TIGA tahun lalu ketika saya masih kuliah di Yogya, ada seorang teman yang datang ke kontrakan hendak meminjam novel Arus Balik karya monumental Pramoedya Ananta Toer. Sebelumnya, ia memang tak tahu tentang novel itu karena pengetahuannya tentang buku boleh dikata masih "minim". Ia ingin meminjam novel Arus Balik itu lantaran "dikompori" oleh teman-teman. "Novel itu sangat bagus dan cukup mengagumkan, rugi jika kamu tidak sempat membaca novel itu." Karena "penasaran", dengan sembunyi-sembunyi dia datang ke kontrakan saya dan mengaku ingin meminjam karya Pramoedya itu.
Dengan ringan tangan, saya mengambil novel itu dari rak buku dan menyodorkan kepadanya. Tapi anehnya, buku Arus Balik itu tidak dia sentuh. Dia justru melontarkan perkataan yang membuatku tertawa geli. "Hah... tebal banget! Kapan aku akan merampungkan buku setebal itu? Bisa-bisa, aku tak merampungkannya, justru malah menjadikan novel itu sebagai bantal." Ia tidak jadi memasukkan Arus Balik itu ke dalam sebuah tas yang sudah dia siapkan dari rumah. Ia celingukan, lalu melirik buku lain, novel Bukan Pasar Malam. Dan di luar dugaanku, novel Bukan Pasar Malam itu yang kemudian ia pinjam dan ia bawa pulang ke rumah.
Padahal, novel Arus Balik itu tak setebal bantal. Novel yang ditulis oleh Pramodya sewaktu dipenjara di Pulau Buru itu masih tergolong sedang-sedang saja. Tebalnya sekitar 700 halaman, tidak cukup berat jika dibaca dengan santai. Dengan kata lain, novel itu tak seberapa tebal jika dibanding dengan buku atau novel karya pengarang luar yang tebalnya seribu halaman lebih, seperti; A Suitable Boy (Vikram Seth), War and Peace (Leo Tolstoy) dan Invinite Jest (David Foster Vallace).
Memang bagi orang yang tak gila buku, membaca buku sastra yang tebal seperti Arus Balik seakan-akan melihat "hantu" (monster). Jangankan membacanya sampai tuntas, melihatnya saja sudah membuat takut, merinding dan bergidik. Karena itulah, sepulang temanku itu saya bertanya-tanya; jika novel tebal membuat orang yang tak gila buku merasa enggan membaca, lantas kenapa buku setebal itu harus ditulis?
Apa yang diinginkan oleh pengarang dengan menulis buku setebal itu jika isi atau pesan di dalam buku tersebut hanya dibaca segelintir orang saja? Apakah mereka ingin gagah-gagahan saja dan tak peduli dengan pasar atau pembaca?
Saya tak ragu untuk mengatakan, bahwa pengarang sekaliber Pramoedya, Vikram Seth, Leo Tolstoy dan David Foster Vallace adalah pengarang yang tahu betul bahwa tulisan yang bagus adalah tulisan yang padat serta simpel. Karena dalam menulis sebuah buku dikenal adagium lama "tulisan yang baik adalah tulisan yang padat, simpel dan berisi, namun mengenai sasaran." Tapi persoalannya, saya yakin tidaklah sesepele itu dan mereka seakan lupa dengan "pandangan yang sudah jamak" itu. Dengan kata lain, tentunya ada motif dan keinginan dibalik menulis buku sastra setebal itu.Karena diakui atau tidak, menulis "buku tebal" itu sebenarnya adalah sebuah "kecelakaan" sekaligus anugrah.
Saya katakan kecelakan karena menulis serta menerbitkan novel tebal itu memiliki potensi mencelakakan. Pertama, novel tebal itu memiliki "dilema" ketika hendak diterbitkan. Penerbit memang ingin sukses menerbitkan buku tebal, tapi juga dihantui ketakutan kalau buku itu malah jeblok di pasar. Sebab biaya untuk produksi buku tebal lebih besar, maka tidak jarang penerbit memilih cara menolak menerbitkan "buku tebal". Dengan pertimbangan itulah, buku tebal terganjal di penerbit dan tak bisa sampai di tangan pembaca.
Potensi mencelakaan itu yang juga membuat penerbit di Indonesia ini "enggan" menerbitkan atau menerjemahkan buku-buku tebal karya dari luar, kecuali jika buku itu memang sangat monumental --seperti Harry Potter yang memang mampu menghipnotis pembaca. Karena itu, meski karya JK. Rolling itu belum rampung, pastilah sejumlah penerbit sudah berebut mau menerbitkan dan menerjemahkannya demi meraup keuntungan yang memang cukup menjanjikan.
Kedua, buku setebal apapun toh pada intinya merupakan rangkaian kata yang mengantarkan pembaca bisa mengerti isi (baca: pesan) yang ditulis. Karena itulah, saya sempat manggut-manggut dan mengangguk ketika seorang teman yang telah menulis novel setebal 500 halaman lebih, berkata dengan nyinyir, "Saya yakin, kalau Arus balik itu ditulis John Steinbeck, pasti akan jadi lebih ringkas sekitar 300-400 halaman. Sebab Steinbeck bisa menggambarkan setting dan alur cerita dengan cukup detail tanpa harus kehilangan kejelasan."
Di sini saya dapat menyimpulkan; untuk apakah menulis buku sastra tebal dan "bertele-tele" jika sebenarnya novel itu dapat diringkas lebih pendek lagi? Ini jelas satu "kecelakaan" yang mungkin tidak disengaja dan tanpa disadari oleh penulis novel tebal. Persoalan ini, jelas lain kalau buku tebal itu jenis ensiklopedi atau kamus. Di sisi lain, jelas karena ada alasan prestise dan idealisme pengarang yang tak bisa diukur daru kalkulasi untung dan rugi belaka.
Karena, walau bagaimanapun menulis novel tebal itu adalah anugrah yang tidak dapat diraih oleh semua penulis. Dengan kata lain, hanya penulis besar dan berkompeten yang mampu menulis novel tebal. Proses menulis novel tebal itu, dibutuhkan keseriusan, ketekunan dan nafas yang panjang. Saya tidak bisa membayangkan ketekunan Karl Marx saat menulis buku Das Capital sampai-sampai buku itu ditulis selama kurun waktu 18 tahun dan bahkan pantatnya ditumbuhi bisul. Apa yang dikerjakan Marx dengan tekun itu, memang tidak sia-sia. Marx akhirnya dikenal telah menulis buku tebal dan buku itu pun dicatat sejarah sebagai buku yang "menghebohkan".
Kendati demikian, satu hal yang perlu dicatat adalah; ketebalan novel sebenarnya tidaklah terlalu penting sebab yang terpenting dari novel adalah isi (pesan). Tak jarang buku tipis yang ditulis dengan luapan dan pikiran brilian malah bisa menggetarkan dan mengubah (sejarah) dunia. Karena itu, bagi saya, menulis "novel tebal" itu adalah satu kecelakaan dan sekaligus juga sebuah anugrah.***
*) n. mursidi, cerpenis dan peneliti pada PPK (Pusat Pemajuan Kebudayaan), Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar