resensi buku ini dimuat di Kompas, Minggu 5 Mei 2013
Judul buku : Taira no Masakado
Penulis : Eiji Yoshikawa
Penerbit : Kansha Books, Jakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2012
Tebal buku: 635 halaman
ISBN : 978-602-971-96-9-7
Harga : 89.800,-
SEJARAH --sebagai bahan literer sastra-- memang tidak pernah kering untuk dijadikan "latar" sebuah cerita --termasuk novel. Sebab, sejarah dapat diibaratkan serupa kotak pandora yang menyimpan kepingan-kepingan peristiwa dan kenangan di masa lampau. Tapi tidak semua kepingan peristiwa yang terjadi di masa lalu itu memiliki nilai penting dan bisa dikatakan berharga. Tugas pengaranglah yang kemudian harus memilah kepingan-kepingan cerita yang terserak di antara bongkahan batu karang literer sejarah itu untuk disuguhkan kembali dengan capaian estetis seraya meniti jalan berkelok dengan melakukan penafsiran.
Tak berlebihan, jika dari kepingan-kepingan itu, pengarang dapat melakukan rekonstruksi, bahkan memberi "tafsir baru" atas fakta di masa lalu. Tetapi, pada sisi yang lain, bisa jadi pengarang ingin mengenang --atau mengabadikan- sekeping kisah dari kehidupan seseorang yang pernah menorehkan "warna" dalam peta sejarah, mengingat tokoh itu memiliki nilai lebih --bahkan bisa jadi dipandang cukup berkesan, meninggalkan keteladanan, dan jiwa kepemimpinan yang layak dijadikan sebuah panutan.
Setidaknya, itu yang ingin dilakukan oleh Eiji Yoshikawa ketika dia memutuskan untuk menulis novel berjudul Taira no Masakado ini. Memang, Masakado bukanlah tokoh penting dan bahkan istimewa dalam peta sejarah Jepang. Dia (bisa jadi) dianggap tokoh yang hidup di pinggiran dan jauh dari kekuasaan pusat (istana). Tetapi, spirit di balik perjuangan hidup dan keberanian Masakado dalam melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh ketiga pamannya telah menyeretnya pada pusaran politik dan kekuasaan --bahkan hingga istana kaisar berang akibat ulah Masakado.
Dituduh Pemberontak
Dia pun dituduh sebagai pemberontak. Masakado dituding sebagai pemberontak karena dia dipandang membuat kerusuhan di negeri Timur setelah dia berhasil menguasai delapan negeri di Timur -menyerbu Hitachi, menginvasi Kozuke, Shimotsuke, Sagama, Musashi dan Kazusa. Istana kekaisaran lebih berang lagi, ketika Masakado dipaksa menjadi kaisar oleh seseorang yang licik dan orang-orang di sekelingnya yang memiliki ambisi kekuasaan (hal. 577).
Meski Masakado masih memiliki titisan darah kaisar, lantaran ia merupakan cucu generasi keenam kaisar Kanmu, tapi hal itu merupakan puncak dari rentetan kesalahan yang diderita Masakado. Tak pelak, kalau pihak istana kemudian mengirim jenderal besar penundukan di bawah Tadabumi untuk menumpas Masakado. Padahal Masakado sebenarnya tidak memiliki ambisi untuk berkuasa. Dia terlibat rentetan perang tak lebih ingin menuntut hak atau harta warisan yang ditinggalkan oleh ayahnya, Yoshimochi yang dikenal sebagai penguasa Shimosa. Jadi, semula ia berperang tidak lebih untuk mempertahankan wilayah dan kehormatan keluarga.
Tetapi, keberanian Masakado untuk menuntut harta warisan itu justru dianggap oleh ketiga pamannya --Kunila, Yoshikane dan Yoshimasa-- sebagai bentuk perlawanan. Padahal, ketiga pamannya itu justru telah memperlakukan Masakado dengan tidak adil bahkan berniat hendak membunuh dan ketika upaya pembunuhan itu tidak berhasil, ketiga pamannya itu kemudian mengirim Masakado ke ibukota untuk menjadi pelayan di kediaman Fujiwara no Tadahira -–yang waktu itu jadi Menteri Sayap Kiri. Tetapi, rentetan perlakukan tidak adil dan kesewenang-wenangan pamannya itu justru membuat Masakado didewasakan oleh penderitaan dan kehinaan. Masakado akhirnya menjadi kuat dan bangkit.
Masakado semakin menjadi pemimpin yang kuat ketika ia berhasil membalas dendam --mengalahkan pamannya dan mengalahkan dua anak Minamoto no Mamoru, klan utama Hitachi Genji, dan menjadi penguasa delapan delapan negeri di Timur. Padahal Masakado itu lugu, bodoh, mudah panik bahkan mudah menitikkan air mata. Tetapi, dia sejatinya memiliki jiwa kepemimpinan yang dicintai banyak orang. Bahkan Masakado sejatinya setia dan cinta damai. Tak pelak jika Eiji Yoshikawa menganggap Masakado dipermainkan oleh zaman (hal. 635).
Subjektif Pengarang
Dengan mengangkat tokoh Masakado ini, Yoshikawa setidaknya ingin rekonstruksi bahkan memberi "tafsir baru" atas fakta di masa lalu.
Pertama, tidak dipungkiri bahwa selepas Masakado meninggal, pemimpin yang pernah menguasai delapan (8) wilayah negeri Timur itu diliputi mitos. Berbagai peristiwa buruk yang menimpa orang-orang yang berkaitan dengan kematian Masakado dianggap terkena "kutukan". Bahkan, tatkala ada wabah penyakit, juga kejadian bencana alam pun disebut-sebut sebagai kutukan Masakado. Pada konteks ini, Eiji Yoshikawa mengambarkan bagaimana kuatnya mitos pada masa kehidupan Masakado (abad ke 10), itu lantaran Jepang masih primitif.
Kedua, dalam novel ini Eiji Yoshikawa mengambarkan Masakado jauh dari sosok pemberontak. Bahkan, dengan mengutip data sejarah, pengarang kenamaan Jepang ini pun mengamini pendapat penasehat besar Karasumaru Mitsuhiro yang dengan tegas berkata, "Tidak benar jika Masakado disebut sebagai pemberontak besar atau setan. Itu kebohongan besar." (hal 631). Dalam hal ini, tak dapat dimungkiri, bahwa perjuangan dan keberanian Masakado dalam melawan ketidakadilan menjadi "latar belakang" pemberontakan yang menjadikan dia harus berperang, melawan dan tidak mau ditindas. Dia tidak ingin diperlakukan sewenang-wenang.
Ketiga, lewat novel ini, Yoshikawa tidak menepis jika politik dan kekuasaan itu diliputi elite politik yang culas dan licik. Tak berlebihan, jika Eijo Yoshikawa berpendapat bahwa meskipun beberapa elite politik --seperti Sadamura dan Hidesato- memiliki nama baik hingga sekarang, tetapi sosok mereka hanya jadi patung. Tapi Masakado lain. Di bagian akhir novel ini Eiji Yoshikawa menulis, Kita tetap merasakan sosok kemanusiaannya yang asli sampai kini. Walau Dia dituduh pemberontak dan pernah mengaku kaisar, sebagian besar orang nyaris tak percaya cerita itu.
Hal itu menandakan bahwa Masakado --di mata Yoshikawa-- sebagai pemimpin heroik, dan selalu dikenang sepanjang zaman. Tetapi, di sinilah justru pandangan subjektif Yoshikawa cukup kentara. Dalam novel ini, dia nyaris tidak melihat belang atau keburukan Masakado. Dia menggambarkan Masakado sosok yang nyaris sempurna, dan kuat --kecuali, kadang jika dirundung masalah, Masakado jadi cengeng dan mudah menitikkan air mata. Selebihnya, Yoshikawa tidak secuil pun melihat Masakado dari sisi buruk. Padahal, walau sekecil apa pun manusia tetap punya sisi buruk. Di sini, Yoshikawa menutupi kelemahan Masakado, dan menyanjung setinggi langit! ***
*) N. Mursidi, blogger buku dan cerpenis, tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar