikah bahkan sedang menikmati masa-masa awal pernikahan. Jika tidak salah, usia pernikahan saya memasuki usia 4 bulan. Tetapi, waktu itu saya benar-benar merasa hampa. Sebagai suami, waktu itu saya merasa tidak bisa berbuat apa pun; saya tidak bisa banyak memenuhi segala hal yang bersangkutan dengan urusan ekonomi. Cobaan datang dan saya harus mengencangkan perut. Pada moment itulah, saya merasa tak berharga dan tidak bermanfaat --saya merasa tidak bermanfaat bagi istri saya, apalagi orang lain. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari situlah, saya ingin berbuat sesuatu. Saya pun berusaha berbuat banyak hal tapi -ironisnya- tak mengubah keadaan. Hingga akhirnya, saya sadar; sebagai penulis, saya hanya bisa menulis. Dari situ, saya kemudian menulis buku Tidur Berbantal Koran. Apalagi, saya ingat dua tahun yang lalu sudah ada penerbit yang memesan. Pada sisi lain, sebagian "isi buku" itu juga sudah pernah saya ceritakan kepada istri saya, dan ia mendukung agar saya menulisnya. Akhirnya, saya pun menulis buku "Tidur Berbantal Koran" itu didasari pada keinginan untuk bisa berbuat dan bermanfaat untuk istri saya, syukur-syukur jika akhirnya bisa bermanfaat bagi orang lain. Karena hanya itu yang bisa saya lakukan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Awal bulan Februari, saya mulai menulis buku tersebut dan buku itu rampung saya kerjakan pada Minggu pertama di bulan Maret 2010. Secara kronologis, saya menulis buku itu selama sebulan lebih satu minggu. Tapi, pertengahan proses menulis buku tersebut, sempat saya tinggal pergi ke Belitung selama seminggu (ikut raker kantor). Pulang dari Belitung, saya sempat tidak bisa melanjutkan menulis buku tersebut. Saya kehilangan semangat. Dari situ, saya sadar jika menulis itu butuh "konsistensi". Satu hari harus menulis walaupun cuma satu lembar, dan itu harus dikerjakan secara kontinue. Sekali meninggalkan "kebiasaan" itu, bisa-bisa akan tidak semangat lagi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kira-kira 3-4 hari saya vakum. Baru pada hari setelah itu, saya bisa menulis lagi. Tetapi, cobaan selalu datang kapan pun. Saat buku itu hampir selesai, kurang lebih tinggal 15 persen lagi, tiba-tiba istri saya sakit. Asma. Ia kena imbas saya yang menulis sambil merokok. Dan ironisnya, saat ia sakit tepat pada akhirnya bulan Februari. Saya melihat isi dompet. Hanya ada uang sekitar 30 ribu. Tidak mungkin saya membawa istriku ke dokter dengan membawa uang cuma 30 ribu! Saya pun tidak saja tak mampu membawa istri saya ke ke dokter, tetapi juga tidak bisa menulis lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat itu, saya sempat berpikir. Jika saya menulis dan menghasilkan buku tetapi istri saya jatuh sakit dan kian parah, rasanya perjuangan saya menulis sia-sia. Saya yang sedari awal ingin menulis agar ia bahagia, dan saya merasa bermanfaat bagi dia, justru saat itu terbalik. Ulah saya menulis sambil merokok bisa membunuhnya. Karena itu, saya pun berhenti menulis, dan bahkan berniat tak melanjutkan penulisan buku Tidur Berbantal Koran. Biarlah buku itu tidak jadi, asal istri saya sehat, saya sudah merasa bahagia. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rupanya, Tuhan berkehendak lain. Saat saya iseng-iseng ngecek jumlah saldo di rekening lewat sms, rupanya ada "honor" cerpen saya yang masuk. Saya segera membawa istri saya berobat. Dua atau tiga hari kemudian, dia sembuh. Setelah sembuh, saya seperti mendapatkan kekuatan baru untuk melanjutkan menulis buku Tidur Berbantal Koran setelah berhenti sekitar 3 hari. Buku itu, akhirnya rampung. Pihak penerbit setelah saya kontak, ternyata masih menunggu buku tersebut. Setelah saya edit, kemudian saya kirim ke penerbit. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi jalan yang harus saya lalui untuk menerbitkan buku itu tidak lantas berjalan mulus. Setelah saya serahkan naskah tersebut, penerbit justru meminta saya menulis novel. Naskah buku itu memang sudah di-acc, dan bahkan saya sudah dikasih uang muka. Sayangnya, penerbit mau menerbitkan setelah saya menulis novel dan novel saya itu akan diterbitkan lebih dulu sementara naskah buku Tidur Berbantal Koran akan diterbitkan kemudian. Penerbit memberikan "janji" akan menerbitkan 1,5 tahun kemudian, setelah saya menyerahkan naskah novel.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi, dalam rentang waktu proses menunggu terbitnya Tidur Berbantal Koran itu membuat saya tidak semangat menulis, termasuk menulis novel yang dipesan itu. Bahkan hingga 1,5 tahun berlalu, saya tidak berhasil menulis novel yang dipesan itu. Dan tragisnya, buku Tidur Berbantal Koran tidak jadi diterbitkan setelah penerbit melihat nilai market dari buku tersebut. Di tengah kebingungan --setelah naskah Tidur Berbantal Koran tidak jadi terbit-, saya pun mencari-cari peluang di penerbit lain. Di luar dugaan, saat saya buka facebook, ternyata ada salah satu teman di faceboook saya menulis status: "ada sebuah penerbit besar yang butuh naskah True Story. Jika berminat silahkan inbox saya!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya pun menulis inbox, dan dikasih tahu jika penerbit itu adalah Elex Media dan saya dikasih alamat email editornya di Elex Media yang menangani naskah true story. Tepat tanggal 18 Juni, naskah "TIDUR BERBATAL KORAN" itu saya kirim ke editor Elex Media, dan dua hari kemudian, 20 Juni 2011, editor tersebut membalas email saya, dan meminta saya sabar menunggu hasil seleksi. Tepat 19 Agustus 2011, editor memberikan jawaban: NAKSAH BISA DITERBITKAN tetapi tahun depan 2012. Saya merasa dapat angin surga. Hitungan saya, naskah itu akan terbit pertengahan tahun 2012; sekitar bulan Juni atau Juli 2012. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi setelah saya tunggu-tunggu, ternyata tidak ada kabar lagi. Padahal, tahun sudah berganti bahkan sudah memasuki bulan Mei 2012. Buku saya seharusnya sudah ada kabar akan terbit. Kenapa tak ada kabar? Saya pun menulis email ke editor yang bersangkutan tetapi jawaban itu bahkan tidak pernah saya dapatkan. Dan ironisnya, jawaban itu saya dapatkan justru dari orang lain. Saat itu, saya benar-benar terperanjat kaget, tepat pada pertengahan bulan Juni 2012, saya membaca status seorang teman di facebook yang menulis berita bela sungkawa. Dan orang yang ditulis meninggal itu, tidak salah lagi adalah editor penerbit Elex Media yang saya titipi naskah buku Tidur Berbantal Koran.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya benar-benar merasa kehilangan, dan sedih --meski pun saya belum pernah sekali pun bertemu dan berbicara melalui telepon dengan editor tersebut. Saya pun teringat, lalu bagaimana dengan naskah saya? Tak mungkin, saya menanyakan nasib buku saya hari itu juga ke penerbit Elex Media. Saya harus menunggu waktu. Akhirnya, tanggal 21 Juni 2012, saya pun menelepon Elex Media, dan disambungkan ke atasan editor yang pernah saya titipi naskah. Sungguh di luar dugaan saya, atasan itu sama sekali tidak tahu menahu naskah saya. Tapi, dengan baik hati, atasan editor itu memberi saya kesempatan untuk mengirim ulang naskah saya. Jadi, kalau dihitung-hitung, saya seperti mengajukan naskah dari awal lagi, dan harus antre.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dua bulan tak ada jawaban. Saya pun merasa naskah itu tak akan diterbitkan Elex Media. Di tengah ketidakjelasan itu, saya pun berpikir pendek: saya ingin menerbitkan naskah itu sendiri. Tetapi, uang yang saya kumpulkan untuk menerbitkan buku tersebut, selalu saja masuk alokasi kebutuhan lain. Saya pun menceritakan perihal naskah itu kepada seorang teman yang punya percetakan, dan dia siap membantu. Bahkan, dia siap menerbitkan dan saya bisa membayar jika saya punya uang. Saya senang dan bahagia. Tapi, janji itu sekadar janji. Tak pernah dia memberikan jawaban lagi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya pun pasrah dan berusaha melupakan naskah itu. Saya berusaha melupakan hingga selupa-lupanya! Tetapi di saat saya sedang melupakan naskah itu tiba-tiba ada email dari editor pengganti (dari editor yang saya titipi naskah). Email itu bahkan mengabarkan jika naskah buku Tidur Berbantal Koran sudah diedit dan saya diminta untuk mengoreksi. Meskipun sudah ada jawaban seperti itu, saya masih tidak sepenuhnya yakin naskah saya itu akan terbit. Saya mengoreksi, dan kembali melupakannya... Jika sudah jodoh, memang tak akan lari ke mana. Dan, naskah buku itu, akhirnya terbit tiga bulan kemudian --sejak saya mendapatkan email diminta untuk mengoreksi naskah Tidur Berbantal Koran. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kini setelah melalui proses yang agak panjang, akhirnya buku Tidur Berbantal Koran itu terbit, 27 Februari 2013. Saya menulis buku itu tepatnya selama 3 Minggu (karena saya tak menulis saat pergi ke Belitung, berhenti setelah itu, serta sempat mandek ketika istri saya sakit), tapi saya harus menunggu selama tiga tahun untuk terbit. Lantas, bagaimanakah perasaan saya ketika buku itu terbit? Campur aduk. Seperti menunggu kelahiran anak yang lama tidak lahir, akhirnya lahir. Seperti menunggu kekasih yang akan datang di stasiun setelah ditunggu cukup lama. Setengah terharu dan tidak percaya...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ironisnya, meski di halaman belakang cover depan buku saya mempersembahkan buku ini buat ibu saya, tetapi sampai saat ini, ibu saya tidak tahu tentang terbitnya buku ini. Ibu saya --sebagaimana saya tulis di halaman persembahan-- adalah "sosok tangguh yang tak perlu membaca buku ini --karena kisah ini adalah setitik dari genangan doa dan jerih payah beliau." Kenapa tidak perlu membaca? Karena ibu saya sudah lama sakit mata, dan hampir tak bisa membaca. Jadi saya yang seharusnya membacakan buku ini untuk beliau. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya masih ingat, setelah satu tahun saya belajar menulis dan "tidak ada" satu pun tulisan saya yang dimuat di koran, saya sempat "hampir" putus asa. Saya pulang ke kampung, dan memutuskan tidak akan balik ke Yogyakarta. Saya merasa perjuangan saya berat, dan tak perlu diteruskan. Saya hampir menyerah. Tapi saat di rumah itulah, saya seperti dibukakan mata oleh Tuhan untuk melihat perjuangan ibu saya. Pada sepertiga malam, ketika saya tidur dengan nyenyak, tiba-tiba saya seperti "mendengar" suara yang lembut dan halus menusuk ke telinga. Setengah sadar, saya seperti mendengar suara ibu saya. Saya membuka mata dan menoleh; mendapati ibu saya masih memakai mukena (usai shalat) tepat di kamar tempat saya tidur. Waktu itu, lamat-lamat, saya mendengar ibu saya berdoa untuk saya. Saya tak cukup jelas mendengar doa yang dipanjatkan ibu saya, tapi saya mendengar nama saya disebut, dan beliau meminta Tuhan untuk memberikan jalan lempang bagi masa depan saya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat itu, saya menitikkan air mata. Saya yang merasa berjuang mati-matian, ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuangan ibu saya. Saat itu juga, saya memutuskan untuk balik ke Yogyakarta lagi, dan setiap saya ingat doa ibu saya itu saya seperti mendapatkan kekuatan baru. Maka buku ini, saya persembahkan kepada ibu saya. Sementara itu, untuk novel yang akan saya tulis ke depan, saya persembahkan kepada istri saya! Karena di buku ini, memang tidak ada kisah tentang istri saya, dan sepenuhnya adalah perjuangan tanpa lelah dari ibu saya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kini, setelah buku ini terbit, saya berharap pembaca bisa mengambil pelajaran. Saya hanya ingin berbagi, sebab tidak sedikit orang yang mengalami nasib seperti saya, harus berjuang untuk bisa kuliah. Itulah "harapan" saya kepada pembaca buku ini. Maklum, dari dulu, saya sering mendapatkan email yang mengisahkan kehidupan mereka tidak jauh dengan kehidupan saya, dan mereka ingin menulis. Karena itu, jika besok ada orang yang mengalami nasib seperti saya, dan dia ingin belajar menulis, saya hanya tinggal meminta dia membaca buku "Tidur Berbantal Koran". Jadi, buku ini adalah jawaban dari banyak orang yang bertanya kepada saya, dan ingin belajar menulis. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah menerbitkan buku ini, penerbit yang dulu pernah meminta saya untuk menulis buku Tidur Berbantal Koran ini dan batal menerbitkannya, kembali menangih saya untuk menulis novel. Memang, saat ini saya sedang mengumpulkan data bahkan dalam waktu dekat ini akan melakukan riset ke Kalimantan untuk menulis novel berlatar belakang konflik Sambas 1999. Tetapi, ketika penerbit yang dulu meminta naskah ini kembali meminta saya mengajukan naskah novel berlatar belakang Sambas itu, saya hanya menjawab pendek... "Tugas saya --sebagai penulis-- hanyalah menulis, dan berusaha. Setelah itu, saya serahkan takdir: ke mana jodoh naskah itu akan terbit."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jadi, itulah sekilas "perjalanan panjang" kelahiran buku Tidur Berbantal Koran ini. Semoga bermanfaat, dan memberikan inspirasi! </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Condet, 1 Maret 2013</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-8247706334568674062012-12-28T00:31:00.000+07:002013-03-22T06:56:17.871+07:00Penghulu Baru<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQMfM57Ckd5V6fO09A9qwUjAq-Ra38KajxzEti3RPHk2ZHr_DXnVjcwGFsbknOO0BRO50ya-G0aJxTdE2CRRYybZfyyj56qrkWf9hXgg0Zu8pIDsCj5jNUugJv9zzOBd2iSFaK8PbzQ7s/s1600/ijab-kabul.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQMfM57Ckd5V6fO09A9qwUjAq-Ra38KajxzEti3RPHk2ZHr_DXnVjcwGFsbknOO0BRO50ya-G0aJxTdE2CRRYybZfyyj56qrkWf9hXgg0Zu8pIDsCj5jNUugJv9zzOBd2iSFaK8PbzQ7s/s200/ijab-kabul.jpg" width="160" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Cerita pendek ini dimuat di Majalah Penghulu, edisi Desember 2012</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
SEBULAN lalu, Baihaqi tiba di pelosok Kalimantan. Harapannya untuk bisa menjadi penghulu, kini sudah terwujud. Tapi tak pernah terbayangkan, ketika dia menginjakkan kaki di daerah itu, kurang lebih 400 km dari Samarinda, dia menjumpai kenyataan yang nyaris jauh dari yang dia bayangkan. Pedalaman dan penuh dengan rawa-rawa. Hari pertama memulai dinas, dia merasakan getaran aneh yang membuatnya ciut dan menyadari jika pilihannya itu terbilang nekat.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Dia masih ingat, hari pertama masuk kerja di kantor KUA itu, dia datang lebih awal. Dua puluh menit setelah kedatangannya itu, muncul seorang lelaki tirus berbaju putih bersih dengan peci hitam yang datang membawa tas dan sepucuk surat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jadi, Anda ini penghulu baru yang ditugaskan untuk membantu kami?” tanya lelaki tua yang kemudian diketahui Baihaqi sebagai Ketua KUA di tempat itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baihaqi gugup, “Betul, Pak.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lelaki itu mengenalkan diri, memberikan ucapan selamat, “Selamat datang di tempat baru. Tempat yang mungkin tak pernah Anda bayangkan. Dan kebetulan, habis Dhuhur nanti saya akan menikahkan mempelai pengantin di tempat yang agak jauh. Saya akan senang, jika Anda mau menemani saya,” ujar lelaki tua itu, yang biasa dipanggil ustadz Mahmudi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Dengan senang hati, saya akan menemani,” jawab Baihaqi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tapi jangan kaget, nanti menempuh perjalanan jauh. Tugas jadi penghulu di daerah ini tidak saja pengabdian, tapi juga sebuah tantangan. Apalagi jika harus berperahu dan menelusuri kampung-kampung terpencil.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tepat selepas Dhuhur, ustadz Mahmudi dan Baihaqi berangkat meninggalkan kantor KUA. Tapi, hati Baihaqi seperti tak menentu. Ini pertama kali Baihaqi melaksanakan tugas dan diajak untuk menikahkan mempelai di tempat yang tak pernah dibayangkan. Dan, dia hanya mengikuti ustadz Mahmudi, dan membonceng ustadz Mahmudi. Sedari awal, ia sudah mengira tempat pernikahan yang akan dituju itu jauh. Tapi, Baihaqi sama sekali tidak menduga ketika melewati tepi rawa, tiba-tiba ustadz Mahmudi menghentikan sepeda motor. “Kita turun di sini. Motor ini, kita titipkan di rumah penduduk, lalu kita menaiki rakit dan menyusuri rawa.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Wajah Baihaqi langsung pucat. Dia tak mengira jika pengalaman pertamanya tugas jadi penghulu harus menyeberangi rawa-rawa. Padahal dia tak bisa berenang. Tapi dia diam. Setelah Ustadz Mahmudi minta bantuan seseorang menyusuri rawa itu, Baihaqi memendam rasa takut. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Syukurlah, meski dilanda takut, akhirnya ustadz Mahmudi dan Baihaqi selamat sampai di tempat mempelai --setelah dijemput oleh pihak keluarga di seberang rawa. Begitu seterusnya selama sebulan, sejak bertugas di tempat baru itu, Baihaqi selalu diminta menemani ustadz Mahmudi menikahkan calon mempelai dari satu kampung terpencil ke kampung yang lain. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SAAT masih kuliah IAIN, Baihaqi sudah berkeinginan jadi penghulu. Maka, setelah dia lulus kuliah, dia ikut mendaftar ketika beberapa kali Depag membuka lowongan. Tapi, mimpi Baihaqi bertepuk sebelah tangan. Tiga kali dia daftar, selalu tak diterima. Baihaqi sempat putus asa, dan berniat mengurungkan niat untuk jadi penghulu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jika niatmu jadi penghulu semata-mata untuk mendapat pekerjaan atau jadi pegawai, jangan salahkan jika kau tak diterima. Jadi, luruskan niatmu itu. Ibu yakin, jika niatmu benar, kelak cita-citamu akan terwujud,” ujar Maimunah, ibu Baihaqi ketika melihat Baihaqi diliputi kesedihan ketika tak lulus ujian tiga kali berturut-turut. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baihaqi hanya menunduk, menyadari kebenaran yang diucapkan ibunya. Sehari setelah ibunya menasehati Baihaqi, jalan itu terbuka. Dia ditelepon temannya dari Kalimantan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Datanglah ke tempatku. Nanti kau daftar di sini! bujuk Ridwan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setengah tahun kemudian, jalan lempang itu terjawab. Baihaqi mendaftar dan lulus seleksi. Dengan berat hati, Baihaqi berpamitan kepada ibundanya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ingat, kerjamu ini bukan sembarang pekerjaan! Jadi, niatmu sejak awal harus kamu pegang dengan kuat!” pesan Ibundanya. Dan Baihaqi mengangguk, mencium tangan ibunya dengan sahdu, sebelum kemudian meninggalkan tanah Jawa dan bertugas di Kalimantan. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
PAGI ini, sebulan Baihaqi menjalankan tugas sebagai penghulu. Dan pagi ini, Baihaqi mendapatkan telepon dari ustadz Mahmudi. Telepon yang membuatnya diselimuti kegugupan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Hari ini, saya tidak enak badan. Saya minta tolong, kau mewakili saya menikahkan calon mempelai di kampung seberang rawa.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baihaqi kaget, diliputi cemas. Tapi, dia tak bisa menolak permintaan ustadz Mahmudi. Dengan cara apa pun, dia sudah mendapatkan amanah itu dan mau tidak mau harus berangkat. Kampung calon mempelai tidak jadi persoalan bagi Baihaqi, karena dia pernah diajak ustadz Mahmudi menikahkan mempelai di kampung tersebut. Tetapi, ini adalah pengalaman Baihaqi menikahkan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selepas Dhuhur, Baihaqi berangkat. Dia meninggalkan kantor KUA, tapi kini jantungnya berdegup dengan kencang, pikirannya tak karuan. Usai menyeberang rawa, Baihaqi dijemput oleh pihak keluarga. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sekitar setengah jam kemudian, Baihaqi tiba di tempat resepsi pernikahan. Tamu sudah berkumpul. Calon mempelai lelaki sudah siap. Bahkan, Baihaqi terbilang terlambat setengah jam. Tetapi, tiba-tiba, ayah mempelai wanita menyalami Baihaqi. Dengan gugup, Baihaqi pun berkata jujur jika ustadz Mahmudi berhalangan hadir dan ia mendapat amanah untuk mewakili beliau. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jadi, ustadz Mahmudi tidak bisa hadir?” tampak jelas rona kecewa yang terpanjar dari raut ayah mempelai wanita. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baihaqi mengangguk. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Rasanya, pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan!” ujar ayah mempelai wanita dengan keras. Tamu-tamu saling pandang. Baihaqi tercekat dan kaget. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tetapi, saya datang mewakili ustadz Mahmudi dan mendapatkan amanah dari beliau.” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tapi, orang-orang kampong ini akan merasa mantap dan bahkan terhormat jika ustadz Mahmudi yang menikahkan. Juga kami akan terkesan dan hitmad jika prosesi pernikahan itu dituntun ustadz Mahmudi. Ada cahaya di seberkas mata beliau yang menjadikan pernikahan yang dibimbing beliau itu berwibawa dan terhormat.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baihaqi tidak tahu, apa yang harus dia katakan. Juga, dia tidak tahu apa yang harus dia perbuat. Dia merasa kehadirannya ditolak. Baihaqi hanya berdiri diam, seperti patung. Hingga kemudian, dia samar-samar mendengar suara yang tak asing di telinganya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tidak ada pernikahan yang harus ditunda jika semuanya sudah siap…” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baihaqi merasa suara itu sudah dia kenal. Dan dia menoleh. Dari kejauhan dia melihat sosok lelaki, yang tidak lain adalah ustadz Mahmudi. Dia pun buru-buru menyalaminya, dan memeluk ustadz Mahmudi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan pelan, ustadz Mahmudi berbisik di telinga Baihaqi. “Tugas penghulu itu ibadah. Dan aku sedang mengujimu! Jadi, kamu harus kuat menjalani tugas ini. Ini belum seberapa!” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baihaqi mengangguk, menyadari jika dia masih muda dan bahkan belum menikah! ***</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Condet, Oktober 2012</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*) N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa. Kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan “Dua Janji” (2010).</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-71248061577800090882012-12-11T01:56:00.000+07:002012-12-14T02:04:27.670+07:00Jakarta, Banjir, dan Fiqih Lingkungan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOTL5_4j8fUZ2iVyQoEoWCP0XOObfI3F4cH8AGX5ngIfC-BgVyUjjJ3mA82L9xCVLYIuadPe8bAKH1HnIW8O3DpaaoEuuqgQU1OLJu7Z_38MoZdjq1nEM0VDtd3CIhCX49qxDnRW9yLM0/s1600/61banjir-jakarta.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOTL5_4j8fUZ2iVyQoEoWCP0XOObfI3F4cH8AGX5ngIfC-BgVyUjjJ3mA82L9xCVLYIuadPe8bAKH1HnIW8O3DpaaoEuuqgQU1OLJu7Z_38MoZdjq1nEM0VDtd3CIhCX49qxDnRW9yLM0/s200/61banjir-jakarta.jpg" width="160" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
opini ini dimuat di <a href="http://harian-pelita.pelitaonline.com/cetak/2012/12/11/jakarta-banjir-dan-fikih-lingkungan#.UMome5ifUSk"><span style="color: #cc0000;">Harian Pelita</span></a>, Selasa 11 Desember 2012</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
BUKAN berita mengejutkan ketika musim hujan datang, Jakarta dilanda banjir. Kota metropolitan dan ibu kota Republik Indonesia ini sekarang bahkan sudah menjadi kota yang "mengenaskan". Pasalnya, selain dikenal sebagai "kota macet", Jakarta hampir tiap tahun sudah dipastikan dilanda banjir. Ironisnya, dari tahun ke tahun, dua persoalan pelik --macet dan banjir-- yang melilit Jakarta itu tidak kunjung mendapatkan solusi, melainkan justru kian parah. </div>
<a name='more'></a><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hampir tiap hari kemacetan terjadi di sepanjang jalan-jalan besar di Jakarta. Sementara itu, wilayah yang digenangi banjir tiap tahun kian meluas. Tak pelak, jika wilayah Jakarta yang dilanda banjir tak lagi hanya terjadi di Kampung Melayu dan beberapa tempat yang dekat dengan sungai Ciliwung tapi sudah hampir terjadi di sebagian besar daerah di Jakarta. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Secara geografis Jakarta memang termasuk dataran rendah sehingga mudah diserang banjir waktu musim hujan tiba. Tapi kondisi itu diperparah dengan tata ruang kota Jakarta yang tak baik ditambah kesadaran dari setiap warga Jakarta yang bisa dikatakan rendah tentang fiqih lingkungan. Walhasil, Jakarta jadi kota yang berpotensi dan rentan disergap banjir (tahunan).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kenapa Jakarta Bisa Banjir?</div>
<div style="text-align: justify;">
Kota Jakarta bisa atau mudah dilanda banjir karena kota ini memang merupakan kawasan delta yang berdataran rendah. Sebagian besar wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut. Tak bisa disangkal, jika Jakarta merupakan kota yang tidak saja memiliki potensi mudah dilanda banjir tetapi sekaligus kota yang secara pasti tidak dapat bebas dari ancaman datangnya banjir ketika musim hujan tiba. Apalagi, ketika curah hujan cukup tinggi. Banjir bisa dipastikan akan melanda Jakarta. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada sisi lain, tiap tahun Jakarta mengalami penurunan muka tanah, atau mengalami amblasan. Akibat dari penurunan muka tanah itu pun menjadikan sebagian wilayah Jakarta --terlebih lagi daerah Jakarta Utara-- berada di bawah permukaan air laut. Kondisi yang memprihatinkan secara geografis itulah yang menyebabkan Jakarta mudah dilanda banjir. Apalagi kondisi itu "diperunyam" dengan kesadaran yang rendah terhadap tata kelola sumber air. Air hujan tidak lagi dipandang sebagai berkah, atau sumber yang potensial bagi kehidupan. Air hujan justru dianggap bahkan diperlakukan sebagai biang keladi dari bencana --dalam hal ini bencana banjir.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kesadaran yang rendah terhadap fiqih lingkungan (ditilik dari aspeks fiqih Islam) dalam "memaknai" air hujan ini kemudian berimplikasi terhadap cara yang kurang tepat dalam mengalokasikan pembuangan air hujan. Air hujan tidak dikelola dengan baik dengan menyediakan serapan, dan sebagai sirkulasi cadangan air bawah tanah melainkan justru dibuang ke laut. Padahal, dalam Islam, air hujan itu merupakan berkah dan hujan yang turun dari langit bukan sebagai malapetaka atau bencana, kecuali jika dipandang keliru atau salah dalam pengelolaan. Akibat air (hujan) yang "tidak dikelola" dan ditempatkan di ruang yang semestinya (ke bawah tanah) untuk memenuhi sirkulasi cadangan air bawah tanah, jadi "cadangan sumber air baku" untuk kehidupan --seperti persediaan air minum, mengaliri tanah pertanian dan memenuhi kebutuhan hajat hidup yang lain-- tak pelak kalau banjir pun datang sebagai bencana. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pengelolaan air hujan untuk "sirkulasi cadangan" air bawah tanah itu memang tidak mudah. Maklum, Jakarta sudah penuh dan berjibun dengan bangunan beton dan aspal. Akibatnya, ruang terbuka hijau (RTH) yang seharusnya bisa menjadi lahan yang sangat berguna demi menyerap air hujan tak lagi tersedia dengan memadai. Padahal curah hujan di Jakarta rata-rata mencapai 2 miliar per tahun. Maka terjadi ketakkeseimbangan antara curah hujan yang turun dengan air yang diserap ke dalam tanah. Tak pelak, jika Jakarta tidak saja rentan dilanda banjir, tapi bisa mengalami krisis air bersis. Inilah masalah krusial yang sekarang ini benar-benar mengancam Jakarta. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kesadaran Fiqih Lingkungan</div>
<div style="text-align: justify;">
Jakarta sebagai kota yang rentan digulung banjir, memang tidak dapat ditepis. Tetapi bukan berarti tidak ada "jalan arif" untuk mencegah kehadiran banjir yang akan menenggelamkan Jakarta. Setidaknya, ada beberapa hal urgent yang perlu diperhatikan. Pertama, kesadaran akan fiqih lingkungan untuk tetap menjaga Jakarta dalam keadaan yang seimbang dalam memperlakukan alam dan lingkungan Jakarta. Dalam hal ini, perlu perbaikan dan menormalisasi saluran air --termasuk saluran air sungai, situ dan kanal di Jakarta. Pada sisi lain juga perlu pengelolaan sampah yang baik. Sebab, bukan sesuatu yang mengherankan kalau warga membuang sampang sembarangan bahkan ada yang membuang ke sungai. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua, mengalokasikan tempat atau ruang bagi resapan air. Jakarta mungkin bisa disebutkan sebagai tempat yang minim ruang terbuka hijau (RHT) yang bisa dijadikan resapan air. Maklum, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta kurang lebih hanya 9 persen. Padahal, UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, telah menetapkan setiap daerah provinsi wajib mengalokasikan 30 persen lahan untuk RTH. Dengan ruang terbuka hijau yang minim, Jakarta perlu "memaksimalkan cara efektif" penampungan air hujan melalui lubang biopori bagi pemukiman dan sumur serapan. Tetapi, keberadaan sumur resapan yang sudah diatur dengan diberlakukannya Surat Keputusan (SK) Gubernur No 17 Tahun 1992 tentang Sumur Resapan yang kemudian direvisi lagi dengan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No 115 Tahun 2001 dan Pergub DKI Jakarta No 68 Tahun 2005 tentang Sumur Resapan, ironisnya kurang ditaati. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketiga, perlu menata ulang atau merevitalisasi kawasan pantai di Jakarta secara baik. Tak berlebihan, jika diperlukan alokasi bagi lahan konservasi yang tidak serampangan. Sebab jika tidak, Jakarta yang penuh dengan bangunan gedung bertingkat, perumahan, jalan beraspal dan bahkan beton bisa kehilangan keseimbangan secara lingkungan. Tata ruang kelola kota yang sudah parah, jangan sampai diperparah lagi dengan ketiadaaan tempat di tepi pantai dan salah sataunya adalah dengan mengalokasikan lahan untuk konservasi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beban berat untuk menghalau Jakarta dari terjangan banjir memang tidak bisa dibebankan di pundak pemerintah provinsi semata, tetapi juga harus ditanggung oleh pemerintah pusat. Sebab, Jakarta adalah ibukota negara Indonesia. Tapi hal penting lain lagi adalah kesadaran setiap warga tentang fiqih lingkungan. Tanpa kesadaran (fiqih lingkungan) seperti itu, Jakarta tentunya akan kian parah dan tak tertolong lagi ketika hujan tiba. Air hujan yang turun dari langit tidak menjadi berkah, melainkan berubah menjadi bencana banjir. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*) N. Mursidi, pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta.</div>
<br />penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-54657450390447255992012-10-12T10:58:00.003+07:002012-10-12T11:18:41.382+07:00Bendera<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjn7Dtj22uTiZPGjtAjAiH8AD0ID2iJCts8qC_wHcKIZqi1QwBsiROSUVWlxSnPLJnwvD9Y8Ll__1B3MOdQ3Mz3O7dhVVrCF6miMEPxoHJqCOk3cJvxxBxArnePOIVatbZRVy1jsSxgDks/s1600/bendera.png" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjn7Dtj22uTiZPGjtAjAiH8AD0ID2iJCts8qC_wHcKIZqi1QwBsiROSUVWlxSnPLJnwvD9Y8Ll__1B3MOdQ3Mz3O7dhVVrCF6miMEPxoHJqCOk3cJvxxBxArnePOIVatbZRVy1jsSxgDks/s200/bendera.png" width="149" /></a></div>
cerpen ini dimuat di <span style="color: #cc0000;">Suara Pembaruan</span> edisi Minggu 11-17 Oktober 2012<br />
<br />
Siang itu cakrawala berwarna kelabu. Aku pulang sekolah dengan langkah lunglai, memakai sepatu dengan tali yang kusut dan berdebu. Aku terus melangkah, dahaga menggaruk tenggorakanku. Gang sempit ke arah rumahku lengang, dan aku ingin cepat sampai ke rumah. Tapi aku seperti digelayuti lelah untuk berlari.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Tidak tampak anak-anak kecil berseragam sekolah merah putih bermain di gang sempit itu, kecuali aku seorang diri –yang sedang berjalan pulang dengan galau. Tetapi, entah mengapa, siang itu kelengangan gang ke rumahku seperti berbeda. Angin berisik seperti mengabarkan kemerdekaan yang pernah diukir para pejuang di zaman dulu. Aku merasakan hembusan ruh pahlawan menelusup di sela-sela dedaunan tanaman di depan rumah tetangga-tetanggaku yang tampak sahdu.<br />
<br />
Aku terus melangkah, dan sesekali mengamati setiap rumah yang aku lewati. Aku lihat tiang-tiang tertancap di depan rumah dan di setiap tiang itu bendera merah putih berkibaran diterpa angin yang bertiup sahdu. Sesekali, angin bertiup kencang membuat setiap bendera yang ada di depan rumah tetanggaku berkibar menawan.<br />
<br />
Tapi tiba-tiba aku merasa heran, ada setangkup perasaan ganjil yang menelusup diam-diam dan gamang dalam hatiku tatkala aku sudah berdiri tepat di depan rumahku. Seperti ada yang hilang dari sesap ganjil mataku. Tak kulihat tiang bendera tertancam di depan rumah. Tidak ada sang saka merah putih berkibar di tiang bambu yang biasa ayah tancamkan di depan rumah.<br />
<br />
Siang itu, aku seperti berdiri di depan rumahku yang asing. Aku seperti berdiri di depan rumah orang luar yang tak kena peraturan untuk memasang bendera selama satu minggu sampai hari proklamasi kemerdekaan. Sejenak, aku menatap sekeliling. Tak ada rumah tetanggaku yang tidak memasang bendera merah putih kecuali rumahku. Rumah yang tampak sepi dan beku, lantaran tidak ada kibar sang saka merah putih di hari menjelang kemerdekaan bangsaku.<br />
<br />
Penghormatanku pada para pahlawan yang gugur di medan perang sebagaimana cerita yang pernah aku dengar dari guru sejarah-ku, seperti menyeretku pada kesedihan. Aku merasa seperti anak orang Belanda yang sedang bertandang ke kampungku sendiri, tak seperti seorang anak Sekolah Dasar yang pulang dari sekolah dengan seragam merah putih.<br />
<br />
Kakiku gemetaran, saat aku kembali melihat setiap rumah tetanggaku dan kibar sang saka merah putih di setiap rumah serasa meluruhkan jiwaku. Langkah kakiku kaku. Aku ditikam kerinduan untuk mengingat masa lalu, mengingat para pejuang dulu ketika mereka berperang melawan penjajah.<br />
<br />
Aku bergegas memasuki rumah, langsung menerabas ke dapur. Di rumah hanya ada nenek yang termangu di dapur menanak nasi. Diam-diam, aku mengambil gelas dan melangkah dengan kaki gemetar. “Kau sudah pulang?” tanya nenek saat melihatku.<br />
<br />
“Anak-anak dipulangkan lebih pagi dari biasa karena besok anak-anak berangkat kemah, nek…” jawabku seraya menuang air putih dari baskom.<br />
<br />
Setelah segelas air putih meluruhkan tenggorokanku, aku memasuki ruang kerja ayah. Kulihat kain berserakan di lantai, di bawah mesin jahit tua ayah –yang terongggok membisu. Siang itu, ayah dan ibu kebetulan belum pulang masih di pasar menjual segala jenis pakaian yang sebagian ayah jahit sendiri, termasuk bendera.<br />
<br />
Tak pernah ayah mengajariku menjahit, membuatku ditikam bingung. Apa yang harus kulakukan untuk merajut kain merah putih itu agar bisa menjadi sebuah bendera? Berdiri serupa patung, tiba-tiba sekelebat bayangan ayah yang sedang menjahit sepulang dari pasar seakan memberiku pelajaran tidak langsung. Tak ingin ayah pulang dan tahu apa yang aku lakukan, buru-buru aku pungut kain merah dan putih yang berserak yang kutahu; kain itu sisa dari potongan bendera yang dijahit ayah kemarin sore.<br />
<br />
Setelah aku pilih-pilih, aku temukan dua lembar kain merah-putih yang nyaris seukuran. Selanjutnya, untuk membuat kedua kain merah putih itu jadi sama seukuran, kuraih gunting yang tergeletak di sisi lengan mesin jahit. Kupotong sisi kain merah yang berukuran lebih besar. Lalu, aku duduk di kursi mesin jahit.<br />
<br />
Sial, benang yang biasanya terpasang di lubang jarum ternyata lepas. Terpaksa, aku memasukkan ujung benang ke lubang jarum. Awalnya, kesulitan. Tetapi setelah tiga kali bersusah payah memasukkan jarum ke lubang, aku dapat bernapas panjang. Benang terpasang, dua lembar kain merah dan putih yang sudah kupotong seukuran sudah siap untuk dijahit.<br />
<br />
Entah dapat ilmu menjahit dari mana, aku seperti merasa ada tangan ghaib yang menuntun tanganku tiba-tiba menjadi cekatan. Dua kain merah putih berukuran kecil itu kujahit, lalu bagian ujung kain kurekatkan untuk merapikan bentuk bendera. Setelah aku menjahit tiga tali sebagai pengait untuk diikatkan pada bambu, betapa senangnya hatiku ketika menatap bendera kecil seukuran 30 x 17 cm itu sudah siap aku kibarkan.<br />
***<br />
<br />
AKU tahu apa yang kulakukan terhadap bendera kecilku itu sebelum ayah pulang dari pasar. Kembali aku melangkah ke dapur. Aku lihat nenek masih menunggu tungku dengan diam. Gagang sapu yang terkulai di sudut dapur, kusambar diam-diam. Untung, nenek tak melihatku. Dengan langkah bersijingkat aku melangkah ke depan rumah. Tapi sial. Aku lupa mengambil parang.<br />
<br />
Buru-buru, aku kembali ke dapur. Aku ambil parang yang terletak tak jauh dari tempat nenek merunduk tepat di depan kompor.<br />
<br />
“Untuk apa parang itu?“ tanya nenek mengagetkanku.<br />
<br />
“Untuk memotong gagang sapu yang tak berguna, nek,” kilahku, “Ini untuk tugas besok sebelum berangkat kemah,” lanjutku berbohong.<br />
<br />
“Hati-hati, parang itu bisa melukai tangamu!”<br />
<br />
“Tak usah takut nek, aku sudah besar dan tahu cara menggunakan parang yang benar,” sombongku seraya melangkah ke depan rumah.<br />
<br />
Sampai di depan rumah, parang itu aku tebaskan pada gagang sapu serat kelapa. Gagang sapu itu putus dengan sempurna. Cepat-cepat aku ikatkan tali bendera kecilku di gagang bekas sapu itu. Aku lalu mengambil tangga di sebelah rumah, dan aku pasang di sisi rumah agar aku bisa naik ke atap rumah. Setelah aku naik ke atap rumah, kuikatkan gagang sapu itu di sebuah kayu. Aku tak ingin benderaku yang kecil itu tidak berkibar di antara bendera-bendera yang lain dari milik tetangga kecuali benderaku nanti berkibar dan terpasang paling tinggi.<br />
<br />
Tak butuh waktu lama, bendera kecilku itu sudah terpasang di atap rumah. Saat angin bertiup dengan kencang, aku tahu, benderaku berkibar mirip sebuah layar yang terikat pada tiang kapal. Aku buru-buru turun dari atap rumah, dengan perasaan bangga sebab telah mengibarkan bendera menjelang hari kemerdekaan. Aku turun dengan cepat lantaran takut ayah keburu datang.<br />
<br />
Sesampai di bawah, aku kemudian mendongakkan kepala ke atap rumah. Kulihat bendera kecilku mulai berkibar diterpa angin, dan aku menghormat –seakan melakukan sebuah upacara seorang diri.<br />
<br />
Tepat di saat aku baru saja menurunkan tanganku memberi penghormatan pada sang saka kecilku, nenek memanggilku. Dia memintaku untuk segera makan siang. Aku masih ingat, siang itu aku makan dengan lahap.<br />
***<br />
<br />
SORE itu, aku terbangun dari tidur siangku yang cukup panjang. Aku mendengar ayah dan ibu bertengkar, tetapi aku tidak tahu apa yang mereka ributkan. Aku lirik jam dinding di kamarku. Pukul 15.30 WIB.<br />
<br />
Aku masih belum sadar penuh. Lamat–lamat kudengar ayah seperti dibakar api amarah. “Itulah anakmu yang selama ini kau manjakan! Setiap kali aku memarahinya, kau membela. Sekarang mau kutaruh di mana mukaku ini!” bentak ayah pada ibuku.<br />
<br />
“Dia masih kecil, tak tahu apa-apa! Itu pun salahmu sendiri, kenapa kau tak mau masang bendera menjelang hari kemerdekaan padahal kau sendiri menjahit dan jualan bendera… ” bela ibuku.<br />
<br />
“Tetapi kalau anakmu itu tidak memasang bendera di atap rumah, tidak mungkin aku dipanggil pak lurah dan dimarahi seperti tadi,” ujar ayah.<br />
<br />
Ibu hanya diam.<br />
<br />
“Kau tahu, apa kata pak lurah padaku?” tanya ayah pada ibu, “Aku dianggapnya tak bisa mendidik anak…”<br />
<br />
“Harusnya kau bilang, anak kita masih kecil dan tidak tahu apa-apa..” bela ibu<br />
<br />
“Sudah kubilang seperti itu,” tangkis ayah “Justru karena itulah pak lurah punya bahan untuk menganggapku sebagai ayah yang tidak becus mendidik anak…”<br />
<br />
Aku bangkit, dan keluar dari kamar. Aku merasa semua itu ada sangkut pautnya denganku, sehingga aku ingin tahu lebih jauh. Tetapi, betapa hatiku langsung ciut ketika ayah memandang ke arahku. Mata ayah seperti menyala merah, dan seumur hidupku tak pernah kulihat mata ayah merah seperti itu. “Anak kurang ajar,” bentak ayah kepadaku,<br />
<br />
Aku diam, tak berkata-kata. Aku lihat ayah memegang bendera mungilku dengan masih utuh sebagaimana aku tadi mengikatkannya pada gagang sapu yang kupotong.<br />
<br />
Jantungku berdegup kencang. Tetapi, langkah kakiku ingin membuktikan sendiri apa yang sedang terjadi. Aku melangkah ke depan rumah. Aku dongakkan kepalaku. Tak ada bendera kecil yang tadi berkibar tinggi di antara bendera milik tetanggaku.<br />
<br />
Air mataku menitik. Aku kemudian melangkah ke dalam rumah. Aku berjalan ke arah ibuku berdiri, tepat di sisi ayah. Aku tahu, ayah hendak memarahiku. Tetapi, buru-buru ibu mendekapku.<br />
<br />
“Kau tidak salah, anakku! Tadi memang pak lurah marah pada ayahmu gara-gara kau memasang bendera kecil di atap rumah. Tetapi, tindakanmu itu menjadi salah sebab ayahmu tak memasang bendera besar sebagaimana tetangga yang lain. Jadinya, ayahmu dikira telah menghina pak Lurah, sebab tidak memasang bendera besar… Besok, tolong jangan diulangi lagi…” ucap ibuku seraya mengelus-elus rambutku.<br />
<br />
Sore itu, hatiku serasa damai dan jiwaku serasa dibelai oleh alunan cinta seorang ibu yang penuh perhatian. “Apa yang membuatmu tiba-tiba memasang bendera kecil itu di atap rumah, nak?” tanya ibu membuatku terperanjak.<br />
<br />
Mulutku seperti terekam oleh lem. Aku tak bisa angkat bicara.<br />
<br />
Tetapi, entah mengapa, tiba-tiba mulutku ingin bicara dan akhirnya keluar suatu hal yang tak pernah aku duga, “Bunda, apa anak kecil tidak boleh mengibarkan bendera kecil di atap rumah untuk menghormati kemerdekaan dengan caranya sendiri?”<br />
<br />
Ibu melirik ke arah ayah. Ayah pun melirik ke arah ibu. Aku tak akan pernah bisa melupakan peristiwa itu, peristiwa yang terjadi dua puluh empat tahun yang lalu. ***<br />
<br />
Ciputat, 2009-2011<br />
<br />
*) N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa, seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Suara Karya, Tabloit Nova, Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Surabaya Post, Radar Surabaya, Surya, Batam Pos, Lampung Post, Suara Merdeka, Tabloid Cempaka, dan Solo Post. Selain menulis cerpen, dia juga bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan “Dua Janji” (2010).</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-72146798043060108832012-09-30T13:19:00.001+07:002012-09-30T14:35:28.200+07:00Ijazah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2Wz4XGKYmpIH_kG5N_zFkfA8q-gfH-oF_IOH0WqnPEH8vQkdGCqXmsZlmGpFdnihUxfio0gx2jqeWNUOS1eRvhSBuDcja_8QSiNl40DsT8vRqEVTDwvqdZYlpLmxH2Q9mmJvAsyEURf4/s1600/Copy+of+ilustrasi+ceroen+IJAZAH.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2Wz4XGKYmpIH_kG5N_zFkfA8q-gfH-oF_IOH0WqnPEH8vQkdGCqXmsZlmGpFdnihUxfio0gx2jqeWNUOS1eRvhSBuDcja_8QSiNl40DsT8vRqEVTDwvqdZYlpLmxH2Q9mmJvAsyEURf4/s200/Copy+of+ilustrasi+ceroen+IJAZAH.jpg" width="155" /></a></div>
cerpen ini dimuat di <span style="color: #cc0000;">Tabloid Cempaka</span>, edisi 29 Sep - 5 Okt 12</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
DIA datang ke kontrakanku seperti dibawa angin. Aku bahkan tidak mendengar irama sumbang derit sepeda mungilnya yang digayuh dengan leleran keringat, dengan napas yang tersengal. Dia tiba-tiba berdiri di ambang pintu, melengok seperti kenet bus yang mencari penumpang. Keringat mengucur dari dahinya yang mengkilap. Basah dan licin. Napasnya berdegup, seperti orang kesurupan. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Dia itu adik kelas di kampusku. Tubuhnya dekil, tingginya tidak lebih dari 150 sentimeter. Dia bernama Sukir. Dan kali ini, dia datang tiba-tiba… membuatku tersedak dan kaget. “Kau tidak menyuruhku masuk?” ucapnya memelas, seperti pengemis yang minta sedekah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku duduk di meja komputer, hanya menatap dengan heran dan mengangguk.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia masuk ke kamar, duduk tersipu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku kemarin pulang ke kampung,” ucapnya terbata-bata. “Aku sempat mampir ke rumahmu. Karena itu, aku ke sini mau menyampaikan pesan ayahmu.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku diam, menunggu ia bercerita… </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ayahmu bertanya tentangmu.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku diam, menunggu ia bercerita. Ia bercerita kehidupanku dan kesibukanku di kota sebagaimana ia bercerita kepada ayah sehingga aku tak sempat mengerjakan skripsi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku pikir, ayahmu akan bangga setelah mendengar ceritaku tentang kegiatanmu menulis. Tapi, dugaanku itu ternyata salah….”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau serius? Lalu, apa yang dikatakan ayahku?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia menggeleng, “Ayahmu sama sekali tak bangga kepadamu. Ayahmu…, bahkan menganggapmu gagal kuliah,” kata bocah mungil itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Apa?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ayahmu bilang, ‘Sehebat apa pun anakku, aku tak bangga selagi dia tidak bisa merampungkan skripsinya’.” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hatiku panas. Jantungku berdegup. Mukaku merah mendengarnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ayahku bilang seperti itu?” Aku bertanya ragu sebab Sukir kerap bohong padaku. Aku tak yakin padanya. Aku masih ingat, beberapa kali ia berbohong padaku. Pernah satu malam, ia datang ke kostku. Aku sedang sakit. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau punya uang?” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kenapa kau tanya uang?” balasku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Mana?” mintanya, menengadahkan tangan, “Biar aku keluar beli obat buatmu!” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku berat berdiri, kau bisa ambil di saku dompetku!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia bangkit, merogoh saku di celanaku di gantungan pintu dan meraih uang dari dompetku, lalu menunjukkan satu lembar uang dua puluh ribu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ini untuk beli obat. Tunggu, sebentar ya!” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku mengangguk. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dia segera menghilang dari kamarku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lima menit, sepuluh menit berlalu, ia tak kembali. Lima belas menit, tidak ada derap langkahnya menginjak lantai kamarku. Hingga satu jam lewat, kemudian genap dua jam berlalu. Ia tak muncul. Malam itu, aku menunggunya sia-sia. Padahal tubuhku demam. Panas dingin.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia datang esok harinya. Dengan muka tanpa dosa, tanpa bersalah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Maaf, semalam aku tak beli obat. Uangmu kubelikan nasi. Kau harus mafhum, kemarin aku belum makan.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pagi itu, sakitku sudah baikan, tiba-tiba kembali pening. Ingin aku kepalkan tanganku, meninju bocah keparat itu, tetapi aku iba. “Kenapa kau tak jujur?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku takut kau tak memberiku uang. Jadi, terpaksa aku bohong…”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tapi, seharusnya kau tak bohong saat aku sakit. Payah, gitu bilang saudara! Saat aku sakit, kau malah menyiksaku!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Berarti jika kau tak sedang sakit, aku boleh membohongimu?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku geleng-geleng kepala. Tak sekali itu ia membuatku geram. Itu salah satu peristiwa yang membuatku kenapa aku tak percaya padanya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Benar, ayahku bilang seperti itu?” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau ini selalu tak percaya padaku. Aku ini sudah mengangapmu saudara. Jadi, apa untungku membohongimu. Lagi pula, ini pesan ayahmu. Aku wajib menyampaikan…”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku diam, tubuhku lemas. Apa yang selama ini aku bangga-banggakan ternyata tak bisa membuat ayahku bangga. Aku paham, kenapa ayah tidak bangga padaku. </div>
<div style="text-align: justify;">
00O00</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
AKU menyangka, ayah tak peduli kuliahku. Tapi, dugaanku salah. Ayah masih menaruh perhatian. Aku memang berniat keluar kuliah, dan tidak lulus. Tetapi, pesan ayah yang disampaikan Sukir itu benar-benar menyadarkanku. Pagi itu, masih kuingat peristiwa yang tak pernah aku lupakan ketika aku duduk kelas tiga SMU.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Benar kau ingin keluar?” tanya ayah, tidak sedikit pun kaget. Mungkin ayah sudah bosan dengan kelakukanku yang kerap bolos sekolah dan membuat ayah malu karena harus sering dipanggil ke sekolah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ya, ayah.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Apa sudah kau pikir?” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Sudah!’ jawabku tanpa ragu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lama ayah diam, hingga akhirnya angkat bicara. “Kamu ini termasuk anak yang beruntung. Tapi aku heran, kenapa kau kurang bersyukur? Coba kau lihat anak-anak yang putus sekolah? Padahal, mereka tak pernah meminta dilahirkan untuk jadi anak jalanan. Aku yakin mereka ingin sekolah. Keadaan membuat mereka hidup di jalanan dan tak sempat sekolah. Kenapa kau yang aku sekolahkan, kini tiba-tiba ingin keluar?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku mau kerja!” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Mau kerja apa? Jadi kuli?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku diam sejenak, lalu menjawab, “Tapi itu tetap sebuah pekerjaan halal…!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku tak berkata itu haram, tapi perlu kau ingat! Aku mampu membiayaimu sekolah. Aku minta kau tak keluar dan aku hanya minta kau lulus SMU. Setelah itu, aku tak melarangmu jika kau ingin pergi ke mana kakimu melangkah. Aku hanya minta kau lulus SMU. Itu saja!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tetapi, aku sudah tak betah sekolah!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lagi-lagi, ayah diam agak lama. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku mau cerita sedikit. Mungkin ini bisa kau jadikan pertimbangan. Ayahmu hanya lulus SR. Kau tahu yang kupikirkan sepanjang hidupku? Aku sungguh menyesal kenapa dulu tidak sekolah tinggi. Maka, aku berjanji, kelak kalau aku punya anak, aku tak ingin anakku sepertiku. Aku ingin anakku kelak bisa sekolah, paling tidak tamat SMU. Sekarang aku sudah menyekolahkanmu sampai SMU, tapi aku heran kenapa kau malah ingin keluar ...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku diam, tidak berkata sepatah kata pun.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jika kau mau berpikir, rasakan apa yang aku rasakan, kau pasti tahu betapa menyesalnya ayahmu. Sekarang mungkin kau tak menyesal. Tetapi bagaimana sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, ketika kau butuh ijazah? Apa yang akan kau lakukan? Aku yakin, kau menyalahkanku karena kau anggap aku tak bisa menyekolahkanmu. Dan aku tidak ingin, nanti kau menyalahkanku karena aku tak mengarahkanmu. Aku yakin, dua puluh tahun kemudian kau butuh ijazah SMU! Lalu apa yang akan kau lakukan? Kau menyalahkanku karena aku tidak mencegahmu?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku terdiam, serasa kata-kata ayah itu menampar ulu hatiku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Pikirkan matang-matang, lihatlah ke depan, sepuluh tahun ke depan. Jangan berpikir pendek. Ke depan, tantanganmu lebih besar dibandingkan zamanku sekarang ini. Sekarang tidur, jika kau besok mau keluar sekolah, aku tak akan menghalangimu. Aku sudah mengarahkanmu. Jadi jangan salahkan aku jika nanti, kau menyesal karena tidak lulus sekolah...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ayah bangkit dari kursi. Kata-kata ayah itu mendenging di telingaku, terpatri dengan kuat dan menghuni sudut otakku. </div>
<div style="text-align: justify;">
00O00</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Tiga bulan kemudian, aku pulang. Aku pulang untuk mengabarkan kepada ayah dan ibu bahwa aku berhasil meraih gelar sarjana.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Dua minggu lagi, aku wisuda. Aku harap ayah dan ibu bisa datang...” mintaku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku melihat ibu memendam perasaan senang dan bangga, “Ibu tak menyangka kau bisa lulus. Tapi ibu dan ayahmu tak bisa datang. Sudah tua, tak kuat seperti dulu lagi untuk pergi jauh, apalagi ke Yogja...” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi ayah seperti dingin, tak menanggapi dengan secuil perasaan bangga. Dan tiba-tiba keluar dari mulut ayah ucapan yang membuatku eperti tersudutkan di pojok ruang tamu. “Jangan-jangan kamu ini bohong, baru tiga bulan yang lalu Sukir ke sini dan bercerita kamu tidak mengerjakan skripsimu, tapi kini datang-datang bilang kau sudah lulus.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku diam, melirik ke arah ayah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jika ayah tak percaya anakmu ini sudah lulus ayah datang ke acara wisudaku. Dengan begitu, ayah akan tahu, anakmu ini benar-benar sudah lulus.” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ayah dingin, diam tak menjawab. Aku tak tahu apa yang berkecamuk di benak dan pikiran ayah. Ia termangu, menatap langit-langit. Aku hanya bisa menatap dengan sorot mata bimbang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa hari kemudian, aku kembali ke kota dengan kecewa. Aku tidak ikut wisuda. </div>
<div style="text-align: justify;">
00O00</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
AKU kira, ucapan ayah itu bercanda tatkala menanggapi tentang kelulusanku. Tapi dugaanku ternyata keliru. Aku baru tahu setengah tahun kemudian, waktu Sukir bermain ke kostku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ibumu pesan, sebaiknya kau fotocopy ijazahmu lalu kau kirim ke rumah agar ayahmu percaya jika kau sudah lulus kuliah.” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau ini ada-ada saja!” jawabku sekenanya. “Jika memang ayahku tak percaya aku ini lulus, aku justru heran kenapa waktu aku wisuda dulu ayah tak mau datang.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku punya usul...” kata Sukir yang dari tadi memegang buku kecil wisuda yang mencatat namaku sebagai sarjana, ”Gimana jika buku wisuda ini aku bawa pulang, aku tunjukkan pada ayahmu! Aku yakin, setelah ayahmu melihat fotomu ada dalam buku wisuda ini, pasti tidak memiliki alasan untuk menuduhmu bohong...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku memandang Sukir, kemudian bergantian melihat buku wisuda yang ada di tangannya. Aku pikir, buku mungil yang memuat foto dan daftar beberapa orang yang telah wisuda itu tidak aku butuhkan lagi. Jadi, aku tidak keberatan Sakir membawa buku wisuda itu pulang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kapan kau pulang?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tiga hari lagi...” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ya sudah, bawa buku wisuda ini dan berikan pada ayah...”</div>
<div style="text-align: justify;">
00O00</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setahun setelah aku lulus, ayah wafat. Aku merasa telah memenuhi harapan ayahk. Aku sudah lulus kuliah. Aku yakin, ayahku sudah melihat buku wisudaku. Aku membayangkan ayah melihat fotoku dalam buku wisudaku dan saat melihat foto itu, aku yakin, ayah pasti bangga kepadaku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebulan setelah ayahku dimakamkan, aku bermain ke kost Sakir. Aku benar-benar terkejut menjumpai buku wisudaku yang pernah aku titipkan, ternyata ada di kamarnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jadi, kau tak menyerahkan buku wisuda itu kepada ayahku?” tanyaku sambil meraih buku wisuda itu dari rak buku di kamarnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Maaf... Aku khilaf tidak menyerahkan buku ini pada ayahmu.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kenapa?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku tak bisa menceritakan ini padamu!” jawabnya terbata-bata. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau menyembunyikan rahasia dariku?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau harus janji tak akan marah padaku, jika aku bercerita.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku mengangguk, “Ya, aku tak akan marah.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Waktu aku mengusulkan buku wisudamu ini aku bawa pulang, sebenarnya aku butuh buku wisudamu ini. Kamu tahu, kenapa aku butuh buku wisadamu ini?” tanyanya seraya merebut buku wisuda itu dari tanganku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau ini jangan menambah dan membuatku kian bingung...”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Di buku wisudamu ini, jujur kukatakan, ada wisudawati yang aku taksir. Jadi, aku butuh biodata cewek tersebut. Sayangnya, setelah itu, aku lupa membawa pulang buku wisudamu ini untuk kuserahkan pada ayahmu.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jadi...” rasanya berat aku mengatakan..., “Jadi, jadi sampai ayah wafat, ayah masih meragukanku bahwa aku sudah lulus kuliah?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Bisa jadi...!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kepalaku terasa pening, dan aku ingin berbuat sesuatu. Dia telah membuatku marah. Dia telah menggenapi dosanya yang bertumpuk-tumpuk yang pernah dilakukan padaku. Aku tak sabar lagi, meskipun aku sudah berjanji padanya tidak akan marah, aku tetap tidak kuasa memendam emosi. Aku bangkit, mengepalkan tanganku kuat-kuat, kemudian kuhentakkan kepalan tanganku tepat ke perutnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia terpental... Jauh, jauh sekali dan seketika itu, matanya terpajam. [ ] </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lasem-Jakarta, 2011-2012</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
*) N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa, seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Suara Karya, Tabloit Nova, Majalah Anggun, Majalah Femina, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Surya, Surabaya Post, Batam Pos, Lampung Post, Inilah Koran, Haluan Padang, Tabloid Cempaka, Suaara Merdeka, dan Solo Post. Selain menulis cerpen, dia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpen yang sudah diterbitkan “Dua Janji” (2010).</div>
penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-43561586418544905542012-08-31T21:09:00.001+07:002012-08-31T21:15:02.497+07:00Obrolan Kesedihan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiC_CvLjy9B1a_VHOWtjf_rDqIXjyvy9U8HD9N7RsLZVSNsAksnvQNnJWAyqgFoBnkZb3HLxj4EEagnWa0aOIVUpo3Ae_y-xn_7AXhVwtuygLZM_PiarJAsJCfa-4sSjhcCva1rsca_AOI/s1600/sepeda+onthel+kenangan.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiC_CvLjy9B1a_VHOWtjf_rDqIXjyvy9U8HD9N7RsLZVSNsAksnvQNnJWAyqgFoBnkZb3HLxj4EEagnWa0aOIVUpo3Ae_y-xn_7AXhVwtuygLZM_PiarJAsJCfa-4sSjhcCva1rsca_AOI/s200/sepeda+onthel+kenangan.jpg" width="105" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
cerita pendek ini dimuat di koran <span style="color: #cc0000;">Minggu Pagi</span> edisi 2 September 2012</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
PAGI itu, kotaku seperti dilipat. Jalan beraspal bagai ditaburi seberkas sinar kuning keemasan yang jatuh dari selongsong langit. Sekejap, jalanan menjelma menjadi padat. Udara pagi merambatkan kehangatan. Sesekali, bunyi klakson memekakkan telinga. Hampir semua orang di jalan itu bergegas. Serupa sebuah karnaval, penduduk kota seperti berbondong-bondong bak sekawanan burung yang keluar sarang. Tampak, setiap orang yang memadati jalanan seperti dikejar sesosok bayangan hitam; seberkas bayangan yang memanjang dan selalu mengikuti derap langkah kepergian mereka ketika sinar matahari memantul di hamparan aspal. </div>
<a name='more'></a><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di jalan Kajar, jalan kecil di kota mungil yang tak terkenal itu pun mulai ditingkahi lalu lalang sepeda anak-anak sekolah, deru motor para pegawai kantor, mobil pick up yang mengangkut jambu kluthuk dan buah nangka dari gunung, truk yang memuat batu, bahkan derap andong yang merambat pelan mengantar ibu-ibu ke pasar kecamatan, sebuah kota kecil kelahiranku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, tidak semua warga di kota kecil itu sudah bergegas pergi. Di salah satu sudut warung kopi di pinggir jalan itu, aku duduk termangu. Sesekali, aku menatap ke arah jalanan. Ada dua sepeda yang teronggok di depan warung –sepeda onthel tua milik ayah dan sepeda Federal berwarna hijau tua yang akan kami bawa berpetualang. Segumpal resah seperti menimbun keberanianku untuk tidak menoleh lagi tatkala nanti aku menatap aspal jalanan yang cukup panjang dan berkelok yang akan aku tempuh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku memang sudah terbiasa mengayuh sepeda tetapi perjalananku kali ini lain; aku akan menempuh jarak cukup jauh melintasi puluhan kota, ratusan jembatan, dan kerlip lampu merah di setiap perempatan. “Habiskan kopimu. Kita segera berangkat. Keraguan hanya akan membuat kamu tidak akan pernah beranjak pergi,” pinta Yogo, temanku yang akan menemaniku berpetualang kali ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku terperanjak kaget. Di hadapanku persis, secangkir kopi belum tandas habis kuminum. Segera, kuseruput sisa kopi di cangkir. Sepuluh batang rokok yang sudah kulumuri leletan kopi, tergeletak berjejeran di sebelah cangkirku. Perlahan, aku masukkan sebatang demi sebatang seperti sedia kala dalam bungkus rokok. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Lagakmu aja sok jagoan! Apa kau sudah siap berpetualang?” tantangku tak mau kalah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tak ada rintangan berat yang perlu untuk ditakuti bagi lelaki yang sedang patah hati,” sumbarnya, seperti tak takut dengan jarak tempuh cukup jauh yang hendak kami lalui. Jarak kurang lebih 250 km dengan mengayuh sepeda onthel. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku sadar, kepergianku dengan mengayuh sepeda sudah di pelupuk mata. Aku tak mungkin mundur. Aku tahu, ia juga tak akan mundur lantaran kami berdua seperti tak ingin dikata orang yang takut. Pada akhirnya, kami pun terpaksa harus membuktikan omongan kami yang sudah terlanjur terucap ketika seminggu yang lalu kami berencana tidak berpetualang bersama, melainkan berniat naik bus. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi rencana itu tiba-tiba berubah dalam sekejap. Rencana berpetualang mengayuh sepeda itu, bermula dari sebuah obrolan kesedihan --yang dialaminya pada malam kelabu seminggu yang lalu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku lagi kalut dan dirundung sedih. Sebelum berangkat kuliah aku sebenarnya ingin melepas rindu, maka aku rela jauh-jauh bertandang ke rumah pacarku di Jombang. Maksudku, selain untuk mengobati rasa kangen juga sekaligus pamitan,” ujar Yogo memulai cerita. “Tetapi, malang benar nasibku. Bukan rasa kangenku terobati, justru setelah jauh-jauh menempuh perjalanan ke sana aku tidak bisa bertemu dengan kekasihku.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku diam menunggu ia bercerita lebih jauh. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Sampai di rumah kekasihku, ayahnya justru yang menerima kedatanganku. Aku diajak duduk. Lama, aku diam... menunggu kekasihku menyambut kedatanganku, tapi tak ada seulas senyum manis kekasihku menyembul dari balik pintu menyambutku. Justru, tak selang lama setelah ayahnya bertanya tentang keluargaku, ayahnya memintaku tak lagi datang menemui anaknya. Alasan yang dikemukakan ayahnya, anak gadisnya sudah dijodohkan dengan seorang tentara yang memiliki masa depan cerah dibandingkan diriku. Seketika itu, hatiku hancur. Siapa yang tak remuk redam mendengar kata-kata ayahnya seperti itu?” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku masih diam dirundung empati. Yoga juga diam. Dia sedih dan aku hanyut dengan kisahnya. Kami memang tidak cukup akrab, tidak pernah sekolah di sekolah yang sama. Yogo yang lebih cerdas dariku masuk SMU Negeri 1 Lasem –SMU Negeri di kota kelahiranku. Sedangkan aku yang berotak tumpul, terpaksa terdampar di SMU swasta. Kami seusia dan itu membuat kami kerap dipertemukan dalam sebuah petualangan. Jadi kami hanya teman sepermainan di kala pulang sekolah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi, aku tak sanksi, bocah tengil lulusan SMU 1 Jombang yang ada di depanku itu memang tergolong tampan. Wajar jika dia mampu memiliki kekasih yang cantik dan ia pun mencintainya setengah mati. Sewaktu dia belum pindah sekolah ke SMU Jombang, tak sedikit cewek-cewek SMU kota kelahiranku yang menaruh hati padanya. Meski ia tak tergolong tinggi, ia memiliki tubuh atletis dengan rambut lurus yang berkilau. Hidung mancung, dan raut muka bersih yang tanpa jerawat. Siapa cewek yang tak terpesona? Tak bohong, kalau tak selang lama setelah dia pindah sekolah ke Jombang, ia dengan mudah mendapatkan kekasih baru sebab di SMU kota kelahiranku ia kerap gonta-ganti pacar. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi, sejak dia pindah sekolah ke Jombang itu, kami tak sering bertemu. Hanya sebulan atau dua bulan sekali kami bisa bertemu jika ia kebetulan pulang ke rumah. Dia terpaksa pindah sekolah ke Jombang, karena ia dulu tergolong bebal dan tidak taat pada aturan. Sewaktu sekolah mengadakan ujian kenaikan kelas, ia bersama dua temannya –Wek dan Bahar—kebetulan juga masih tetanggaku membuat ulah yang menghebohkan. Hari itu, kebetulan jadwal ujian matematika tapi sebelum ujian matematika itu dimulai, ketiga murid SMU bebal itu bertaruh di bawah tiang bendera. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiga anak SMU bengal itu merogoh uang dari sakunya masing-masing lima ribu rupiah lalu ditaruh di bawah tiang bendera. Perjanjian pun dibuat, siapa yang lebih dulu keluar dari kelas, dialah yang akan berhak mendapatkan uang taruhan itu. Bel ujian pun berdenting. Ketiganya masuk ruang ujian dengan dada berdegup. Tapi Yogo tak pernah peduli dengan nilai berapa pun yang diberikan guru pengampu pelajaran matematika dalam ujian. Tak lama setelah pengawas ujian membagikan soal dan lembar jawaban, Yogo buru-buru mengisi namanya. Ia tidak perlu mengerjakan soal ujian, hanya mengisi namanya dan mengumpulkan kertas lembaran yang masih kosong lalu bergegas keluar ruang ujian untuk mendapatkan uang taruhan lima belas rupiah di bawah tiang bendera. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak mau kalah dan didera panik, Bahar dan Wek ikut-ikutan. Keduanya keluar ruangan. Ketiganya berlari dengan kencang demi mendapatkan “uang taruhan” di bawah tiang bendera. Sekolah pun heboh dengan ulah ketiga murid bengal tersebut, hingga ada keputusan tegas; sekolah akan menaikkan ketiga murid bengal itu dengan syarat pindah sekolah. Yogo memilih pindah ke SMU Jombang sebab itu membuatnya naik kelas. Tapi, Bahar dan Wek memilih tinggal di kelas dua dan tetap bisa sekolah di SMU Negeri 1 kota kelahiranku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku ingin berpetualang dengan cara yang menantang sebelum aku memutuskan ke Yogyakarta untuk serius kuliah, setidaknya aku ingin melakukan petualangan yang membuatku bisa lupa kesedihanku,” keluh Yogo membuyarkan lamunanku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku tahu jawaban akan keinginanmu itu!” jawabku tiba-tiba, membuat matanya melotot penasaran. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kau jangan bercanda, kali ini aku tidak main-main!”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku juga tidak main-main.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia menunggu jawabanku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Bagaimana jika kau dan aku naik sepeda onthel ke Yogyakarta, lagi pula Supri juga minta tolong padaku untuk memaketkan sepedanya. Bagaimana jika kau membawa sepeda Federal Supri dan aku membawa sepeda onthelku?” </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tantangan petualanganmu aku terima, daripada aku sakit hati seperti ini.”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Obrolan kesedihan itu kemudian membuat kami sepakat naik sepeda menempuh jarak 250 km dari kota kelahiranku ke Yogyakarta. Dan kali ini, kami berdua menikmati secangkir kopi di warung untuk melepas kerinduan terakhir aroma kopi yang mungkin tidak akan kami rasakan lagi dalam waktu cukup lama. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku kembali menatap ke arah jalanan, aroma angit yang sengau dari asap rokok yang dileleti kopi membumbung ke udara meninggalkan aroma ganjil cukup menyengat hidung. Aku tak ingin terkenang aroma sengau leletan kopi di sebatang rokok itu, maka sebelum bergegas pergi untuk merantau ke kota Yogyakarta, aku meluangkan waktu di warung kopi lebih dulu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi rencana yang telah kami susun tidak akan pernah mematahkan dendam dan kesumat di hati kami. Setelah kami melepaskan rasa kangen terakhir minum kopi, kami berdua siap memanggul tas di punggung yang penuh dengan dendam --pergi mengayuh sepeda dengan jarah cukup jauh. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Sekarang, saatnya kita harus berangkat, atau kita tak pernah mengukir sejarah dalam hidup kita yang sementara ini,” ajak Yogo seraya mematikan sisa rokoknya yang hampir habis. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Tak hanya itu, kau juga akan bisa melupakan sedih dan patah hatimu,“ seruku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kami berdua kemudian keluar dari warung kopi. Kami berdua meraih sepeda masing-masing, menaiki pedal dan membusungkan dada. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pagi itu, aku dan Yogo meninggalkan kota kelahiranku dengan mengayuh sepeda. Aku mengayuh sepeda tua –sepeda onthel tua yang dahulu dijadikan oleh ayahku untuk berjualan pakaian ke beberapa pasar kecamatan berdasarkan weton. Kini, sepeda tua itu aku gayuh untuk pergi merantau. Sedang Yogo mengayuh sepeda Federal milik Supri, teman kami yang sedang kuliah di Yogyakarta. Kami berdua mengayuh dengan kencang sepeda masing-masing dan kami tak ingin menoleh; sebab kami memang ingin pergi jauh, jauh seakan-akan kami tak punya rumah untuk kembali pulang. ***</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Condet, 2009-2010</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*) N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya dimuat di sejumlah media massa, seperti di Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Suara Karya, Tabloit Nova, Majalah Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Surabaya Post, Surya, Batam Pos, Lampung Post, Suara Merdeka, Tabloid Cemapaka dan Solo Post. Selain menulis cerpen ia juga bekerja menjadi wartawan sebuah majalah Islam di Jakarta. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit “Dua Janji” (2010).</div>
<br />penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-66858322200995279042012-08-12T13:06:00.001+07:002012-08-12T13:27:29.142+07:00Tidak Ada Seribu Kunang-kunang di Langit<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijvp6DngJu6WrlbciLBVWwB29gxEBmnh7j5HnoWmpHeBD87hrblGNlvDJo7jeEFZgxo3dw91ElkrPGgMjz2zLYql6c5Ord5JoIXHN1vLcCbMmAaEPolDHmOW42XH1d8ve4ft2H8Bi7eks/s1600/2_DSC_0170.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijvp6DngJu6WrlbciLBVWwB29gxEBmnh7j5HnoWmpHeBD87hrblGNlvDJo7jeEFZgxo3dw91ElkrPGgMjz2zLYql6c5Ord5JoIXHN1vLcCbMmAaEPolDHmOW42XH1d8ve4ft2H8Bi7eks/s200/2_DSC_0170.JPG" width="134" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
cerpen ini dimuat di <span style="color: #cc0000;">Suara Merdeka</span>, hari Minggu 12 Agustus 2012</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
BERTAHUN-TAHUN, lelaki itu menunggu Ramadhan (tahun ini) cepat datang. Ramadhan yang akan menggenapi usianya tepat enam puluh tiga tahun dan dia merasa yakin, jika Ramadhan tahun ini, suatu peristiwa yang sudah ditunggu-tunggu lama itu akan tiba. Dia menemui ajal, selepas shalat tarawih tepat di malam Lailatul Qadar. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<a name='more'></a><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Di malam yang ditunggu-tunggu itu, ia akan menunaikan shalat Tawarih di tengah malam yang hening. Malam yang membuat laki-laki itu harus rela meninggalkan semua yang dimiliki dan tidak lagi memikirkan dunia. Malam yang membuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktu yang bisu, sunyi dan sepi --seakan-akan malam tak pernah beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tak pernah dia rasakan lantaran tak ada angin berembus. Dan malam itu ia benar-benar merasakan ajal yang ditunggu-tunggu itu akan tiba; maka ia menunaikan shalat Tarawih tepat di malam yang hening -yang menurutnya malam Lailatul Qadar. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tepat pada malam itulah, sebagaimana yang pernah dia rasakan dalam mimpinya sepuluh tahun yang lalu, ia akan beranjak tidur dengan tenang selepas menunaikan shalat tarawih dan dia berharap tak akan bangun lagi karena dia akan meninggal dengan tenang, tepat di malam Lailatul Qadar setelah ia melihat seribu kunang-kunang. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
RAMADHAN hari pertama, sepulang dari menunaikan shalat subuh di masjid, laki-laki itu tidak kembali tidur. Dia pulang tergesa, meraih sepeda. Dalam gelap pagi, dia menggayut pedal dengan napas tersengal menuju pasar. Dia menggenjot sepedanya diiringi derit jeruji yang hampir terlepas, dan gesekan salah satu jeruji sepada yang terlepas itu menimbulkan suara sesak di dada. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lelaki itu tak pernah bercerita pada anaknya, mengenai kematian yang akan menjemputnya di bulan Ramadhan ini. Tahu-tahu, lelaki itu pulang dari pasar tepat ketika mentari beranjak naik di atas kepala, dan menjinjing kain kafan yang dibungkus plastik putih. Berjalan semboyongan dilanda haus, lelaki itu menyandarkan sepeda di teras lalu memasuki rumah dengan langkah terhuyung hampir jatuh. Di ruang tengah, dia menghempaskan tubuh seraya menaruh plastik putih berisi kain kafan di atas meja. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mahmud, anak keduanya keluar dari kamar, menguap seraya mendapati ayahnya yang terlentang di kursi panjang melepas lelah. Tubuh ayahnya gemetar, seluruh mukanya merona merah sebab dibakar terik mentari. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ayah dari mana? Selepas subuh sudah mengeluarkan sepeda dan pulang seperti orang dikejar hantu?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dari pasar..." </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Untuk apa ayah harus pergi ke pasar pagi-pagi sekali?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Beli kain untuk baju...."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mahmud melirik bungkusan plastik di atas meja, membukanya lantas membentangkan kain kafan dalam bungkusan itu. "Mana mungkin ayah akan membuat baju lebaran dari kain seperti ini?" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Siapa bilang kain kafan itu untuk baju lebaran ayah? Itu baju kematian ayah. Mungkin, di bulan Ramadhan ini ayahmu akan dipanggil oleh Tuhan."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mahmud tersentak. "Ayah jangan bercanda dengan Tuhan. Ayah masih sehat dan kuat menggayut sepeda sampai ke pasar... Jangan berpikir aneh-aneh!"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lelaki itu diam dan Mahmud melangkah ke kamar mandi.</div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
BELUM cukup Mahmud dikejutkan dengan kain kafan yang dibeli ayahnya, hari kedua Ramadhan, ayahnya kembali membuat anaknya terparangah. Kali ini, ayah tiga anak itu pergi ke pemakaman. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sesudah menunaikan shalat Asar, lelaki itu pulang dari masjid dengan langkah tergesa-gesa mengambil cangkul di belakang rumah lantas berjalan ke luar perkampungan, lalu menyusuri jalan setapak ke pemakaman umum. Setiba di sudut pemakaman, lelaki itu membersihkan rumput makam istrinya -yang sudah meninggal enam tahun lalu. Setelah rumput tak lagi menghuni gundukan makam istrinya, lelaki itu bersimpuh dan menangis. Hening senja itu semakin membuat ia larut. Tak ada kata yang terucap, kecuali hanya sebait doa dalam hati yang sendu membasahi bibirnya. Ia menghapus air mata, sebelum pulang saat matahari hampir tenggelam. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, sesampai di rumah, lelaki itu seperti tidak dapat mengelak tatkala Romdon, anak ketiganya pulang kerja dan menemukan ayahnya pulang dari pemakaman dengan sebuah cangkul di pundak. "Banyak kuburan tak terurus, termasuk kuburan ibumu. Jadi, apa salahnya jika aku pergi ke pemakaman untuk membersihkannya?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi, kenapa ayah sendiri yang harus melakukan? Tidak bisakah ayah meminta bantuan orang lain dengan memberinya upah?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ada satu hal yang kita tak bisa minta bantuan orang lain. Ayahmu tahu kematian tak dapat digantikan. Ayahmu sudah tua. Jadi, tak mungkin ayahmu mengupah orang untuk menggantikan kematian ayah yang sebantar lagi akan datang..." </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Romdon termangu menatap wajah ayahnya yang mulai menua di makan usia. Tetapi, Romdon sama sekali tak menemukan garis putih di dahi ayahnya yang bisa memberinya tanda jika ajal ayahnya tak lama lagi akan tiba. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
TIDAK hanya hari kedua di bulan Ramadhan tahun ini, lelaki tua itu pergi ke pemamakan dan baru pulang saat senja tenggelam. Tetapi di hari ketiga, keempat, dan seterusnya lelaki itu masih tetap pergi ke pemakaman. Laki-laki itu pergi ke pemakanan seakan ia sudah merindukan tempat yang akan dihuni kelak, tepat usai shalat Tarawih di malam Lailatul Qadar. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dan malam ini laki-laki itu sudah menjalani puasa selama dua puluh hari. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bulan di langit tak lagi penuh, mirip buah semangka dibelah dua. Di bilik kamar, lelaki itu berdiri melongok jendela. Tak diduga, tiba-tiba ia melihat seribu kunang-kunang berterbangan di langit dengan memancar kelap-kelip aneka warna. Cakrawala tidak lagi gelap, dan langit seperti tersepuh warna seribu kunang-kunang. Lelaki itu tidak ragu, bahwa malam ini adalah malam Ramadhan yang ditunggu-tunggu. Malam penuh berkah, dan dia merasakan ada secercah kedamaian yang menelusup dalam dadanya...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak ingin ia kehilangan suasana yang tak pernah ia rasakan sepanjang hidup, memandang ke angkasa dengan diam. Adzan isya` sudah lama berlalu, tetapi suara langkah kaki orang-orang yang pergi ke masjid untuk shalat Tawarih tidak menggoyahkan kakinya beranjak pergi ke masjid. Ia sudah merasa ajalnya sudah dekat. Langit yang dipenuhi dengan seribu kunang-kunang seperti mengabarkan akan berita duka tersebut. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kini, malam yang ditunggu-tunggu itu, sudah tiba dan dia harus menunaikan shalat Tawarih di tengah malam yang hening. Malam yang membuatnya harus rela meninggalkan semua yang dia miliki. Malam yang membuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktu, seakan-akan malam tidak beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tidak pernah ia rasakan, lantaran tidak ada angin. Dan, malam ini, ia merasakan ajal yang ditunggu-tunggu akan tiba. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia melangkah mengambil air wudhu, kemudian kembali ke kamar, dan berdiri lagi di balik jendela. Seribu kunang-kunang yang barusan dilihatnya tak lagi terlihat. Dia mengedarkan pandangan mencarinya di segala penjuru langit. Tapi seribu kunang-kunang itu sudah hilang, tidak ia temukan lagi. Angin berhembus, menyelimuti sekujur tubuhnya dalam balutan rasa tentram yang tak pernah ia temui sepanjang hidup. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Malam seakan lama beringsut. Suara orang-orang yang menunaikan shalat Tarawih di masjid, terdengar di telinganya. Ia tahu, malam belum sepenuhnya hening. Maka, ia mengambil kitab suci di atas meja lalu membacanya dengan suara lirih. Tatkala anak-anaknya tiba dari masjid, tak menaruh curiga; kenapa ayahnya malam itu tidak shalat tarawih di masjid. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Malam merambat menjadi hening. Ia tahu anak-anaknya sudah beranjak tidur. Tepat di malam itu, ia berdiri menunaikan shalat terawih di tengah malam yang hening. Malam yang membuat lelaki itu harus rela meninggalkan semua yang dimiliki, tak lagi memikirkan dunia. Malam yang membuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktu yang bisu, seakan-akan malam tak pernah beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tidak pernah ia rasakan, lantaran tak ada angin berhembus. Dan malam ini ia benar-benar merasakan ajal yang ditunggu-tunggu itu akan tiba dan ia pun segera menunaikan shalat Tarawih. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Malam benar-benar hening.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Angin seperti diam, dan membisu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia khusuk dalam sujud, dan tidak memikirkan dunia. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Usai shalat tarawih, pelan-pelan ia beranjak ke ranjang untuk tidur dan berharap di malam yang sudah beranjak menjadi pagi itu, ia tidak akan bangun lagi lantaran ia akan meninggal dengan tenang selepas shalat Tarawih, tepat di malam Lailatul Qadar. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi betapa terkejutnya lelaki itu tatkala waktu sahur tiba...., ia merasakan tangan kekar menyentuh tubuhnya. Abdul, anak pertamanya menggoyang-goyang tubuhnya. "Ayah..., bangun! Sudah waktunya makan sahur! Dan ada kabar sedih yang melingkupi kampung kita. Haji Salim, imam masjid di kampung kita barusan meninggal dunia." </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lelaki itu membuka matanya, dan dilihatnya sosok anak pertamanya berdiri di tepi ranjang. Ia terperanjak karena Haji Salim meninggal dunia. Dalam hati, ia merenung: kenapa Haji Salim yang justru meninggal pada malam yang ia tunggu-tunggu itu?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia beranjak dari ranjang, membuka jendela, dan melongok keluar dengan mata masih setengah terpejam. Tidak ada seribu kunang-kunang di langit. Hanya ada bulan separoh bulat mirip buah semangka yang dibelah menjadi dua... *** </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ciputat, Ramadhan 1431</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Tabloit Nova, Suara Karya, Majalah Femina, Majalah Anggun, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Surabaya Post, Surya, Radar Surabaya, Batam Pos, Lampung Post, Bengawan Pos, Tabloid Cempaka, Suara Merdeka dan Solo Post. Selain menulis cerpen dia juga bekerja menjadi wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit “Dua Janji” (2010).</div>penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6093390946387285065.post-82508162483951500782012-08-04T22:10:00.000+07:002012-10-13T14:29:45.228+07:00Sepasang Mata yang Melihat Surga<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLpgU2XmvmnNnINTCwYu8bsWZuao-aTYZCRWvlVqzMdPB5lON1254Vi3cwhyphenhyphen49DTO_MGQWefoy6x9c_qIMPKfWyeRL1sPrChgaUINfOSBpMMP8aVoKM_eubClxo7O4yy5hDp_2jqkMkZY/s1600/ilustrasi+cerpen+sepasang-mata+yg+melihat+surga.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLpgU2XmvmnNnINTCwYu8bsWZuao-aTYZCRWvlVqzMdPB5lON1254Vi3cwhyphenhyphen49DTO_MGQWefoy6x9c_qIMPKfWyeRL1sPrChgaUINfOSBpMMP8aVoKM_eubClxo7O4yy5hDp_2jqkMkZY/s200/ilustrasi+cerpen+sepasang-mata+yg+melihat+surga.jpg" width="200" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
cerpen ini dimuat di <span style="color: #cc0000;">Femina</span> edisi 31, 4-10 Agustus 2012</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya, aku pulang. Nasib ibu, kali ini benar-benar tidak bisa membuatku tenang. Aku merasakan gagang telepon seperti mengambang dan masih menempel di telingaku. Telepon dari kakakku, pada malam itu, membuatku gemetar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a name='more'></a><br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu tak lagi bisa menerawang. Bahkan, Ibu tidak lagi bisa membedakan antara uang dan kain rombengan. Jika kau tak ingin tangan Ibu tertusuk jarum atau jatuh, pulanglah walau sejenak. Aku ingin kau yang memutuskan...," kata kakakku dalam pembicaraan lewat telepon. </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
"Jika keadaan Ibu sudah seperti itu, besok pagi aku akan pulang," jawabku sebelum menutup telepon. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam perjalanan pulang, tak henti-henti aku merenung. Apa ibu sudah buta? </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah menempuh perjalanan dua belas jam, aku tiba di kampungku tepat petang hari. Aku melewati lorong sempit, gang kecil yang dulu jadi tempatku bermain, sebelum sampai di rumah mungil yang teronggok di ujung gang, rumah warisan mendiang ayah. Ketika aku menginjakkan kaki di beranda, kucium sekelebat kenangan masa lalu. Pintu rumahku terbuka setengah. Aku masuk dengan langkah setengah letih. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku melihat ibu duduk di kursi ruang tengah. Kaca mata tebal yang sudah hampir sepuluh tahun dikenakan Ibu masih menempel gagah, tepat di depan mata ibu. Kaca mata tebal itulah yang selama ini membantu ibu bisa melihat. Sebab, ibu sejak kecil memang sudah minus. Tetapi kali ini bola mata ibu menerawang </div>
<div style="text-align: justify;">
jauh. Aku mendekati ibu, mencium lembut tangannya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Kau ini siapa?" Sebuah suara serak keluar dari bibir ibu, membuatku tercekat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku diam, memandang mata ibuku dengan tajam. Dalam hati, aku kembali merenung; apakah ibu sudah buta? Tetapi, tak mungkin aku mengucapkan kata yang tak enak didengar itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Apa Ibu sudah lupa dan tak lagi mengenal suaraku?" </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ya, Tuhan..." Tangan ibu mengusap-usap rambutku. "Kamu akhirnya pulang." </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak ada lagi kilatan cahaya yang memancar dari mata ibu. Mata ibu keruh, serupa warna limbah prabrik yang mengenangi aliran sungai di belakang kontrakanku di Jakarta.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kakakku keluar dari kamar, setelah mendengar ibu berbicara denganku. Ia menjabat tanganku dan aku sudah membuat keputusan. "Ibu harus menjalani operasi. Aku ingin ibu bisa melihat kembali." </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tidak usah, Nak. Ibu sudah tua. Tak ada gunanya kau membuang-buang uang untuk membiayai operasi ibu."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tidak, Bu. Ibu harus bisa melihat lagi. Itulah kebahagianku sebagai anak. Aku bahagia jika ibu bisa melihat lagi. Aku bahagia ketika ibu bisa melihatku pulang dan tersenyum menyambutku."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tetapi, ibu tak ingin menyusahkanmu."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Aku tidak akan pernah merasa disusahkan. Kalau ibu tidak memberiku kesempatan kali ini untuk membalas jasa kebaikan ibu selama ini kepadaku, kapan lagi aku akan bisa membalas ibu?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu diam lama, seperti berpikir. Dan aku sudah memutuskan akan melakukan apa pun demi penglihatan ibu. Bukankah surgaku itu ada di telapak kaki ibu? Bagaimana aku akan bisa masuk surga jika aku tidak berkorban untuk ibu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu harus menjalani operasi!" ujarku. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu masih diam.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu tak boleh pasrah begitu saja. Ibu harus berusaha. Dan kini..., ibu tidak usah lagi memikirkan yang lain. Ibu harus operasi!" kakakku ikut menyakinkan ibu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu luluh, mengangguk pelan. </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
DULU, waktu aku masih duduk di bangku kelas enam SD, ibu sebenarnya pernah menjalani operasi mata akibat katarak. Bahkan katarak yang diderita ibu tergolong kritis. Ibu hampir tidak bisa melihat. Tetapi ketika itu tidak ada kendala bagi keluarga kami karena ayahku saat itu masih hidup. Akhirnya ayah memaksa ibu menjalani operasi di kota propinsi. Operasi yang dijalani ibu saat itu masih dengan teknik lama, karena lensa ibu diangkat untuk pengambilan katarak dan bola mata ibu kemudian dijahit. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu butuh waktu yang cukup lama untuk kembali pulih, tidak saja agar bisa melihat lagi tetapi juga butuh banyak waktu istirahat selepas menjalani operasi. Ibu tidak diizinkan memasak untuk menghindari kepulan asap. Ibu juga dilarang mengangkat barang berat, bahkan tak diizinkan mengerjakan apa pun. "Kalian harus mandiri! Sebab ibumu tak diizinkan dokter melakukan apa pun!" alasan ayah saat ibu tak lagi memasak untuk kami. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di saat ibu menjalani masa pemulihan itulah, aku dan kakakku belajar memasak. Kadang kakakku memasak sayur asam, aku memasak mie instan dan ayahku baru memasak untuk kami sekeluarga sepulang dari kerja. Ayahku sebagai pedagang keliling kerap berangkat kerja pada saat fajar menyingsing dan baru pulang selepas Dhuhur. Itulah masa-masa setengah sulit bagi keluarga kami. Tatkala aku harus mengerjakan Pekerjaan Rumah, aku tidak bisa meminta bantuan ibu. Dengan sabar aku harus bisa menerima kenyataan jika ibu belum bisa membaca pekerjaan rumahku, apalagi di malam hari. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku pernah diajak ayah untuk mengantarkan ibu kontrol. Di sebuah ruangan, dokter yang menangani ibu melakukan pengetesan dengan meminta ibu membaca huruf di dinding rumah sakit yang dinyalakan. Huruf yang menyala itulah yang harus disebutkan oleh ibu. Setelah melewati dengan sukses, ibu akhirnya dinyatakan pulih. Aku tahu, ibu waktu itu mengalami ketakutan luar biasa. Ibu takut jika operasi yang dijalani itu gagal dan ibu tak bisa melihat. Tapi ibu masih bisa melihat kembali. Meski demikian, ibu masih menyimpan kenangan ketika dokter sempat berkata kalau mata ibu suatu saat nanti bisa kembali mengalami hal serupa, setidaknya mata yang sebelah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bertahun-tahun, ibu memendam kenangan itu. Hingga ayah meninggal, dan dengan terpaksa ibu membesarkanku dan kakakku seorang diri. Aku kemudian bisa kerja di Jakarta, tapi kakakku tinggal di rumah menemani ibu. Kini, apa yang dulu ditakutkan ibu menjadi kenyataan. Mata ibu yang sebelah mulai berair, kerap silau tatkala terkena sinar dan tidak lagi bisa melihat dengan jelas. Padahal, mata ibu yang dulu pernah operasi nyaris sudah tak bisa melihat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tatkala aku mengantar ibu untuk menjalani operasi, dokter yang menangani ibu sempat diam setelah memeriksa mata ibu. Lama, dokter itu tak kunjung memberi jawaban. Aku melihat, dokter yang sudah setengah tua yang duduk di depanku itu seperti berat berkata dengan jujur. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Apa pun yang terjadi pada ibu, aku akan berusaha untuk membuatnya pulih lagi. Jadi, apa sebenarnya yang menjadi kendala bagi dokter untuk melakukan operasi?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tidak ada yang jadi kendala," dokter itu berkata dengan suara tenang seolah tidak memendam sesuatu "hanya saja, operasi kali ini butuh kecermatan yang akurat sebab mata ibu Anda tergolong kritis dan agak lain. Jika sekadar katarak ringan, bisa operasi dengan sayatan kecil yang tak butuh waktu sampai sepuluh menit. Tapi, kali ini di dalam bola mata ibu Anda, seperti ada benda yang aneh."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku memandang bola mata dokter itu tanpa berkedip.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Pasti Anda ingin bertanya benda apa itu? Jujur, aku tak mampu mengatakan benda itu seperti apa. Bentuknya bulat seperti batu mutiara tetapi memancarkan cahaya kehijauan..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dokter ini mengada-ngada atau serius?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Di dunia ini, tidak ada dokter yang tidak serius. Jika dokter tidak serius, ia tidak pantas menjadi dokter. Ia lebih pantas jadi pelawak."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku sempat ingin tersenyum tetapi raut muka dokter itu membuatku tercenung. Apa yang dikatakan dokter itu benar? Ah, aku tak yakin. Tapi, aku mendesak dokter itu segera melakukan operasi kalau prosedur yang dijalani sudah memungkinkan ibu masuk ruang operasi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Berdoalah untuk ibumu, besok ibu Anda sudah bisa menjalani operasi. Tetapi, sepanjang aku menangani orang yang menderita penyakit mata, terlebih katarak, hanya mata ibu Anda yang mengalami hal ganjil seperti ini." </div>
<div style="text-align: justify;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
SEHARI setelah ibu menjalani operasi, dokter masih belum memberi izin ibu untuk membuka balutan yang menutupi matanya. Mata ibu yang sebelah sudah kabur dan bisa dikata tidak bisa melihat. Saat aku menjenguk, ibu berbaring di atas ranjang. Aku menawari ibu untuk menyuapi makan siang. Tapi, ibu menolak. "Ibu tak lapar, Nak." </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hening melingkupi ruangan rumah sakit. Ibu diam, tidak bersuara. Hingga akhirnya, beliau membuka suara yang mengejutkanku. "Nak, ibu mau bercerita tentang apa yang ibu lihat. Tetapi, jangan katakan jika ibu dusta."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu ini ada-ada saja. Jelas tak mungkin aku menuduh ibu bohong."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Siapa tahu, kau menuduhku dusta karena Ibu tak bisa melihat."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Apa yang ingin Ibu ceritakan?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Malam kemarin ibu merasakan hening. Angin bertiup kencang, sebelum kemudian sunyi. Ibu sempat kaget lalu meraba-raba ke ranjang. Ibu yakin, saat itu ibu ada di rumah sakit. Tetapi, dengan mata yang tertutup seperti ini, ibu entah mengapa seperti ada di surga. Ibu melihat langit yang hijau. Tidak itu saja, ibu bahkan melihat hamparan tanah penuh pohon, dan tanaman, daun-daun yang segar, basah, dan menentramkan. Ibu bahkan bisa menyentuhkan dengan jari ibu dan seperti sedang bermimpi. Tapi, ibu sadar, ibu tak sedang bermimpi. Tetapi, ibu memang benar-benar di surga. Ada aliran sungai yang mengalir; sungai itu mengalirkan susu dan madu.... Ibu merasa bisa melihat segala yang tak pernah ibu bayangkan sebelumnya. Dan ibu takjub. Ternyata, itulah surga. Ibu tak bisa menceritakan keindahan apa yang ibu lihat..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Lalu, apalagi yang Ibu lihat?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu melihat segalanya, kecuali satu..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Apa yang tidak Ibu lihat?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu diam, lama. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hingga aku kembali bertanya, "Apa yang tidak Ibu lihat?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu tidak melihatmu, Nak."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ah, mungkin Ibu salah lihat..."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tadi sudah Ibu katakan, Nak. Jangan menuduh Ibu dusta hanya karena ibu tak bisa melihat."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Tapi bagaimana mungkin Ibu tak melihatku ada di surga? Bukankah ibu pernah bercerita bahwa surga itu ada di bawah telapak kaki ibu dan anak yang berbakti akan bisa memasuki surga dengan kebaikan yang ia lakukan kepada ibunya?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Justru itulah yang ingin aku tanyakan, Nak."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku diam. Aku merasa ada yang aneh dengan kata-kata ibu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Jujur, dari mana uang yang kau gunakan untuk membiayai operasi ibu?"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Degggg! Jantungku berdegup kencang. Hatiku berkecamuk, apakah aku harus bercerita dengan jujur jika uang yang aku gunakan untuk biaya operasi itu hasil penggelapan uang di kantor? Tangan ibu meraba-raba. Setelah menemukan tanganku, ibu menggenggamnya dengan erat. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Nak... ibu bercerita yang sebenarnya tapi jangan katakan Ibu berdusta karena mata Ibu tidak bisa melihat. Justru dengan mata ibu yang tertutup seperti ini, Ibu bisa melihat surga."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tertunduk lemas, dan kuraih telapak kaki ibuku. Rasanya, tidak ada pilihan lain kecuali aku harus mencium kaki ibuku... ***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jakarta, 2012</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*) N. Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa seperti di The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Seputar Indonesia, Suara Karya, Tabloit Nova, Majalah "Anggun", Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Tribun Jabar, Radar Surabaya, Surabaya Pos, Surya, Batam Pos, Lampung Post, dan Solo Post. Selain menulis cerpen, dia juga bekerja sebagai wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpennya yang sudah diterbitkan “Dua Janji” (2010).</div>
<br />penulishttp://www.blogger.com/profile/03370284454704913973noreply@blogger.com2