Sudah cukup lama saya kagum dengan sosok penulis yang satu ini. Setiap saya mengirimkan email berisi pertanyaan, permintaan kritik-saran, atau pun permohonan untuk mengupas karya-karya saya, doi selalu membalas dengan cepat dan tidak tanggung-tanggung….balasannya bisa mencapai berlembar-lembar! Sangat teliti dan detil! Senang sekali ketika mengetahui bahwa seorang penulis yang telah memiliki nama, tapi tetap low profile, mau meluangkan waktu, dan serius membahas karya-karya kita, di sela-sela kesibukannya yang sudah pasti sangat padat-dat-dat!
Sobat muda, doi adalah Nur Mursidi (Mursid), pria kelahiran Rembang, 30 Maret 1975. Bagi Mursid, menjadi penulis adalah pilihan hidup. “Maka, jika pekerjaan itu telah dipilih, sudah semestinya kita merasa nyaman dan cinta pada pekerjaan yang kita tekuni,” tutur Mursid memulai percakapan. “Lebih dari itu, bagi saya menulis adalah kerja psikologis dan pikiran. Pada tataran psikologis, menulis bisa ‘membebaskan diri’ dari tekanan dan beban hidup. Sementara kerja pikiran, menulis berarti ‘memberi makanan’ ruhani pada jiwa,” jelas pria berambut ikal ini. Ya, tak dimungkiri, dengan menulis, ada proses belajar pada satu sisi dan menyebarkan ilmu pada sisi lain. Hmmm….setuju!
Aktivitas Mursid sebagai reporter (di majalah Hidayah) dan reporter tidak tetap di dua majalah lain, tentu banyak menguras waktu. Namun sesekali di waktu luang, Mursid masih menyempatkan menulis cerpen, esai sastra, dan resensi buku di sejumlah media massa. Bahkan tahun 2008 lalu, putra Abdul Mu’id dan Masmi’ah ini mengukir prestasi bergengsi seputar dunia kepenulisan. Iseng-iseng Mursid mengikutkan blognya (http://etalasebuku.blogspot.com) dalam Lomba Blog Buku yang diselenggarakan oleh Pesta Buku Jakarta 2008. Awalnya Mursid pesimis bisa memenangkan lomba tersebut karena ada persyaratan yang ditentukan panitia, nyaris tak bisa ia penuhi. Namun tiada disangka, ia malah sukses meraih juara I! Hadiah uang jutaan rupiah pun mengalir ke koceknya! “Saya menyimpulkan bahwa blog saya itu banyak memiliki konteks resensi buku, tulisan dunia seputar buku, bahkan juga proses kreatif menulis. Semua tulisan itu sudah saya buat jauh-jauh hari dan saya rajin meng-update. Sementara peserta yang lain, baru membuat blog justru pada saat diadakan lomba blog tersebut,” tegas Mursid.
Berbicara mengenai topik menulis resensi buku, boleh dikata Mursid-lah pakarnya! Di kalangan teman-teman, Mursid lebih dikenal sebagai peresensi buku daripada penulis cerpen atau esai. Mengapa demikian? “Menulis resensi buku adalah sejarah awal saya mulai menulis. Pertama kali saya menulis resensi buku, langsung dimuat di harian Kedaulatan Rakyat. Setelah itu, rentetan peristiwa lain menyusul, menumbuhkan ‘kegilaan’ saya akan membaca buku, kemudian meresensinya. Bertahun-tahun saya menggeluti dunia ini. Akhirnya teman-teman menjuluki saya spesialisasi menulis resensi buku karena saking lamanya saya berkecimpung di dunia ini!” kenang pria lulusan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, tersenyum. Bayangkan Sobat muda, 11 tahun! Kompas, The Jakarta Post, Gatra, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, dan sederet media nasional lainnya telah memuat resensi buku karya Mursid. Ingin tahu resepnya? Yuk, mari kita intip!
“Membaca pada dasarnya adalah menyelami sebuah buku untuk dikuak lebih jauh tentang perihal yang disampaikan oleh si penulis buku. Tetapi ingatan seorang pembaca itu tak jarang terbentur pada keterbatasan; lupa. Karena itu, bagi saya menulis resensi buku adalah langkah untuk ‘mengikat makna’ –meminjam istilah Hernowo—agar konten buku yang pernah dibaca, tidak menguap begitu saja. Toh kalau seandainya terjadi, kita tak lagi perlu membaca buku itu dari awal hingga akhir, melainkan tinggal melirik resensi yang telah ditulis,” jelas Mursid tentang pentingnya arti resensi sebuah buku.
Bagaimana cara menulis resensi buku yang baik?
“Wah, sebenarnya kalau ditanya pertanyaan ini, saya selalu susah menjawab. Kebetulan saya belajar menulis secara otodidak, tidak punya guru menulis,’ ujar Mursid merendah. “Tapi baiklah, saya coba ya. Pertama, jika saya ingin tulisan saya dimuat di media A, maka saya akan membeli media A, mempelajarinya dengan seksama; mulai dari kecenderungan tema resensi buku yang biasa dimuat, sistematika tulisan resensi bahkan sampai pada hal-hal kecil lain. Kedua, sepanjang pengalaman saya menulis resensi buku di sejumlah media massa, ada 3 hal penting yang harus diperhatikan peresensi: a) pilihan buku yang akan diresensi b) penulis buku c) kecenderungan (spesifikasi) keilmuan redaktur media bersangkutan,” papar pria yang pernah mengecap pendidikan di Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa dan Akademi Teater dan Film Indonesia ini, panjang lebar. Intinya Sobat muda, agar resensi buku yang kita tulis bisa menetas optimal, bacalah bukunya secara menyeluruh dan pahami benar isinya! Ohya, ada tambahan nih, sebaiknya buku-buku yang akan diresensi untuk media adalah buku-buku baru. Biasanya redaktur menetapkan, resensi buku yang dimuat, paling tidak umurnya 6 bulan dari terbitnya buku. Catat ya!
Berdasarkan pengalaman Mursid, kalau kita rutin menulis resensi buku dan dimuat di media, selain menangguk honor lumayan, penerbit juga akan mengirimkan buku-buku gratis secara berkala. Hmmm…bukankah buku ibarat harta karun bagi para penulis? Senangnya!
“Dulu, berbagai cemoohan kerap menghampiri saya karena saya menekuni dunia tulis menulis. Profesi ini dianggap ‘aneh’ dan tidak menjanjikan. Tapi saya tidak terpuruk. Saya justru semakin bersemangat! Setelah tulisan-tulisan saya terbit di media, lalu bekerja menjadi wartawan, akhirnya saya bisa membuktikan eksistensi profesi kepenulisan saya. Jadi, jika kita ingin berkiprah di bidang ini, kuncinya hanya dua: kerja keras dan tak pernah putus asa!” demikian pesan penulis yang berencana naik pelaminan dalam waktu dekat ini, kepada remaja Medan.*** Haya Aliya Zaki
Awal Agustus 2009
(beberapa kalimat dalam artikel ini dikutip dari http://indonesiabuku.com atas seijin nara sumber bersangkutan)
Sobat muda, doi adalah Nur Mursidi (Mursid), pria kelahiran Rembang, 30 Maret 1975. Bagi Mursid, menjadi penulis adalah pilihan hidup. “Maka, jika pekerjaan itu telah dipilih, sudah semestinya kita merasa nyaman dan cinta pada pekerjaan yang kita tekuni,” tutur Mursid memulai percakapan. “Lebih dari itu, bagi saya menulis adalah kerja psikologis dan pikiran. Pada tataran psikologis, menulis bisa ‘membebaskan diri’ dari tekanan dan beban hidup. Sementara kerja pikiran, menulis berarti ‘memberi makanan’ ruhani pada jiwa,” jelas pria berambut ikal ini. Ya, tak dimungkiri, dengan menulis, ada proses belajar pada satu sisi dan menyebarkan ilmu pada sisi lain. Hmmm….setuju!
Aktivitas Mursid sebagai reporter (di majalah Hidayah) dan reporter tidak tetap di dua majalah lain, tentu banyak menguras waktu. Namun sesekali di waktu luang, Mursid masih menyempatkan menulis cerpen, esai sastra, dan resensi buku di sejumlah media massa. Bahkan tahun 2008 lalu, putra Abdul Mu’id dan Masmi’ah ini mengukir prestasi bergengsi seputar dunia kepenulisan. Iseng-iseng Mursid mengikutkan blognya (http://etalasebuku.blogspot.com) dalam Lomba Blog Buku yang diselenggarakan oleh Pesta Buku Jakarta 2008. Awalnya Mursid pesimis bisa memenangkan lomba tersebut karena ada persyaratan yang ditentukan panitia, nyaris tak bisa ia penuhi. Namun tiada disangka, ia malah sukses meraih juara I! Hadiah uang jutaan rupiah pun mengalir ke koceknya! “Saya menyimpulkan bahwa blog saya itu banyak memiliki konteks resensi buku, tulisan dunia seputar buku, bahkan juga proses kreatif menulis. Semua tulisan itu sudah saya buat jauh-jauh hari dan saya rajin meng-update. Sementara peserta yang lain, baru membuat blog justru pada saat diadakan lomba blog tersebut,” tegas Mursid.
Berbicara mengenai topik menulis resensi buku, boleh dikata Mursid-lah pakarnya! Di kalangan teman-teman, Mursid lebih dikenal sebagai peresensi buku daripada penulis cerpen atau esai. Mengapa demikian? “Menulis resensi buku adalah sejarah awal saya mulai menulis. Pertama kali saya menulis resensi buku, langsung dimuat di harian Kedaulatan Rakyat. Setelah itu, rentetan peristiwa lain menyusul, menumbuhkan ‘kegilaan’ saya akan membaca buku, kemudian meresensinya. Bertahun-tahun saya menggeluti dunia ini. Akhirnya teman-teman menjuluki saya spesialisasi menulis resensi buku karena saking lamanya saya berkecimpung di dunia ini!” kenang pria lulusan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, tersenyum. Bayangkan Sobat muda, 11 tahun! Kompas, The Jakarta Post, Gatra, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, dan sederet media nasional lainnya telah memuat resensi buku karya Mursid. Ingin tahu resepnya? Yuk, mari kita intip!
“Membaca pada dasarnya adalah menyelami sebuah buku untuk dikuak lebih jauh tentang perihal yang disampaikan oleh si penulis buku. Tetapi ingatan seorang pembaca itu tak jarang terbentur pada keterbatasan; lupa. Karena itu, bagi saya menulis resensi buku adalah langkah untuk ‘mengikat makna’ –meminjam istilah Hernowo—agar konten buku yang pernah dibaca, tidak menguap begitu saja. Toh kalau seandainya terjadi, kita tak lagi perlu membaca buku itu dari awal hingga akhir, melainkan tinggal melirik resensi yang telah ditulis,” jelas Mursid tentang pentingnya arti resensi sebuah buku.
Bagaimana cara menulis resensi buku yang baik?
“Wah, sebenarnya kalau ditanya pertanyaan ini, saya selalu susah menjawab. Kebetulan saya belajar menulis secara otodidak, tidak punya guru menulis,’ ujar Mursid merendah. “Tapi baiklah, saya coba ya. Pertama, jika saya ingin tulisan saya dimuat di media A, maka saya akan membeli media A, mempelajarinya dengan seksama; mulai dari kecenderungan tema resensi buku yang biasa dimuat, sistematika tulisan resensi bahkan sampai pada hal-hal kecil lain. Kedua, sepanjang pengalaman saya menulis resensi buku di sejumlah media massa, ada 3 hal penting yang harus diperhatikan peresensi: a) pilihan buku yang akan diresensi b) penulis buku c) kecenderungan (spesifikasi) keilmuan redaktur media bersangkutan,” papar pria yang pernah mengecap pendidikan di Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa dan Akademi Teater dan Film Indonesia ini, panjang lebar. Intinya Sobat muda, agar resensi buku yang kita tulis bisa menetas optimal, bacalah bukunya secara menyeluruh dan pahami benar isinya! Ohya, ada tambahan nih, sebaiknya buku-buku yang akan diresensi untuk media adalah buku-buku baru. Biasanya redaktur menetapkan, resensi buku yang dimuat, paling tidak umurnya 6 bulan dari terbitnya buku. Catat ya!
Berdasarkan pengalaman Mursid, kalau kita rutin menulis resensi buku dan dimuat di media, selain menangguk honor lumayan, penerbit juga akan mengirimkan buku-buku gratis secara berkala. Hmmm…bukankah buku ibarat harta karun bagi para penulis? Senangnya!
“Dulu, berbagai cemoohan kerap menghampiri saya karena saya menekuni dunia tulis menulis. Profesi ini dianggap ‘aneh’ dan tidak menjanjikan. Tapi saya tidak terpuruk. Saya justru semakin bersemangat! Setelah tulisan-tulisan saya terbit di media, lalu bekerja menjadi wartawan, akhirnya saya bisa membuktikan eksistensi profesi kepenulisan saya. Jadi, jika kita ingin berkiprah di bidang ini, kuncinya hanya dua: kerja keras dan tak pernah putus asa!” demikian pesan penulis yang berencana naik pelaminan dalam waktu dekat ini, kepada remaja Medan.*** Haya Aliya Zaki
Awal Agustus 2009
(beberapa kalimat dalam artikel ini dikutip dari http://indonesiabuku.com atas seijin nara sumber bersangkutan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar