Selasa, 17 Juli 2012

Jalan Panjang Para Pencari Keadilan

opini ini dimuat di Harian Pelita, Selasa 17 Juli 2012

PAMEO hukum yang sudah tak asing bahwa "hukum itu hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas", rasanya bukan sekadar isapan jempol. Tak sedikit kasus hukum yang terserak dan menjadi bukti nyata akan kebenaran pameo tersebut. Salah satu contoh bisa dipetik dari apa yang dialami Indra Azwan, lelaki papa asal Malang. Ia rela berjalan kaki menempuh jarak Malang-Jakarta untuk memperjuangkan keadilan anaknya Rifki Andika (12 tahun) yang menjadi korban tabrak lari di Malang, 8 Februari 1993 oleh seorang oknum perwira polisi.


Jika Indra Azwan rela berjalan kaki dari Malang ke Jakarta, lain cerita dengan Winoto (54 tahun) Pria asal Madiun ini adalah mantan buruh AJB Bumiputera 1912 Kantor Cabang Malang. Winoto di-PHK secara sepihak (1998) oleh perusahaan tempat dia bekerja. Tapi, dia tidak pernah menerima uang pesangon. Winoto menuntut hak mendapat uang pesangon sebesar Rp1 milliar lebih yang tak dibayarkan perusahaan. Demi keadilan yang harus diperjuangkan, dia mengayuh sepeda dari Malang Jakarta demi bertemu Ketua DPR Marzuki Alie dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sosok lain yang tidak kalah heroik adalah Sumarsih. Demi keadilan atas kematian putranya, Wawan (yang tertembak dalam Tragedi Semanggi 1998), ia pun tak mengenal lelah berdiri di depan istana. Bersama keluarga korban yang mengalami pelanggaran HAM, Sumarsih menggelar aksi diam di depan istana presiden setiap Kamis. Aksi Kamisan atau Payung Hitam itu sudah berlangsung lima tahun, dan lebih 250 kali digelar. Tapi, aksi itu ternyata belum membuahkan jawaban.   

Berjuang dalam Sepi
Perjuangan tak mengenal lelah yang ditempuh Indra Azwan, Winoto dan Sumarsih itu menjadi bukti nyata betapa mahalnya keadilan di negeri ini bagi kaum kecil. Ketiganya bisa jadi hanya sebagian kecil golongan yustisiabel (para pencari keadilan) di negeri ini yang tersisih dalam mendapatkan keadilan. Tak dimungkiri, selain tiga orang itu masih terdapat jutaan orang di negeri ini yang bernasib sama atau bahkan lebih tragis lagi.

Hanya bedanya, Indra, Winoto dan Sumarsih tak mau menerima nasib kalah begitu saja. Sebab, ketiganya merasa disakiti. Apalagi, yang disakiti itu rasa keadilan mereka. Maka, ketiganya berjuang dengan cara yang mereka pilih. Indra berjalan kali, Winoto bersepeda dan Sumarsih menggelar aksi diam di depan istana. Sebenarnya, mereka bisa diam; mengalah digerus keangkuhan oknum-oknum yang tak tegas menjalankan hukum. Tapi Indra, Winoto dan Sumarsih tidak mau, sebab mereka berpendapat diri mereka telah diinjak-injak. Maka, ketiganya tak mau ngalah bahkan ngalih --apalagi bagi Indra dan Winoto yang dikenal sebagai orang Jawa. Akhirnya, Indra dan Winoto (juga Sumarsih) pun "protes" sebagai ungkapan ngamuk (kemarahan).

Tapi, ngamuk mereka itu tidak dengan brutal, dan kejam, melainkan dengan jalan sunyi dan nyeleneh. Jalan itu dipilih bukan mereka tak bisa mengamuk dan berbuat yang lebih dari itu, justru demi menarik "simpati" (perhatian) dari para pemimpin. Tak salah, jika tujuan protes mereka itu fokus ke "istana negara". Indra berjalan kaki tak lain hanya ingin meminta keadilan kepada Presiden. Demikian juga dengan Winoto. Dan, Sumarsih pun pernah bertemu presiden. Tapi, pertemuan itu tidak membuahkan jawaban.

Tak pelak, saat Indra yang untuk ketiga kalinya berjalan kaki dan akhirnya gagal (tak ditemui presiden), dia menempuh jalan ke Mekkah demi mengadu nasib pada Tuhan. Demikian juga Sumarsih. Ia (juga keluarga korban tragedi pelanggaran HAM) akan terus menggelar aksi di depan istana. Meski sudah lima tahun lebih, ia tidak surut. Meski mereka tak tahu bagaimana "ending" perjuangan itu membuahkan hasil, baik Indra, Winoto maupun Sumarsih tetap tak menyerah. Dan itulah jalan panjang para pencari keadilan yang diwaliki Indra, Winoto dan Sumarsih.

Reformasi Hukum
Dari perjuangan Indra, Winoto dan Sumarsih yang tergolong kelompok yustisiabel, setidaknya ada beberapa hal yang bisa dijadikan catatan dalam membenahi benang kusut hukum di negeri ini. Pertama, untuk mendapat keadialan, golongan yustisiabel itu harus menempuh perjalanan panjang dan berliku. Meski mereka menempuh protes dengan jalan nyeleh, dan kesatria, tetap saja masih membuat para pemimpin di negeri ini "tuli dan terpejam". Penegak hukum di negeri ini belum berpegang pada prinsip bahwa "setiap orang memiliki persamaan di depan hukum" (equality before the law), suatu dogma doktrinal yang harus dijunjung tinggi dalam penegakan hukum. Tak salah, jika hukum masih tak berpihak wong cilik.

Kedua, keadilan itu sejatinya tidak dibatasi waktu. Tak salah, jika Indra tidak habis pikir ketika oknum polisi yang melakukan kejahatan itu ternyata tak terjerat hukum --walau sempat ditahan tatkala perkaranya baru diproses Detasemen Polisi Militer Brawijaya, Malang dan diserahkan ke Otmil Oktober 2004. Tetapi, baru disidangkan 2007 dan diputus 2008 oleh Mahkamah Militer III Surabaya. Hingga kemudian dikeluarkan amar putusan pengadilan yang membebaskan sang perwira dengan alasan kasus itu kedaluwarsa --sudah lebih dari 12 tahun sejak kecelakaan.

Jika harapan orang untuk mendapat keadilan bisa digagalkan gara-gara kasus kadaluwarsa, rasanya draf hukum di negeri ini perlu dibenahi. Sebab belum pupus dalam ingatan kita saat keluarga korban Rawagede menuntut/menggugat pemerintah Belanda atas pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Belanda (tahun 1947). Jaksa pemerintah Belanda memang berpendapat bahwa tuntutan kadaluwarsa. Tetapi pengadilan Den Haag 14 September 2011 menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab --diperintahkan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya. Rasanya, Indonesia harus berkaca dari putusan pengadilan Den Haag itu, apalagi secara "historis" hukum di Indonesia tak dimungkiri adalah warisan Belanda.

Ketiga, harapan terakhir Indra, Winoto dan Sumarsih memang bertumpu pada presiden. Maklum, presiden (di mata mereka) adalah pemimpin di negeri ini yang bisa diharapkan memberi solusi. Maka, ketiganya memilih "jalan pintas" menemuinya. Tetapi jalan pintas itu masih tak membuahkan hasil. Harapan yang digantungkan Indra, Winoto dan Sumarsih kepada presiden itu memang wajar. Bahkan ketika SBY dengan santun berdalih bahwa ia tak berhak melakukan intervensi hukum sepenuhnya juga wajar. Sebab, hal itu merupakan kewenangan penegak hukum.

Sayangnya, ketika wong cilik sudah mengadukan jalan panjang mencari keadilan yang berliku dan tak membuahkan keadilan bagi kelompok yustisiabel, rasanya reputasi presiden sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini sedikit pupus. Sinyal yang dia berikan kepada penegak hukum ternyata tak ditindaklanjuti dengan memberikan keadilan bagi semua. Tak pelak, jika ulah kurang etis dari penegak hukum yang tak peka itu ibarat cermin retak yang menampar muka presiden. Dengan kata lain, SBY tidak mampu menjadi simbol bagi penegakan hukum di negeri ini.

*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar