Senin, 18 Oktober 2010

Kiswanti: Beribadah dengan Buku

# tulisan ini dimuat di majalah Hidayah ed 109/ Agustus 2010

Keterbatasan ekonomi, ternyata tak menjadi penghalang bagi wanita yang dekat dengan buku ini berbuat kebaikan --menolong sesama. Justru, dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan dan hanya mengenyam pendidikan SD, lahir perasaan keperpihakan. Ia tidak segan-segan merelakan koleksi buku yang ia miliki rusak karena dipinjam orang untuk dibaca. Ia bahkan senang buku-buku yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun itu dibaca orang.

Tak ada tujuan di balik kiprah mulia itu, selain ingin melakukan perubahan dan membangun kehidupan yang gemilang bagi masa depan anak-anak di Desa Pemagarsari, Parung dan sekitar dengan cara menanamkan gemar membaca. Perjuangan itulah yang diemban Kiswanti selama belasan tahun. Ia berjuang mengajak anak-anak dan warga di sekitar mencintai buku.

Kini, kiprah Kiswanti itu sudah menumbuhkan anak-anak di Parung sadar akan gemar membaca. Dari kiprah itulah, kini berdiri tempat belajar bagi anak-anak usia dini (PUD), SD, SMP dan SMA yang belajar di rumahnya. Buku koleksi yang ia kumpulkan bertahun-tahun pun sudah jadi taman bacaan Warabal. Tapi, di balik semua itu dulu ibu Kiswanti membangun dengan jerih payah.

Putus Sekolah, Tapi Gemar Membaca
Lahir di sebuah kampung di Bantul, Yogyakarta –4 Desember 1965-- ia tergolong anak yang tak beruntung. Keinginan terus sekolah ternyata tak sebanding lurus dengan kondisi ekonomi keluarga. Ayah Kiswanti yang jadi penarik becak menghalangi Kiswanti kecil bisa sekolah tinggi. Meski demikian, sang ayah menanamkan jiwa membaca sejak Kiswanti usia 5 tahun.

“Bapak saya itu bukanlah orang yang setiap minggu atau setiap bulan dapat gaji, karena bapak saya itu penarik becak. Tapi bapak itu orang pertama yang mengenalkan saya gemar baca dan cinta buku. Saat saya berumur 5 atau 6 tahun, beliau menggunting huruf-huruf di koran kemudian mengajarkan bagaimana cara membaca dari guntingan huruf koran itu,” kisah Kiswanti.

Saat teman-teman sebaya masuk SD, Kiswanti pun meminta sekolah. “Waktu itu yang membuat saya bertekat minta sekolah, karena waktu itu saya ingin masuk TV ikut cerdas cermat. Jika tidak sekolah, tidak mungkin ada kesempatan masuk TV. Itulah yang membuat saya gemar membaca…” kata Kiswanti.

Tetapi, cita-cita itu kandas. Bahkan setelah lulus SD, dengan getir ia mendengar permintaan maaf sang ayah. “Tahun 1980, saya lulus SD. Dengan berat ayah meminta maaf, karena tak bisa membiayai saya masuk SMP. Tapi ayah berpesan ‘Jika ingin pinter kau banyak-banyak baca buku. Pulang bekerja, bapak belikan buku atau koran bekas’,” kenang wanita yang henya sempat mengenyam pendidikan SD ini dengan sedih.

Sang ayah tidak ingkar janji. Ia membelikan buku-buku buat Kiswanti dan meski tak melanjutkan sekolah SMP, minat Kiswanti pada buku tak pupus. Bahkan ia mulai mengoleksi buku. Akhirnya tahun 1987 ia merantau ke Jakarta -- bekerja jadi pembantu agar bisa beli buku. “Orangtua sempat melarang. Saya tak diijinkan. Di mata orangtua, semiskin-miskinnya kita, masih ada pekerjaan lain selain itu. Tapi, saya beralasan, itu pilihan aman dan lebih terlindungi. Di sisi lain, saya yang lulusan SD tak mungkin bisa kerja di pabrik. Kebetulan, niat awal kerja ke Jakarta itu untuk menambah koleksi buku, dan majikan saya kebetulan memiliki koleksi buku banyak. Saya sempat mengajukan untuk tak digaji dengan uang, melainkan dengan buku. Itu karena saya ingin menambah buku saya yang waktu itu sudah mencapai 1500 buku. Tetapi, majikan saya menolak dan tetap menggaji saya dengan uang,” kisah Kiswanti.

Tiga bulan kemudian, Kiswanti pun menerima gaji. Sebagaimana niat awal kerja untuk menambah koleksi buku maka hasil kerja 3 bulan sebesar 120.000 ia belikan buku 95.000. Ia mendapat 45 judul buku. Dari situlah, ia terus mengoleksi buku dan jumlah buku yang ia miliki terus bertambah.

Bersepeda Onthel Meminjamkan Buku
Sekitar tahun 1998, ibu Kurwanti pindah ke Parung. Waktu itu, Parung masih sepi tak jauh beda dengan suasana kampung halamannya. Tak sedikit anak-anak yang bermain kurang pengarahan, karena orangtua bekerja. Tapi yang lebih memprihatinkan di mata Kuswanti, ulah anak-anak usia 5-6 tahun tidak jarang saat berselisih —keluar umpatan yang comot dari isi kebun binatang, toilet dan bahkan kata-kata organ wanita yang seronok. Kuswanti mengelus dada.

“Saya tak menyalahkan kenapa itu terjadi, tetapi saya berusaha mencari kenapa itu terjadi? Saya tak mungkin merubah itu seperti membalik telapak tangan. Maka, saya mengajak anak-anak itu bermain. Karena kebutuhan anak-anak itu bermain dan di saat bermain itu, mereka senang. Tapi kemudian saya menerapkan syarat-syarat bagi mereka yang ingin bermain dengan saya: tak boleh mengucap loe, guwa, isi kebon binatang, isi toilet. Ada beberapa peraturan seperti itu, dan saat mereka sudah terkondisikan dan senang, saya mulai memperkenalkan buku dengan cara saya bercerita. Tetapi, cerita dari buku bacaaan itu tidak saya selesaikan, karena saya ingin tahu; apakah ada minat baca dalam diri anak-anak itu?” ujar ibu Kiswanti –yang oleh anak-anak dipanggil Bude.

Perjuangan mengajak anak bermain juga menanamkan minat baca itu dijalani kurang lebih empat tahun. Setelah enam tahun warga dan di sekitar ibu Kuswanti tahu akan keberadaannya dan buku yang ia miliki, hal itu membuat ibu Kuswanti ingin keluar lebih jauh. Maka, niat mengajak orang-orang yang jauh pun menjadikan ibu Kuswanti harus keliling kampung dengan sepeda onthel seraya menjual jamu.

“Karena saya ingin orang yang jauh dari saya tahu tentang keberadaan saya dan buku, maka saya mengayuh sepeda onthel menawarkan buku-buku saya untuk dipinjam dengan gratis. Kebetulan orangtua saya itu pedagang jamu dan saya hanya bisa meracik kunyit asem. Akhirnya saya keliling bersepeda menjual jamu dan menawarkan kepada orang-orang untuk membaca buku-buku yang saya bawa. Maka, setiap kali saya keliling itu, saya menawarkan jamu dan buku. Siapa yang ingin sehat minum jamu. Siapa yang ingin pintar baca buku. Uang dari kalian membeli jamu, bisa saya belikan buku baru dan kalian pinjam kembali. Itu satu-satunya jalan bagi saya untuk menambah koleksi buku saya,” kisah ibu Kiswanti saat masih keliling menawarkan pinjaman buku kepada warga Parung.

Warabal dan Tempat Belajar
Kini, koleksi buku bisa dinikmati oleh warga Patung. Sebidang ruangan pun jadi Taman Bacaan yang diberi nama Warabal. Taman bacaan yang dirintis ibu Kuswanti ini pun tidak hanya jadi tempat anak-anak dan warga untuk meminjam buku, melainkan juga sekaligus jadi tempat belajar. Karena keterbatan ruang sedang animo masyarakat tak terbendung, tempat belajar pun kurang memadai. Bahkan ibu Kiswanti merelakan ruang tamunya untuk menjadi tempat belajar komputer.

Itulah kiprah dan perjuangan tiada henti dari ibu Kiswanti. Dalam keterbatasan, ia tetap berjuang dan buku --harta berharga yang ia miliki tak segan-segan ia pinjamkan. “Saya mau sedekah uang tapi kebutuhan saya hanya cukup untuk kami sekeluarga, ingin sedekah senyum sedang saya dikasih wajah begini oleh Allah. Ya saya syukuri tapi belum tentu semua orang bisa menerima senyum saya meski saya berusaha tersenyum ikhlas. Sementara saya punya banyak buku, karena itu saya ingin mengajak mereka membaca buku-buku saya dengan gratis. Saya meminjamkan buku gratis bisa dimasukkan dalam kategori beribadah,” jelas Kiswanti ketika Hidayah bertanya tentang slogan “beribadah dengan buku” yang tertulis jelas di Warabal.

Kiprah ibu Kiswanti tentu mengundang decak kagum. Kita patut berterima kasih. Apalagi jika di antara kita ada yang mau menyisihkan tenaga, pikiran dan materi untuk ikut membantu perjuangan Ibu Kiswanti ini. (n. mursidi)

1 komentar:

  1. AKu dah kunjung balik and jdi follower so.... jadi follwer q jg dum.....

    BalasHapus