tulisan ini dimuat di indonesiabuku.com [14 Februari 2010] dan "prolog" untuk buku saya: Tidur Berbantal Koran [Elex Media: 2013]
Batu permata tidak bisa menjadi berkilap tanpa gesekan; demikian juga dengan manusia; tidak akan bisa menjadi baik tanpa cobaan (William Shakespeare)
Tanpa dihimpit oleh cobaan, aku mungkin tidak akan pernah jadi penulis. Sebab cobaan yang datang tanpa pernah aku undang itu, seperti menjerumuskanku ke jalanan yang penuh dengan debu. Aku pun terpaksa jadi penjual koran di jalanan Yogyakarta ketika ayah jatuh sakit dan tak mampu mengirimiku uang kuliah.
Tetapi dari lempeng jalanan kota Gudeg itu, aku justru mengenal kehidupan. Aku merasa didewasakan oleh kehidupan keras jalanan, dan dari halaman koran, aku belajar menulis. Meski tidak ada guru menulis di sampingku yang membimbing, aku merasa lembaran-lembaran koran itu adalah guru yang bijak di tengah kehidupan jalanan sebab lembaran-lembaran koran itu telah membakar spirit dan membuka mataku untuk bisa menulis di kelak kemudian hari.
Semua itu, berawal dari kisah yang unik. Sebuah kisah yang membuatku tersadar bahwa aku harus berubah. Tak mungkin, aku akan menjadi penjual koran di sepanjang jalanan terus. Tak mungkin, aku harus menjadi anak jalan, disengat terik mentari yang garang dan bergelantungan di pintu bus, naik turun dari satu bus ke bus yang lain. Jadi, aku harus bisa mewujudkan mimpiku...
Pagi itu, tepat di hari ketujuh aku jualan koran. Matahari bersinar dengan cerah. Itu adalah pagi yang akan membawa berkah dan anugerah. Beda ketika hari diselimuti dengan mendung dan hari sedang turun hujan. Aku pasti hanya bisa duduk termangu di emperan toko dan menatap gelap langit dengan raut sedih. Karena kehadiran matahari di pagi hari bisa membuatku leluasa menjajakan setumpuk koran di tanganku sepanjang jalan, menumpang naik bus; menawarkan berita hangat yang jadi headline koran.
Aku baru saja mengambil setumpuk koran di agen pasar Gading, lalu melangkah ke tepi jalan untuk menunggu tumpangan bus dari terminal Umbulharjo. Tapi, nasibku pagi itu seperti didekap kemujuran. Ketika keluar dari pasar, lampu trafick light ternyata menyala merah. Kondisi itu menjadikan semua kendaraan yang melaju dari arah Timur harus berhenti. Kebetulan bus Mustika –salah satu bus jurusan Yogyakarta-Semarang—sedang terdampar di perempatan Gading.
Aku pun segera berlari, kemudian menaiki bus Mustika itu dengan memendam setangkup harapan bisa mengais rezeki. Setelah aku di atas bus, aku pun beraksi dengan cepat: aku membagi-bagikan koran ke seluruh penumpang. Itu jurus jitu jualan koran yang biasa aku terapkan untuk menarik rasa penasaran penumpang agar mau membeli. Dengan cara itu, para penumpang dapat membaca koran sekitar dua sampai tiga menit, lalu aku menarik koran yang aku bagikan itu dari depan. Jika mereka sempat membaca sebentar, tapi diliputi penasaran untuk membaca lebih lanjut, maka tidak ada jalan lain kecuali mereka harus rela merogoh uang dari saku mereka untuk membeli koran.
Aksiku di atas bus di pagi itu, rupanya membawa kerkah. Ada tiga penumpang yang membeli koran Kedaulatan Rakyat yang aku jajakan. Hatiku lega. Aku mengelus dada, karena aku telah mengantongi uang Rp 600.00 di sakuku. Waktu itu, tahun 1995 harga koran Kedaulatan Rakyat Rp 200.00 dan dari setiap 1 eksemplar yang berhasil aku jual, aku mendapatkan keuntungan separoh (Rp 100.00). Jadi, pagi itu, aku sudah meraup keuntungan Rp 300.00. Keuntungan di awal pagi itu, membuatku ingin istirahat sejenak. Aku ingin menghirup segelas kecil teh manis dan makan satu pisang goreng di warung Bu Tum, di Pojok Benteng Kulon untuk sekadar mengganjal perut agar aku tidak terkulai lemas di jalanan atau jatuh dari bus.
Pelecut Kesadaran dari Tukang Becak
Pagi masih terasa menggigilkan tubuhku, meskipun sinar mentari sudah bersinar cerah dari ufuk Timur. Angin pagi yang menelusup kencang dari celah-celah jendela bus, membuat kantukku hilang. Aku merapat ke pintu bus. Bus masih terus melaju, dan aku menggelantung di pintu bus. Tepat di perempatan Pojok Benteng Kulon, bus berhenti untuk menaikkan penumpang. Aku turun, kemudian melangkahkan kaki ke warung Bu Tum.
Perutku sudah terasa seperti melilit. Tenggorokanku dicekam haus. Lalu lalang kendaraan yang melintas di jalan membuat aku tidak sabar. Aku menunggu di pinggir jalan dengan cemas. Akhirnya, ketika jalanan agak sepi, aku pun buru-buru melangkah. Tetapi, di saat aku melangkahkan kaki dengan lunglai ke arah warung bu Tum, tiba-tiba sebuah suara membuyarkan harapanku untuk bisa segera menenggak teh hangat.
“Koran…, mas!”
Aku menoleh. Tidak kulihat ada orang yang aku yakini akan membeli koranku, kecuali aku hanya melihat tiga tukang becak yang menyandarkan tubuhnya di atas becak masing-masing. Aku sama sekali tak percaya, jika suara mengagetkan yang aku dengar itu bersumber dari salah satu tukang becak tersebut. Aku merasa ada hantu di pagi hari yang sengaja iseng menggodaku. Aku celingukan, menoleh ke sekitar untuk memastikan sumber suara itu.
Tetapi lamat-lamat, dari kejauhan aku melihat salah satu dari tukang becak itu melambaikan tangannya ke arahku. Aku menoleh ke belakang, mengira tukang becak itu melambaikan tangannya memanggil seseorang di belakangku. Lagi-lagi, tak kulihat ada orang lain yang dipanggil.
“Koran, mas…!” kembali suara misterius itu membuatku terhenyak kaget.
Aku menoleh, dan kulihat satu dari tiga tukang becak itu melambaikan tangan ke arahku. Aku menunjuk ke dadaku, kemudian mengangkat tumpukan koran yang masih menggunung di tangan kananku untuk sekadar memastikan bahwa tukang becak itulah yang memanggilku.
Dia menggangguk. Aku segera berlari ke arahnya.
“Kamu ini jualan koran, tapi kayak orang tidak butuh duit. Dipanggil berkali-kali, seperti orang bingung saja. Kamu boleh melihat tampangku ini memang sebagai tukang becak, tapi jujur, aku tetap tidak mau ketinggalan berita koran…” omel tukang becak itu, ketika aku berada di dekatnya.
Aku hanya tersenyum geli, tetapi aku tak peduli dengan omelan tukang becak itu.
“Aku kira sampeyan bercanda waktu memanggilku, pak,” jawabku sekenanya.
Ia merogoh uang dari sakunya yang kumal. “Koran Kedaulatan Rakyat,” ucapnya seraya mengulurkan uang.
Aku mengulurkan koran kemudian menerima uangnya, seraya tersenyum. Tapi, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasa heran dengan tukang becak itu. Dia rela merogoh kocek dari saku kumalnya untuk membeli koran dari tanganku dan sesaat kemudian, ketika aku melangkah pergi dari hadapannya, aku melihat ia membaca koran tersebut dengan cermat.
Aku tak tahu, rubrik apa yang dibaca oleh tukang becak itu. Apa berita kriminal? Lowongan kerja ataukah berita politik? Tapi, sindiran tukang becak tersebut membuatku serasa tersulut api yang membuatku tergeragap. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Selama tujuh hari aku jualan koran, aku tidak pernah membaca koran yang kujajakan sendiri. Aku seperti tak peduli dengan apa yang kujual karena yang aku inginkan adalah koranku laku. Tak peduli, apa isi berita di koran kecuali aku melihat sekilas berita pada halaman awal.
Demi mengejar keuntungan, aku terpaksa berlari sekencang angin mengejar bus; naik turun dari satu bus ke bus lain, numpang jualan dari terminal Umbulharjo sampai jalan Magelang kemudian kembali ke terminal lagi, dan seterusnya --berkali-kali hingga siang hati lalu aku pulang ke kontrakan dengan disergap letih dan capek. Tak pernah aku meluangkan waktu untuk membaca dengan detail isi berita koran yang aku jual.
Aku melangkahkan kakiku ke warung Bu Tum, tetapi pikiranku masih dikerubuti rasa heran dengan tukang becak tersebut. Rasa hausku lenyap tiba-tiba. Rasa lapar yang tadi mengoyak perutku seperti sirna. Maka setibaku di warung bu Tum, aku pun duduk lemas di sudut warung. Tetapi, nanar pandangan mataku seperti tak bisa berpaling: aku menatap ke arah tukang becak itu yang sedang membaca koran dengan mata khusuk.
Tanpa aku pesan, bu Tum seperti tahu apa yang aku inginkan. Tidak lama setelah aku duduk, teh hangat porsi gelas kecil seharga Rp 50.00 pun terhidang di depanku. Aku masih tercenung. Pandangan mataku terus menatap sosok tukang becak yang suntuk membaca koran di atas bacaknya. Sementara itu, teh hangat di hadapanku seperti tidak menarik perhatianku. Pisang goreng yang lezat di atas piring di depanku juga tidak lagi menarik simpatiku. Pagi itu, aku benar-benar merasa disadarkan oleh tukang becak itu.
Lima menit kemudian, bu Tum menatapku heran, “Engkau datang ke warung ini untuk memesan teh atau mau melamun?”
Aku tegeragap. Suara bu Tum --seketika menyadarkanku. “Tentu saja aku datang ke sini untuk minum teh bu. Dari tadi aku bahkan sudah haus…”
“Tetapi, kenapa teh itu dibiarkan dingin?”
Aku menatap segelas teh yang masih mengepulkan asap tepat di hadapanku. Saat itulah, aku baru merasakan jika tenggorokanku haus. Aku meminum teh di hadapanku dengan beringas. Haus di tenggorokanku tandas dalam sekali teguk. Satu pisang goreng di atas meja pun segera aku santap. Perutku tidak lagi melilit. Itulah moment-moment di pagi hari yang membahagiakan tatkala aku istirahat, mensyukuri hasil keringat di awal menjajakan koran meskipun aku harus rela menunggu koranku laku terlebih dahulu dua sampai tiga eksemplar untuk bisa minum teh hangat dan satu pisang goreng.
Belajar Menulis dari Koran
Pengalamanku bertemu dengan tukang becak yang membeli koran daganganku dan menyindirku di pagi itu, ternyata menyadarkan pola pikirku dan mengukir sejarah baru dalam kehidupanku di jalanan. Sebab sejak itu, tukang becak itu jadi langgananku; hampir tiap hari ia membeli koran dariku. Hasrat tukang becak yang membeli koran dari tanganku dan membacanya di atas becak dengan muka masih kusut, telah mendorongku membiasakan membaca setumpuk koran yang aku jual. Sehabis menunaikan ritual pagi minum teh hangat dan makan satu pisang goreng di warung, aku duduk di emperan toko untuk meluangkan waktu sekitar setengah jam atau satu jam membaca setumpuk koran daganganku.
Dari kebiasaan baca koran di emperan toko [dan kadang-kadang di bawah pohon di tepi jalan di perempatan Bugisan dan Patangpuluhan] itu, pada satu hari aku tiba-tiba disadarkan sebuah tulisan yang ditulis mahasiswa di rubrik Opini atau Debat Mahasiswa di Kedaulatan Rakyat dan Harian Bernas. Saat membaca, aku benar-benar tersadar dan terhenyak, karena ternyata aku menemukan kenyataan seorang mahasiswa bisa menulis di koran. Apalagi, saat aku membaca koran Minggu di rubrik resensi buku, sering kali aku menjumpai deretan “nama penulis” dengan identitas masih mahasiswa.
Setiap selesai membaca tulisan-tulisan penulis yang masih berstatus mahasiswa itu, otakku serasa mendidih bagai air yang dijerang di atas tungku. Ada sekelebat mimpi di dadaku yang memompaku untuk bisa menulis: menorehkan namaku di koran seperti mereka. Maka dalam hati, aku berjanji bahwa suatu saat nanti aku harus bisa menulis di koran. Dan sejak itu aku pun mulai rajin membaca koran yang aku jual dan mempelajari tulisan yang dimuat di koran secara autodidak.
Ironisnya, tidak jarang, ketika aku khusuk membaca koran di emperan toko, aku kerap kali lupa kuliah: “bolos”. Jujur, di jalanan aku mengenal kehidupan. Dari halaman koran, aku bisa belajar menulis. Aku merasa seperti dianugerahi sepasang mata untuk melihat sekeliling dengan mata yang tajam. Dengan tanpa bimbingan seorang tutor atau guru menulis, aku belajar menulis dengan jurus tanpa “kitab suci”. Ibarat murid di biara Shaolin, aku belajar ilmu bela diri dengan hanya melihat hasil lukisan tendangan atau pukulan yang terpampang di tembok biara Shaolin lalu tengah malam gulita aku belajar untuk mempraktekkan apa yang aku lihat tersebut.
Jadi, setiap pagi hari aku melakoni ritual jualan koran di jalanan, lalu menjelang siang berangkat kuliah dengan mengayuh sepeda dari Krapyak ke kampus dan malam hari aku melatih diri untuk menulis. Semua itu kulakukan untuk mewujudkan mimpiku; aku harus bisa menorehkan namaku di lembaran koran, tidak harus jadi penjaja koran jalanan terus atau jadi anak jalanan abadi.
Aku belajar menulis di malam hari, lalu aku kirim ke sejumlah koran. Tapi, jalan yang aku lalui tidaklah mulus. Seratus halangan dan terpaan, nyaris membuatku hampir putus asa saat tulisan yang aku buat itu ditolak oleh redaktur media massa. Aku diliputi kegamangan, patah arah. Bahkan dalam hatiku, sempat terbesit keraguan: apakah aku memang benar-benar tidak akan pernah jadi penulis?
Tidak Patah Arang
Aku memang kerap gamang! Tapi, usaha keras, tidak jarang membuahkan hasil. Aku tidak jadi patah arah. Sekeras apa pun persaingan merebut lembaran koran, bagiku masih keras dan kejam kehidupan di jalanan. Itu yang aku ketahui. Sebab di jalanan, aku sempat diancam dengan sebilah belati yang dihunuskan tepat di wajahku. Di jalanan, aku sempat berkelahi dengan penjaja koran dari Madura, karena ia merasa lahannya aku rebut. Di jalanan, aku juga bergaul dengan preman yang kerap kali mabuk dan berkelahi. Di jalanan, aku kerap kali bertemu dengan copet yang dengan jeli dan cekatan menguntit dompet para penumpang. Itu alasanku, kenapa aku tak patah arah jika hanya berjuang bisa menembus koran.
Usaha keras, ditunjang kesabaran dan mental tidak patah arah, rupanya mampu merubah “jalan hidupku”. Setelah berjuang dengan keras, satu persatu, tulisanku dimuat di koran lokal hingga kemudian menembus koran nasional, yakni di Kedaulatan Rakyat, Bernas, Solo Pos, Bengawan Pos, Wawasan, Suara Merdeka, Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, Suara Indonesia, Lampung Post, Batam Post, Harian Riau Mandiri, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Matabaca, Gatra, Tempo, Koran Tempo, Republika, Seputar Indonesia, Media Indonesia, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Bisnis Indonesia, Suara Karya, Tabloit Nova, Majalah Anggun, Gamma, Forum Keadilan, The Jakarta Post dan Kompas.
Aku mulai menginjakkan kaki di Yogyakarta untuk kuliah dan menjadi penjual koran pada penghujung tahun 1995. Keterbatasan pengetahuan dan tidak ada guru yang membimbingku, menjadikanku tidak bisa mewujudkan mimpiku untuk menjadi penulis dengan mudah. Mimpiku hanya menggumpal di sudut otakku. Apalagi, waktu itu aku tak memiliki uang lebih untuk membeli mesin ketik yang dapat mewujudkan mimpiku bisa menulis di lembaran koran. Di sisi lain, tak ada teman yang punya mesin ketik yang bisa aku pinjam dengan leluasa. Jadi, mimpiku itu terkubur dalam lorong waktu kurang lebih dua tahun.
Waktu berlalu. Deraan, cobaan dan ujian hidup pun silih berganti. Aku bahkan terpaksa keluar kuliah ketika menginjak semester dua --karena tak bisa bayar SPP. Tapi mimpiku untuk mampu menulis di lembaran koran seperti tidak pernah padam. Apalagi, setelah keluar kuliah aku praktis hidup di jalanan. Hampir setiap pagi aku jualan koran. Tapi di jalanan itu, aku belajar mengenal kehidupan dan bersentuhan dengan setumpuk koran: belajar autodidak cara menulis di koran.
Tahun 1996, aku daftar kuliah lagi. Seiring dengan berjalannya waktu, satu tahun kemudian aku mulai merintis menulis dan mengirim tulisan berupa cerpen ke koran di sela-sela kesibukan kuliah dan jualan koran. Hampir satu tahun, kerja kerasku bahkan tak membuahkan hasil. Tidak ada satu pun tulisanku yang dimuat di koran. Aku hampir putus asa. Tetapi dalam “keputusasaanku” itu, aku mulai menekuni bidang fotografi dan iseng-iseng aku mengirimkan foto yang aku hasilkan itu ke koran.
Rupanya, dari keisengan tersebut ternyata membuahkan hasil. Sebuah foto yang aku kirim ke koran ternyata berbuah manis: dimuat di rubrik “Citra Foto” di Kedaulatan Rakyat (Kamis, 11 Desember 1997). Bermula dari pemuatan fotoku itulah, “rasa percaya diriku” untuk menulis bersemi lagi. Mesin ketik yang sempat kugadaikan, kemudian aku tebus. Aku kemudian berjuang keras untuk menulis lagi.
Tetapi, perjuangan kerasku ternyata tidak mulus. Aku mengalami jatuh bangun, dan hampir setahun kemudian, aku bisa bernapas lega ketika tulisan resensiku berjudul “Potret Yogya Sehari-Semalam” dimuat di koran harian Kedaulatan Rakyat (Minggu, 01 November 1998). Lalu, disusul tulisan resensiku yang berjudul “Sekolah dan Kepelikan Sistem Pendidikan” yang juga dimuat di koran Kedaulatan Rakyat belum genap sebulan (Minggu, 29 November 1989).
Dua tulisanku yang dimuat di koran itu memang membuatku percaya diri. Tetapi jalan lempang ke depan, tidaklah mudah seperti yang aku bayangkan. Karena menginjak tahun 1999, tidak ada ada satu pun tulisanku yang dimuat. Baru memasuki tahun 2000, aku kembali bisa bernapas lega lantaran empat (4) tulisan resensi-ku dimuat di Bernas, Kedaulatan Rakyat dan Majalah Forum Keadilan.
Mulai Merambah Sejumlah Media
Setelah melalui perjuangan keras, pada tahun 2001 tulisanku mulai bertebaran di koran. Tahun 2001, ada tujuh belas (17) tulisan resensiku yang dimuat di koran --mulai dari koran Kedaulatan Rakyat, Surabaya Post, Majalah Gamma, Pikiran Rakyat, Media Indonesia bahkan sudah tembus Kompas.
Tahun berikutnya, 2002, tulisanku yang dimuat di koran mulai meningkat. Dari tujuh belas tulisan yang dimuat tahun 2001, meningkat menjadi tiga puluh (30) tulisan. Pada tahun 2002, selain banyak tulisanku yang dimuat di media massa yang sebelumnya belum pernah memuat tulisanku (seperti di Solo Pos, Bengawan Post, Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Surya, Jawa Pos dan bahkan Jakarta Post) aku juga kembali menulis cerpen. Cerita pendek pertamaku berjudul “Mbah Kardoen” dimuat di Solo Pos (Minggu, 28 Juli 2002).
Tahun 2003, proses kreatifku mencapai puncaknya karena kerja kerasku berhasil menorehkan lima puluh enam (56) tulisan --dalam berbagai genre- yang dimuat di koran dan majalah. Aku tidak hanya menulis resensi buku dan cerpen, melainkan menulis esai sastra, esai film, opini dan bahkan juga puisi. Tahun 2004, bisa dikatakan tulisanku yang dimuat di koran menurun jumlahnya karena cuma ada tiga puluh tujuh (37) tulisanku yang dimuat di koran.
Tahun 2005, aku hijrah ke Jakarta bekerja sebagai wartawan. Kesibukanku mulai merenggut waktuku sebagai penulis freelance di sejumlah koran dan majalah yang sudah mulai aku rintis sejak 1998. Tak salah, jika ada dua belas (12) tulisanku yang dimuat di koran selama tahun 2005. Tahun 2006, ada dua puluh dua (22) tulisan yang dimuat di koran. Lalu, tahun 2007, ada dua puluh delapan (28) tulisan. Tahun 2008, ada empat puluh tiga (43) tulisan dan tahun 2009, ada dua puluh sembilan (29) tulisan.
Kini, sudah sepuluh tahun lebih aku menjadi penulis freelance di sejumlah koran lokal dan nasional: menulis resensi buku, opini, esai sastra, esai film dan cerita pendek. Tak kurang ada 300 tulisanku yang sudah dimuat di koran lokal dan nasional. Mimpiku untuk bisa jadi penulis akhirnya terwujud. Bahkan, berkat tulisanku yang banyak dimuat di koran itulah aku kemudian bisa menjadi wartawan.
Dulu, sebelum lulus kuliah UIN Yogyakarta, ketika kampus tempatku menimba ilmu mengadakan lomba cerpen dan resensi buku yang dijaring dari tulisan-tulisan yang pernah dimuat di koran, aku mendapat juara pertama untuk kategori lomba cerpen dan resensi buku (tahun 2002). Tahun berikutnya, 2003, aku kembali merebut juara. Selain itu, beberapa kali aku juga memenangi lomba menulis resensi buku yang diadakan oleh beberapa penerbit. Satu “prestasi gemilang” aku raih tatkala IKAPI mengadakan lomba blog buku; aku berhasil terpilih jadi juara pertama dalam lomba blog Pesta Buku Jakarta 2008.
Semua prestasi itu seperti sebuah mimpi. Pasalnya, sejarah hidupku nyaris selalu diliputi rentetan kegagalan. Sedari kecil, bahkan aku nyaris kehilangan mimpi dan masa depan. Sebelum kuliah, aku tidak pernah bercita-cita menjadi penulis. Apalagi, terbesit sebuah mimpi besar untuk jadi wartawan. Jika sekarang ini aku berhasil jadi penulis dan wartawan, itu semata-mata karena “kecelakaan sejarah”.
Awalnya, aku terjerumus menjadi penjual koran dan setelah membaca koran aku memiliki mimpi untuk jadi penulis. Mimpiku itu, sekarang sudah terwujud. Karena itu, bermimpilah setinggi langit. Suatu hari nanti, mimpimu itu akan jadi kenyataan. Dalam meraih mimpu itu, aku tidak memungkiri apa yang dikatakan oleh Dough Hoper, “you are what you think (Anda adalah apa yang Anda pikirkan)”.
Jadi, jangan takut untuk bermimpi!
Tetapi dari lempeng jalanan kota Gudeg itu, aku justru mengenal kehidupan. Aku merasa didewasakan oleh kehidupan keras jalanan, dan dari halaman koran, aku belajar menulis. Meski tidak ada guru menulis di sampingku yang membimbing, aku merasa lembaran-lembaran koran itu adalah guru yang bijak di tengah kehidupan jalanan sebab lembaran-lembaran koran itu telah membakar spirit dan membuka mataku untuk bisa menulis di kelak kemudian hari.
Semua itu, berawal dari kisah yang unik. Sebuah kisah yang membuatku tersadar bahwa aku harus berubah. Tak mungkin, aku akan menjadi penjual koran di sepanjang jalanan terus. Tak mungkin, aku harus menjadi anak jalan, disengat terik mentari yang garang dan bergelantungan di pintu bus, naik turun dari satu bus ke bus yang lain. Jadi, aku harus bisa mewujudkan mimpiku...
Pagi itu, tepat di hari ketujuh aku jualan koran. Matahari bersinar dengan cerah. Itu adalah pagi yang akan membawa berkah dan anugerah. Beda ketika hari diselimuti dengan mendung dan hari sedang turun hujan. Aku pasti hanya bisa duduk termangu di emperan toko dan menatap gelap langit dengan raut sedih. Karena kehadiran matahari di pagi hari bisa membuatku leluasa menjajakan setumpuk koran di tanganku sepanjang jalan, menumpang naik bus; menawarkan berita hangat yang jadi headline koran.
Aku baru saja mengambil setumpuk koran di agen pasar Gading, lalu melangkah ke tepi jalan untuk menunggu tumpangan bus dari terminal Umbulharjo. Tapi, nasibku pagi itu seperti didekap kemujuran. Ketika keluar dari pasar, lampu trafick light ternyata menyala merah. Kondisi itu menjadikan semua kendaraan yang melaju dari arah Timur harus berhenti. Kebetulan bus Mustika –salah satu bus jurusan Yogyakarta-Semarang—sedang terdampar di perempatan Gading.
Aku pun segera berlari, kemudian menaiki bus Mustika itu dengan memendam setangkup harapan bisa mengais rezeki. Setelah aku di atas bus, aku pun beraksi dengan cepat: aku membagi-bagikan koran ke seluruh penumpang. Itu jurus jitu jualan koran yang biasa aku terapkan untuk menarik rasa penasaran penumpang agar mau membeli. Dengan cara itu, para penumpang dapat membaca koran sekitar dua sampai tiga menit, lalu aku menarik koran yang aku bagikan itu dari depan. Jika mereka sempat membaca sebentar, tapi diliputi penasaran untuk membaca lebih lanjut, maka tidak ada jalan lain kecuali mereka harus rela merogoh uang dari saku mereka untuk membeli koran.
Aksiku di atas bus di pagi itu, rupanya membawa kerkah. Ada tiga penumpang yang membeli koran Kedaulatan Rakyat yang aku jajakan. Hatiku lega. Aku mengelus dada, karena aku telah mengantongi uang Rp 600.00 di sakuku. Waktu itu, tahun 1995 harga koran Kedaulatan Rakyat Rp 200.00 dan dari setiap 1 eksemplar yang berhasil aku jual, aku mendapatkan keuntungan separoh (Rp 100.00). Jadi, pagi itu, aku sudah meraup keuntungan Rp 300.00. Keuntungan di awal pagi itu, membuatku ingin istirahat sejenak. Aku ingin menghirup segelas kecil teh manis dan makan satu pisang goreng di warung Bu Tum, di Pojok Benteng Kulon untuk sekadar mengganjal perut agar aku tidak terkulai lemas di jalanan atau jatuh dari bus.
Pelecut Kesadaran dari Tukang Becak
Pagi masih terasa menggigilkan tubuhku, meskipun sinar mentari sudah bersinar cerah dari ufuk Timur. Angin pagi yang menelusup kencang dari celah-celah jendela bus, membuat kantukku hilang. Aku merapat ke pintu bus. Bus masih terus melaju, dan aku menggelantung di pintu bus. Tepat di perempatan Pojok Benteng Kulon, bus berhenti untuk menaikkan penumpang. Aku turun, kemudian melangkahkan kaki ke warung Bu Tum.
Perutku sudah terasa seperti melilit. Tenggorokanku dicekam haus. Lalu lalang kendaraan yang melintas di jalan membuat aku tidak sabar. Aku menunggu di pinggir jalan dengan cemas. Akhirnya, ketika jalanan agak sepi, aku pun buru-buru melangkah. Tetapi, di saat aku melangkahkan kaki dengan lunglai ke arah warung bu Tum, tiba-tiba sebuah suara membuyarkan harapanku untuk bisa segera menenggak teh hangat.
“Koran…, mas!”
Aku menoleh. Tidak kulihat ada orang yang aku yakini akan membeli koranku, kecuali aku hanya melihat tiga tukang becak yang menyandarkan tubuhnya di atas becak masing-masing. Aku sama sekali tak percaya, jika suara mengagetkan yang aku dengar itu bersumber dari salah satu tukang becak tersebut. Aku merasa ada hantu di pagi hari yang sengaja iseng menggodaku. Aku celingukan, menoleh ke sekitar untuk memastikan sumber suara itu.
Tetapi lamat-lamat, dari kejauhan aku melihat salah satu dari tukang becak itu melambaikan tangannya ke arahku. Aku menoleh ke belakang, mengira tukang becak itu melambaikan tangannya memanggil seseorang di belakangku. Lagi-lagi, tak kulihat ada orang lain yang dipanggil.
“Koran, mas…!” kembali suara misterius itu membuatku terhenyak kaget.
Aku menoleh, dan kulihat satu dari tiga tukang becak itu melambaikan tangan ke arahku. Aku menunjuk ke dadaku, kemudian mengangkat tumpukan koran yang masih menggunung di tangan kananku untuk sekadar memastikan bahwa tukang becak itulah yang memanggilku.
Dia menggangguk. Aku segera berlari ke arahnya.
“Kamu ini jualan koran, tapi kayak orang tidak butuh duit. Dipanggil berkali-kali, seperti orang bingung saja. Kamu boleh melihat tampangku ini memang sebagai tukang becak, tapi jujur, aku tetap tidak mau ketinggalan berita koran…” omel tukang becak itu, ketika aku berada di dekatnya.
Aku hanya tersenyum geli, tetapi aku tak peduli dengan omelan tukang becak itu.
“Aku kira sampeyan bercanda waktu memanggilku, pak,” jawabku sekenanya.
Ia merogoh uang dari sakunya yang kumal. “Koran Kedaulatan Rakyat,” ucapnya seraya mengulurkan uang.
Aku mengulurkan koran kemudian menerima uangnya, seraya tersenyum. Tapi, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasa heran dengan tukang becak itu. Dia rela merogoh kocek dari saku kumalnya untuk membeli koran dari tanganku dan sesaat kemudian, ketika aku melangkah pergi dari hadapannya, aku melihat ia membaca koran tersebut dengan cermat.
Aku tak tahu, rubrik apa yang dibaca oleh tukang becak itu. Apa berita kriminal? Lowongan kerja ataukah berita politik? Tapi, sindiran tukang becak tersebut membuatku serasa tersulut api yang membuatku tergeragap. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Selama tujuh hari aku jualan koran, aku tidak pernah membaca koran yang kujajakan sendiri. Aku seperti tak peduli dengan apa yang kujual karena yang aku inginkan adalah koranku laku. Tak peduli, apa isi berita di koran kecuali aku melihat sekilas berita pada halaman awal.
Demi mengejar keuntungan, aku terpaksa berlari sekencang angin mengejar bus; naik turun dari satu bus ke bus lain, numpang jualan dari terminal Umbulharjo sampai jalan Magelang kemudian kembali ke terminal lagi, dan seterusnya --berkali-kali hingga siang hati lalu aku pulang ke kontrakan dengan disergap letih dan capek. Tak pernah aku meluangkan waktu untuk membaca dengan detail isi berita koran yang aku jual.
Aku melangkahkan kakiku ke warung Bu Tum, tetapi pikiranku masih dikerubuti rasa heran dengan tukang becak tersebut. Rasa hausku lenyap tiba-tiba. Rasa lapar yang tadi mengoyak perutku seperti sirna. Maka setibaku di warung bu Tum, aku pun duduk lemas di sudut warung. Tetapi, nanar pandangan mataku seperti tak bisa berpaling: aku menatap ke arah tukang becak itu yang sedang membaca koran dengan mata khusuk.
Tanpa aku pesan, bu Tum seperti tahu apa yang aku inginkan. Tidak lama setelah aku duduk, teh hangat porsi gelas kecil seharga Rp 50.00 pun terhidang di depanku. Aku masih tercenung. Pandangan mataku terus menatap sosok tukang becak yang suntuk membaca koran di atas bacaknya. Sementara itu, teh hangat di hadapanku seperti tidak menarik perhatianku. Pisang goreng yang lezat di atas piring di depanku juga tidak lagi menarik simpatiku. Pagi itu, aku benar-benar merasa disadarkan oleh tukang becak itu.
Lima menit kemudian, bu Tum menatapku heran, “Engkau datang ke warung ini untuk memesan teh atau mau melamun?”
Aku tegeragap. Suara bu Tum --seketika menyadarkanku. “Tentu saja aku datang ke sini untuk minum teh bu. Dari tadi aku bahkan sudah haus…”
“Tetapi, kenapa teh itu dibiarkan dingin?”
Aku menatap segelas teh yang masih mengepulkan asap tepat di hadapanku. Saat itulah, aku baru merasakan jika tenggorokanku haus. Aku meminum teh di hadapanku dengan beringas. Haus di tenggorokanku tandas dalam sekali teguk. Satu pisang goreng di atas meja pun segera aku santap. Perutku tidak lagi melilit. Itulah moment-moment di pagi hari yang membahagiakan tatkala aku istirahat, mensyukuri hasil keringat di awal menjajakan koran meskipun aku harus rela menunggu koranku laku terlebih dahulu dua sampai tiga eksemplar untuk bisa minum teh hangat dan satu pisang goreng.
Belajar Menulis dari Koran
Pengalamanku bertemu dengan tukang becak yang membeli koran daganganku dan menyindirku di pagi itu, ternyata menyadarkan pola pikirku dan mengukir sejarah baru dalam kehidupanku di jalanan. Sebab sejak itu, tukang becak itu jadi langgananku; hampir tiap hari ia membeli koran dariku. Hasrat tukang becak yang membeli koran dari tanganku dan membacanya di atas becak dengan muka masih kusut, telah mendorongku membiasakan membaca setumpuk koran yang aku jual. Sehabis menunaikan ritual pagi minum teh hangat dan makan satu pisang goreng di warung, aku duduk di emperan toko untuk meluangkan waktu sekitar setengah jam atau satu jam membaca setumpuk koran daganganku.
Dari kebiasaan baca koran di emperan toko [dan kadang-kadang di bawah pohon di tepi jalan di perempatan Bugisan dan Patangpuluhan] itu, pada satu hari aku tiba-tiba disadarkan sebuah tulisan yang ditulis mahasiswa di rubrik Opini atau Debat Mahasiswa di Kedaulatan Rakyat dan Harian Bernas. Saat membaca, aku benar-benar tersadar dan terhenyak, karena ternyata aku menemukan kenyataan seorang mahasiswa bisa menulis di koran. Apalagi, saat aku membaca koran Minggu di rubrik resensi buku, sering kali aku menjumpai deretan “nama penulis” dengan identitas masih mahasiswa.
Setiap selesai membaca tulisan-tulisan penulis yang masih berstatus mahasiswa itu, otakku serasa mendidih bagai air yang dijerang di atas tungku. Ada sekelebat mimpi di dadaku yang memompaku untuk bisa menulis: menorehkan namaku di koran seperti mereka. Maka dalam hati, aku berjanji bahwa suatu saat nanti aku harus bisa menulis di koran. Dan sejak itu aku pun mulai rajin membaca koran yang aku jual dan mempelajari tulisan yang dimuat di koran secara autodidak.
Ironisnya, tidak jarang, ketika aku khusuk membaca koran di emperan toko, aku kerap kali lupa kuliah: “bolos”. Jujur, di jalanan aku mengenal kehidupan. Dari halaman koran, aku bisa belajar menulis. Aku merasa seperti dianugerahi sepasang mata untuk melihat sekeliling dengan mata yang tajam. Dengan tanpa bimbingan seorang tutor atau guru menulis, aku belajar menulis dengan jurus tanpa “kitab suci”. Ibarat murid di biara Shaolin, aku belajar ilmu bela diri dengan hanya melihat hasil lukisan tendangan atau pukulan yang terpampang di tembok biara Shaolin lalu tengah malam gulita aku belajar untuk mempraktekkan apa yang aku lihat tersebut.
Jadi, setiap pagi hari aku melakoni ritual jualan koran di jalanan, lalu menjelang siang berangkat kuliah dengan mengayuh sepeda dari Krapyak ke kampus dan malam hari aku melatih diri untuk menulis. Semua itu kulakukan untuk mewujudkan mimpiku; aku harus bisa menorehkan namaku di lembaran koran, tidak harus jadi penjaja koran jalanan terus atau jadi anak jalanan abadi.
Aku belajar menulis di malam hari, lalu aku kirim ke sejumlah koran. Tapi, jalan yang aku lalui tidaklah mulus. Seratus halangan dan terpaan, nyaris membuatku hampir putus asa saat tulisan yang aku buat itu ditolak oleh redaktur media massa. Aku diliputi kegamangan, patah arah. Bahkan dalam hatiku, sempat terbesit keraguan: apakah aku memang benar-benar tidak akan pernah jadi penulis?
Tidak Patah Arang
Aku memang kerap gamang! Tapi, usaha keras, tidak jarang membuahkan hasil. Aku tidak jadi patah arah. Sekeras apa pun persaingan merebut lembaran koran, bagiku masih keras dan kejam kehidupan di jalanan. Itu yang aku ketahui. Sebab di jalanan, aku sempat diancam dengan sebilah belati yang dihunuskan tepat di wajahku. Di jalanan, aku sempat berkelahi dengan penjaja koran dari Madura, karena ia merasa lahannya aku rebut. Di jalanan, aku juga bergaul dengan preman yang kerap kali mabuk dan berkelahi. Di jalanan, aku kerap kali bertemu dengan copet yang dengan jeli dan cekatan menguntit dompet para penumpang. Itu alasanku, kenapa aku tak patah arah jika hanya berjuang bisa menembus koran.
Usaha keras, ditunjang kesabaran dan mental tidak patah arah, rupanya mampu merubah “jalan hidupku”. Setelah berjuang dengan keras, satu persatu, tulisanku dimuat di koran lokal hingga kemudian menembus koran nasional, yakni di Kedaulatan Rakyat, Bernas, Solo Pos, Bengawan Pos, Wawasan, Suara Merdeka, Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, Suara Indonesia, Lampung Post, Batam Post, Harian Riau Mandiri, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Matabaca, Gatra, Tempo, Koran Tempo, Republika, Seputar Indonesia, Media Indonesia, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Jurnal Nasional, Bisnis Indonesia, Suara Karya, Tabloit Nova, Majalah Anggun, Gamma, Forum Keadilan, The Jakarta Post dan Kompas.
Aku mulai menginjakkan kaki di Yogyakarta untuk kuliah dan menjadi penjual koran pada penghujung tahun 1995. Keterbatasan pengetahuan dan tidak ada guru yang membimbingku, menjadikanku tidak bisa mewujudkan mimpiku untuk menjadi penulis dengan mudah. Mimpiku hanya menggumpal di sudut otakku. Apalagi, waktu itu aku tak memiliki uang lebih untuk membeli mesin ketik yang dapat mewujudkan mimpiku bisa menulis di lembaran koran. Di sisi lain, tak ada teman yang punya mesin ketik yang bisa aku pinjam dengan leluasa. Jadi, mimpiku itu terkubur dalam lorong waktu kurang lebih dua tahun.
Waktu berlalu. Deraan, cobaan dan ujian hidup pun silih berganti. Aku bahkan terpaksa keluar kuliah ketika menginjak semester dua --karena tak bisa bayar SPP. Tapi mimpiku untuk mampu menulis di lembaran koran seperti tidak pernah padam. Apalagi, setelah keluar kuliah aku praktis hidup di jalanan. Hampir setiap pagi aku jualan koran. Tapi di jalanan itu, aku belajar mengenal kehidupan dan bersentuhan dengan setumpuk koran: belajar autodidak cara menulis di koran.
Tahun 1996, aku daftar kuliah lagi. Seiring dengan berjalannya waktu, satu tahun kemudian aku mulai merintis menulis dan mengirim tulisan berupa cerpen ke koran di sela-sela kesibukan kuliah dan jualan koran. Hampir satu tahun, kerja kerasku bahkan tak membuahkan hasil. Tidak ada satu pun tulisanku yang dimuat di koran. Aku hampir putus asa. Tetapi dalam “keputusasaanku” itu, aku mulai menekuni bidang fotografi dan iseng-iseng aku mengirimkan foto yang aku hasilkan itu ke koran.
Rupanya, dari keisengan tersebut ternyata membuahkan hasil. Sebuah foto yang aku kirim ke koran ternyata berbuah manis: dimuat di rubrik “Citra Foto” di Kedaulatan Rakyat (Kamis, 11 Desember 1997). Bermula dari pemuatan fotoku itulah, “rasa percaya diriku” untuk menulis bersemi lagi. Mesin ketik yang sempat kugadaikan, kemudian aku tebus. Aku kemudian berjuang keras untuk menulis lagi.
Tetapi, perjuangan kerasku ternyata tidak mulus. Aku mengalami jatuh bangun, dan hampir setahun kemudian, aku bisa bernapas lega ketika tulisan resensiku berjudul “Potret Yogya Sehari-Semalam” dimuat di koran harian Kedaulatan Rakyat (Minggu, 01 November 1998). Lalu, disusul tulisan resensiku yang berjudul “Sekolah dan Kepelikan Sistem Pendidikan” yang juga dimuat di koran Kedaulatan Rakyat belum genap sebulan (Minggu, 29 November 1989).
Dua tulisanku yang dimuat di koran itu memang membuatku percaya diri. Tetapi jalan lempang ke depan, tidaklah mudah seperti yang aku bayangkan. Karena menginjak tahun 1999, tidak ada ada satu pun tulisanku yang dimuat. Baru memasuki tahun 2000, aku kembali bisa bernapas lega lantaran empat (4) tulisan resensi-ku dimuat di Bernas, Kedaulatan Rakyat dan Majalah Forum Keadilan.
Mulai Merambah Sejumlah Media
Setelah melalui perjuangan keras, pada tahun 2001 tulisanku mulai bertebaran di koran. Tahun 2001, ada tujuh belas (17) tulisan resensiku yang dimuat di koran --mulai dari koran Kedaulatan Rakyat, Surabaya Post, Majalah Gamma, Pikiran Rakyat, Media Indonesia bahkan sudah tembus Kompas.
Tahun berikutnya, 2002, tulisanku yang dimuat di koran mulai meningkat. Dari tujuh belas tulisan yang dimuat tahun 2001, meningkat menjadi tiga puluh (30) tulisan. Pada tahun 2002, selain banyak tulisanku yang dimuat di media massa yang sebelumnya belum pernah memuat tulisanku (seperti di Solo Pos, Bengawan Post, Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Surya, Jawa Pos dan bahkan Jakarta Post) aku juga kembali menulis cerpen. Cerita pendek pertamaku berjudul “Mbah Kardoen” dimuat di Solo Pos (Minggu, 28 Juli 2002).
Tahun 2003, proses kreatifku mencapai puncaknya karena kerja kerasku berhasil menorehkan lima puluh enam (56) tulisan --dalam berbagai genre- yang dimuat di koran dan majalah. Aku tidak hanya menulis resensi buku dan cerpen, melainkan menulis esai sastra, esai film, opini dan bahkan juga puisi. Tahun 2004, bisa dikatakan tulisanku yang dimuat di koran menurun jumlahnya karena cuma ada tiga puluh tujuh (37) tulisanku yang dimuat di koran.
Tahun 2005, aku hijrah ke Jakarta bekerja sebagai wartawan. Kesibukanku mulai merenggut waktuku sebagai penulis freelance di sejumlah koran dan majalah yang sudah mulai aku rintis sejak 1998. Tak salah, jika ada dua belas (12) tulisanku yang dimuat di koran selama tahun 2005. Tahun 2006, ada dua puluh dua (22) tulisan yang dimuat di koran. Lalu, tahun 2007, ada dua puluh delapan (28) tulisan. Tahun 2008, ada empat puluh tiga (43) tulisan dan tahun 2009, ada dua puluh sembilan (29) tulisan.
Kini, sudah sepuluh tahun lebih aku menjadi penulis freelance di sejumlah koran lokal dan nasional: menulis resensi buku, opini, esai sastra, esai film dan cerita pendek. Tak kurang ada 300 tulisanku yang sudah dimuat di koran lokal dan nasional. Mimpiku untuk bisa jadi penulis akhirnya terwujud. Bahkan, berkat tulisanku yang banyak dimuat di koran itulah aku kemudian bisa menjadi wartawan.
Dulu, sebelum lulus kuliah UIN Yogyakarta, ketika kampus tempatku menimba ilmu mengadakan lomba cerpen dan resensi buku yang dijaring dari tulisan-tulisan yang pernah dimuat di koran, aku mendapat juara pertama untuk kategori lomba cerpen dan resensi buku (tahun 2002). Tahun berikutnya, 2003, aku kembali merebut juara. Selain itu, beberapa kali aku juga memenangi lomba menulis resensi buku yang diadakan oleh beberapa penerbit. Satu “prestasi gemilang” aku raih tatkala IKAPI mengadakan lomba blog buku; aku berhasil terpilih jadi juara pertama dalam lomba blog Pesta Buku Jakarta 2008.
Semua prestasi itu seperti sebuah mimpi. Pasalnya, sejarah hidupku nyaris selalu diliputi rentetan kegagalan. Sedari kecil, bahkan aku nyaris kehilangan mimpi dan masa depan. Sebelum kuliah, aku tidak pernah bercita-cita menjadi penulis. Apalagi, terbesit sebuah mimpi besar untuk jadi wartawan. Jika sekarang ini aku berhasil jadi penulis dan wartawan, itu semata-mata karena “kecelakaan sejarah”.
Awalnya, aku terjerumus menjadi penjual koran dan setelah membaca koran aku memiliki mimpi untuk jadi penulis. Mimpiku itu, sekarang sudah terwujud. Karena itu, bermimpilah setinggi langit. Suatu hari nanti, mimpimu itu akan jadi kenyataan. Dalam meraih mimpu itu, aku tidak memungkiri apa yang dikatakan oleh Dough Hoper, “you are what you think (Anda adalah apa yang Anda pikirkan)”.
Jadi, jangan takut untuk bermimpi!
cerita yang inspiratif..terima kasih
BalasHapusterima kasih telah mampir di blog ini
BalasHapusilmu yg berguna mas,..makasih bgt sdh dibagikan kepada publik...saya jd bersemangat mas!!
BalasHapusmakasih mbak kenia, semoga tulisan ini bermanfaat. thanks sdh mampir ke blog ini...
BalasHapusmembarakan mimpiku, trims mas!
BalasHapuslebih membara lagi, jk kita bs ngopi bareng di selokan mataram... thanks kembali
BalasHapus