cerpen ini dimuat di TRIBUN JABAR [Minggu, 31 Jan 2010]
SIANG yang kelabu. Aku tiba di kotaku. Sebuah kota yang nyaris tidak lagi memikatku untuk memiliki kerinduan menginjakkan kaki di beranda rumah sejak ayah meninggal tiga tahun yang lalu. Tapi kini aku kembali menginjakkan kaki di kota ini --kota yang hampir tiga tahun tak pernah aku kunjungi sejak aku pindah kerja ke kota seberang.
Tiga tahun aku tak pulang. Kini, aku sudah menebus dosaku. Jadi, tidak ada dusta lagi, aku pulang ke kota ini setelah sekian lama hanya uang kirimanku yang menjenguk tangan bunda.
Turun dari bus tepat di gang kecil menuju rumah, aku termangu menatap lorong panjang yang lengang. Tak seperti kepulanganku waktu masih kecil dulu ketika aku duduk di bangku sekolah dasar. Siang ini, aku merasa kelengangan ini mengabarkan berita petaka. Angin yang aku hirup seperti menguarkan aroma duka. Aku menatap sekeliling, dan aku merasa ditikam cemas.
Tetapi kerinduanku setelah lama tak bertemu ibu seakan menyeretku serupa orang asing di kampung sendiri. Aku merasa seperti seorang tamu yang akan bertandang ke rumahku, bukan seorang anak yang pulang ingin bertemu ibunya. Kakiku gemetar, tatkala aku melangkah dengan ragu melewati gapura di mulut gang mungil ke arah rumahku.
Tak ada anak-anak kecil berseragam merah putih sepulang sekolah atau bermain kelereng di sepanjang lorong. Angin membisu. Kakiku kaku. Padahal, aku ditikam kerinduan untuk segera memeluk bunda. Tetapi, belum jauh aku melangkah memasuki gang, tiba-tiba kulihat bendera putih tertancam di dekat gapura.
Angin kembali bertiup, mengibarkan kain di tiang bambu. Aku disergap gelisah. Aku tak tahu siapa yang meninggal dunia. Karena tak ada berita duka di papan pengumunan yang biasanya ditulis di dekat gapura. Aku berhenti, ragu untuk berjalan lebih jauh. Langkahku seperti tercekat, dan berat untuk kuajak pulang ke rumah.
Lamat-lamat, aku mendengar langkah kaki iring-iringan orang. Tidak lama kemudian, muncul keranda yang ditutup dengan kain hijau dan diusung empat orang menyusuri lorong. Di belakang keranda, tiga orang berjalan mengikuti dengan muka tertunduk, ditikam sedih. Tidak jelas pandanganku, ketika aku menatap para pengusung keranda. Juga tiga orang yang ada di belakang. Aku berdiri mematung, menatap iring-iringan yang mengusung keranda semakin berjalan mendekat ke arahku.
Tapi ketika iring-iringan pengusung keranda hampir dekat, aku nyaris tak percaya. Aku seketika terperanjak kaget. Tiga orang pengiring di belakang keranda tidak lain adalah ustadz Mukhtar, kakakku dan adikku. Iring-iringan pengantar jenazah berjalan cepat. Ketika melintas tepat di depanku, aku termangu. Orang-orang itu seperti tidak mengenalku. Kakakku diam. Adikku tak menoleh ke arahku.
Aku berlari mengejar iring-iringan itu dan berteriak, "Siapakah yang meninggal dunia?"
"Kau ini aneh! Ayahmu sendiri yang meninggal, tapi kau justru tidak tahu," jawab kakakku marah.
Aku tergeragap. Jantungku membeku. "Jangan bercanda, kak! Ayah kan sudah meninggal tiga tahun lalu. Tak mungkin ayah meninggal dan dimakamkan lagi...!"
Kakakku diam. Adikku tidak menoleh ke arahku. Aku bingung. Tidak ada jawaban, aku memutuskan untuk mengikuti iring-iringan para pengantar jenazah. Anehnya, tak satu pun yang mengajakku bicara, seolah aku orang asing yang tidak pernah mereka kenal. Semua diam, seakan mereka sekumpulan orang bisu yang lagi dirundung sedih.
Akhirnya, iring-iringan pengantar jenazah itu tiba di pemakaman. Keranda diturunkan. Jenazah yang sejak tadi telantar di balik keranda, segera dikeluarkan. Tak ada geledak. Tak ada petir. Jenazah yang konon jasad ayahku itu digeletakkan di tepian kubur dan tak segera dimakamkan. Tak ada orang, termasuk kakakku dan adikku yang merasa berhak untuk segera memakamkan jenazah ayah.
Aku termangu, menatap kejanggalan itu.
"Kenapa kamu termangu?" tanya salah satu dari pengusung jenazah.
"Kenapa tak segera dikuburkan?" balasku, merasa aneh.
"Kamu itu tahu apa tentang prosesi pemakaman? Kini, carilah beberapa kancing baju agar ayahmu bisa segera dikuburkan!" perintah pengantar jenazah lain dengan muka cemberut dan murka.
"Untuk apa dengan kancing baju segala?" bentakku, tak mengerti.
"Turutilah perintah itu supaya mereka segera memakamkan ayahmu!" ucap ustadz Mukhtar.
Mata ustadz berwarna biru, membuatku tak kuasa membantah. Aku segera berlari meninggalkan pemakaman. Tak tahu harus mencari kancing baju ke mana, aku hanya berlari sepanjang jalan, tidak jelas arah. Sepanjang jalan yang kulintasi, sepenuhnya bentangan tanah kosong. Tak kutemukan toko. Tak kulihat pasar.
Setelah berlari tak tentu arah, kakiku jadi lemas. Aku berhenti, menarik napas. Keringat mengucur. Terik mentari yang tadi menyengat, tiba-tiba berubah mendung. Langit kelam dan hujan turun. Aku berlari kembali, mencari tempat untuk berteduh. Untung kutemukan sebuah rumah di tepi sawah. Aku berteduh di teras rumah itu.
Bajuku basah. Aku mengibaskan rambutku biar segera kering dan agar kepalaku tak pening. Tapi, belum sempat aku merasa tenang, tiba-tiba pintu rumah terbuka dan muncul seorang tua yang kuyakini sebagai pemilik rumah itu. Mata orang itu, kulihat teduh saat memintaku untuk masuk. Rupanya orang itu seorang penjahit. Kulihat mesin jahit tua yang teronggok di sudut ruangan.
Aku seketika ingat ayah, yang memang bekerja sebagai penjahit. Kini aku sadar kenapa para pengantar jenazah itu memintaku mencari kancing baju. Aku tahu, kancing baju itu pasti untuk merekatkan kain kafan agar bisa melilit di jasad ayah dengan rapat, dikancingkan pada setiap sisi dengan sisi kafan yang lain.
"Maaf pak, aku butuh kancing baju. Sekiranya bapak memiliki beberapa kancing, aku harap bapak tak keberatan aku membeli beberapa biji!" pintaku, ragu.
Orang itu melihatku, ragu. Matanya bening, serupa telaga. "Tak usah membeli! Jika memang kau butuh, ambillah di kaleng dekat mesin jahit itu!" jawabnya seraya menuding ke arah mesin tua yang teronggok. "Aku tahu kau lagi butuh kancing itu untuk menebus dosamu!" lanjutnya.
Aku terlonjak kaget. Bagaimana mungkin bapak tua penjahit ini tahu dosaku pada ayah. Tapi aku tak peduli. Aku butuh kancing baju itu. Aku melangkah menuju mesin jahit, memilih kancing baju yang seragam. Kuambil sembilan buah, lalu aku segera pamit untuk pergi. Aku tak ingin ayah tergeletak, tak terurus di tepian makam.
Tapi betapa terkejutnya, saat keluar dari rumah penjahit itu, aku berpapasan dengan para pengusung jenazah ayah, termasuk kakakku, adikku dan ustadz Mukhtar yang ternyata sudah pulang dari pemakaman. Aku berdiri, heran. Menatap mereka dengan bingung.
"Ayahmu sudah dimakamkan, kini pulanglah! Ibumu sedang menunggumu di rumah. Dia diliputi kesedihan karena kau sudah lama tak pulang!" pinta salah seorang dari pengantar jenazah ayah dengan sorot mata merah menyala.
Hatiku sakit. Aku merasa ditipu. Bagaimana bisa aku dibiarkan tak mengikuti prosesi pemakaman ayah justru diminta mencari kancing yang ternyata tak terpakai?
Aku ingin memukul mereka semua. Tetapi, aku ternyata tidak memiliki tenaga lagi. Mataku kabur. Kulihat semua berubah gelap. Bahkan setelah aku tiba di rumah, semua tampak gelap. Sosok kakakku bagai bayangan hitam, berdiri kaget waktu melihat kedatanganku di ambang pintu. Adikku tak kalah kaget. Sementara itu, wajah ibu kulihat gelap. Ia duduk di kursi, mematung serupa arca.
Tapi aku masih bisa melihat semua meski dengan samar. Maka, aku bersimpuh di kaki ibu. "Maafkan aku, bu! Aku pulang terlambat dan tak bisa mengikuti prosesi pemakaman ayah!"
Ibu termangu, menatapku heran. "Kau ini ngomong apa? Sudah tiga tahun tak pulang, tapi begitu tiba di rumah ngomongmu ngelantur."
"Bukankah ayah baru saja dimakamkan?"
Ibu berdiri, menatap ke arah halaman seraya berkata pendek, "Ayahmu sudah meninggal tiga tahun lalu..."
Aku berdiri, menatap halaman. Tak ada bekas jejak kursi yang ditata untuk pelayat. Tidak ada terpal digelar di pelataran. Tidak ada aroma duka. Aku berpaling. Kulihat, kakak menatapku heran. Adikku nanar melihatku. Dan ibu berkata, "Kau masih waras khan?"
Aku manatap ibu dengan pandangan ganjil. Ingatanku bagai tercerabut dari labirin waktu bagai gelombang yang datang tak terduga dan aku tiba-tiba merasa kenangan di masa laluku terburai.
Ibu menatapku. Aku masih membisu, berdiri kaku. Keringat membasahi punggungku dan bajuku. Aku menengok jam dinding. Pukul tiga sore. Adzan ashar berkumandang.
Lamat-lamat, aku kembali bisa mengingat ...
Condet, 2007-2010
SIANG yang kelabu. Aku tiba di kotaku. Sebuah kota yang nyaris tidak lagi memikatku untuk memiliki kerinduan menginjakkan kaki di beranda rumah sejak ayah meninggal tiga tahun yang lalu. Tapi kini aku kembali menginjakkan kaki di kota ini --kota yang hampir tiga tahun tak pernah aku kunjungi sejak aku pindah kerja ke kota seberang.
Tiga tahun aku tak pulang. Kini, aku sudah menebus dosaku. Jadi, tidak ada dusta lagi, aku pulang ke kota ini setelah sekian lama hanya uang kirimanku yang menjenguk tangan bunda.
Turun dari bus tepat di gang kecil menuju rumah, aku termangu menatap lorong panjang yang lengang. Tak seperti kepulanganku waktu masih kecil dulu ketika aku duduk di bangku sekolah dasar. Siang ini, aku merasa kelengangan ini mengabarkan berita petaka. Angin yang aku hirup seperti menguarkan aroma duka. Aku menatap sekeliling, dan aku merasa ditikam cemas.
Tetapi kerinduanku setelah lama tak bertemu ibu seakan menyeretku serupa orang asing di kampung sendiri. Aku merasa seperti seorang tamu yang akan bertandang ke rumahku, bukan seorang anak yang pulang ingin bertemu ibunya. Kakiku gemetar, tatkala aku melangkah dengan ragu melewati gapura di mulut gang mungil ke arah rumahku.
Tak ada anak-anak kecil berseragam merah putih sepulang sekolah atau bermain kelereng di sepanjang lorong. Angin membisu. Kakiku kaku. Padahal, aku ditikam kerinduan untuk segera memeluk bunda. Tetapi, belum jauh aku melangkah memasuki gang, tiba-tiba kulihat bendera putih tertancam di dekat gapura.
Angin kembali bertiup, mengibarkan kain di tiang bambu. Aku disergap gelisah. Aku tak tahu siapa yang meninggal dunia. Karena tak ada berita duka di papan pengumunan yang biasanya ditulis di dekat gapura. Aku berhenti, ragu untuk berjalan lebih jauh. Langkahku seperti tercekat, dan berat untuk kuajak pulang ke rumah.
Lamat-lamat, aku mendengar langkah kaki iring-iringan orang. Tidak lama kemudian, muncul keranda yang ditutup dengan kain hijau dan diusung empat orang menyusuri lorong. Di belakang keranda, tiga orang berjalan mengikuti dengan muka tertunduk, ditikam sedih. Tidak jelas pandanganku, ketika aku menatap para pengusung keranda. Juga tiga orang yang ada di belakang. Aku berdiri mematung, menatap iring-iringan yang mengusung keranda semakin berjalan mendekat ke arahku.
Tapi ketika iring-iringan pengusung keranda hampir dekat, aku nyaris tak percaya. Aku seketika terperanjak kaget. Tiga orang pengiring di belakang keranda tidak lain adalah ustadz Mukhtar, kakakku dan adikku. Iring-iringan pengantar jenazah berjalan cepat. Ketika melintas tepat di depanku, aku termangu. Orang-orang itu seperti tidak mengenalku. Kakakku diam. Adikku tak menoleh ke arahku.
Aku berlari mengejar iring-iringan itu dan berteriak, "Siapakah yang meninggal dunia?"
"Kau ini aneh! Ayahmu sendiri yang meninggal, tapi kau justru tidak tahu," jawab kakakku marah.
Aku tergeragap. Jantungku membeku. "Jangan bercanda, kak! Ayah kan sudah meninggal tiga tahun lalu. Tak mungkin ayah meninggal dan dimakamkan lagi...!"
Kakakku diam. Adikku tidak menoleh ke arahku. Aku bingung. Tidak ada jawaban, aku memutuskan untuk mengikuti iring-iringan para pengantar jenazah. Anehnya, tak satu pun yang mengajakku bicara, seolah aku orang asing yang tidak pernah mereka kenal. Semua diam, seakan mereka sekumpulan orang bisu yang lagi dirundung sedih.
Akhirnya, iring-iringan pengantar jenazah itu tiba di pemakaman. Keranda diturunkan. Jenazah yang sejak tadi telantar di balik keranda, segera dikeluarkan. Tak ada geledak. Tak ada petir. Jenazah yang konon jasad ayahku itu digeletakkan di tepian kubur dan tak segera dimakamkan. Tak ada orang, termasuk kakakku dan adikku yang merasa berhak untuk segera memakamkan jenazah ayah.
Aku termangu, menatap kejanggalan itu.
"Kenapa kamu termangu?" tanya salah satu dari pengusung jenazah.
"Kenapa tak segera dikuburkan?" balasku, merasa aneh.
"Kamu itu tahu apa tentang prosesi pemakaman? Kini, carilah beberapa kancing baju agar ayahmu bisa segera dikuburkan!" perintah pengantar jenazah lain dengan muka cemberut dan murka.
"Untuk apa dengan kancing baju segala?" bentakku, tak mengerti.
"Turutilah perintah itu supaya mereka segera memakamkan ayahmu!" ucap ustadz Mukhtar.
Mata ustadz berwarna biru, membuatku tak kuasa membantah. Aku segera berlari meninggalkan pemakaman. Tak tahu harus mencari kancing baju ke mana, aku hanya berlari sepanjang jalan, tidak jelas arah. Sepanjang jalan yang kulintasi, sepenuhnya bentangan tanah kosong. Tak kutemukan toko. Tak kulihat pasar.
Setelah berlari tak tentu arah, kakiku jadi lemas. Aku berhenti, menarik napas. Keringat mengucur. Terik mentari yang tadi menyengat, tiba-tiba berubah mendung. Langit kelam dan hujan turun. Aku berlari kembali, mencari tempat untuk berteduh. Untung kutemukan sebuah rumah di tepi sawah. Aku berteduh di teras rumah itu.
Bajuku basah. Aku mengibaskan rambutku biar segera kering dan agar kepalaku tak pening. Tapi, belum sempat aku merasa tenang, tiba-tiba pintu rumah terbuka dan muncul seorang tua yang kuyakini sebagai pemilik rumah itu. Mata orang itu, kulihat teduh saat memintaku untuk masuk. Rupanya orang itu seorang penjahit. Kulihat mesin jahit tua yang teronggok di sudut ruangan.
Aku seketika ingat ayah, yang memang bekerja sebagai penjahit. Kini aku sadar kenapa para pengantar jenazah itu memintaku mencari kancing baju. Aku tahu, kancing baju itu pasti untuk merekatkan kain kafan agar bisa melilit di jasad ayah dengan rapat, dikancingkan pada setiap sisi dengan sisi kafan yang lain.
"Maaf pak, aku butuh kancing baju. Sekiranya bapak memiliki beberapa kancing, aku harap bapak tak keberatan aku membeli beberapa biji!" pintaku, ragu.
Orang itu melihatku, ragu. Matanya bening, serupa telaga. "Tak usah membeli! Jika memang kau butuh, ambillah di kaleng dekat mesin jahit itu!" jawabnya seraya menuding ke arah mesin tua yang teronggok. "Aku tahu kau lagi butuh kancing itu untuk menebus dosamu!" lanjutnya.
Aku terlonjak kaget. Bagaimana mungkin bapak tua penjahit ini tahu dosaku pada ayah. Tapi aku tak peduli. Aku butuh kancing baju itu. Aku melangkah menuju mesin jahit, memilih kancing baju yang seragam. Kuambil sembilan buah, lalu aku segera pamit untuk pergi. Aku tak ingin ayah tergeletak, tak terurus di tepian makam.
Tapi betapa terkejutnya, saat keluar dari rumah penjahit itu, aku berpapasan dengan para pengusung jenazah ayah, termasuk kakakku, adikku dan ustadz Mukhtar yang ternyata sudah pulang dari pemakaman. Aku berdiri, heran. Menatap mereka dengan bingung.
"Ayahmu sudah dimakamkan, kini pulanglah! Ibumu sedang menunggumu di rumah. Dia diliputi kesedihan karena kau sudah lama tak pulang!" pinta salah seorang dari pengantar jenazah ayah dengan sorot mata merah menyala.
Hatiku sakit. Aku merasa ditipu. Bagaimana bisa aku dibiarkan tak mengikuti prosesi pemakaman ayah justru diminta mencari kancing yang ternyata tak terpakai?
Aku ingin memukul mereka semua. Tetapi, aku ternyata tidak memiliki tenaga lagi. Mataku kabur. Kulihat semua berubah gelap. Bahkan setelah aku tiba di rumah, semua tampak gelap. Sosok kakakku bagai bayangan hitam, berdiri kaget waktu melihat kedatanganku di ambang pintu. Adikku tak kalah kaget. Sementara itu, wajah ibu kulihat gelap. Ia duduk di kursi, mematung serupa arca.
Tapi aku masih bisa melihat semua meski dengan samar. Maka, aku bersimpuh di kaki ibu. "Maafkan aku, bu! Aku pulang terlambat dan tak bisa mengikuti prosesi pemakaman ayah!"
Ibu termangu, menatapku heran. "Kau ini ngomong apa? Sudah tiga tahun tak pulang, tapi begitu tiba di rumah ngomongmu ngelantur."
"Bukankah ayah baru saja dimakamkan?"
Ibu berdiri, menatap ke arah halaman seraya berkata pendek, "Ayahmu sudah meninggal tiga tahun lalu..."
Aku berdiri, menatap halaman. Tak ada bekas jejak kursi yang ditata untuk pelayat. Tidak ada terpal digelar di pelataran. Tidak ada aroma duka. Aku berpaling. Kulihat, kakak menatapku heran. Adikku nanar melihatku. Dan ibu berkata, "Kau masih waras khan?"
Aku manatap ibu dengan pandangan ganjil. Ingatanku bagai tercerabut dari labirin waktu bagai gelombang yang datang tak terduga dan aku tiba-tiba merasa kenangan di masa laluku terburai.
Ibu menatapku. Aku masih membisu, berdiri kaku. Keringat membasahi punggungku dan bajuku. Aku menengok jam dinding. Pukul tiga sore. Adzan ashar berkumandang.
Lamat-lamat, aku kembali bisa mengingat ...
Condet, 2007-2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar