Minggu, 11 September 2016

Idul Adha Terakhir

cerpen (Kedaulatan Rakyat, Minggu 11 Sept 16)

TIGA hari sebelum menghembuskan napas terakhir, ayah yang terbaring tak sadarkan diri selama beberapa hari di bangsal rumah sakit, tiba-tiba mengigau. Hanya satu kata yang keluar dari bibir ayah, "Kambing."
   
Kami -tiga anak ayah, dan ibu- saling pandang. Seperti ada satu keajaiban yang turun dari langit. Kami seperti dibuai harapan bahwa ayah telah sadar. Pasalnya, ayah yang koma selama berhari-hari, bahkan tidak bergerak, kecuali detak jantungnya yang berdegup pelan, tiba-tiba bersuara -walaupun tak jelas dan samar. Sontak, kami yang kebetulan ada di dekat ayah langsung beringsut mengelilingi tempat ayah terbaring.
   
"Ayah minta dibelikan sate kambing?" tanya ibu seraya mengguncang-guncang tubuh ayah. Ibu hapal, dan tahu apa makanan kesukaan ayah, salah satunya adalah sate kambing. Tapi, ayah tak bersuara lagi. Ayah yang terbujur tak ubahnya seperti balok es batu, hanya diam, tak menjawab apa pun.
   
Ibu mengedarkan pandangan ke arah kami semua. "Kalian dengar apa yang diucapkan ayahmu tadi?"
    
"Dengar," jaWab kami serentak.
   
"Lalu, apa yang diinginkan ayahmu dengan menyebut kambing?"
   
Kami --adikku, aku dan kakakku-- diam. Tetapi, di kepalaku terlintas satu kenangan pada masa lalu. Satu kenangan yang tak mungkin bisa kulupakan.
                            ***

DI keluarga kami, tatkala ada salah satu buah hati ayah masuk sekolah dasar, ayah memberi hadiah kambing. Sebenarnya, itu bukan hadiah. Lebih tepatnya tabungan. Aku ingat, saat aku masuk SD, seminggu kemudian ayah mengajakku ke pasar hewan dan memintaku memilih kambing yang aku suka.
   
"Kelak, kambing ini akan menjadi masa depanmu!"
   
Waktu itu, aku tak paham ucapan ayah. Belum genap setahun, kambingku menemui ajal. Padahal, belum sempat beranak. Aku menangis sepanjang hari. Tapi, ayah membelai rambutku, "Tidak usah menangis. Besok ayah belikan lagi kambing yang lebih besar dan mahal."
   
Ayah selalu menepati janji. Bulan berbilang, kambingku tak kunjung bertambah. Orang bilang, kambingku majer (mandul). Aku hanya bisa mengurung diri di kamar, kala mendengar cibiran orang-orang. Lagi-lagi, ayah membelai rambutku, dan memberiku harapan. "Besok ayah akan menukar kambingmu dengan kambing yang lebih baik."
   
Tahun berbilang, kambing kakakku dan adikku pun beranak pinak dan kian banyak. Tapi, kambingku selalu memiliki cerita yang tragis. Jika tidak mati, kambingku mandul. Aku tak pernah memiliki kambing lebih dari tiga ekor dan bahkan pada akhirnya ludes. Tapi ayah kembali memberiku harapan. "Setiap anak memiliki nasib yang berbeda-beda. Tak ada salahnya ayah membelikanmu tanah untuk mengganti kambingmu yang mati."
   
Beberapa tahun kemudian, ketika aku hampir lulus SMA, ayah didatangi orang dari kota. Orang itu datang hendak membeli tanah milikku untuk dijadikan sebuah resort, karena letaknya strategis. Ayah masuk ke kamarku, dan menanyakan hal itu padaku. Aku menolak.
   
"Tapi dari hasil penjualan itu, uangnya bisa untuk biaya kuliahmu..."
   
Aku tetap tak mau melepas walau orang kota itu menawar dengan harga menggiurkan. Ketika aku kemudian kuliah, terpaksa ayah menjual kambing-kambing yang dimiliki. Hingga kambing ayah habis. Setiap hari raya Idul Adha tiba, ayah terpaksa membeli kambing untuk kurban. Padahal, tahun-tahun biasa, jika hari Idul Adha tiba, ayah tinggal mengambil dari kandang untuk kurban.
                            ***

IBU duduk dengan syahdu di samping ranjang ayah. Sesekali, ibu memandang dua bungkus porsi sate kambing di atas meja, yang tadi saing dibeli adikku di depan rumah sakit.
   
"Ibu kenapa tidak makan?" tanya kakakku, "Jika ibu tak makan, nanti malah ibu sakit. Kita semua yang akan bingung dan tambah repot."
   
"Ibu tidak lapar," jawab ibu.
   
"Tapi, ibu harus menjaga kesehatan. Ibu tidak boleh nanti malah sakit," bujukku.
   
Ibu kembali memandang dua bungkus porsi sate kambing di atas meja, yang tadi dibeli adikku. Tapi, ibu tetap diam. Ibu seperti tak selera menyentuh bungkusan itu. Padahal, waktu dulu aku masih kecil, ayah dan ibu selalu mengajak kami makan sate di sudut alun-alun, di warung sate langganan ayah. Ibu pernah bercerita di warung sate itulah, ibu pertama kali bertemu ayah. Wajar, ibu mengira ayah ingin sate kambing saat sakit seperti ini.
   
Hingga Maghrib tiba. Ibu tidak menyentuh satu tusuk pun sate. Ayah tetap terbaring, belum sadarkan diri. Takbir malam Idul Adha berkumandang syahdu, dan kami semua bermalam di rumah sakit untuk menjaga ayah.
                            ***

SEPULANG shalat Ied, aku kembali menjaga ayah. Kakak dan adikku masih di rumah. Aku minta ibu pulang; untuk istirahat di rumah. Begitulah kami bergiliran menjaga ayah. Beberapa menit setelah ibu meninggalkan rumah sakit, ayah kembali mengigau. Lagi-lagi, hanya satu kata yang keluar dari bibir ayah, "Kambing."
   
"Ayah minta dibelikan sate kambing?" tanyaku, seraya mengguncang tubuh ayah. Tapi ayah tidak bersuara lagi. Ayah yang terbujur tak ubahnya seperti balok es batu, hanya diam, tak menjawab apa pun.

                            ***

TIGA hari setelah lebaran Idul Adha, ayah menghembuskan napas terakhir. Kami semua sedih, terutama ibu. Selama hampir 3o tahun menemani ayah, ibu memang sudah berusaha sebaik mungkin mendapingi, melayani, dan merawat ayah. Tetapi, ada satu hal yang masih mengganjal di benak ibu dengan igauan ayah sebelum ayah menutup mata untuk selama-lamanya.
   
Tiga hari setelah ayah dikebumikan, kakak dan adikku balik ke kota. Aku tak tega meninggalkan ibu sendirian --apalagi setelah ayah tiada. Jadi, aku memutuskan tinggal di rumah beberapa hari lagi. Apalagi, usahaku di kota sudah diurus oleh tiga karyawanku.
   
Malam ketujuh selepas ayah dikebumikan, aku bermimpi. Dalam mimpiku itu, ayah mengajakku ke sebidang tanah yang dulu sempat mau dibeli orang kota, tapi aku menolak. Di tanah lapang itulah, ayah memintaku terbaring.
   
"Tuhan memintaku untuk menyembelihmu!" ujar ayah dengan mulut bergetar.
   
"Tapi, ayah bukanlah Nabi Ibrahim yang mendapat wahyu untuk menjalankan ibadah ini dengan mengorbankan nyawaku."
   
"Ayah memang bukan Nabi Ibrahim, Nak. Tapi, ayah menuntutmu untuk berkorban dan kamu hanya diam. Kambing-kambing ayah sudah habis. Jadi, ayah hanya bisa berkurban dengan menyerahkan nyawamu kepada Tuhan...."
   
Aku berusaha berontak, dan meronta-ronta. Tetapi tangan kekar ayah lebih kuat untuk kulawan. Aku akhirnya pasrah, dan sebelum golok ayah itu menyentuh leherku, tiba-tiba aku terbangun. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhku. Aku lunglai dan ambruk dari kasur.
   
Selang beberapa menit, aku baru tersadar. Rupanya, ayah kemarin mengingau dengan menyebut kambing adalah sebuah tanda bahwa ayah meminta kami --atau lebih tepatnya aku-- untuk menunaikan korban kambing atas nama ayah. Sudah tiga tahun terakhir ini, sejak ayah pensiun dari pegawai negeri, memang ayah sudah tidak pernah berkurban lagi. Uang pensiunan ayah selalu habis. Ludes untuk biaya berobat, dan kontrol ke dokter.
   
Tapi, sayangnya, aku terlambat untuk sadar, dan mengetahui semua ini. Aku tak memenuhi permintaan ayah, padahal untuk sekadar membeli kambing tidaklah berat bagiku. Aku benar-benar merasa berdosa. Sebab, Idul Adha tahun ini ternyata Idul Adha terakhir bagi ayah.
   
Jakarta, 2016

    *) N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa nasional dan lokal. Dia bekerja sebagai wartawan sebuah majalah Islam di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar