Senin, 23 Juli 2012

Puasa dan Purifikasi Nafsu Korupsi

opini ini dimuat di Bisnis Indonesia,  Senin 23 Juli 2012

Ramadhan tahun 1433 ini, umat Islam Indonesia kembali mendapatkan kesempatan bisa bertemu dengan "bulan suci yang penuh dengan berkah". Tetapi di tengah kemeriahan menyambut bulan yang mulia itu, pada sisi lain justru rakyat Indonesia dihadapkan kondisi perpolitikan negeri ini yang sarat dengan "prahara" korupsi. Kasus korupsi yang sedang hangat dibicarakan publik terkait (anggaran) pengadaan al-Qur`an, aktor di balik skandal korupsi Hambalang, dan masih banyak kasus-kasus korupsi yang membuat sebagian besar kalangan nyinyir dengan masa depan negeri ini, sekan menegaskan bahwa negeri ini dihimpit korupsi yang akut.

Tak pelak, jika kehadiran bulan suci Ramadhan tahun ini tidak saja bisa menjadi momentum instropeksi diri, melainkan sebagai wujud nyata purifikasi atas nafsu koprusi. Karena tak dapat dimungkiri, jika negeri ini sudah dilanda masalah korupsi serius, bahkan di era reformasi yang lantang digemakan slogan perang melawan korupsi, ternyata korupsi tidak sembuh berakhir, melainkan tampil dengan cara dan bentuk memprihatinkan. Tidak berlebihan, jika puasa ini harus dimaknai sebagai jalan asketis untuk membangun "kesadaran dekonstruktif" -terutama bagi kaum elite- untuk melakukan penyucian diri dari praktik korupsi.

Pasalnya, korupsi tergolong dosa berat lantaran merugikan rakyat dan mengkhianati jiwa kebangsaan. Jadi "puasa" harus dilaksanakan dengan spirit membangun spiritualitas dan jiwa kebangsaan demi keselamatan negeri ini dari "keterpurukan" akibat nafsu korupsi. Dengan pemaknaan seperti itu, maka bangsa ini bisa kembali bangkit dan tercerahkan.

Korupsi Meruntuhkan Kemuliaan
Spirit keagamaan dan kebangsaan, tidak bisa disangkal, dibangun dengan misi keadilan dan kesadaran bagi setiap warga bahkan umat manusia. Sementara itu, praktek puasa meluruskan setumpuk nafsu, kesekarahan dan kejahatan yang coba membelokkan spirit tersebut. Tak salah, kalau Rasulullah cukup geram bahkan murka ketika melihat praktek korupsi, bahkan tak segan-segan mengejar koruptor hingga ke liang kubur.

Tidak sedikit kisah, yang menuturkan bagaimana Nabi mengecam dan mengutuk keras praktek korupsi. Salah satu kisah itu bisa dipetik dari kasus yang dialami Mad`am. Alkisah, waktu pulang dari Khaybar, tepatnya di Wadi Guraa, Mad`am terkena panah misterius yang membuatnya langsung meninggal. Maka, para sahabat tidak berbeda pendapat dan langsung menegaskan bahwa ia akan mendapatkan balasan surga bahkan dikenang sebagai syuhada`. Tetapi Nabi menanggapi  ‘Tidaklah demikian, Demi diriku berada di tangan-Nya bahwa jubah yang dia ambil pada hari Khaybar itu adalah ghanimah yang belum dibagikan, maka akan menyala padanya neraka."

Selain kisah malang yang dialami Mad`am, kisah lain yang tak kalah tragis adalah kisah yang dituturkan oleh Zaid bin Khalid al-Juhaini. Suatu hari, ada seorang anggota dari pasukan muslim yang tewas dalam perang Hunain. Para sahabat kemudian melaporkan kejadian itu kepada nabi. Tapi para sahabat tak menduga jika mereka akan mendapat jawaban yang mencengangkan sebab Rasulullah memerintahkan, “Sholatkanlah sahabatmu ini!”

Tentu, kekagetan para sahabat itu sangat berasalan karena jenazah para syuhada’ -orang yang gugur dalam perang-- akan mendapat keistimewaan bisa langsung dimakamkan, tanpa dimandikan dan dishalati lebih dulu. Tapi keheranan sahabat itu dijawab tegas oleh Rasulullah “Sahabatmu ini telah curang dalam perjuangan di jalan Allah.”

Zaid membongkar perbekalan almarhum, dan menemukan permata milik orang Yahudi senilai kurang dari dua dirham.

Dua kisah di atas, tak dimungkiri menjadi bukti nyata bahwa nabi tak ingin para sahabat yang syahid tidak mendapatkan keistimewaan di hadapan Allah hanya semata-mata karena korupsi (mengambil ghanimah yang belum dibagi). Dan kisah itu memiliki pesan penting bahwa Rasulullah mengejar koruptor hingga ke liang kubur. Hal ini menandakan bahwa korupsi bukanlah dosa kecil, tapi dosa yang besar bahkan bisa menghapus martabat sang syuhada`.

Pada aras lain, kisah di atas sebenarnya menegaskan pada para sahabat; bagaimana Rasul memberikan hukuman kepada para koruptor. Rasulullah memberikan jawaban jelas bahwa hasil korupsi -ghanimah yang belum dibagikan itu- akan menyala padanya di neraka, dan Nabi dengan lantang menolak para syuhada yang korup langsung dimakamkan tapi harus melewati prosedur normal untuk dishalatkan --sebagaimana kematian setiap muslim secara normal. Jawaban Nabi ini menegaskan bahwa korupsi itu dosa yang tidak sembarangan --karena ia telah mencuri harta atau ghanimah yang menjadi milik bersama.

Purifikasi Nafsu Korupsi
Berkaca dari kisah yang terjadi di zaman Rasulullah dan prahara korupsi yang cukup akut melanda negeri ini, tak dapat dipungkiri bahwa nafsu korupsi itu tidak saja menjerumuskan koruptor terjungkal pada jurang ketidaksyahidan, melainkan juga dianggap telah melukai spirit keberagamaan dan keadilan sosial. Sebab itu, di tengah prahara korupsi, puasa Ramadhan kali ini harus dimaknai sebagai jalan asketis untuk membangun "kesadaran dekonstruktif" -terutama bagi kaum elite- untuk berbenah.   

Setidaknya, untuk membangun kesadaran dekonstruktif itu puasa harus dimaknai dalam tiga ranah penting sebagai praktek purifikasi terhadap nafsu korupsi.

Pertama, puasa harus dimaknai untuk membangun kesadaran religius demi menggapai jalan asketis dan "menepis" berbagai bentuk nafsu kemaruk, keserakahan dan ketamakan. Karena ibadah puasa itu sejatinya merupakan media penyucian diri dari "nafsu keduniawiaan" demi satu tujuan meraih derajat taqwa (QS. al-Baqarah [2]: 183). Jika derajat ketaqwaan itu sudah diraih, maka nafsu korupsi pun tidak akan pernah bercokol di dalam pikiran.

Kedua, puasa harus dimaknai untuk membangun kesadaran sosial. Kesadaran inilah tujuan dari ibadah puasa pada tingkat keberpihakan kepada orang lain. Karena puasa pada hakekatnya adalah ibadah yang bersifat individual tapi sekaligus berdimensi sosial untuk ikut merasakan keprihatian --merasa lapar, haus, dan kepahitan hidup orang miskin. Dengan keberpihakan itu, maka benih-benih nafsu korupsi dikikis agar siapa saja merasakan bahwa kehidupan orang susah dan miskin itu tidak menyenangkan.

Ketiga, selain untuk membangun "spirit ruhani", puasa juga harus dimaknai untuk membangun "spirit kebersamaan" dalam berbangsa dan bernegara. Dengan kesadaran seperti itulah, maka spirit puasa bisa membangun jiwa para elite politik --terpatri kuat dalam membangun bangsa ini demi dan untuk kepentingan rakyat bukan demi golongan, apalagi demi memperkaya diri sendiri.

Dengan menjalani puasa yang bertujuan membangun kesadaran demi purifikasi nafsu korupsi, maka "puasa" yang dijalani tahun ini pun tidak saja akan membawa "kesadaran baru" atau melahirkan perubahan yang signifikan, tetapi juga akan membangun semangat dan mental setiap umat --terlebih para elite politik-- untuk meraih kesuksesan dalam mencapai "derajat kemuliaan" di sisi Tuhan. Lebih dari itu, puasa yang dijalani akan menjadi semangat untuk membangun bangsa ini agar lepas dari jerat nafsu korupsi. Hasilnya, bangsa ini tidak saja bebas dari para elite yang dipenuhi nafsu korupsi, tapi lebih dari itu juga memiliki jiwa yang berkebangsaan.

*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar