Minggu, 12 Juni 2016

Aroma Kematian

cerpen (Tribun Jabar Minggu 12 Juni 16)
   
TEPAT tengah malam, ustadz Ma`ruf terbangun. Samar-samar, dia merasakan tanah di bawah ranjang seperti retak, seakan bumi digoncang gempa. Keringat membasahi dahi, kening, dan punggungnya. Apalagi, setelah dia mendengar suara aneh yang tiba-tiba menelusup telinga. Suara ganjil yang terdengar seperti tubrukan dua benda asing yang beradu, dan menimbulkan suasana mencekam dan menakutkan.
   
Sudah terbiasa ustadz Ma`ruf bangun tengah malam untuk menunaikan shalat Tahajud di mushalla, di sebelah rumahnya, lalu membaca al-Qur`an sekitar satu juz. Tapi malam itu, dia merasakan suasana lain, seolah-olah berada di sebuah tempat sempit yang membuatnya sesak napas, tapi dia sadar bahwa dia tidak sedang bermimpi.
   
Dia turun dari ranjang, bersijingkat menuju jendela. Dari balik gorden, dia mengintip ke arah mushalla. Berkali-kali, dia memicingkan mata, hampir tak percaya. Keranda di samping mushalla bergoyang seakan minta diturunkan dari tempatnya. Tak jauh dari tempat keranda itu, kayu pemukul bedug berdiri di atas lantai seperti menari-nari. Sesekali, menimbulkan suara ganjil akibat beradu dengan lantai. Belum pupus keheranan ustadz Ma`ruf dengan apa yang dia lihat, hidungnya mencium bau aneh yang menguar dari keranda seperti bau bangkai. 
   
Ustadz Ma`ruf menutup hidung, tak kuat menahan bau busuk yang menguar ke segala penjuru. Kira-kira semenit. Lalu keranda itu tak bergoyang. Kayu pemukul bedug tak bergerak. Perlahan aroma tak sedap pun hilang. Ustadz Ma`ruf tercenung, berdiri kaku di balik jendela, tapi tak memiliki firasat apa pun tentang kejadian itu.
   
Dan malam itu, ustadz Ma`ruf tak jadi menunaikan shalat tahajud. Dia masuk ke kamar, menarik selimut, kembali tidur.
                                ***

   
MENJELANG Subuh, ustadz Ma`ruf masih meringkuk, berselimutkan sarung.
   
Maimunah heran. Tak pernah ia bangun pada sepertiga malam menjumpai suaminya masih tidur seperti pagi itu. Ia memegang kening suaminya. Dugaannya tidak salah, suaminya sakit. Keningnya panas. Ia enggan membangunkan lelaki yang telah mendampinginya selama lima tahun itu.
   
Tapi menjelang Subuh, ia mendengar pintu rumahnya diketuk. Setelah membuka pintu, ia menjumpai Saripah berdiri di depan pintu dengan napas tersengal.
   
"Lelaki saya...," ujar Saripah seperti berat melanjutkan sepatah kalimat yang mengganjal di tenggorokan. Ada sesuatu yang berat untuk dikatakan. "Suami saya... sakaratul maut. Saya ke sini untuk meminta tolong ustadz datang ke rumah agar mau membimbing suami saya sebelum ajal menjemput."
   
Maimunah ikut gugup, merasakan kecemasan yang dialami Saripah. Tetapi ia bimbang membangunkan suaminya. Ia diam cukup lama, hingga rasa iba menjalar pelan-pelan. "Baiklah, Mbak pulang dulu. Saya akan meminta ustadz segera datang. Semoga semuanya dimudahkan Allah."
   
Selepas kepergian Saripah, ketika berjalan ke kamar hendak membangunkan suaminya, ia masih bimbang. Tapi, ia terperanjat saat memasuki kamar justru suaminya sudah bangun.
   
"Siapa yang datang?"
   
"Saripah. Ia bilang suaminya sakaratul maut.
   
Ustadz Ma`ruf tercengang. Dia teringat peristiwa ganjil tadi malam.
   
"Oh, ya... Saripah ke sini meminta ustadz datang ke rumahnya."
   
"Saya akan segera datang."
   
"Tapi... bukankah ustadz sedang demam?"
   
"Urusan umat harus didahulukan daripada kepentingan pribadi," jawab ustadz Ma`ruf tegas. Padahal, dia sendiri heran. Peristiwa aneh itu tiba-tiba membuatnya demam, tapi setelah mendengar kabar suami Saripah sakaratul maut, perlahan dia pulih. Tiba-tiba, tubuhnya sehat.
   
Selepas mengambil air wudhu, ustadz Ma`ruf bergegas ke rumah Saripah. Tapi, ketika dia menginjakkan kaki di rumah Saripah, suami Saripah sudah menemui ajal.
   
Sepanjang jalan pulang, tak henti-henti dia tercenung.
                                ***

   
SEJAK kejadian itu, ustadz Ma`ruf seperti bisa mencium aroma kematian. Awalnya, dia tidak yakin jika peristiwa ganjil malam itu adalah sebuah isyarat tentang datangnya kematian orang-orang di kampungnya. Tapi, setelah kejadian itu terjadi berulang kali, dia tidak menepis dan semakin yakin jika peristiwa keranda di sebelah mushalla yang bergoyang seakan minta diturunkan, kayu pemukul bedug yang berdiri di atas lantai menari-nari, dan bau bangkai itu adalah kabar dari langit yang memberi isyarat tentang kematian seseorang yang akan terjadi.
   
Seminggu sejak kejadian ganjil itu, dia kembali terbangun tergerap, lalu mengintip dari balik jendela, dan lagi-lagi melihat keranda bergoyang, kayu pemukul bedug menari-nari, juga mencium bau busuk yang menyengat hidung. Dalam hati, dia membatin: apakah ini pertanda... Tapi, dia tidak berani mendahului takdir.
   
Ustadz Ma`ruf merasa heran, jika selepas kejadian tengah malam seminggu yang lalu, dia tiba-tiba demam, tetapi kali ini justru dia tidak kuasa menepis bau busuk yang tak kunjung hilang dari hidungnya. Bau busuk itu pun mengingatkannya pada misteri kematian. Apalagi, bau busuk itu menguar tak kunjung hilang. Meski bau itu menguar dari jarak yang cukup jauh, tetapi merambatkan kabar ke hidung ustadz Ma`ruf. Diam-diam, selepas shalat tahajud ustadz Ma`ruf mengikuti rambatan bau busuk yang menguar itu, dan mengantarkannya ke sebuah rumah di pinggiran kampung.
   
Dan ternyata siang harinya, ustadz Ma`ruf mendapat kabar bahwa salah satu orang yang menghuni rumah tersebut meninggal.
   
Apa yang aneh dengan peristiwa itu? Ustadz Ma`ruf tidak pernah bisa menebak. Dia mengingat-ingat masa lalunya dan baru sadar kalau dulu sewaktu masih jadi santri di salah satu pesantren di Jawa Timur dia memang pernah menjalani puasa untuk mendapatkan kesaktian. Tapi, dia merasa puasanya itu gagal karena ketika dia mengujinya dengan menggoreskan golok di tangan dan kakinya, ternyata kulitnya tergores. Apakah kesaktian itu baru muncul sekarang ini meski kesaktian itu tidak berujud kekebalan tubuh, tapi penciuman yang tajam membaca kematian? Ustadz Ma`ruf sendiri tak yakin.
   
Tapi, sejak kejadian pada malam yang ganjil itu, dia seperti dianugerahi penciuman yang tajam dan seakan bisa membaca kabar dari langit tentang kematian. Apalagi, setelah kejadian itu terjadi berulang kali, dan ustadz Ma`ruf menjumpai rumah yang menebarkan aroma busuk, ternyata pada pagi atau siangnya, didapati salah satu dari penghuni rumah tersebut mati.
   
Dia tahu, tak ada satu orang pun yang bisa membaca kabar kematian seseorang. Tetapi, setelah dia menjumpai kejadian ganjil itu dan menemukan kenyataan yang tidak dapat dia tepis, dia tetap tidak sombong dan merasa tahu sebelum kejadian itu terjadi. Dia yakin semua itu adalah anugerah dari Allah. Maka ustadz Ma`ruf menyembunyikan semua itu, tak menceritakan kepada siapa pun tentang kelebihan yang dianugerahkan Tuhan bahwa dia bisa mencium aroma kematian, termasuk kepada istrinya.
                                ***

   
SUDAH berulangkali ustadz Ma`ruf terbangun tengah malam dan menjumpai peristiwa ganjil seperti itu.  
   
Hingga suatu hari, ustadz Ma`ruf terbangun dan merasakan tanah seperti retak. Lalu, dia beranjak menuju jendela, dan mengintip keluar. Dia melihat keranda di sebelah mushala bergoyang seakan minta diturunkan, kayu pemukul bedug berdiri di atas lantai, menari-nari kemudian diiringi semerbak bau bangkai yang menyesakkan hidung. Tatapi, kini, ustadz Ma`ruf benar-benar tidak bisa menelusuri muasal bau busuk itu. Selepas Subuh, dia hanya tahu jika bau busuk itu tak jauh dari rumahnya. Sayang, walaupun sudah mondar-mandir mengelilingi rumah, tetap saja dia tidak menemukan sumber bau itu. Anehnya lagi, setelah dia keluar dari rumah, bau busuk itu tetap menyertainya.
   
Kali ini, ustadz Ma`ruf merasa kesaktiannya bisa mencium aroma kematian benar-benar hilang. Hingga matahari di atas ubun-ubun, dia bahkan tidak kunjung menemukan muasal bau itu. Akhirnya, dia pun pulang. Tapi sesampai di rumah, dia justru dikejutkan ucapan istrinya, "Dari tadi, saya mencium bau busuk di rumah ini. Saya sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tak kunjung menemukan muasal bau itu."
   
"Jadi, bau busuk itu ada di rumah kita?"
   
"Ya," jawab Maimunah. "Tapi, saya rasa..., ada yang aneh."
   
"Ada yang aneh?"
   
"Saat ustadz tadi keluar rumah, justru bau itu hilang."
   
Ustadz Ma`ruf merasa heran, tapi dia seketika sadar. Dia mencuim bajunya, dan betapa terkejutnya dia ketika tahu bau busuk itu justru dari sekujur tubuhnya. Dan dia ingat, tadi pagi, dia menerima amplop dari salah satu tim sukses pemilihan calon gubernur. Saat dia menerima amplop itu, masih terngiang di telinganya, "Ustadz jangan lupa, dalam cemarah besok ustadz harus berceramah untuk mengarahkan calon pemilih, mau tak mau, mereka harus memilih calon yang kami usung."
   
Ustadz Ma`ruf langsung merogoh saku baju koko yang dikenakan, menemukan amplop dalam saku, dan langsung menciumnya. Rupanya, bau itu bersumber dari amplop tersebut. Buru-buru, dia berlari ke teras dan menyalakan sepeda motor. Beberapa menit kemudian, dia sudah melaju kencang di atas sepeda motor, entah hendak pergi ke mana. Berkali-kali istrinya memanggil, tapi dia seperti tak peduli.
   
Hari itu, Maimunah melihat tingkah suaminya dengan penuh tanda tanya. Lebih aneh lagi, ia merasa seperti mencium aroma kematian. ***

Condet, 2012-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar