PILPRES masih 3 tahun lagi, namun beberapa lembaga survei sudah mengeluarkan nama-nama calon presiden (capres) 2014. Tak lama ini, sejumlah lembaga survei memaparkan hasil surveinya dengan mengunggulkan calon Presiden (Capres) yang populer. Hasil jajak pendapat yang dirilis Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), misalnya, menempatkan Prabowo Subianto pada tempat teratas dengan perolehan 28%. Setelah itu, peringkat di bawahnya diduduki Mahfud MD (10,6%), Sri Mulyani Indrawati (7,4%), Ical alis Aburizal Bakrie (6,8%), K.H. Said Agil Siradj (6%), dan Megawati yang pernah menjadi presiden dan cukup dikenal publik ternyata mendapatkan posisi bawah; 0,3%.
Sementara hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) menempatkan Megawati pada peringkat puncak dengan perolehan suara 23,8%, disusul Prabowo Subianto 17,6%, kemudian Aburizal Bakrie dengan 13,7%. Adapun Survei Reform Institute menyebutkan Ketua Umum Golkar Ical -sebutan akrab Aburizal Bakrie-- sebagai tokoh yang paling dikenal jika pilpres dilaksanakan sekarang. Dari 25 nama capres yang disurvei, responden yang memilih Ical sebanyak 13,58 %. Urutan kedua diduduki oleh Prabowo Subianto 8,46 %, Jusuf Kalla 7,06 %, Hidayat Nur Wahid 5,17 % dan Ani Yudhoyono 4,13 %.
Dari hasil survei ketiga lembaga tersebut, dapat dikatakan sungguh "mencengangkan". Bukan lantaran Prabowo (yang diunggulkan SSS), Megawati (unggulan JSI) dan Aburizal Bakrie (disebut tokoh paling populer sekarang ini oleh lembaga Survei Reform Institute) tak pantas menjadi presiden. Tetapi, yang jadi pertanyaan krusial adalah; kenapa antara satu survei dengan survei yang lain menampilkan hasil yang berbeda? Padahal, survei itu dilakukan dalam waktu berdekatan. Ada apa di balik hasil survei tersebut?
Tak Lepas dari Kepentingan
Dalam menanggapi hasil survei yang dirilis itu -dengan memunculkan capres yang berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan-, wajar jika kemudian muncul semacam kecurigaan. Apalagi, agenda suksesi kepemimpinan 2014 itu masih sangat jauh gelar. Artinya, kebutuhan survei itu belum mendesak. Tak berlebihan, jika kecurigaan itu bisa disimpulkan dalam dua kategori.
Pertama, hasil survei dari sejumlah lembaga jajak pendapat yang dirilis ke publik itu tak lepas dari kepentingan tertentu. Dengan kata lain, di balik lembaga survei itu ditopang oleh kepentingan modal yang memberikan dana. Dalam kaitan dengan kasus ini, tidak berlebihan jika kerap kali terdengar slogan bahwa survei tersebut dirilis semata-mata untuk "membela yang bayar". Jadi, kepentingan modal telah memanfaatkan survei yang seharusnya independent dan netral ternyata diskenariokan untuk membangun citra capres tertentu.
Walhasil, responden yang dipilih pun bisa dimanipulasi untuk mengetahui jawaban yang sudah diperkirakan. Tentu hasil yang didapatkan dan akhirnya dirilis itu sangat menyesatkan. Sebab, jajak pendapat dilakukan itu tidak lepas dari kepentingan tertentu untuk membangun citra. Yang sangat dikhawatirkan jika data statistik itu kemudian digunakan untuk menggiring opini publik demi citra tokoh tertentu. Sangat ironis kalau hal ini yang terjadi. Pasalnya, survei tidak melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, melainkan justru langkah pembodohan.
Kedua, dengan adanya perbedaan hasil survei mengingat tema dan waktu pelaksanaan jajak pendapat itu berdekatan, tentu menimbulkan kecurigaan dari sudut pandang akademik. Bagaimana tidak? Hasil survei tersebut tidak bisa dijadikan indikator akademik yang bersifat netral karena hasil yang didapat tidak membangun konfigurasi yang seirama atau senapas. Padahal, masih kuat dalam ingatan sebagian besar masyarakat tatkala pemilu tahun 2004 kemarin digelar. Dari beberapa hasil jajak pendapat, bisa ditemukan hasil survei yang nyaris tidak menunjukkan prosentasi yang jauh berbeda. Kalau ada perbedaan, itu pun toh tidak cukup jauh. Tetapi kenapa hasil survei yang dirilis sebelum pilpres digelar bahkan ketika agenda pilpres itu masih sangat jauh dilaksanakan bisa menghasilkan tokoh populer yang diunggulkan berbeda? Ada apa di balik survei tersebut.
Dari dua poin penting kecurigaan di atas, setidaknya bisa ditarik kesimpulan bahwa hasil jajak pendapat tersebut tidak mencerminkan apa yang ada di lapangan.
Kode Etik (?)
Dari dua kecurigaan itu, maka patut disayangkan jika lembaga survei mempertaruhkan kredibilitas demi kepentingan sesaat. Padahal, hal itu bisa berimpikasi sangat jauh; menjatuhkan independensi, kewibawaan dan netralitas sebuah lembaga survei. Memang, sah-sah saja sebuah jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei mendudukkan tokoh tertentu dalam lembaga survei seraya mengesampingkan tokoh yang lain. Tetapi cara atau barometer pemilihan tokoh itu pun harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
Berpijak dari konteks perbedaan hasil survei yang dirilis di atas, tidak berlebihan jika kemudian perlu diterapkan kode etik untuk dijadikan barometer. Hal itu selain untuk menepis kepentingan tertentu yang telah menyumbangkan dana bagi lembaga survei juga untuk menghalau praktik pencitraan terhadap tokoh tertentu untuk melakukan penggirangan opini publik. Pasalnya, survei yang dirilis --sedikit banyak-- bisa memengaruhi pilihan konstituen di kelak kemudian hari. Pendek kata, hasil survei itu bisa dijadikan sebagai rujukan.
Pada konteks yang lain dapat dikatakan bahwa orientasi survei tersebut lebih menitikberatkan pada area politik kekuasaan. Hasil survei itu tidak memiliki manfaat yang krusial bagi rakyat, dan bahkan tidak memberikan solusi bagi permasalahan bangsa. Karena itu, alangkah baiknya jika dana itu dialihkan untuk menggelar "survei yang realistis", dan bersentuhan dengan kepentingan rakyat. Dari hasil survei itu kemudian bisa diajukan ke pemerintah sebagai data statistik demi kemajuan bangsa. Lembaga survei memang memiliki hak dengan survei yang digelar, tapi ketika tidak ada nilai manfaat yang diusung bagi rakyat dan bangsa, alangkah sia-sianya. Dengan kata lain, dana survei itu menghambur dan tidak membumi --alias tidak berpijak demi membangun kesejahteraan rakyat. Sungguh disayangkan! ***
Sementara hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) menempatkan Megawati pada peringkat puncak dengan perolehan suara 23,8%, disusul Prabowo Subianto 17,6%, kemudian Aburizal Bakrie dengan 13,7%. Adapun Survei Reform Institute menyebutkan Ketua Umum Golkar Ical -sebutan akrab Aburizal Bakrie-- sebagai tokoh yang paling dikenal jika pilpres dilaksanakan sekarang. Dari 25 nama capres yang disurvei, responden yang memilih Ical sebanyak 13,58 %. Urutan kedua diduduki oleh Prabowo Subianto 8,46 %, Jusuf Kalla 7,06 %, Hidayat Nur Wahid 5,17 % dan Ani Yudhoyono 4,13 %.
Dari hasil survei ketiga lembaga tersebut, dapat dikatakan sungguh "mencengangkan". Bukan lantaran Prabowo (yang diunggulkan SSS), Megawati (unggulan JSI) dan Aburizal Bakrie (disebut tokoh paling populer sekarang ini oleh lembaga Survei Reform Institute) tak pantas menjadi presiden. Tetapi, yang jadi pertanyaan krusial adalah; kenapa antara satu survei dengan survei yang lain menampilkan hasil yang berbeda? Padahal, survei itu dilakukan dalam waktu berdekatan. Ada apa di balik hasil survei tersebut?
Tak Lepas dari Kepentingan
Dalam menanggapi hasil survei yang dirilis itu -dengan memunculkan capres yang berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan-, wajar jika kemudian muncul semacam kecurigaan. Apalagi, agenda suksesi kepemimpinan 2014 itu masih sangat jauh gelar. Artinya, kebutuhan survei itu belum mendesak. Tak berlebihan, jika kecurigaan itu bisa disimpulkan dalam dua kategori.
Pertama, hasil survei dari sejumlah lembaga jajak pendapat yang dirilis ke publik itu tak lepas dari kepentingan tertentu. Dengan kata lain, di balik lembaga survei itu ditopang oleh kepentingan modal yang memberikan dana. Dalam kaitan dengan kasus ini, tidak berlebihan jika kerap kali terdengar slogan bahwa survei tersebut dirilis semata-mata untuk "membela yang bayar". Jadi, kepentingan modal telah memanfaatkan survei yang seharusnya independent dan netral ternyata diskenariokan untuk membangun citra capres tertentu.
Walhasil, responden yang dipilih pun bisa dimanipulasi untuk mengetahui jawaban yang sudah diperkirakan. Tentu hasil yang didapatkan dan akhirnya dirilis itu sangat menyesatkan. Sebab, jajak pendapat dilakukan itu tidak lepas dari kepentingan tertentu untuk membangun citra. Yang sangat dikhawatirkan jika data statistik itu kemudian digunakan untuk menggiring opini publik demi citra tokoh tertentu. Sangat ironis kalau hal ini yang terjadi. Pasalnya, survei tidak melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, melainkan justru langkah pembodohan.
Kedua, dengan adanya perbedaan hasil survei mengingat tema dan waktu pelaksanaan jajak pendapat itu berdekatan, tentu menimbulkan kecurigaan dari sudut pandang akademik. Bagaimana tidak? Hasil survei tersebut tidak bisa dijadikan indikator akademik yang bersifat netral karena hasil yang didapat tidak membangun konfigurasi yang seirama atau senapas. Padahal, masih kuat dalam ingatan sebagian besar masyarakat tatkala pemilu tahun 2004 kemarin digelar. Dari beberapa hasil jajak pendapat, bisa ditemukan hasil survei yang nyaris tidak menunjukkan prosentasi yang jauh berbeda. Kalau ada perbedaan, itu pun toh tidak cukup jauh. Tetapi kenapa hasil survei yang dirilis sebelum pilpres digelar bahkan ketika agenda pilpres itu masih sangat jauh dilaksanakan bisa menghasilkan tokoh populer yang diunggulkan berbeda? Ada apa di balik survei tersebut.
Dari dua poin penting kecurigaan di atas, setidaknya bisa ditarik kesimpulan bahwa hasil jajak pendapat tersebut tidak mencerminkan apa yang ada di lapangan.
Kode Etik (?)
Dari dua kecurigaan itu, maka patut disayangkan jika lembaga survei mempertaruhkan kredibilitas demi kepentingan sesaat. Padahal, hal itu bisa berimpikasi sangat jauh; menjatuhkan independensi, kewibawaan dan netralitas sebuah lembaga survei. Memang, sah-sah saja sebuah jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei mendudukkan tokoh tertentu dalam lembaga survei seraya mengesampingkan tokoh yang lain. Tetapi cara atau barometer pemilihan tokoh itu pun harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
Berpijak dari konteks perbedaan hasil survei yang dirilis di atas, tidak berlebihan jika kemudian perlu diterapkan kode etik untuk dijadikan barometer. Hal itu selain untuk menepis kepentingan tertentu yang telah menyumbangkan dana bagi lembaga survei juga untuk menghalau praktik pencitraan terhadap tokoh tertentu untuk melakukan penggirangan opini publik. Pasalnya, survei yang dirilis --sedikit banyak-- bisa memengaruhi pilihan konstituen di kelak kemudian hari. Pendek kata, hasil survei itu bisa dijadikan sebagai rujukan.
Pada konteks yang lain dapat dikatakan bahwa orientasi survei tersebut lebih menitikberatkan pada area politik kekuasaan. Hasil survei itu tidak memiliki manfaat yang krusial bagi rakyat, dan bahkan tidak memberikan solusi bagi permasalahan bangsa. Karena itu, alangkah baiknya jika dana itu dialihkan untuk menggelar "survei yang realistis", dan bersentuhan dengan kepentingan rakyat. Dari hasil survei itu kemudian bisa diajukan ke pemerintah sebagai data statistik demi kemajuan bangsa. Lembaga survei memang memiliki hak dengan survei yang digelar, tapi ketika tidak ada nilai manfaat yang diusung bagi rakyat dan bangsa, alangkah sia-sianya. Dengan kata lain, dana survei itu menghambur dan tidak membumi --alias tidak berpijak demi membangun kesejahteraan rakyat. Sungguh disayangkan! ***
*) N. Mursidi, pemerhati Sosial Politik, tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar