JIKA kebahagiaan seorang lelaki yang sedang jatuh cinta itu seperti rinai gerimis, mungkin lelaki itu tak akan kesulitan menampung air serupa kristal berkilau yang jatuh dari langit ketika turun gerimis. Ia akan menengadahkan kedua tangannya, lalu meraup rintik yang turun mirip salju itu hingga kedua tangannya basah bagai habis mengambil wudhu. Ia akan membasuh wajahnya, lantas mendesiskan selarik doa; berharap gerimis yang turun akan memberi setangkup kebahagiaan.
Tetapi, kebahagiaan yang dia rasakan di malam yang rumpil sehabis pulang dari rumah kontrakan perempuan itu seperti menyisakan mendung bimbang yang terkenang dalam ingatan. Ia hanya termangu. Sepi menusuk kalbu. Gerimis yang turun tiba-tiba di malam itu masih menyisakan mendung yang kelabu. Di balik jendela, ia berdiri menatap langit. Tidak ada pendar rembulan, tak ada kerlip bintang. Cakrawala serupa bentangan hitam yang merambatkan bimbang lantaran pikirannya mengembara, menelusup setiap jejak peristiwa yang terjadi sejak dua minggu lalu ketika pagi dilingkupi mendung yang sendu.
“Kau pasti tak percaya jika pagi ini aku memenuhi janjiku untuk mengunjungimu dan aku merasa tidak perlu memberitahumu lewat telepon lebih dulu.”
Laki-laki itu hanya termangu, menatap wajah seorang perempuan yang berdiri di depan pintu kontrakannya. Seorang perempuan yang baru ia kenal, tapi sudah memberi kejutan yang tak pernah ia duga –ia datang mengejutkan. Ia datang tiba-tiba, dan tahu-tahu sudah berdiri di depan kontrakan setelah ia dikejutkan ketukan di pintu.
“Aku sudah datang jauh-jauh, kenapa kamu biarkan aku terpaku di depan pintu? Tidak bolehkah aku mengunjungimu sehingga kau tidak mempersilahkanku masuk?”
“Rumah ini terbuka untuk siapa pun yang datang ke sini, tidak terkecuali untuk seorang yang baru aku kenal,” ucap laki-laki itu gugup “Masuklah, dan anggaplah rumah mungil yang aku kontrak ini seperti rumahmu sendiri….”
Perempuan itu masuk, tetapi disergap bingung untuk menyandarkan diri setelah menempuh perjalanan jauh. Hanya ada selembar karpet kumuh, lusuh, berdebu yang terbentang di depan tv. Ia kemudian duduk, tanpa mempedulikan koran yang terserak di lantai, buku bertumpuk bersamaan koran yang terbentang habis dibaca tidak serius.
“Ini kubawakan separoh kue yang dulu pernah kujanjikan. Aku berharap, kue ini bisa membuatmu senang…”
Lelaki itu ingat perbincangan tempo hari melaui email atau chating saat melihat bungkusan kue yang ada di depannya. “Terima kasih. Kenapa repot-repot membawa kue segala? Aku sudah senang, kamu mau datang untuk berkunjung.“
Perempuan itu tertawa memecah suasana yang semula terkesan kaku. Lelaki itu ikut tertawa seakan perempuan itu sudah lama ia kenal, meski sebenarnya baru ia kenal sebulan lalu. Sebuah perkenalan aneh, karena perempuan itu sebenarnya adik kelasnya sewaktu kuliah dulu tetapi keduanya tak pernah bertatap muka, dan baru dipertemukan setelah keduanya tinggal di kota yang sama lewat jaringan internet.
“Kenapa dulu aku tidak pernah melihatmu di kampus?”
“Kau pasti bohong! Aku ini cukup dikenal di kampus, bagaimana bisa kamu tidak pernah melihatku?”
Keduanya tertawa, seakan terkenang di masa kuliah dulu. Jarak tiga tahun yang terbentang antara dua mantan mahasiswa satu fakultas itu, tidak menutup kemungkinan hanya saling tahu sebatas wajah, tapi tak mengenal lebih jauh. Hingga kemudian kedua orang itu dipertemukan, berkenalan dan tidak disangka; ternyata dulu pernah kuliah di fakultas yang sama.
Siang datang dengan cepat dan hari tiba-tiba sudah berganti sore. Perempuan itu sebenarnya ingin pulang sore itu tetapi gerimis yang turun tiba-tiba mencegahnya untuk pulang segera. “Tahukah kau bahwa aku sebenarnya benci gerimis!’” ucap perempuan itu kesal. Ia tidak bisa pulang, dan gerimis seperti mencegahnya bertahan lebih lama di kontrakan mungil itu --setidaknya harus menunggu sampai reda.
“Kenapa kau benci gerimis? Bukankah gerimis yang turun itu akan memberikan setangkup kebahagiaan bagi petani?”
“Tapi setiap turun gerimis, entah kenapa, aku selalu terkenang akan perpisahan. Dan setiap perpisahan, selalu membuatku tiba-tiba ingin menangis…”
Gerimis masih turun. Dari gorden jendela depan yang tersingkap, lelaki itu bisa melihat dengan jelas gerimis yang turun dari balik kaca jendela. Ia tak ingin perempuan itu menangis serupa gerimis yang turun di senja itu. Senja yang meninggalkan kenangan tentang gerimis, dan perpisahan yang akan segera terjadi.
“Kau tak perlu sedih, nanti aku bisa mengantarmu pulang…”
“Aku tak mau kau mengantarku. Aku bisa naik taksi…!”
Gerimis reda, dan petang tiba-tiba sudah melingkupi cakrawala. Adzan maghrib menggema dari masjid di dekat kontrakan. Lelaki itu terpaku sejenak sebelum kemudian berpesan pendek. “Kau bisa shalat di sini. Aku akan ke masjid dulu, baru setelah itu aku akan mengantarmu pulang…”
Perempuan itu termangu, membiarkan lelaki itu berlalu dari hadapannya; hilang di telan hamparan petang setelah keluar dari pintu kontrakan. Perempuan itu kemudian melangkah ke kamar mandi. Air kran terdengar parau. Ia mengambil wudhu dan keluar dengan muka setengah basah. Lalu, masuk kamar menunaikan shalat.
Lelaki itu pulang dari masjid, membuka pintu kontrakan. Dari balik pintu kamar, ia mendapati perempuan itu sudah selesai menunaikan shalat, dan dia menanti di luar kamar dengan galau.
”Sudah siap kuantar pulang?” tanyanya ketika perempuan itu keluar dari kamar.
”Tak usah mengantarku, kau hanya perlu memanggilkan taksi untukku…”
Ia menatap perempuan itu dengan melotot ”Aku harus mengantarmu karena aku khawatir terjadi apa-apa denganmu di jalan.”
”Bagaimana jika kamu hanya mengantarku sampai di jalan raya, setelah itu aku naik taksi?”
Lelaki itu kembali menatap wajah perempuan itu. ”Aku tak akan membiarkamu pulang sendirian.”
Sisa gerimis masih meninggalkan hawa dingin di sepanjang jalan, ketika lelaki itu mengantar perempuan itu pulang.
Malam mengambang di langit. Di balik jendela lelaki itu masih terkenang jalanan yang disergap macet, sebelum akhirnya ia tiba di kontrakan perempuan itu dengan letih. Dan malam sehabis turun gerimis di senja itu, dia tak pernah bisa melupakan kisah yang membuatnya terkenang tentang gerimis lantaran dia terlanjur menceritakan sepenggal hidupnya pada perempuan itu.
Sesaat setelah ia bercerita, di teras rumah kontrakan yang ditinggali perempuan itu, ia tiba-tiba diingatkan lagi peristiwa sepuluh tahun lalu. Peristiwa yang membuatnya tersedu, karena dia pernah membuat perempuan yang dia kenal dekat harus terluka dan dirawat di sebuah rumah sakit.
“Jika besok kau main ke sini, aku harap kau tidak keberatan untuk bercerita lagi. Aku akan selalu merindukan ceritamu. Aku tak menyangka, jika kau ini pandai bercerita dan mendongeng…” sanjung perempuan itu.
“Ini bukan dongeng. Tapi ini kisah nyata dalam hidupku…”
“Kenapa tak kamu tulis dalam novel? Aku yakin kisah itu bisa membuat pembaca tersihir dan terpikat…”
“Aku tak yakin dengan kemampuan diriku… Biarlah cerita itu akan menjadi kisah yang ada dalam kepalaku. Aku tak keberatan menceritakannya padamu sepenggal demi sepenggal jika aku besok datang ke sini lagi, tetapi tidak untuk kutulis dalam novel.”
Perempuan itu diam, melepas kepergian lelaki itu dari sebuah tangga. Tapi, lelaki itu seperti berat bergegas pergi meninggalkan perempuan itu dalam remang malam yang galau. Ia menoleh sekilas, kembali mendekati perempuan itu, “Aku ingin bertanya satu hal padamu…”
Perempuan itu diam, memandang lelaki itu dengan heran.
“Apa kau sudah memiliki calon suami?” tanya lelaki itu mengejutkan, membuat perempuan itu tercekat.
“Jika kau mau tahu jawabanku, aku harap kau mau menulis kisahmu itu menjadi novel. Jadi, selesaikan novelmu, setelah itu baru aku mau menjawab pertanyaanmu!”
Laki-laki itu beranjak pergi untuk pulang, tak mau menoleh melihat kembali ke arah perempuan itu. Ia merasa ditampar jawaban yang membuatnya tak bisa berpaling dan menoleh lagi. Bertahun-tahun, ia dibesarkan dalam kepingan kisah yang tak pernah membuatnya bisa mengukir prestasi sepanjang hidupnya, membuat ia terpikir mimpi yang pernah ia kubur dalam-dalam sewaktu ia merasa sebagai anak bodoh sekampung, yang kemudian bisa pergi ke kota besar berkat doa ibunya. Tetapi, kini ia merasa bahwa kesempatan ini adalah masa depannya yang sudah lama dia impikan. Sebuah kisah yang akan ia ceritakan untuk anak cucunya kelak di kemudian hari.
Sore tadi, ia kembali datang ke kontrakan perempuan itu. Tak ada yang ingin dia katakan, kecuali hanya untuk minta sebuah jawaban. Seperti di malam yang rumpil saat ia mengantar perempuan itu pulang, keduanya kembali duduk di teras rumah. Lelaki itu diam, termangu lama sebelum kemudian membuka percakapan.
“Kenapa kamu tak mau mengatakan jujur padaku untuk sebuah pertanyaan yang kemarin aku tanyakan.”
”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepadamu?”
“Apa kamu sudah punya calon suami?”
“Sudah kukatakan… Jika kau mau tahu jawabanku, aku harap kau mau menulis kisahmu itu jadi novel. Jadi, selesaikan novelmu, setelah itu baru aku mau menjawab pertanyaanmu!”
Lelaki itu pulang dengan membawa jawaban yang tak pernah ia dapatkan, meski ia sudah susah payah membujuk perempuan itu. Ia tahu, jika usahanya untuk membujuk dan merayu perempuan itu akan sia-sia. Dan pada malam yang rumpil, setelah dia tiba di kontrakannya sepulang dari kontrakan perempuan itu, ia hanya bisa menatap gerimis yang turun dari kaca jendela.
Ia tahu, kebahagiaan yang ia rasakan di malam yang rumpil seperti sekarang ini menyisakan mendung kebimbangan yang akan terkenang dalam ingatan. Sepi menusuk kalbu. Gerimis turun tiba-tiba, menyisakan mendung yang kelabu. Ia kembali menatap langit dengan sendu, sebelum kemudian melangkah ke arah meja di mana seperangkat komputer sudah menyala dari tadi.
Dan malam ini, di depan computer, dia mulai menuliskan sebuah kisah. Sebuah kisah tentang gerimis yang akan ia kenang selalu dalam ingatan. Karena dia tahu, empat bulan kemudian sejak ia memutuskan menuliskan kisah tentang gerimis, ia akan pergi menemui perempuan itu; menagih janji untuk jawaban dari sebuah pertanyaan tentang calon suami… ***
Cerita untuk Faza
Ciputat, 22 Mei 2009
Tetapi, kebahagiaan yang dia rasakan di malam yang rumpil sehabis pulang dari rumah kontrakan perempuan itu seperti menyisakan mendung bimbang yang terkenang dalam ingatan. Ia hanya termangu. Sepi menusuk kalbu. Gerimis yang turun tiba-tiba di malam itu masih menyisakan mendung yang kelabu. Di balik jendela, ia berdiri menatap langit. Tidak ada pendar rembulan, tak ada kerlip bintang. Cakrawala serupa bentangan hitam yang merambatkan bimbang lantaran pikirannya mengembara, menelusup setiap jejak peristiwa yang terjadi sejak dua minggu lalu ketika pagi dilingkupi mendung yang sendu.
“Kau pasti tak percaya jika pagi ini aku memenuhi janjiku untuk mengunjungimu dan aku merasa tidak perlu memberitahumu lewat telepon lebih dulu.”
Laki-laki itu hanya termangu, menatap wajah seorang perempuan yang berdiri di depan pintu kontrakannya. Seorang perempuan yang baru ia kenal, tapi sudah memberi kejutan yang tak pernah ia duga –ia datang mengejutkan. Ia datang tiba-tiba, dan tahu-tahu sudah berdiri di depan kontrakan setelah ia dikejutkan ketukan di pintu.
“Aku sudah datang jauh-jauh, kenapa kamu biarkan aku terpaku di depan pintu? Tidak bolehkah aku mengunjungimu sehingga kau tidak mempersilahkanku masuk?”
“Rumah ini terbuka untuk siapa pun yang datang ke sini, tidak terkecuali untuk seorang yang baru aku kenal,” ucap laki-laki itu gugup “Masuklah, dan anggaplah rumah mungil yang aku kontrak ini seperti rumahmu sendiri….”
Perempuan itu masuk, tetapi disergap bingung untuk menyandarkan diri setelah menempuh perjalanan jauh. Hanya ada selembar karpet kumuh, lusuh, berdebu yang terbentang di depan tv. Ia kemudian duduk, tanpa mempedulikan koran yang terserak di lantai, buku bertumpuk bersamaan koran yang terbentang habis dibaca tidak serius.
“Ini kubawakan separoh kue yang dulu pernah kujanjikan. Aku berharap, kue ini bisa membuatmu senang…”
Lelaki itu ingat perbincangan tempo hari melaui email atau chating saat melihat bungkusan kue yang ada di depannya. “Terima kasih. Kenapa repot-repot membawa kue segala? Aku sudah senang, kamu mau datang untuk berkunjung.“
Perempuan itu tertawa memecah suasana yang semula terkesan kaku. Lelaki itu ikut tertawa seakan perempuan itu sudah lama ia kenal, meski sebenarnya baru ia kenal sebulan lalu. Sebuah perkenalan aneh, karena perempuan itu sebenarnya adik kelasnya sewaktu kuliah dulu tetapi keduanya tak pernah bertatap muka, dan baru dipertemukan setelah keduanya tinggal di kota yang sama lewat jaringan internet.
“Kenapa dulu aku tidak pernah melihatmu di kampus?”
“Kau pasti bohong! Aku ini cukup dikenal di kampus, bagaimana bisa kamu tidak pernah melihatku?”
Keduanya tertawa, seakan terkenang di masa kuliah dulu. Jarak tiga tahun yang terbentang antara dua mantan mahasiswa satu fakultas itu, tidak menutup kemungkinan hanya saling tahu sebatas wajah, tapi tak mengenal lebih jauh. Hingga kemudian kedua orang itu dipertemukan, berkenalan dan tidak disangka; ternyata dulu pernah kuliah di fakultas yang sama.
Siang datang dengan cepat dan hari tiba-tiba sudah berganti sore. Perempuan itu sebenarnya ingin pulang sore itu tetapi gerimis yang turun tiba-tiba mencegahnya untuk pulang segera. “Tahukah kau bahwa aku sebenarnya benci gerimis!’” ucap perempuan itu kesal. Ia tidak bisa pulang, dan gerimis seperti mencegahnya bertahan lebih lama di kontrakan mungil itu --setidaknya harus menunggu sampai reda.
“Kenapa kau benci gerimis? Bukankah gerimis yang turun itu akan memberikan setangkup kebahagiaan bagi petani?”
“Tapi setiap turun gerimis, entah kenapa, aku selalu terkenang akan perpisahan. Dan setiap perpisahan, selalu membuatku tiba-tiba ingin menangis…”
Gerimis masih turun. Dari gorden jendela depan yang tersingkap, lelaki itu bisa melihat dengan jelas gerimis yang turun dari balik kaca jendela. Ia tak ingin perempuan itu menangis serupa gerimis yang turun di senja itu. Senja yang meninggalkan kenangan tentang gerimis, dan perpisahan yang akan segera terjadi.
“Kau tak perlu sedih, nanti aku bisa mengantarmu pulang…”
“Aku tak mau kau mengantarku. Aku bisa naik taksi…!”
Gerimis reda, dan petang tiba-tiba sudah melingkupi cakrawala. Adzan maghrib menggema dari masjid di dekat kontrakan. Lelaki itu terpaku sejenak sebelum kemudian berpesan pendek. “Kau bisa shalat di sini. Aku akan ke masjid dulu, baru setelah itu aku akan mengantarmu pulang…”
Perempuan itu termangu, membiarkan lelaki itu berlalu dari hadapannya; hilang di telan hamparan petang setelah keluar dari pintu kontrakan. Perempuan itu kemudian melangkah ke kamar mandi. Air kran terdengar parau. Ia mengambil wudhu dan keluar dengan muka setengah basah. Lalu, masuk kamar menunaikan shalat.
Lelaki itu pulang dari masjid, membuka pintu kontrakan. Dari balik pintu kamar, ia mendapati perempuan itu sudah selesai menunaikan shalat, dan dia menanti di luar kamar dengan galau.
”Sudah siap kuantar pulang?” tanyanya ketika perempuan itu keluar dari kamar.
”Tak usah mengantarku, kau hanya perlu memanggilkan taksi untukku…”
Ia menatap perempuan itu dengan melotot ”Aku harus mengantarmu karena aku khawatir terjadi apa-apa denganmu di jalan.”
”Bagaimana jika kamu hanya mengantarku sampai di jalan raya, setelah itu aku naik taksi?”
Lelaki itu kembali menatap wajah perempuan itu. ”Aku tak akan membiarkamu pulang sendirian.”
Sisa gerimis masih meninggalkan hawa dingin di sepanjang jalan, ketika lelaki itu mengantar perempuan itu pulang.
Malam mengambang di langit. Di balik jendela lelaki itu masih terkenang jalanan yang disergap macet, sebelum akhirnya ia tiba di kontrakan perempuan itu dengan letih. Dan malam sehabis turun gerimis di senja itu, dia tak pernah bisa melupakan kisah yang membuatnya terkenang tentang gerimis lantaran dia terlanjur menceritakan sepenggal hidupnya pada perempuan itu.
Sesaat setelah ia bercerita, di teras rumah kontrakan yang ditinggali perempuan itu, ia tiba-tiba diingatkan lagi peristiwa sepuluh tahun lalu. Peristiwa yang membuatnya tersedu, karena dia pernah membuat perempuan yang dia kenal dekat harus terluka dan dirawat di sebuah rumah sakit.
“Jika besok kau main ke sini, aku harap kau tidak keberatan untuk bercerita lagi. Aku akan selalu merindukan ceritamu. Aku tak menyangka, jika kau ini pandai bercerita dan mendongeng…” sanjung perempuan itu.
“Ini bukan dongeng. Tapi ini kisah nyata dalam hidupku…”
“Kenapa tak kamu tulis dalam novel? Aku yakin kisah itu bisa membuat pembaca tersihir dan terpikat…”
“Aku tak yakin dengan kemampuan diriku… Biarlah cerita itu akan menjadi kisah yang ada dalam kepalaku. Aku tak keberatan menceritakannya padamu sepenggal demi sepenggal jika aku besok datang ke sini lagi, tetapi tidak untuk kutulis dalam novel.”
Perempuan itu diam, melepas kepergian lelaki itu dari sebuah tangga. Tapi, lelaki itu seperti berat bergegas pergi meninggalkan perempuan itu dalam remang malam yang galau. Ia menoleh sekilas, kembali mendekati perempuan itu, “Aku ingin bertanya satu hal padamu…”
Perempuan itu diam, memandang lelaki itu dengan heran.
“Apa kau sudah memiliki calon suami?” tanya lelaki itu mengejutkan, membuat perempuan itu tercekat.
“Jika kau mau tahu jawabanku, aku harap kau mau menulis kisahmu itu menjadi novel. Jadi, selesaikan novelmu, setelah itu baru aku mau menjawab pertanyaanmu!”
Laki-laki itu beranjak pergi untuk pulang, tak mau menoleh melihat kembali ke arah perempuan itu. Ia merasa ditampar jawaban yang membuatnya tak bisa berpaling dan menoleh lagi. Bertahun-tahun, ia dibesarkan dalam kepingan kisah yang tak pernah membuatnya bisa mengukir prestasi sepanjang hidupnya, membuat ia terpikir mimpi yang pernah ia kubur dalam-dalam sewaktu ia merasa sebagai anak bodoh sekampung, yang kemudian bisa pergi ke kota besar berkat doa ibunya. Tetapi, kini ia merasa bahwa kesempatan ini adalah masa depannya yang sudah lama dia impikan. Sebuah kisah yang akan ia ceritakan untuk anak cucunya kelak di kemudian hari.
Sore tadi, ia kembali datang ke kontrakan perempuan itu. Tak ada yang ingin dia katakan, kecuali hanya untuk minta sebuah jawaban. Seperti di malam yang rumpil saat ia mengantar perempuan itu pulang, keduanya kembali duduk di teras rumah. Lelaki itu diam, termangu lama sebelum kemudian membuka percakapan.
“Kenapa kamu tak mau mengatakan jujur padaku untuk sebuah pertanyaan yang kemarin aku tanyakan.”
”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepadamu?”
“Apa kamu sudah punya calon suami?”
“Sudah kukatakan… Jika kau mau tahu jawabanku, aku harap kau mau menulis kisahmu itu jadi novel. Jadi, selesaikan novelmu, setelah itu baru aku mau menjawab pertanyaanmu!”
Lelaki itu pulang dengan membawa jawaban yang tak pernah ia dapatkan, meski ia sudah susah payah membujuk perempuan itu. Ia tahu, jika usahanya untuk membujuk dan merayu perempuan itu akan sia-sia. Dan pada malam yang rumpil, setelah dia tiba di kontrakannya sepulang dari kontrakan perempuan itu, ia hanya bisa menatap gerimis yang turun dari kaca jendela.
Ia tahu, kebahagiaan yang ia rasakan di malam yang rumpil seperti sekarang ini menyisakan mendung kebimbangan yang akan terkenang dalam ingatan. Sepi menusuk kalbu. Gerimis turun tiba-tiba, menyisakan mendung yang kelabu. Ia kembali menatap langit dengan sendu, sebelum kemudian melangkah ke arah meja di mana seperangkat komputer sudah menyala dari tadi.
Dan malam ini, di depan computer, dia mulai menuliskan sebuah kisah. Sebuah kisah tentang gerimis yang akan ia kenang selalu dalam ingatan. Karena dia tahu, empat bulan kemudian sejak ia memutuskan menuliskan kisah tentang gerimis, ia akan pergi menemui perempuan itu; menagih janji untuk jawaban dari sebuah pertanyaan tentang calon suami… ***
Cerita untuk Faza
Ciputat, 22 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar