Selain sebagai ideologi dan dasar negara, Pancasila juga merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Lahir dari akar sejarah budaya bangsa, Pancasila tak dapat dipungkiri, mengandung nilai-nilai luhur universal yang menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa. Nilai-nilai luhur lima sila Pancasila - Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia - ini tak sekedar dihafalkan, tetapi juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya, dalam kehidupan pribadi atau kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun, benarkah nilai-nilai lihur Pancasila telah diamalkan seluruh komponen bangsa? Jika nilai-nilai universal sudah diamalkan, mengapa negara Indonesia yang menjunjung moralitas justru marak praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sampai Indonesia dicap sebagai negara korup.
Nilai-nilai luhur Pancasila yang seharusnya dijadikan acuan seperti dilupakan. Akibatnya, korupsi marak di mana-mana. Ironisnya, tindak korupsi itu dilakukan elite politik yang seharusnya memberikan contoh dalam menjunjung moralitas. Terkuaknya kasus korupsi di hampir semua lembaga atau departemen pemerintahan seakan meneguhkan bahwa kekuasaan cenderung korup. Fenomena itu menegaskan bahwa Pancasila selama ini hanya dijadikan slogan, tak dijiwai sebagai nilai luhur yang patut dijunjung tinggi.
Bagaimanapun negara ini didirikan atas landasan moral yang luhur. Sebelum terbentuk Negara Indonesia, etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari warga di bumi Nusantara sudah menjadi pegangan yang dimaklumatkan penguasa kerajaan besar mulai dari Kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Mataram. Hidup penuh toleransi, tolong-menolong, gotong-royong, bermusyawarah untuk menciptakan rasa aman, tenteram dan sejahtera seperti diungkapkan dengan semboyan gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharjo sudah menjadi harapan semua orang yang belakangan populer disebut "masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila'.
Acuan moral atau etika kehidupan itu bisa ditemukan dalam karya para pujangga kerajaan, seperti dilukiskan oleh Empu Tantular dalam Sotasoma dan Empu Prapanca dalam Negara Kertagama. Nilai-nilai luhur itulah yang digali oleh para pendiri bangsa dan dirumuskan dalam Pancasila. Jadi, nilai-nilai luhur dan agung dalam Pancasila bukanlah sebuah atribut tanpa makna, melainkan ungkapan 'jiwa bangsa Indonesia'.
Sebagai falsafah hidup, Pancasila memuat nilai-nilai luhur dan sudah semestinya diamalkan agar tercipta kehidupan yang baik. Penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan "konsekuensi logis" dari kesadaran kehendak, yang berawal dari dalam diri atau pengekangan dalam diri. Jika diterapkan, menimbulkan kehidupan manusia yang mencerminkan: 1) rasa keimanan, 2) rasa kemanusiaan, 3) rasa berbangsa/kebangsaan, 4) rasa demokrasi, dan 5) rasa keadilan sebagai implementasi lima sila dari Pancasila. (Prof Drs HAW Widjaya)
Kandungan nilai-nilai Pancasila memiliki kesesuaian dengan fitrah Ilahiyah yang termuat di dalam ajaran sejumlah kitab suci dalam semua agama. Nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki dan diamalkan sebagai landasan hidup pemeluk agama apa pun. Maka, Pancasila dianggap sebagai ideologi yang bersifat universal karena dalam Pancasila ada nilai-nilai sosialis religius dan nilai-nilai etis.
Sayang seribu sayang, nilai-nilai itu tampaknya belum diamalkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Pancasila kerap kali ditafsirkan sepihak, dan cenderung diselewengkan sejumlah oknum dan pejabat negara. Nurani sebagian pejabat di Indonesia tidak lagi berjiwa Pancasilais. Tak heran, jika korupsi merajalela dan merebak di mana-mana.
Negeri Indonesia yang dibangun di atas pijakan keluhuran budi kebhinnekaan Nusantara oleh para pendiri bangsa seperti dilupakan. Korupsi pun menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, karena dilakukan secara sistemik. Terkuaknya kasus-kasus korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum, belakangan ini merupakan wajah buram sejarah korupsi di Indonesia.
Mengapa korupsi menjadi penyakit menahun di setiap lembaga dan departemen/kementerian di Indonesia? Pasalnya, Pancasila yang memuat nilai-nilai moral dan etis seakan menjadi pepesan kosong yang tak bermakna dan cenderung dilupakan. Karena itu, kini waktunya menjadikan Pancasila sebagai rumah bagi mentalitas semua komponen masyarakat. Pancasila harus kembali dijadikan sebagai 'kompas' atau 'rambu-rambu' untuk bertindak dan berperilaku agar tak melenceng dari nilai-nilai yang telah dijadikan sebagai kontrak sosial bersama sejak Indonesia merdeka.
Pada aras lain, Pancasila harus kembali dijadikan acuan hukum bahkan sumber dari segala sumber hukum. Karena, dengan cara itu, Indonesia benar-benar menjadi negara hukum, tidak lagi menjadikan nafsu atau ketamakan harta di balik kepentingan setiap perundang-undangan atau konstitusi. Sistem warisan rezim Orde Baru yang kental ketamakan akan kekuasaan dan harta tampaknya tetap menyelimuti di antara komponen warga bangsa.
Tak pelak, cara-cara lama penyusunan konstitusi yang kerap ditengarai hanya untuk mencari celah pembenaran atas kehendak kelompok, golongan, atau pribadi tertentu, tetap saja marak. Tak sedikit perundang-undangan dibuat dengan mencederai prinsip sila keempat Pancasila, yang lebih mengedepankan musyawarah-mufakat.
Fakta bahwa banyak di antara elite politik dan pejabat negeri ini ramai-ramai korupsi, tak dapat disangkal, tidak sesuai acuan nilai-nilai luhur universal Pancasila. Perilaku pemimpin korup demikian jelas merupakan pengkhianatan terhadap Pancasila. ***
*) Nur Mursidi, alumnus Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Namun, benarkah nilai-nilai lihur Pancasila telah diamalkan seluruh komponen bangsa? Jika nilai-nilai universal sudah diamalkan, mengapa negara Indonesia yang menjunjung moralitas justru marak praktik korupsi, kolusi dan nepotisme sampai Indonesia dicap sebagai negara korup.
Nilai-nilai luhur Pancasila yang seharusnya dijadikan acuan seperti dilupakan. Akibatnya, korupsi marak di mana-mana. Ironisnya, tindak korupsi itu dilakukan elite politik yang seharusnya memberikan contoh dalam menjunjung moralitas. Terkuaknya kasus korupsi di hampir semua lembaga atau departemen pemerintahan seakan meneguhkan bahwa kekuasaan cenderung korup. Fenomena itu menegaskan bahwa Pancasila selama ini hanya dijadikan slogan, tak dijiwai sebagai nilai luhur yang patut dijunjung tinggi.
Bagaimanapun negara ini didirikan atas landasan moral yang luhur. Sebelum terbentuk Negara Indonesia, etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari warga di bumi Nusantara sudah menjadi pegangan yang dimaklumatkan penguasa kerajaan besar mulai dari Kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Mataram. Hidup penuh toleransi, tolong-menolong, gotong-royong, bermusyawarah untuk menciptakan rasa aman, tenteram dan sejahtera seperti diungkapkan dengan semboyan gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharjo sudah menjadi harapan semua orang yang belakangan populer disebut "masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila'.
Acuan moral atau etika kehidupan itu bisa ditemukan dalam karya para pujangga kerajaan, seperti dilukiskan oleh Empu Tantular dalam Sotasoma dan Empu Prapanca dalam Negara Kertagama. Nilai-nilai luhur itulah yang digali oleh para pendiri bangsa dan dirumuskan dalam Pancasila. Jadi, nilai-nilai luhur dan agung dalam Pancasila bukanlah sebuah atribut tanpa makna, melainkan ungkapan 'jiwa bangsa Indonesia'.
Sebagai falsafah hidup, Pancasila memuat nilai-nilai luhur dan sudah semestinya diamalkan agar tercipta kehidupan yang baik. Penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan "konsekuensi logis" dari kesadaran kehendak, yang berawal dari dalam diri atau pengekangan dalam diri. Jika diterapkan, menimbulkan kehidupan manusia yang mencerminkan: 1) rasa keimanan, 2) rasa kemanusiaan, 3) rasa berbangsa/kebangsaan, 4) rasa demokrasi, dan 5) rasa keadilan sebagai implementasi lima sila dari Pancasila. (Prof Drs HAW Widjaya)
Kandungan nilai-nilai Pancasila memiliki kesesuaian dengan fitrah Ilahiyah yang termuat di dalam ajaran sejumlah kitab suci dalam semua agama. Nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki dan diamalkan sebagai landasan hidup pemeluk agama apa pun. Maka, Pancasila dianggap sebagai ideologi yang bersifat universal karena dalam Pancasila ada nilai-nilai sosialis religius dan nilai-nilai etis.
Sayang seribu sayang, nilai-nilai itu tampaknya belum diamalkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Pancasila kerap kali ditafsirkan sepihak, dan cenderung diselewengkan sejumlah oknum dan pejabat negara. Nurani sebagian pejabat di Indonesia tidak lagi berjiwa Pancasilais. Tak heran, jika korupsi merajalela dan merebak di mana-mana.
Negeri Indonesia yang dibangun di atas pijakan keluhuran budi kebhinnekaan Nusantara oleh para pendiri bangsa seperti dilupakan. Korupsi pun menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, karena dilakukan secara sistemik. Terkuaknya kasus-kasus korupsi di lembaga-lembaga penegak hukum, belakangan ini merupakan wajah buram sejarah korupsi di Indonesia.
Mengapa korupsi menjadi penyakit menahun di setiap lembaga dan departemen/kementerian di Indonesia? Pasalnya, Pancasila yang memuat nilai-nilai moral dan etis seakan menjadi pepesan kosong yang tak bermakna dan cenderung dilupakan. Karena itu, kini waktunya menjadikan Pancasila sebagai rumah bagi mentalitas semua komponen masyarakat. Pancasila harus kembali dijadikan sebagai 'kompas' atau 'rambu-rambu' untuk bertindak dan berperilaku agar tak melenceng dari nilai-nilai yang telah dijadikan sebagai kontrak sosial bersama sejak Indonesia merdeka.
Pada aras lain, Pancasila harus kembali dijadikan acuan hukum bahkan sumber dari segala sumber hukum. Karena, dengan cara itu, Indonesia benar-benar menjadi negara hukum, tidak lagi menjadikan nafsu atau ketamakan harta di balik kepentingan setiap perundang-undangan atau konstitusi. Sistem warisan rezim Orde Baru yang kental ketamakan akan kekuasaan dan harta tampaknya tetap menyelimuti di antara komponen warga bangsa.
Tak pelak, cara-cara lama penyusunan konstitusi yang kerap ditengarai hanya untuk mencari celah pembenaran atas kehendak kelompok, golongan, atau pribadi tertentu, tetap saja marak. Tak sedikit perundang-undangan dibuat dengan mencederai prinsip sila keempat Pancasila, yang lebih mengedepankan musyawarah-mufakat.
Fakta bahwa banyak di antara elite politik dan pejabat negeri ini ramai-ramai korupsi, tak dapat disangkal, tidak sesuai acuan nilai-nilai luhur universal Pancasila. Perilaku pemimpin korup demikian jelas merupakan pengkhianatan terhadap Pancasila. ***
*) Nur Mursidi, alumnus Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar