Sabtu, 26 April 2008

lelaki kelelawar

cerpen ini dimuat suara karya, sabtu 26 April 2008

KESIUR angin, sejenak seperti tak berbisik. Hanya meninggalkan hembusan lembut, di tengkuk lelaki muda itu, yang membuatnya disergap rasa dingin saat berdiri mematung di balik jendela sebuah kamar kontrakan lantai tiga.



Di atas langit, bulan sepenggalan memantulkan cahaya keperakan. Malam murung, meski tidak ada mendung, tak ada gumpalan awan di cakrawala. Sorot matanya tajam menatap pendar lampu-lampu di jalan yang berpijar mirip kunang-kunang mengambang di antara bangunan rumah dan pertokoan yang berderet tak putus-putus, bergelombang seperti sisa ombak yang menepi ke pantai.

Terpaan lampu menempias tepat mukanya, menggenapi luka di hati. Jendela kamar kontrakan terbuka lebar. Kesiur angin tiba-tiba berisik. Tirai jendela tersingkap saat angin malam menggeranyangi ingatan lelaki itu yang tak bisa melupakan pesan bundanya dan dia harus terkurung di kamar kontrakan, kala malam minggu tiba.

"Bunda kira, lebih baik kamu tidak usah pacaran dulu sampai kuliahmu selesai", ucap bundanya sewaktu lelaki itu pulang setahun lalu, saat ia masih kuliah semester dua.

"Bunda, kenapa tak boleh pacaran? Bukankah anak kesayangan bunda ini sudah dewasa?"

"Ini pesan bunda...!", bentak perempuan yang melahirkannya dua puluh satu tahun lalu, "Bunda tak mau kuliahmu nanti harus berantakan!"

"Ah, bunda....! kolot! Kuno! Masak, pacaran dilarang!"

"Sayang, bunda tak ingin kuliahmu berantakan hanya gara-gara kamu pacaran."

"Tapi bagaimana kalau anak bunda ini bisa berprestasi justru karena punya pacar?"

"Dasar anak bandel!" sentak bundanya, berkacak pinggang, "Itu tak mungkin. Tapi, jika bunda meminta kamu jujur, apa kamu sudah punya kekasih dan diam-diam tak bercerita pada bunda?"

"Mmm! Anak bunda ini tak laku!"

Bundanya tersenyum. Tapi, senyum itulah yang membuatnya teringat selalu setelah ia balik ke kota. Sebuah senyum yang membuatnya harus berpikir ulang jika harus membuat janji dengan seorang gadis, nonton atau sekadar kencan di malam minggu.

Kini, dua tahun pesan itu didengar. Ia tersiksa. Padahal, lelaki itu sudah duduk di semester VI, bukan anak kecil lagi yang tak memiliki teman wanita. Ada Niken mahasiswi berwajah manis yang selalu memintanya mengerjakan laporan praktikum. Ada Erni, gadis Riau yang selalu menghubungi kala malam sekadar untuk curhat belaka. Belum lagi, Lusia, adik tingkatnya yang selalu titip salam. Juga gadis lain, yang tak terhitung dengan jari karena ia dikenal baik oleh semua mahasiswi.

Kesiur angin berisik lagi. Dia menarik napas panjang. Jantungnya berdegup. Dari balik jendela, bayangan lelaki itu tampak memanjang ketika dia melangkah ke sudut kamar.

Duduk di kursi, di malam minggu itu, kesendirian seperti membunuhnya. Ketika melihat buku harian tergeletak di atas meja membuat ia bergegas mengambil pulpen lalu menulis. Dan di buku harian itu, ia mengadu pada waktu yang mengutuknya. Ya, malam minggu, malam yang kini tiba-tiba dirasakan seperti kutukan sejak sore berangsur sirna berganti malam.

***

MALAM kutukan! Tiba-tiba, tanpa disadari, ia menulis dua kata itu tanpa ada sepi yang tersisa saat menorehkan luka di hati. Sebuah malam yang sunyi mencekam nyaris dipenuhi gumpalan kenangan, dan ia biasanya hanya tercenung di kamar lalu menjumpai Senin pagi yang membuatnya tak punya kisah tentang kenangan di malam minggu.

Selalu. Setiap gelap menyilangkan senyap, lelaki itu tak mau berbagai, tak ingin berkisah pada siapa pun tentang malam minggu yang nyenyat, kecuali ditulisnya di buku harian. Dengan menulis itu, ia merasa sudah membunuh sepi.

Usai menulis, ia pun berdiri, beranjak keluar kamar. Duduk di ruang tengah, tempat anak kost nonton tv, ia bersidekap resah.

Lima menit kemudian, pintu terkuak dan Tomy melangkah keluar kamar. "Yung, kenapa kamu betah tinggal di kontrakan. Carilah pacar agar kau tidak melamun," sindir Tomy, mahasiswa yang selalu gonta-ganti pacar sebelum lelaki bertampang mirip Tom Cruise itu berjalan gontai, ke tangga lalu turun ke garasi.

Duduk sendiri di kursi, sambil nonton tv di malam minggu dan di tangan kanannya tergenggam sebuah novel membuat ia tercenung. Memang, dia torgolong cerdas dan pandai -- setidaknya-- di antara teman-teman kontrakan. Tapi, malam minggu kali ini, kecerdasan itu tak memihaknya. Sindiran Tomy menampar tepat di lubuk hatinya. Entah untuk menutupi rasa malu atau kesepian, ia memutuskan untuk keluar, setelah mengunci kamar dengan membawa sebuah buku harian...

***

TAK tahu harus pergi ke mana, malam sepertinya mencekam jantungnya padahal ia belum jauh melangkah. Napasnya tersengal dan ia merasa perutnya keroncongan, dihajar lapar. Lalu ia memutuskan mampir ke sebuah kafe.

Duduk termangu setelah memesan makanan, ia mengitarkan pandangan ke segala arah. Setiap mata memandang, ia menemukan pengunjung kafe pasangan muda-mudi, bercanda mesra kecuali sosok perempuan yang duduk di sudut kafe. Sekilas, dia merasa pernah bertemu dengan perempuan itu, entah kapan dan di mana. Dia mencoba menelusuri masa lalu tapi perempuan itu masih serupa bayang-bayang, kala Seberkas sinar lampu kota menerpa tiang di halaman kafe.

Secuil bayangan memantulkan getar aneh. Ia berdesir. Tapi tiba-tiba perempuan di sudut kafe menoleh ke arahnya, membuatnya teringat setelah menatap jelas. Keduanya saling bersitatap pandang, dalam diam.

Tak ingin dihajar rasa penasaran, dia berdiri menghampiri meja perempuan itu. Dia ragu, tapi sebuah jeritan membuatnya terperanjak. "Kau!!" jerit si perempuan kala lelaki itu berdiri di depannya.

"Aku tak menyangka bisa bertemu denganmu di sini!" ucap lelaki itu, dengan grogi.

Keduanya, berjabat tangan. Obrolan menanyakan kabar yang selama ini tidak pernah terdengar menyelingi denting piring. Maklum, keduanya dulu pernah kenal meski tidak begitu akrab semasa masih ikut aktif kegiatan kampus. Tapi sejak lelaki itu tak lagi aktif, tak pernah bertemu lagi. Keduanya tidak lagi saling tahu kabar masing-masing.

Kini keduanya bertemu di sebuah kafe. Ada perasaan aneh yang menjalar di tubuh lelaki itu. Ia grogi. Juga, gelisah. Padahal, lelaki itu selalu tak tahan jika rasa grogi membuatnya harus sesak napas. Tak ingin menahan air seni saat panik datang menyergap, ia meminta izin ke toilet.

Sekembali dari toilet, betapa terkejutnya ketika ia melihat buku harian yang dibawanya sudah di genggaman tangan perempuan itu. Ia ingin marah. Tapi urung. Sebab perempuan itu seperti menutup mulutnya, "Maaf saya membaca buku harianmu tanpa meminta izin dulu, padahal buku ini berisi rahasia hidupmu. Semoga kecerobohanku ini tak membuatmu marah."

"Ah, tidak apa-apa! Semoga kau belum sempat membaca tulisan terakhir di buku harian itu!"

Perempuan itu tersenyum. "Aku kira, aku sudah membacanya! Kalau benar apa yang kamu tulis di buku ini, setidaknya aku tahu betapa sedihnya kamu! Lelaki yang tak mengenal malam minggu".

Lelaki itu tersipu malu. Menunduk. Ia tertusuk. Rasa mual membuatnya sesak napas.

Tak ingin tersiksa, ia mengajak perempuan itu pulang. Entah kenapa, dia merasa kasihan lalu mengantarnya dan dalam perjalanan pulang, dia memendam sebuah kehidupan, kehidupan baru setelah mengantar pulang perempuan itu.

***

SEBULAN kemudian, setelah dia bertemu perempuan itu, ia kembali berdiri mematung di balik jendela. Kesiur angin, sejenak tak berbisik. Hanya meninggalkan hembusan lembut, di tengkuk lelaki itu yang membuat ia disergap dingin, dan kembali teringat pesan bundanya yang pernah melarangnya tidak pacaran. Padahal, sejak bertemu perempuan itu, kini dia sering jalan bersama --sepulang kuliah. Hanya saja, dia sering menghindar kala perempuan itu memintanya untuk datang ke kostnya di malam minggu. Tapi ia datang di malam lain, tak di malam minggu. Juga saat nonton atau jalan, lelaki itu mengajaknya di malam lain, selain malam minggu.

Sebulan berlalu, lelaki itu sadar bahwa semua telah berubah. Ia kini jatuh cinta! Ya, kini ia pun sudah berubah. Sebab sejak bertemu perempuan itu, dia tak lagi; pertama, menulis buku harian. Kedua, ia tahu waktunya habis untuk jalan. Ketiga, dia hampir lupa kalau bundanya dulu pernah berpesan untuk tidak pacaran jika kuliahnya belum kelar.

Kini ia merasa bersalah pada bundanya. Tapi, dia tahu, rasa cinta tak bisa dibenamkan di tong sampah. Malam kian muram dan dia melangkah ke sudut kamar lalu menulis sepucuk surat.

Ia pun menangis.

Setelah menulis sepucuk surat, ia kembali berdiri mematung di balik jendela, melongok keluar. Tak ada bintang berkedip, karena fajar sudah merekah. Dia tahu bahwa malam minggu yang kelabu kini sudah berlalu. Tetapi kini ia tiba-tiba terperangah karena melihat ribuan kelelawar memenuhi kota. Dan ia melihat di antara ribuan kelelawar itu, ternyata salah satunya adalah lelaki yang baru menulis sepucuk surat buat bundanya di kampung yang terpencil dan jauh dari kota.***

Yogya-Cibubur, 2004-2007

1 komentar:

  1. Nice short story, tapi sukurannya manaaaaa.....???????

    BalasHapus