Selasa, 11 Desember 2007

Rumah

Cerpen ini dimuat di Republika, Minggu 16 Juli 2006

/1/
Sejak aku memutuskan pergi dari rumah, aku hanya memiliki hamparan langit malam untuk berteduh. Aku hidup berpindah-pindah kota, di sepanjang lorong belahan bumi, dan tak pulang ke kota kelahiranku. Aku tak akan pulang sampai kapan pun apalagi mengenduskan hidung untuk menghirup bau jalanan kota kelahiranku. Itu sumpahku, kekasihku!


Kenapa? Tanyamu, seminggu sebelum kota kelahiranku luluh lantah akibat gempa. Berkali-kali aku sudah menyumpahimu. Aku minta, jangan sekali pun kamu bertanya lagi. Aku sudah lupa jalan pulang. Tapi aku heran. Entah kenapa, aku selalu menjawab pertanyaanmu meski pun membuatku tambah pusing saja! Ugh! Kamu tahu, kenapa aku enggan pulang? Kakiku sudah lupa untuk menginjakkan sepatu di beranda. Dan tanganku sudah tak punya kerinduan lagi untuk menggedor pintu. Apalagi kalau aku harus bercerita tentang tatapan mata ayahku yang menyala merah seperti kobaran api.

Ada-ada saja! Jangan membual, ah! Ledekanmu itu sempat mendidihkan darahku. Aku ingin marah! Tapi aku enggan menamparmu. Jika saja kau tidak kekasihku yang kucinta, mungkin aku sudah merobek mulutmu yang runcing itu.

Aku akan menyanyat bibir merahmu itu, dengan sayatan tipis-tipis, lalu kumasukkan ke dalam kulkas agar aku dapat menatap getar bibirmu yang penuh gairah dan dingin itu. Untunglah, aku masih sayang padamu!

Aku tidak akan pulang! Itu saja yang perlu aku jelaskan padamu. Jangankan membayangkan rumah, memikirkan saja aku sepertinya sudah mual. Sudah muak aku menatap kobaran api di mata ayah yang selalu menyala merah.

Cukup sudah, di malam yang sekarat itu, aku melihat ibu kehabisan airmata akibat dipukuli ayah yang selalu pulang larut malam dalam keadaan mabuk.

/2/
Kekasihku, di subuh itu aku terbangun. Seakan terjaga dari sebuah mimpi buruk, tubuhku ditingkupi resah. Aku bergidik. Lantai di kamarku yang serasa merayapkan sunyi entah kenapa, kali itu seperti merapatkan waktu. Detak jam tak berdenging lalu suasana jadi mencekam. Dinding nyaris retak dan almari pun serasa bergetar. Dan tanah seperti terbelah.

Aku bangkit ke jendela, melongok ke halaman. Lampu pijar di ujung jalan bergoyang ringan. Pagi seperti mati. Kota perantauanku, kini, serasa lengang. Bunga-bunga tanaman seakan letih. Pagi itu, aku dicekam rasa takut.

Aku lalu kembali ke tempat tidur. Aku tengok jam di layar ponsel-ku. Waktu sudah tidak lagi henti menyeret malam. Larat, aku termangu. Sajadah biru membuatku terharu. Aku bersujud di hening waktu. Tak tahu, apa yang terjadi dengan waktu. Apa waktu akan terus merangkak meski tanah retak? Aku berpikir, tak menemukan jawaban, sampai-sampai tertidur pulas.

/3/
Kembali, aku terbangun. Kali ini, bukan akibat mimpi buruk. Aku mendadak bangun karena telingaku pekak oleh nada panggilan handphone. Aku beringsut, bangkit. Aku sambar handphone-ku. ''Hei, sampai kapan lagi kau tak akan pulang ke rumahmu?'' usik kekasihku, di pagi itu.

Sudah biasa dia menelponku di pagi hari, sekadar iseng atau memintaku untuk mengantar ke tempat kerja. Tetapi, kali ini keisengannya membuatku muntap. ''Sudah berulangkali kukatakan, jangan pernah menyuruhku untuk pulang!''

''Sekali pun kotamu dilanda gempa?''''Sekali pun rumahku ambruk diterjang angin, aku tak akan pulang ke rumah!''Hening! Aku hanya mendengar desah napas kekasihku. ''Ok! Jika kamu masih keras kepala, sekarang lihatlah televisi. Aku tak bisa menjelaskan apa yang terjadi,'' pinta kekasihku.

/4/
Aku menekan remote televisi. Kutengok jam di dinding, pukul sembilan kurang lima menit. Aku tunggu layar hitam televisi mengeluarkan gambar, seraya kuseduh kopi dari terpos. Sesaat kemudian, televisi di depanku menyala. Jantungku seketika berdegup. Aku menyaksikan wajah-wajah histeris orang-orang di kotaku berlarian kalang kabut. Hembusan isu tsunami membuat mereka ketakutan.

Mataku ditikam cahaya televisi. Aku seakan dihentakkan getaran berkekuatan dahsat yang membuatku terhenyak mundur. Aku melongo tak menyangka di subuh yang ungu itu, saat aku terbangun melongok ke luar jendela, ternyata kotaku sudah dilanda gempa. Di benakku, saat itu, aku memikirkan nasib ibu.

Segera aku pencet ponsel untuk menghubungi kakakku. Tetapi tak ada sambungan. Rupanya, jaringan telekomunikasi ikut diterjang gempa. Aku mengirim sms. Tak juga masuk. Aku diterkam cemas. Tak ada pilihan lain, aku segera mengemasi pakaianku. Pulang!

/5/
Tepat tengah malam, aku tiba di kotaku. Malam mencekam. Listrik padam. Hanya ada lampu petromak di beberapa sudut jalan, itu pun nyaris menyala lemah. Meski demikian, aku masih mengenali gang sempit ke arah rumah. Untung, rumahku dekat terminal lama Yogya sehingga aku tidak mengalami kesulitan untuk menyibak jalanan di tengah malam gulita.

Hampir empat tahun aku tak menginjakkan kaki di kotaku. Aku nyaris tak menjumpai adanya kemajuan. Bagaimana akan kulihat kemajuan? Kotaku luluh lantah dihajar gempa. Gedung-gedung sama runtuh. Bangunan rumah di sepanjang jalan yang kulewati sebagian besar ambruk.

Saat kumasuki gang sempit menuju rumahku, tubuhku mendadak dingin. Angin malam bertiup kencang. Aku merekatkan jaket. Dan aku nyaris pingsan, saat langkah kakiku sudah mendekati rumah, kutatap rumahku nyaris rata dengan tanah. Hanya secuil bangunan di depan yang masih utuh meski di sana-sani retak-retak. Pijar lampu teplok menyala redum. Aku dicekam duka, tetapi sejenak kemudian aku menghela napas panjang setelah mataku menemukan sosok perempuan tua di balik secuil bangunan itu.

Aku tahu sepenuhnya, perempuan itu adalah wanita yang telah mengandungku. Tetapi, aku tak menemukan sosok disamping ibuku. Di mana lelaki bertato, bertubuh kekar dan berambut gondrong itu? Apa ia sudah meninggal? Atau ia di rumah sakit karena terluka kena reruntuhan? Aku tak akan sedih dan menitikkan air mata seandainya ayahku meninggal.

/6/
Sejak memutuskan pergi dari rumah sekitar empat tahun yang lalu, aku hanya memiliki hamparan langit malam untuk berteduh. Aku selalu hidup berpindah-pindah kota, juga di lorong-lorong bumi. Kini aku sudah pulang. Aku berada di tengah-tengah keluargaku. Rumahku roboh digulung gempa. Meski keluargaku selamat, tapi aku tak akan cepat-cepat kembali ke Jakarta sebelum rumahku berdiri seperti semula. Jelas, itu mustahil aku lakukan, kekasihku!

Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah dulu kamu sendiri yang berkata tak akan pulang? tanyamu lewat sms seminggu setelah kotaku digempur gempa. Apa kau sudah berdamai dengan ayahmu?

Inilah yang akan aku kisahkan kepadamu, kekasihku. Aku memang sempat berpikiran, tidak akan sedih seandainya ayahku meninggal. Ternyata aku salah, kekasihku. Aku pasti sedih dan seumur hidupku akan dicekam rasa bersalah jika doaku dikabulkan Tuhan, kalau gempa itu merenggut nyawa ayahku.

Kenapa? Kau pasti akan bertanya seperti itu. Aku tahu! Kau memang selalu bertanya! Itulah yang membuatku jengkel kepadamu, kekasihku. Tapi, kali aku tak sebal dengan pertanyaanmu itu. Aku rindu kepadamu. Karena itu, aku ingin menceritakan semua ini kepadamu! Tolong, dengarkan!

Dua jam sebelum gempa menghentak kotaku, ayah pulang di ujung pagi. Seperti biasa, ibuku membuka pintu dan menjumpai ayah dalam keadaan teler. Ibu segera menuntun ayah masuk rumah, dan ayah rebah di lantai. Dari mulutnya, keluar muntahan yang menyengat. Aku sendiri tidak asing dengan bau itu. Hampir tiap malam ayah pulang sempoyongan, bicara tidak karuan.

Jika aku, kakakku dan ibu menjumpai ayah pulang ke rumah dan langsung tidur, kami semua akan merasa tenang. Kami bisa tidur nyenyak. Dengkur ayah, tak lagi membuat kami terganggu karena tak membanting piring atau memukuli ibu hingga babak belur.

Mungkin kau tak percaya? Aku juga nyaris tak percaya, kekasihku. Tetapi inilah kisah yang membuatku tak sia-sia pulang. Saat gempa bergemuruh di subuh yang kelabu itu, ayah terbangun. Ibu baru saja menunaikan shalat Subuh. Gelombang di tanah, entah kenapa mampu membuat ayah mendadak bangun. Padahal, jika ayah sudah tidur akibat mabuk semalam, ia akan terbangun di ujung sore. Tetapi kali itu, kekuatan gempa telah membuat tanah retak.

Dengan sempoyongan, ayah ke luar rumah. Demikian juga ibu. Tanah yang biasanya nyenyat, tiba-tiba menjalarkan rasa hangat. Bumi seperti bergoyang, terus rumahku runtuh. Kemudian terdengar isak tangis dan jeritan histeris. Ibu menyebut nama Tuhan dan ayah kian linglung. Di tengah gemuruh itu, orang-orang berlarian. Juga ketakutan akan datang tsunami membuat orang pontang-panting. Ayah mengeluarkan sepeda motor, mengajak ibu pergi ke arah arah utara.

Apa yang ada dalam pikiran ayah? Aku sempat bertanya seperti itu. ''Aku takut. Tapi bukan takut menghadapi kematian, melainkan takut kalau aku mati dalam keadaan mabuk. Karena itu, saat itu aku minta satu hal kepada Tuhan, tolong jangan cabut nyawaku dalam keadaan mabuk,'' cerita ayah, ''Dan Tuhan belum menghendaki aku mati, aku masih diberi umur dan aku harus memenuhi janjiku pada Tuhan. Aku insyaf!''

Oh, aku lupa menceritakan kepadamu, kekasihku! Malam itu, ayahku memang tidak di rumah. Ibu bercerita, ayah jadi relawan di Bantul. Aku baru berjumpa dengan ayah esok paginya. Itupun tak lama. Ayah segera kembali ke Bantul. Seminggu selama aku di rumah, aku jumpai ayah dengan tatapan mata yang lain. Bola matanya tidak lagi merah menyala. Aku sedikit melihat keteduhan, apalagi sehabis menjumpai ayah usai shalat. Aku melihat kilatan cahaya yang menentramkan, meski di atas puing-puing rumah kami yang belum terbangun.

Aku senang mendengarnya, tapi kapan kau balik ke Jakarta? Tanyamu. Ah, aku jelas tak bisa balik cepat, kekasihku! Aku masih menunggu rumahku berdiri. Minggu depan, semua warga akan bergotong royong, bergantian membangun rumah-rumah yang tergilas gempa. Aku akan kembali ke Jakarta tentunya, tetapi setelah semua berlalu. Aku tahu, kekasihku! Kamu rindu padaku. Tetapi, kerinduanku untuk melihat rumahku berdiri dan membantu korban bencana membuatku sejenak lupa hamparan langit Jakarta.

Kota Wisata, 31 Mei 06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar