Minggu, 21 Agustus 2011

Air Mata Mentari

Cerpen ini dimuat di RADAR SURABAYA, Minggu 21 Agustus 11
Cerpen: N. Mursidi & Achmad Ridwan *)

PAGI begitu ungu saat Mentari menangis tersedu. Ia merunduk, menutupi wajah bulatnya dalam balutan duka. Hanya tampak rambutnya yang lurus terburai bagai disisir angin.

Aku mendengar dengan sahdu, hatinya tersayat pilu. Aku bangkit dari beranda, melangkah ke arahnya. Langkah kaki-ku menginjak dedaun kering, melewati halaman dan membuat kepodang kuning yang hinggap di dahan sawit muda, tak sempat menyisir kembang: terbang ke angkasa. Serbuk sari kembang melur disesap kupu-kupu. Sebentar. Setelah itu, binatang itu pun mengepakkan sayap...

“Di beranda rumahmu kenapa engkau menangis?”

Gadis kecil itu membisu, tetap tersedu. Gadis kecil yang berparas cantik itu tidak peduli kehadiranku. Aku berdiri mematung tepat di hadapannya. Ia sudah tumbuh besar dengan kulit langsat-manis serupa mutiara dari Arab, laksana pualam.

“Engkau seharusnya tak perlu bersedih, karena kesedihan akan mengantarmu ke jurang penderitaan...,” mintaku, berusaha menenangkan.

Ia mengangkat wajah. Wajahnya merah dengan amarah.

“Aku menunggu ceritamu! Engkaulah yang dengan sabar mendengar cerita ibuku kala keputusasaan mendera dengan dahsyat. Ya, hanya engkau yang bisa menceritakan petaka itu! Ceritakanlah tragedi itu....! Mentari menjawab dengan linangan air mata.

“Sayangku, ketahuilah bahwa cerita itu begitu pahit untuk kamu dengar. Jangan kau rusak kelembutan pagi ini dengan kisah pilu. Biarlah kisah itu disimpan oleh catatan sejarah agar akal dan pikiranmu tak disesaki dendam, laksana rayap memakan sepertiga meranti tua itu. Jangan!” ujarku tegas, seraya menatap pohon meranti tua.
***

SELALU. Selalu, aku tak sanggup untuk mengenang peristiwa itu, rasa ketidak- sanggupanku kian bertambah hingga membuat tubuh ini kian terpuruk dalam lingkaran kenestapaan. Petaka itu tergurat jelas dalam setiap detail ingatanku dan ratusan ingatan saudara-saudaraku yang dalam hidupnya dikelilingi pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab tuntas. Aku pun meringkuk di sini: di relokasi korban tragedi berdarah Kampung Mekar Sari.

Ia adalah saksi perekam nyanyian jerit hati yang menyayat, melebihi suara lolong serigala pada kelam malam hutan belantara Khatulistiwa.

Tetapi, di pagi ini, aku harus bercerita tragedi itu. Sanggupkah aku?

Seperti biasa, setiap Minggu pagi, di beranda rumah yang berukuran tidak lebih dari 12 x 5 meter persegi, Mentari menungguku. Seperti pagi ini...

Rumah itu sungguh kecil. Aku tak pernah menganggapnya rumah, tetapi tempat pembuangan sampah. Tak ada apa-apa di rumah itu. Tak ada ruang tamu, tak ada sofa, apalagi deretan lukisan. Hanya kamar dan seonggok perkakas alat dapur yang sedikit berkarat. Tak ada sumur dan WC. Di sana mereka menjalani hidup, berusaha menggapai impian yang gelap. Di depan rumah, berdiri pohan nangka muda yang belum berbuah. Tiga batang bunga kertas. Serumpun bunga melur.

Setiap pagi, Mentari selalu menunggu ceritaku, persis seperti ribuan orang-orang kota yang menunggu koran pagi dengan kehangatan secangkir kopi.

Sudah seratus delapan puluh empat pagi kami lalui sejak perkenalan itu. Engkau selalu mendengar cerita indah dan ketenteraman surga Firdaus. Kali ini kau menagihku, dan aku terlanjur menyanggupi.

“Mentari,” berat rasanya aku memulai. Tapi akhirnya, aku tidak kuasa menahan, “Engkau terlahir bukan di sini, tapi di desa yang jaraknya jauh tersekat hamparan pulau. Desa Rambeyan.”

Ia berhenti menangis, membetulkan posisi duduknya hingga kami berhadapan. Di kejauhan, puluhan petani melangkahkan kaki di pematang sawah hendak mengolah tanah gambut jadi butiran nasi yang kelak mengisi perut mereka biar tidak tergerut.

“Aku mendengar kisah ini dari ibumu waktu engkau masih merah, darah belum tuntas benar. Air susu ibumu keluar tiga-empat tetes. Demi keselamatan dirinya dan kamu dari kekejaman perang; engkau dibawa mengungsi walau usiamu baru tiga hari,” suaraku tersekat dalam impitan dada yang perih.

Aku menarik napas panjang untuk melenyapkan kegalauan.

Di tempat itulah segala sesuatunya bermula. Malam itu sehari sebelum umat Islam merayakan kemenangan Idul Fitri, saat ribuan insan beriman tinggal selangkah lagi menuju kemenangan, dalam sebuah perjuangan mematahkan bujuk rayu setan melalui segentong pundi-pundi kenikmatan duniawi, tragedi itu terjadi.

“Malam itu,” aku kembali menarik napas panjang untuk melenyapkan kegalauan. Aku diam. Tapi, hati kami seperti bercengkrama dalam diam.

Malam itu, di desa Parit Setia tiba-tiba terdengar teriakan minta tolong setelah ada sekelebat orang masuk ke rumahnya. Teriakan itu membangunkan para peronda untuk mendatangi asal suara: melakukan pengepungan. Seorang pemuda dari desa Rambeyan tertangkap, lalu oleh warga ia diamankan dan rencannya diserahkan pada polisi esok hari.

“Pernahkah engkau mendengar kabar yang tidak terjadi sebagaimana mestinya?” tanyaku pada Mentari.

Ia diam, menatapku dengan polos.

“Itu kabar yang diembuskan angin ke desamu. Orang-orang desamu dihimpit marah karena warganya dikabarkan disiksa...” lanjutku.

Aku kembali diam. Tapi, hati kami bercengkrama dalam diam. Aku bercerita, dia tertegun mendengar ceritaku.

Saat adzan Ashar berkumandang memanggil umat untuk sujud menyerahkan jiwa, laksana badai tiba-tiba menerjang dua ratus lebih tubuh yang dirasuki amarah, menghantam dan membabat mereka. Celurit, golok berayun merobohkan tubuh-tubuh yang berusaha menghadang. Tiga nyawa melayang dari ubun-ubun warga Parit Setia pada Ashar yang kelabu itu.

Api memercik. Ilalang kering terbakar dan merambat ke segala penjuru karena dihembus angin. Tanah merambatkan panas memancarkan kilatan-kilatan lidah Dajjal. Lalu, menjelma serupa burung nazar.
***

SELALU. Selalu, aku tak sanggup untuk mengenang peristiwa itu. Tetapi, di pagi ini, aku harus bercerita tragedi itu.

Tragedi itu membuat langit menjadi kelabu.

Sore itu, Minggu 21 Februari 1999 di Tebas, Rodi mengamuk. Pada mulanya Bujang Lebik, seorang kernet bus meminta ongkos untuk jasa transportasi tapi bukan bayaran yang diterima melainkan sabetan celurit yang berkelebat membabat tangan dan kaki kanan Bujang. Laksana angin kisah itu menyebar ke seluruh Sambas. Bujang Lebik dikabarkan mati dibunuh Rodi. Warga marah. Bagai bara dalam sekam yang tersiram minyak, orang-orang yang masih marah akibat kasus Parit Setia mendidih. Kota kami hampir dipenuhi warna merah darah.

Esoknya, satu bintang muncul karena musnah tersapu badai yang membawa dendam. Tiga ratus orang mengepung Rodi dengan wajah bertopeng bengis. Adalah senapan lantak yang menyambut. Pelipis pun tersayat dan justru dari sini dendam kesumat itu mulai membara dalam panas yang menghanguskan.

Mentari diam membisu, menatap langit.

“Kau mendengarku, Mentari?”

Mentari mengangguk.

Kota kami hangus. Darah berceceran. Sang nazar mengepakkan sayap mengikuti bau anyir, berputar di angkasa sambil mencakar-cakar. Bau itu terus merambat ke segala kota. Kemarahan membuncah di bumi Borneo.

Sang Nazar memakan bangkai. Cacing dan lalat menari di tumpukan otak yang terburai melebihi gundukan pasir. Bermil-mil jauhnya, sungai-sungai menghanyutkan kepala yang terpenggal, membusuk menguarkan aroma senyau. Dan... akhirnya, orang-orang seperjuanganmu mati di negeri yang berjarak ribuan km dari tanah asalmu!

Sejenak aku berhenti, tenggelam dalam ngilu.

Selang sehari, tragedi tumpah di Pemangkat. Puting beliung belum reda, terus menyapu kesadaran. Hembusan angin bergemuruh melebihi ledakan bom, melengking melebihi jeritan, meraung melebihi badai, dan terkapar melebihi maut. Api membakar tiga puluh tiga rumah dan menerjangkan berpuluh nyawa. Pedang, klewang, senapan lantak, kapak dan belati membabat apa pun dengan mata terpejam tak menghiraukan ayat. Semua terus mengibarkan panji-panji darah.

Mentari menggigil, dan menggeserkan tubuhnya sejengkal dariku. Dia menatap sekumpulan kumbang sawah yang terbang, meninggalkan suara berdengung menyelinap di telinga kami. Rambutnya yang lurus bagai disisir angin tiba-tiba berubah serupa belati yang menusuk jantungku.

Dengan gagap aku merayu Mentari.

“Empat hari perang itu terjadi. Tapi pada empat kehidupan ingatan itu tak akan hilang. Air mata menetes terbawa tetesan darah saudara-saudaraku seiman yang mulai kering, tabahkanlah hatimu. Jangan salahkan agama. Ini hanya keangkuhan manusia.”

Mentari mendekapku dalam rengkuhan yang gamang sambil menyeka keperihan yang mengendon dalam jiwanya, ia pun berdendang “Satu-satu, daun berguguran, jatuh ke bumi, dimakan usia, tak terdengar tangis, tak terdengar tawa, redalah reda…”

Aku teringat akan lagu yang kau nyanyikan....
***

AKHIRNYA, di beranda rumahmu aku pun menangis. “Aku teringat akan ibumu Mentari.”

Nurjati! Baru kemarin kamu melahirkan. Dokter dan bidan belum menyuruhmu pulang, dan selang oksigen masih menempel di kedua rongga pernafasanmu. Tubuhmu rapuh serupa ranting kering. Darah persalinanmu belum tuntas, dan air susumu baru tiga empat tetes memberi kehidupan pada anakmu. Kini kenapa engkau meringkuk di Mekar Sari?

“Perang membawaku ke sini Along” Nurjati menjelaskan padaku pada suatu hari tepat enam tahun lalu.

“Rumahku terbakar. Entah berapa puluh nyawa melayang. Laki-laki, perempuan, orangtua dan anak-anak pun tak luput amukan. Mereka mati sebelum sempat bertanya ‘Engkau siapa? Ada apa ini? Apa salahku? Kenapa…?’ Suamiku pun begitu. Aku hanya membawa dia, si bayi mungil yang kuajak berlari di titian kematian walau baru kemarin ia hidup, karena aku tak mau ia mati. Aku melawan ketakutan, mengumpulkan tenaga pada tulang-tulangku yang pucat pasi untuk berani berlari walau rahimku terbakar. Aku ingin Mentari hidup.

"Di pengungsian, aku dan sekian puluh ribu saudaraku meminta perlindungan, perjuangan kami belum usai untuk melawan kematian. Bukan senjata namun kelaparan, gizi buruk, sanitasi dan sejuta penyakit berusaha merenggut nyawa kami, hanya Mentari yang memberiku kekuatan....” Nurjati menangis mengenang itu.

“Tapi itu masa lalu Along, kini aku dan mereka sudah menang setelah melawan derita. Kami membangun hidup ini dengan tangan kami, tanpa jera. Dan yang penting bagiku adalah Mentari tetap hidup.”

Aku diam cukup lama. Mentari berjalan mendekati pohon nangka muda itu, ia keluarkan secarik kertas lantas menulis sebuah puisi dengan polpen yang tidak bertutup di antara cabang pohon yang rendah. Dan sekian menit berikutnya sebuah puisi tertulis. Sedikit dan sederhana, tapi memberi arti. Ia tempel puisinya di batang dengan kekuatan terisa.

Aku melangkah, lalu membaca puisi yang ia tulis itu.

Ibuku terjungkal hidupnya di sini.
Di kampung ini. Yang berderet seratus dua puluh rumah tanpa kepastian.
Kecuali ilalang liar dan hutan keras untuk diolah
sebagai ladang di tanah gambut khatulistiwa.
Di mana mataharinya mampu membakar batu-batu
menjadi sekubik abu yang membumbungkan berlaksa-laksa kabut asap.
Bangkitkan aku anak-anakmu ibu.
Dengan cinta bukan peperangan…

Masihkah engkau berduka Mentari?

Ia menatapku. Dan di matanya, aku melihat selaksa kabut...

Sambas, 8/6/08 – Jakarta, 30/06/11

*) N Mursidi, cerpenis asal Lasem, Jateng. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media, seperti: The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Republika, Seputar Indonesia, Suara Karya, Surya, Surabaya Post, Batam Pos, Lampung Post, Nova, Jurnal Nasional, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi dan Solo Pos. Kini, dia bekerja sebagai wartawan dan sedang menulis Novel. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit: Dua Janji (Leutika Prio, 2010).

*) Achmad Ridwan, pekerja teater, pengelola Lembaga Pendidikan Al-Kautsar dan Sanggar Teater Babak Pemangkat, Kalimantan Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar