Minggu, 31 Juli 2011

Arogansi Penguasa dan Spirit Pemberotak

resensi ini dimuat di Kompas, Minggu 31 Juli 2011

Judul buku : Shin Suikoden: Petualangan Baru Kisah Klasik Batas Air
Penulis : Eiji Yoshikawa
Penerbit : Kansha Books, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal buku : 486 halaman
Harga : 69.800,00

BAGI Machiavelli, seseorang bisa menjadi pengeran dalam sebuah negera kerajaan karena ia memang diberkahi keberuntungan. Sebab dalam (negara) kerajaan, orang diangkat jadi pengeran berdasarkan keturunan. Tapi tanpa didukung kemampuan, jelas keberuntungan itu akan sirna. Dengan kata lain, keberuntungan itu harus ditopang dengan kemampuan besar, otak genius, tahu cara memimpin, bertahan, dan bahkan bertindak demi mempertahankan kekuasaan itu. Dan tindakan kejam (meski pun tidak bermoral, dan tidak beragama), tetap dibutuhkan untuk memberikan sebuah kekuatan. Sekali pun langkah itu tidak mengantarkan sang pangeran pada kemuliaan.

Tetapi sejarah menorehkan segudang kisah. Ketika sang pangeran (negara kerajaan) mengandalkan keberuntungan semata, pastilah akan berujung tragis --tersungkur dari tahta. Pasalnya, tatkala rakyat ditikam duka lara kelaparan, dan elite politik hanya mengurus perut sendiri, bahkan ketidakadilan teronggok di sudut-sudut kota, benih pemberontakan pun meneguhkan tindakan brutal di luar konstitusi untuk menumbangkan "kursi kekuasaan" sang pangeran.

Apa yang dikatakan oleh Machiavelli di atas, tidak dapat ditepis mengukuhkan ruh cerita novel Shin Suikoden karya Eiji Yoshikawa yang mengisahkan kepahlawanan 108 pendekar --yang di mata rakyat disebut-sebut pahlawan tetapi di mata penguasa disebut bandit-- untuk melakukan pemberontakan melawan "kebengisan pemerintah Dinasti Song. Cerita ini sebenarnya adalah penuturan ulang Eiji Yoshikawa terhadap kisah klasik China Suikoden (Batas Air). Tetapi, Yoshikawa mampu menorehkan tinta dengan gemulai. Tak pelak, kisah ini pun menjadi kisah yang populer.

Keberuntungan Yang Terlukai
Di masa pemerintahan kaisar Jin Sou (keturunan keempat dinasti Sou), wabah penyakit merebak dan rakyat terlilit kematian. Tidak ingin rakyat dekat dengan maut, sang kaisar memerintahkan Jenderal Kou menemui pendeta Kyo Sei di kuil Jou Sei. Tetapi, sang pendeta tahu lebih dulu sehingga ia secepat kilat memenuhi panggilan kaisar. Jadinya, Jenderal Kou tak berhasil menemui sang pendeta -meskipun misi itu telah ditunaikan pendeta. Jenderal Kou pun tidak buru-buru kembali ke istana. Sewaktu dia minta diantar melihat keadaan kuil, ada satu ruangan yang menarik rasa keingintahuannya. Sebab di pintu ruangan itu ia melihat jelas tulisan "Ruang Pengekangan Iblis". Sebenarnya, itu ruang rahasia --tidak seorang pun diizinkan masuk.

Tetapi, jenderal Kou memaksa untuk membuka ruangan tersebut. Karena, baginya, cerita sekelompok iblis yang dirantai itu kisah konyol. Pengurus kuil tidak kuasa menolak permintaan jenderal Kou. Ruangan itu pun dibuka dan kemudian terjadi sesuatu yang tidak terduga: 108 bintang jahat terlepas dari kekangan turun ke dunia manusia --satu demi satu bintang-bintang itu pun menjelma manusia dan membetuk benteng Ryou Zan Paku, yang di kemudian hari menjadi tempat berkumpulnya 108 jawara yang hampir menghancurkan Dinasti Sou. (hal. 34).

Beberapa tahun kemudian, saat tapuk kekuasaan dipegang oleh Kaisar Ki Sou (kaisar kedelapan Dinasti Sou), 108 bintang jahat itu seperti menemukan tempat berpijak. Apalagi Kaisar Ki Sou tidak menopang keberuntungan menjadi pangeran itu berpihak kepadanya dengan mendasarkan pada geniusan berpikir dan kemampuan mengelola pemerintahan. Kecintaan yang dalam pada seni dan kemegahan istana, membuat ia lengah serta abai pada rakyat. Pajak dipungut dengan tinggi yang mengakibatkan rakyat seperti dicekik. Di sisi lain, elit pemerintahan di sekeliling bertindak jahat dan semena-mena. Keberuntungan yang digenggang itu telah dilukai. Tak pelak, jika kemudian menimbulkan 108 jawara melawan kekuasaan sang kaisar.

Di antara para jawara penjelmaan "108 iblis jahat" itu pun kemudian digerakkan semangat untuk melawan dan satu demi satu kemudian bertemu di benteng Ryou Zan Paku. Beberapa dari jawara yang budiman itu tidak lain Shi Shin yang dikenal dengan nama si naga sembilan, Ro Chi Shin yang dijuluki si Pendeta Bunga, yang dulunya pernah menjadi polisi militer dan Cendekiawan Go --seorang guru cerdik, bijak bahkan memiliki ketajaman akal dalam membuat stategis. Berkat kecerdikannya, hadiah (ulang tahun) dari panglima Ryou Chu Sho yang hendak diberikan kepada perdana mentari Sai Kei berhasil dirampas dengan gampang. Dari situlah, Cendekiawan Go bersama komplotannya lalu berlari ke Ryou Zan Paku, tidak lain untuk melarikan diri.

Rumit dan Berliku
Kisah dalam novel ini, tak dapat dimungkiri dibangun dengan setumpuk tokoh dan alur cerita yang cukup panjang dan berbelit. Tak salah, jika satu tokoh dengan tokoh lain yang lain --tidak saling terkait karena memang latar belakang sebagian besar tokoh dalam cerita ini lahir di daerah tertentu dan klan yang beragam. Ujungnya, dalam setiap bab seolah cerita ini tidak memiliki benang merah dan nyaris tidak memiliki kaitan antara satu bab dengan bab lain, bahkan antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Maklum, cerita novel ini cukup panjang melibatkan banyak tokoh, dan itu yang membutuhkan pembaca harus kejelian dan butuh daya ingat untuk mengenali tokoh-tokoh dalam novel ini.

Tetapi mendekati akhir kisah, sebagian tokoh bertemu dan menguatkan sebuah spirit perlawanan yang berujung pada berkumpulnya para jawara itu ke Ryou Zan Paku. Kendati demikian, novel ini -yang secara keseluruhan ada 4 jilid-- tidak bisa berdiri sendiri. Dengan kata lain, novel ini menyisakan sekelumit cerita yang belum selesai, karena tidak dapat dikatakan sebagai sepanggal kisah yang bisa dipahami dengan jelas atau berdiri sendiri. Novel ini tidak bisa dipahami jika tidak digabungkan dengan jilid lain atau selanjutnya.

Tetapi, tidak dapat ditepis bahwa di tangan Eiji Yoshikawa, novel ini menjadi enak dibaca, mengalir dan renyah. Itu tidak lain karena sang pengarang menulis kisah ini dengan menumbuhkan minat pada sejarah ditopang dengan gaya penulisan yang populer, dan bahasa sederhana. Meski tak dimungkiri, banyak novelnya yang bernuansa sejarah selalu disesaki dengan setumpuk tokoh sehingga cerita pun menjadi berliku. Itu salah satu kehebatan Yoshikawa. Maka, jika ada yang patut diajungi jempol dari kerja keras Eiji Yoshikawa satu satunya adalah cara dia menumbuhkan minat baca dengan mengenalkan sejarah dalam bentuk novel. [ ]

*) N. Mursidi, cerpenis dan blogger buku, tinggal di Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar