AKU nyaris tak percaya, kalau perempuan bermata biru di hadapanku itu ternyata ibu kandungku. Perempuan yang telah melahirkanku duapuluh tahun yang lalu. Air mataku menitik ketika kurengkuh tubuh perempuan itu. Aku ditingkupi rasa bersalah. Bagaimana mungkin aku harus memanggil dengan sebutan ibu kalau sejak kecil, ayah kami telah mengenalkan perempuan bermata biru itu; pembantu di rumah kami?
Perempuan bermata biru itu, mengangkat tubuhku, lalu menghapus tetes air mataku. Sorot matanya tajam, menghujam hatiku. Aku tidak sanggup mengucap kata yang puitis, untuk sekadar meminta maaf. "Sudahlah, semua sudah berlalu. Kini yang ada hanya masa depan," bisiknya di telingaku.
Suara perempuan bermata biru itu lembut dan halus. Dan aku hanya bisa menangis karena menyesali dosaku...
SELAMA dua puluh tahun, perempuan itu tidak pernah aku panggil dengan sebutan "ibu". Ah, aku memang anak yang kurang ajar. Apalagi aku seorang anak perempuan yang nantinya akan jadi ibu bagi anakku. Bahkan, aku tak punya nama panggilan lain yang lebih pantas hanya untuk memanggil perempuan itu, kecuali sebutan pembantu.
Setiap kali, aku mau membuka mulut, untuk sekedar memanggil perempuan itu dengan naluriku, selalu ada mata yang menatap tajam mataku. Setiap sudut, seperti ada kunang-kunang bermata tajam yang mengancamku. Aku, akhirnya urung memanggil perempuan itu dengan sebutan yang lembut, apalagi memanggilnya ibu, nyaris seumur hidupku.
Aku tahu, selalu ada mata tajam yang tidak saja membuatku ciut tetapi juga membuatku ditikam cemas untuk akrab dengan perempuan yang telah dinikahi ayah itu. Karena, mata tajam itu tidak saja muncul di balik bola mata ayahku. Aku malah nyaris menemukan semua mata keluarga ayah cukup garang bahkan pedas menusuk mataku, kalau aku harus memanggil "perempuan desa" itu.
Padahal, aku nyaris tidak pernah menemukan perempuan itu menuntut hal aneh pada ayah. Aku nyaris menemukan perempuan itu sempurna, dibanding dengan ibu tiriku. Ia tidak pernah marah, memaki atau mengumpatku. Bahkan, saat aku bawel merengek-rengek kepada ayah untuk dibelikan boneka dan ayah tak peduli, paginya --sepulang dari pasar-- perempuan itu sudah menenteng boneka barbie.
"Rawatlah baik-baik seperti non merawat diri sendiri!" kata perempuan itu lembut.
Aku menerimanya dengan riang, lalu berlari ke kamar. Tak mengucapkan terima kasih. Tak mengumbar senyum manis. Aku sepertinya tak perlu berterima kasih, apalagi memanggilnya ibu. Karena, tatkala aku dapat bicara, ayah telah mengenalkanku jika perempuan itu pembantu di rumah kami!
Sampai aku masuk sekolah Taman kanak-kanan, ia tak saja memandikanku sebelum aku berangkat sekolah tapi menyuapiku, mengantarku bahkan menungguku pulang. Saat aku lulus SD lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas, perempuan itu tak lagi banyak menaruh perhatian padaku karena aku sudah memiliki adik amnis. Adik perempuan yang delapan belas tahun kemudian -saat aku kuliah- baru aku ketahui, ternyata adik tiriku!
DUA puluh dua tahun lalu, ayah menikahi perempuan itu. Saat aku sudah beranjak besar, pernah suatu hari aku bertanya kepada ayah tentang pentingnya sebongkah cinta dalam kehidupan rumah tangga. Karena ketika itu ada seseorang laki-laki yang melamarku, sedangkan aku tidak mencintainya. Ayah diam, seolah pernikahan itu takdir dari setiap manusia yang sudah beranjak dewasa.
Akhirnya aku menebak-nebak jika di balik pernikahan ayah, ada rahasia yang terselimuti kabut tebal. Seiring bertambahnya umurku, apalagi ketika itu aku sudah memiliki kekasih, pemuda tampan yang memiliki sebuah keluarga besar yang cukup perhatian padaku. Aku tahu, mengapa pihak keluarga ayah tak pernah mampir ke rumah kami dan tak pernah menginjakkan kaki di beranda rumah kami.
Ingin, aku menanyakan perihal itu pada perempuan yang dikenalkan ayah sebagai pembantu di rumah kami. Tetapi, aku selalu tak berani mengungkap masa lalu ayah, hingga kesempatan itu tidak pernah ada lagi setelah aku kuliah dan tinggal di kota. Padahal, aku lahir dari rahimnya.
Ayah memang sengaja membuat jarak antara aku dengan ibu. Sejak kecil, aku seringkali diungsikan ke rumah nenek, tidur di bawah ketiak nenek, nyaris berbantal kasak-kusuk kisah tentang ibu yang tak ada baiknya. Nenek bercerita jika perempuan yang jadi ibuku itu berasal dari keluaga miskin pantas menjadi pembantu di rumah kami. Padahal aku, entah kenapa seperti menemukan kedamaian saat ibu mengantarku pergi sekolah bahkan menunggu saat aku pulang, digandeng dengan lembut melintasi taman kecil di kotaku.
Tapi itu tak berlangsung lama. Saat aku kelas tiga SD, aku nyaris tak menemukan kesejukan di mata perempuan itu lagi. Aku pergi, dan pulang sekolah sendiri. Ibu tak lebih seorang pembantu di rumah kami, dan ayah tidak ubahnya seorang tamu. Tetapi, aku sering mendengar pertengkaran di tengah malam buta. Kadang aku mendengar tangan ayah mampir ke tubuh ibu. Tangis menderai. Kutahu cukup sakit, saat ibu dipukul ayah. Kadang membuatku menangis. Peristiwa itu, hampir aku jumpai setiap hari hingga aku tak lagi mendengar, karena kuliah ke kota.
TAK kuat, dengan cacian dan makian dari famili ayah yang memang sejak mula pernikahan dulu tak merestui, ayah akhirnya menceraikan ibu. Anehnya ibu tak mau pergi dari rumah, dan memilih jadi pembantu di rumah kami. Ayah, lalu menikah lagi dengan perempuan lain. Aku masih kecil, tatkala perceraian ibuku itu tiba-tiba membuat ibu berubah menjadi pembantu di rumah kami.
Apa sebenarnya salah ibu?
Aku tak tahu. Tapi, sebulan lalu aku pulang ke rumah. Ayah menelponku dan memintaku untuk segera pulang.
Setiba di rumah, aku tak melihat wajah ayahku. Aku buka kamarnya, tak kutemukan sosok berbau semak-semak nanas yang melekat di tubuh ayah ada dalam ruang kamar itu. Tidak biasa, aku menjumpai ayah tidak ada di rumah saat sore seperti itu.
Rumah kami benar-benar lengang dan aku tahu hanya ada ibu di kamarnya yang sedang tidur pulas. Aku tak berani mengetuk pintu kamarnya apalagi harus bertanya ke mana ayah pergi. Meski di mataku, dia pembantu, tapi aku tak tega membangunkannya. Aku pun duduk termangu di kursi, menatap rumah yang sepi.
Rumah kami memang mirip sebuah perusahaan. Saat sore tiba nyaris sepi dengan urusan. Tapi saat malam tiba, dari adikku, aku tahu kalau ayah sengaja mengungsi. Rupanya, ayah memintaku pulang karena ada sebuah masalah. Dan ayah rupanya lebih memilih mengusir pembantu itu, yang tak lain adalah ibuku, demi menuruti permintaan dari keluarga ayah. Ayah lalu pergi, entah ke mana, sejak ibu tak mau diusir pergi. Bahkan ibu menantang mata tajam keluarga ayah, yang menyala jalang di penjuru ruangan, di pojok kamar dan dapur.
Mata ibu --perempuan pembantu itu-- juling, tak mau diusir dari rumah bahkan bersumpah rela mati mengenaskan, jika sudah tak layak dianggap sebagai ibuku. Untuk apa perempuan harus melanjutkan hidup setelah bercerai, apalagi itu semata-mata dikarenakan soal ibuku berasal dari keluarga tidak mampu, dan sudah tak lagi memiliki keluarga untuk diikuti?
Ibu tak mau disewenangi, diusir dari rumah! Lantas ibu bersumpah...
DUA hari, aku menunggu ayah. Tetapi ayah tak kunjung pulang ke rumah. Hingga suatu malam, tatkala aku sudah tak lagi tahan menanggung beban, karena rumah lengang dan sunyi, aku mendengar seseorang mengetuk pintu.
Aku berharap itu bukan seorang tamu tapi kedatangan ayah yang pulang. Dugaanku benar. Kulihat sosok hitam mirip aroma semak-semak nanas, berdiri di pintu. Aku tak ragu, itu ayah, meski sudah hampir satu tahun aku tidak pulang ke rumah.
Tetapi astaga! Wajah ayahku yang dulu cerah, kini kusut. Pakaian ayah nyaris kotor, bau semak-semak nanas.
"Maafkan ayah. Karena ayah tak bisa berpikir seperti yang pernah kamu katakan... Kapan kamu pulang?"
"Dua hari yang lalu!
Ayah diam, menatapku dengan resah, bimbang dan bingung.
"Kenapa ayah tak kunjung pulang? Ada apa sebenarnya dengan ayah?"
"Asal tahu, perempuan yang selama ini kau panggil pembantu itu adalah ibu kandungmu!"
Aku tercekat, nyaris pingsan!
Tetapi, ayah tak memedulikanku lagi lalu menerobos masuk ke rumah dan membuka pintu kamar ibu. Aku masih sempat mendengar ucapan ayah dan perempuan yang kini kuketahui sebagai ibuku. Rupanya ayah pulang karena tak ingin ibuku pergi dari rumah.
Ayah meminta ibuku untuk memaafkannya, karena sumpah ibu membuktikan akan kesalahan ayah. Ayah yang selama ini membenci ibuku, nyaris ditikam rasa takut setelah ibu bersumpah. Karena, sumpah ibu ternyata benar. Hasil tanaman nanas yang jadi gantungan hidup kami tak panen tahun ini.
Aku menyusul ayah masuk ke kamar ibu.
Sesampai di kamar, mata ibu kulihat serupa bentangan laut biru. Tidak kuasa aku menanggung rasa bersalah, aku menghampiri ibu, memeluknya erat-erat dan menitikkan air mata. "Ibu, maafkan anakmu yang ikut-ikutan salah ini! Tak kuduga kalau semua berakhir seperti ini... "
Aku nyaris tak percaya, kalau perempuan bermata biru di hadapanku itu ternyata ibu kandungku. Perempuan yang telah melahirkanku duapuluh tahun yang lampau. Air mataku menitik saat kurengkuh tubuh perempuan itu. Aku ditingkupi rasa bersalah. Bagaimana mungkin aku harus memanggil dengan sebutan ibu kalau sejak kecil, ayah kami telah mengenalkan perempuan bermata biru itu; pembantu di rumah kami?
Aku lalu bersimpuh, mencium kaki ibu.
Perempuan bermata biru itu, mengangkat tubuhku, lalu menghapus tetes air mataku. Sorot matanya tajam, menghujam hatiku. Aku tidak sanggup mengucap kata yang puitis, untuk sekadar meminta maaf. "Sudahlah, semua sudah berlalu. Kini yang ada hanya masa depan," bisiknya di telingaku.
Suara perempuan bermata biru itu lembut dan halus. Dan aku hanya bisa menangis karena menyesali dosaku...***
cerita untuk Mia di Lampung
Yogyakarta, 2004-2008
Perempuan bermata biru itu, mengangkat tubuhku, lalu menghapus tetes air mataku. Sorot matanya tajam, menghujam hatiku. Aku tidak sanggup mengucap kata yang puitis, untuk sekadar meminta maaf. "Sudahlah, semua sudah berlalu. Kini yang ada hanya masa depan," bisiknya di telingaku.
Suara perempuan bermata biru itu lembut dan halus. Dan aku hanya bisa menangis karena menyesali dosaku...
***
SELAMA dua puluh tahun, perempuan itu tidak pernah aku panggil dengan sebutan "ibu". Ah, aku memang anak yang kurang ajar. Apalagi aku seorang anak perempuan yang nantinya akan jadi ibu bagi anakku. Bahkan, aku tak punya nama panggilan lain yang lebih pantas hanya untuk memanggil perempuan itu, kecuali sebutan pembantu.
Setiap kali, aku mau membuka mulut, untuk sekedar memanggil perempuan itu dengan naluriku, selalu ada mata yang menatap tajam mataku. Setiap sudut, seperti ada kunang-kunang bermata tajam yang mengancamku. Aku, akhirnya urung memanggil perempuan itu dengan sebutan yang lembut, apalagi memanggilnya ibu, nyaris seumur hidupku.
Aku tahu, selalu ada mata tajam yang tidak saja membuatku ciut tetapi juga membuatku ditikam cemas untuk akrab dengan perempuan yang telah dinikahi ayah itu. Karena, mata tajam itu tidak saja muncul di balik bola mata ayahku. Aku malah nyaris menemukan semua mata keluarga ayah cukup garang bahkan pedas menusuk mataku, kalau aku harus memanggil "perempuan desa" itu.
Padahal, aku nyaris tidak pernah menemukan perempuan itu menuntut hal aneh pada ayah. Aku nyaris menemukan perempuan itu sempurna, dibanding dengan ibu tiriku. Ia tidak pernah marah, memaki atau mengumpatku. Bahkan, saat aku bawel merengek-rengek kepada ayah untuk dibelikan boneka dan ayah tak peduli, paginya --sepulang dari pasar-- perempuan itu sudah menenteng boneka barbie.
"Rawatlah baik-baik seperti non merawat diri sendiri!" kata perempuan itu lembut.
Aku menerimanya dengan riang, lalu berlari ke kamar. Tak mengucapkan terima kasih. Tak mengumbar senyum manis. Aku sepertinya tak perlu berterima kasih, apalagi memanggilnya ibu. Karena, tatkala aku dapat bicara, ayah telah mengenalkanku jika perempuan itu pembantu di rumah kami!
Sampai aku masuk sekolah Taman kanak-kanan, ia tak saja memandikanku sebelum aku berangkat sekolah tapi menyuapiku, mengantarku bahkan menungguku pulang. Saat aku lulus SD lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas, perempuan itu tak lagi banyak menaruh perhatian padaku karena aku sudah memiliki adik amnis. Adik perempuan yang delapan belas tahun kemudian -saat aku kuliah- baru aku ketahui, ternyata adik tiriku!
***
DUA puluh dua tahun lalu, ayah menikahi perempuan itu. Saat aku sudah beranjak besar, pernah suatu hari aku bertanya kepada ayah tentang pentingnya sebongkah cinta dalam kehidupan rumah tangga. Karena ketika itu ada seseorang laki-laki yang melamarku, sedangkan aku tidak mencintainya. Ayah diam, seolah pernikahan itu takdir dari setiap manusia yang sudah beranjak dewasa.
Akhirnya aku menebak-nebak jika di balik pernikahan ayah, ada rahasia yang terselimuti kabut tebal. Seiring bertambahnya umurku, apalagi ketika itu aku sudah memiliki kekasih, pemuda tampan yang memiliki sebuah keluarga besar yang cukup perhatian padaku. Aku tahu, mengapa pihak keluarga ayah tak pernah mampir ke rumah kami dan tak pernah menginjakkan kaki di beranda rumah kami.
Ingin, aku menanyakan perihal itu pada perempuan yang dikenalkan ayah sebagai pembantu di rumah kami. Tetapi, aku selalu tak berani mengungkap masa lalu ayah, hingga kesempatan itu tidak pernah ada lagi setelah aku kuliah dan tinggal di kota. Padahal, aku lahir dari rahimnya.
Ayah memang sengaja membuat jarak antara aku dengan ibu. Sejak kecil, aku seringkali diungsikan ke rumah nenek, tidur di bawah ketiak nenek, nyaris berbantal kasak-kusuk kisah tentang ibu yang tak ada baiknya. Nenek bercerita jika perempuan yang jadi ibuku itu berasal dari keluaga miskin pantas menjadi pembantu di rumah kami. Padahal aku, entah kenapa seperti menemukan kedamaian saat ibu mengantarku pergi sekolah bahkan menunggu saat aku pulang, digandeng dengan lembut melintasi taman kecil di kotaku.
Tapi itu tak berlangsung lama. Saat aku kelas tiga SD, aku nyaris tak menemukan kesejukan di mata perempuan itu lagi. Aku pergi, dan pulang sekolah sendiri. Ibu tak lebih seorang pembantu di rumah kami, dan ayah tidak ubahnya seorang tamu. Tetapi, aku sering mendengar pertengkaran di tengah malam buta. Kadang aku mendengar tangan ayah mampir ke tubuh ibu. Tangis menderai. Kutahu cukup sakit, saat ibu dipukul ayah. Kadang membuatku menangis. Peristiwa itu, hampir aku jumpai setiap hari hingga aku tak lagi mendengar, karena kuliah ke kota.
***
TAK kuat, dengan cacian dan makian dari famili ayah yang memang sejak mula pernikahan dulu tak merestui, ayah akhirnya menceraikan ibu. Anehnya ibu tak mau pergi dari rumah, dan memilih jadi pembantu di rumah kami. Ayah, lalu menikah lagi dengan perempuan lain. Aku masih kecil, tatkala perceraian ibuku itu tiba-tiba membuat ibu berubah menjadi pembantu di rumah kami.
Apa sebenarnya salah ibu?
Aku tak tahu. Tapi, sebulan lalu aku pulang ke rumah. Ayah menelponku dan memintaku untuk segera pulang.
Setiba di rumah, aku tak melihat wajah ayahku. Aku buka kamarnya, tak kutemukan sosok berbau semak-semak nanas yang melekat di tubuh ayah ada dalam ruang kamar itu. Tidak biasa, aku menjumpai ayah tidak ada di rumah saat sore seperti itu.
Rumah kami benar-benar lengang dan aku tahu hanya ada ibu di kamarnya yang sedang tidur pulas. Aku tak berani mengetuk pintu kamarnya apalagi harus bertanya ke mana ayah pergi. Meski di mataku, dia pembantu, tapi aku tak tega membangunkannya. Aku pun duduk termangu di kursi, menatap rumah yang sepi.
Rumah kami memang mirip sebuah perusahaan. Saat sore tiba nyaris sepi dengan urusan. Tapi saat malam tiba, dari adikku, aku tahu kalau ayah sengaja mengungsi. Rupanya, ayah memintaku pulang karena ada sebuah masalah. Dan ayah rupanya lebih memilih mengusir pembantu itu, yang tak lain adalah ibuku, demi menuruti permintaan dari keluarga ayah. Ayah lalu pergi, entah ke mana, sejak ibu tak mau diusir pergi. Bahkan ibu menantang mata tajam keluarga ayah, yang menyala jalang di penjuru ruangan, di pojok kamar dan dapur.
Mata ibu --perempuan pembantu itu-- juling, tak mau diusir dari rumah bahkan bersumpah rela mati mengenaskan, jika sudah tak layak dianggap sebagai ibuku. Untuk apa perempuan harus melanjutkan hidup setelah bercerai, apalagi itu semata-mata dikarenakan soal ibuku berasal dari keluarga tidak mampu, dan sudah tak lagi memiliki keluarga untuk diikuti?
Ibu tak mau disewenangi, diusir dari rumah! Lantas ibu bersumpah...
***
DUA hari, aku menunggu ayah. Tetapi ayah tak kunjung pulang ke rumah. Hingga suatu malam, tatkala aku sudah tak lagi tahan menanggung beban, karena rumah lengang dan sunyi, aku mendengar seseorang mengetuk pintu.
Aku berharap itu bukan seorang tamu tapi kedatangan ayah yang pulang. Dugaanku benar. Kulihat sosok hitam mirip aroma semak-semak nanas, berdiri di pintu. Aku tak ragu, itu ayah, meski sudah hampir satu tahun aku tidak pulang ke rumah.
Tetapi astaga! Wajah ayahku yang dulu cerah, kini kusut. Pakaian ayah nyaris kotor, bau semak-semak nanas.
"Maafkan ayah. Karena ayah tak bisa berpikir seperti yang pernah kamu katakan... Kapan kamu pulang?"
"Dua hari yang lalu!
Ayah diam, menatapku dengan resah, bimbang dan bingung.
"Kenapa ayah tak kunjung pulang? Ada apa sebenarnya dengan ayah?"
"Asal tahu, perempuan yang selama ini kau panggil pembantu itu adalah ibu kandungmu!"
Aku tercekat, nyaris pingsan!
Tetapi, ayah tak memedulikanku lagi lalu menerobos masuk ke rumah dan membuka pintu kamar ibu. Aku masih sempat mendengar ucapan ayah dan perempuan yang kini kuketahui sebagai ibuku. Rupanya ayah pulang karena tak ingin ibuku pergi dari rumah.
Ayah meminta ibuku untuk memaafkannya, karena sumpah ibu membuktikan akan kesalahan ayah. Ayah yang selama ini membenci ibuku, nyaris ditikam rasa takut setelah ibu bersumpah. Karena, sumpah ibu ternyata benar. Hasil tanaman nanas yang jadi gantungan hidup kami tak panen tahun ini.
Aku menyusul ayah masuk ke kamar ibu.
Sesampai di kamar, mata ibu kulihat serupa bentangan laut biru. Tidak kuasa aku menanggung rasa bersalah, aku menghampiri ibu, memeluknya erat-erat dan menitikkan air mata. "Ibu, maafkan anakmu yang ikut-ikutan salah ini! Tak kuduga kalau semua berakhir seperti ini... "
Aku nyaris tak percaya, kalau perempuan bermata biru di hadapanku itu ternyata ibu kandungku. Perempuan yang telah melahirkanku duapuluh tahun yang lampau. Air mataku menitik saat kurengkuh tubuh perempuan itu. Aku ditingkupi rasa bersalah. Bagaimana mungkin aku harus memanggil dengan sebutan ibu kalau sejak kecil, ayah kami telah mengenalkan perempuan bermata biru itu; pembantu di rumah kami?
Aku lalu bersimpuh, mencium kaki ibu.
Perempuan bermata biru itu, mengangkat tubuhku, lalu menghapus tetes air mataku. Sorot matanya tajam, menghujam hatiku. Aku tidak sanggup mengucap kata yang puitis, untuk sekadar meminta maaf. "Sudahlah, semua sudah berlalu. Kini yang ada hanya masa depan," bisiknya di telingaku.
Suara perempuan bermata biru itu lembut dan halus. Dan aku hanya bisa menangis karena menyesali dosaku...***
cerita untuk Mia di Lampung
Yogyakarta, 2004-2008
saya suka...
BalasHapusentah kenapa, kisah tentang ibu selalu memukau untuk dinikmati...
thanks, dan sebaliknya saya juga suka kupu2, yang selalu beterbangan dengan sejuta warna-warni yang kau rekam dlm puisi2mu. selamat berkarya....
BalasHapusIde cerita ini bagus, bahkan terlalu bagus. Namun alurnya sangat datar dan terlalu dipaksakan untuk menuju kesimpulan pada sebuah pertemuan yang megharukan. Nyaris konflik yang dimunculkan terkesan hambar dan tidak mengkerucut pada sebuah masalah yang mengakibatkan keterpisahan dan pertemuan kembali. Btw, karya-karyamu yang sudah"terlalu banyak" menutupi itu semua. hahahahaha....
BalasHapushe 3x. masak yang banyak bisa menutupi kekurangan cerpen satu ini. mana blog film-mu???
BalasHapusYM-mu opo, kita chating aja
BalasHapusblog film belum kubikin, tapi udah ngumpulin data film yg lumayan banyak. jadi sekalian ntar kalo jadi langsung posting yang banyaaaaakkkk...