SUDAH hampir tiga bulan ini, tak ada satu pun cerpenku yang dimuat di media. Cerpen terakhirku Tamu di Malam Bulan Ramadhan, dimuat harian Surya, Minggu 7 Oktober 2007. Sebenarnya, cerpen itu pun cerpen lama yang aku tulis sekitar tahun 2003, tapi aku revisi kembali habis-habisan. Aku berusaha membuat cerpen itu sebisa mungkin punya nilai aktual dan karena saat merevisi cerpen itu terjadi di bulan Ramadhan, maka kurangkai dengan "nuansa religius" bulan puasa.
Aku yakin, dengan mendasarkan pada aktual kisah, maka cerpen itu bisa dipastikan akan jebol dan dimuat. Dugaanku itu, ternyata tak salah. Seminggu sebelum lebaran, cerpen itu dimuat (hanya berjarak lima hari dari pengiriman naskah). Padahal sudah lama cerpenku itu terkulai kaku di komputer pribadiku, di ujung bantal data-data lama bersama tulisan-tulisan lain yang tidak dimuat dan telah ditolak redaktur. Tapi, mengapa setelah kurevisi dengan mendasarkan pada kontekstual dan memiliki kecenderungan bersifat aktual, lalu bisa dengan mudah dimuat?
Tak ada jawaban yang membuatku lega, kecuali jawaban bahwa cerpen pun sebenarnya memiliki kecenderungan aktual jika hendak dipublikasikan di koran, dan kecenderungan itu menjadi semacam corong dari berita yang sedang "santer" dan terjadi di tengah masyarakat. Karena dikirim ke koran, "cerpen itu" harus memiliki kecenderungan tak jauh dari kehidupan, aktual, baru dan kontemporer. Pendek kata, dekat dengan peristiwa yang sedang diberitakan media.
Ditopang Berita
Setelah lama tidak ada satu pun cerpenku yang dimuat, aku bingung dan mulai berpikir ulang. Ada ada dengan semua peristiwa ini? Aku pikir, tak ada yang salah dengan caraku dalam menulis cerpen. Aku sudah mulai menulis dengan memilih tema aktual, dan hal itu bagiku akan lebih mudah dilirik redaktur. Di sisi lain, menurutku, belakang ini aku justru mulai merasa tak kesulitan lagi menulis cerpen, tak seperti satu atau dua tahun lalu saat aku dibuat bingung dengan cerita macam apa yang harus aku garap, dan teknik macam apa yang harus aku kembangkan dalam menulis cerpen.
Kini, aku sudah mulai memahami "tema cerpen apa" yang harus aku tulis dan garap sehingga bisa tembus di media. Juga "teknik penceritaan" yang lebih berbobot dan mengandung terobosan. Maka aku lantas mengurangi tema cinta yang romantis, kehidupan tentang pribadiku atau orang-orang sekitarku. Sebaliknya, aku mulai membuat terobosan dengan menjadikan "berita yang terjadi" di koran atau semacam bencana alam yang telah "merenggut" nyawa umat manusia di negeri ini untuk kujadikan sebagai bahan atau blue print sebuah cerita.
Tak salah, selama dua tahun ini pun aku mulai senang menggarap cerpen dengan tema-tema kemanusiaan, seperti tentang gempa Yogyakarta yang memberiku inspirasi untuk cerpenku berjudul RUMAH (Republika Minggu 16 Juli 06), KISAH KOTA YANG RETAK (SINAR HARAPAN, Sabtu 17 Mar 07), tragedi lumpur di Sidoarjo untuk cerpenku MENANTU JAUH (Sinar Harapan, Sabtu 5 Mei 07) dan yang terakhir adalah peristiwa mengiris hati tentang kenekatan Ceriyati, buruh migran kita di Malaysia yang berani melarikan diri menuruni apartemen di lantai 15 dengan memakai alat bantu tali yang dililit dari kain, pakaian dan sprei yang lantas mendorongku menulis cerpen PEREMPUAN BERHATI BELATI (SINAR HARAPAN, Sabtu 21 Juli 2007).
Nyaris cerpen-cerpenku yang aku tulis berdasarkan peristiwa-peristiwa semacam di atas memamg dilirik redaktur dan lolos seleksi, sehingga nongkrong di halaman koran (sastra). Meski pun cerpen-cerpenku itu kemudian lebih mirip berita yang dikisahkan dalam bentuk cerpen tapi kenyataan bahwa model menulis cerpen berbentuk berita itulah yang justru tak mengecewakan. Cerpen berbentuk berita itu dapat dipastikan lebih memiliki nilai jual untuk dimuat, dari pada cerpen yang menuturkan peristiwa lain yang kurang aktual.
Cara atau model bertutur seperti itu, sebenarnya telah melukai cerpen sebagai sebuah cerita untuk dijadikan "corong berita". Tetapi apa boleh buat. Dengan cara seperti itu aku merasa telah berempati. Hanya itu yang dapat aku perbuat. Tugas dari seorang penulis cerita, yang berusaha menyuarakan jeritan hati korban dengan menulis cerpen untuk memberikan pembelaan dan belasungkawa sebagai kenangan empati.
Sungguh Riskan
Tetapi entah kenapa, belakangan ini justru cara dan teknik yang telah kupilih itu, ternyata kurang ampuh dan jitu.
Tetapi entah kenapa, belakangan ini justru cara dan teknik yang telah kupilih itu, ternyata kurang ampuh dan jitu.
Dua bulan yang lampau, aku menulis cerpen IMPIAN TANAH SUCI, dan KIAI MUSTHAFA. Meski cerpen IMPIAN TANAH SUCI itu kutilis untuk memberitakan hiruk pikuk kemeriahan orang-orang muslim yang pergi ke tanah suci, dan cerpen KIAI MUSTHAFA kutulis di tengah kontroversi aliran sesat dan nabi palsu, ternyata tetap gagal menerobos jendela dan pintu kriteria yang ditancapkan redaktur.
Padahal jika sebuah cerpen ditulis berdasarkan berita di koran, sudah pasti suatu saat nanti akan mengalami apa yang disebut "basi" atau tidak lagi aktual. Kalau sudah "basi", maka kedua cerpenku itu pun dapat dipastikan akan merangsek kembali di komputerku, tidak lagi dibaca orang lain, kecuali diriku sendiri lantaran tak tertampung di halaman media massa.
Tapi tak dimungkiri jika masih ada jembatan yang bisa menjadi semacam keberuntungan jika kelak ada kesempatan lagi; cerpen itu menemukan "momentum" sehingga aku bisa mengirim kembali cerpen-cerpen yang lusuh itu ke koran atau majalah. Jadi, masih ada ruang kala sebuah cerpen harus ditulis "berdasarkan" berita meski punya resiko gagal untuk dimuat karena memang ditopang momentum. Itulah resiko sebuah cerpen ketika ditopang peristiwa aktual, semacam berita. Maka pemuatan cerpen pun tak lepas dari kontekstual berita di media massa dan kejadian yang sedang hangat dibincangkan. Sungguh riskan! ***
(Ciputat, 27 Januari 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar