Jumat, 18 Oktober 2013

Berhaji dan Kesadaran Berzakat

Opini ini dimuat di Suara Karya Jumat 18 Oktober 2013

SEBAGAI salah satu dari pilar (rukun) Islam, zakat menduduki tempat istimewa lantaran termasuk dalam ketegori ibadah personal yang sekaligus bernilai sosial. Keistimewaan zakat itu menempatkan ibadah yang dikenal merupakan rukun Islam ketiga ini pun sebagai bentuk perwujudkan ibadah sosial seorang muslim. Maklum, berbeda dengan "ibadah" lain seperti shalat, puasa, dan haji, zakat memiliki dimensi sosial yang lebih kental. Sebab, zakat berkaitan erat dengan aspeks kehidupan sosial umat.


 Sayangnya, sebagai ibadah personal, zakat sering kali dimaknai secara sempit --dimaknai dalam arti "kebaikan" bahkan "keselamatan". Makna zakat itu kemudian dilihat tidak lebih sebagai bentuk pensucian diri. Pasalnya, dalam kajian fiqh, zakat memang diartikan sebagai pemberian atau pembayaran hak yang mesti diambil dari harta milik. Dengan kata lain, zakat itu harus dikeluarkan karena dalam harta milik orang kaya itu ada bagian dari kaum miskin (yang harus ditunaikan sebagai "syarat" untuk membersihkan diri). 

Anomali Kesadaran Berzakat
Sebagai rukun Islam ketiga, zakat dihukumi wajib. Sebagaimana halnya dengan haji, "zakat" hanya diwajibkan bagi orang yang mampu, atau memiliki kelebihan kekayaan. Maka, umat muslim yang kaya seharuanya patut berbangga, karena bisa mendapatkan kesempatan memetik pahala dengan mudah, pahala yang nyaris tak bisa diamalkan dengan gampang oleh fakir miskin.

Tetapi, sungguh ironis kalau membandingkan dua gairah umat Islam Indonesia dalam menunaikan ibadah haji ke tanah suci dan gairah dalam membayar zakat. Ibarat langit dan bumi. Banyak umat Islam yang berbondong-bondong, dan bahkan berlomba-lomba untuk daftar haji. Kegairahan itulah yang menjadikan orang masuk ke daftar tunggu 6-7 tahun (waiting list), karena Indonesia --yang berpenduduk muslim terbesar di dunia— memang mengalami kelebihan quota. Karena kelebihan quota, maka jika orang daftar haji tahun ini akan berangkat beberapa tahun kemudian. Apalagi, pihak Arab Saudi kini mengurangi kuota haji. Dapat dipastikan antren atau daftar tunggu itu akan lebih panjang lagi.

Tapi bagaimana dengan kesadaran umat islam Indonesia dalam membayar zakat? Jawabnya jauh panggang dari api. Bertolak belakang dengan perlombaan orang meraih pahala pergi haji, untuk soal zakat (juga sedekaf, infaq bahkan wakaf) orang seperti sembunyi tangan. Enggan mengulurkan tangan dengan ringan. Perbandingan orang berburu pahala antara zakat dan haji itu sungguh memprihatinkan. Coba hitung, dana haji yang dikumpulkan dari orang yang hendak pergi ke Makkah dengan mudah didapat tapi dana zakat justru jauh dari hitungan rasional.

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mendata potensi zakat yang dapat dihimpun di Tanah Air mencapai Rp 217 triliun per tahun. Tetapi, ironisnya, potensi zakat di Indonesia baru terserap, dan dikelola oleh lembaga amil zakat kurang lebih sekitar satu persen. Memang, setiap tahun penerimaan zakar di Indonesia mengalami peningkatan. Ini dapat dilihat dari data tahun 2011 jumlah penerimaan sebesar Rp 1,7 triliun. Jumlah itu mengalami peningkatan tahun 2012 menjadi Rp 2,73 triliun. Dengan melihat "potensi" zakat yang bisa dihimpun, dengan kenyataan di lapangan jauh dari harapan. Lalu yang jadi pernyataan adalah: ke mana potensi zakat menguap? Itu fakta di lapangan! Ada anomali yang cukup kentara: antara gairah orang pergi haji dengan kesadaran dalam mengeluarkan zakat.

Memang, salah satu jawaban simpel bahwa niat orang pergi haji tidak bisa dimungkiri akan menaikkan status sosial atau pamer akan kelebihan harta yang mereka miliki. Tapi jika membayar zakat nyaris tak dirasa dan tak memiliki implikasi dahsyat sebagaimana dampak yang diterima dari ibadah haji. Padahal, kewajiban membayar zakat itu memiliki urutan lebih awal dibanding pergi haji dalam rukun Islam. Itu menandakan bahwa ada hal "penting" dalam zakat yang tak bisa dikesampingkan. Zakat memiliki aspek sosial untuk mengentaskan kemiskinan, memupuk solidaritas dan menumbuhkan rasa empati pada sesama.

Membangun Kesadaran Berzakat
Dengan melihat urutan kewajiban membayar zakat itu lebih awal dibanding dengan pergi haji dalam rukun Islam, maka tak ada pilihan lain, kecuali kegairahan orang pergi haji haruslah diimbangi dengan kegairahan berzakat. Sebab dalam berzakat ada nilai yang jauh lebih luas karena berimplikasi ibadah secara horisontal dan vertikal. Pendek kata, dalam menunaikan zakat itu ada implikasi sosial –karena dalam harta orang kaya itu terdapat hak mustahik --yang wajib ditunaikan.

Dalam tradisi sufi, ada satu cerita menarik yang mungkin bisa dijadikan bahan renungan untuk menggairahkan kesadaran orang dalam berzakat. Alkisah, ada sepasang suami-istri yang tak kaya ingin pergi ke tanah suci. Keduanya lantas mengumpulkan uang untuk dijadikan bekal pergi haji. Setelah membanting tulang, akhirnya terkumpul uang. Saat musim haji tiba, keduanya pun berangkat. Tapi sebelum keduanya sampai di tanah suci, di perjalanan menjumpai daerah yang berpenduduk miskin, dan anak-anak diserang busung lapar. Suami istri itu pun iba, dan memutuskan tak melanjutkan perjalanan ke tanah suci tapi memberikan semua bekal yang dibawa kepada penduduk tersebut.

Suami istri itu memberikan bekal dan tak jadi pergi haji karena ingat sebuah hadits nabi, “Tidaklah beriman seseorang yang tidur lelap sementara ia mengetahui tetangganya kelaparan”. Keduanya paham bahwa ibadah haji adalah perintah Allah yang wajib ditunaikan tetapi manfaatnya hanya bagi mereka berdua. Karena itu, keduanya tak keberatan memberikan bekal yang dibawa dan kemudian pulang ke kampung halaman.

Anehnya, saat suami istri itu tiba di rumah, ada orang tak dikenal yang menunggu. USai salam, orang itu mengucapkan, “Selamat datang dari haji mabrur”. Suami istri itu terperangah, karena keduanya tak merasa pergi haji dan menceritakan kisah yang dialami di tengah perjalanan. Setelah mendengar cerita suami istri itu, orang tersebut menjawab, ”Itulah haji mabrur!”

Dari kisah di atas, setidaknya ada beberapa poin penting yang bisa dijadikan renungan. Pertama, "kedudukan" zakat itu jika dilihat lebih cermat sebenarnya lebih utama daripada haji. Kedua, kepedulian seseorang terhadap tetangga, apalagi kalau tetangga dalam keadaan lapar, sebenarnya jauh lebih penting daripada ibadah haji. Apalagi, dalam hadits Nabi, dengan gamblang dan tegas disebutkan "Tidaklah beriman seseorang yang tidur lelap sementara ia mengetahui tetangganya kelaparan". Hadist ini seharusnya dijadikan landasan bagi setiap umat Islam untuk melihat tetangga sekitar dan kemudian tergerak mengeluarkan zakat. Sebab, kepedulian terhadap tetangga yang miskin dan menderita itu menjadi tolok ukur keimanan seseorang.

Ketiga, hadiah istimewa yang diperoleh oleh seseorang muslim setelah dia membayar zakat, (termasuk sedekah, infak dan wakaf) ternyata tidak kalah dengan apa yang didapatkan oleh orang yang berhaji. Bahkan, setelah sepasang suami istri itu rela memberikan bekal yang ia bawa dan tak jadi pergi ke tanah suci, keduanya pun mendapat label haji mabrur (secara substansial). Kesadaran lain yang harus diingat, tidak ada seorang muslim yang membayar zakat, (termasuk sedekah, infak dan wakaf) kemudian jatuh miskin. Justru, tidak sedikit kisah dari mereka yang ringan tangan membayar zakat, (termasuk sedekah, infak dan wakaf) malah kian kaya dan makmur.

*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar