Sabtu, 08 Desember 2007

Perempuan yang Menjadi Ayah

Cerpen ini dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 13 April 2005

SELALU disergap ngilu, setiap kali aku pulang ke rumah. Saat tiba di depan rumah, sebelum bergegas masuk ataupun tatkala sejenak berdiri di pintu pagar, nyaris membuat langkah kakiku berat untuk memasuki dengan beringas. Apalagi, setelah kulewati pintu pagar serta mengedarkan pandang ke halaman, aku terperangkap masa laluku. Sebuah masa saat aku masih kecil, bermain di halaman, memanjat pohon mangga besar yang berdiri kokoh di depan rumah dan juga kenangan saat pulang sekolah. Kenangan itu, masih tetap tinggal dalam ingatan. Membekas dalam rajut waktu yang sudah lalu, namun tak juga kunjung terlupakan.



Untuk itu, aku tak segera mengetuk pintu. Berdiri lama, mematung di depan rumah, mataku terperangkap secuil halaman yang merana. Rumah tua yang sudah condong dengan cat putih yang mengelupas di sana-sini. Mataku berair saat pendar mataku menukik tanah bebatuan dan rumput kering di halaman. Ya, sebuah rumah yang tak berubah sejak kutinggalkan tiga tahun yang lalu. Rumah yang penuh dengan nyenyat diam, sejak ayah jatuh sakit.

Ya, jika bukan karena bunda yang selalu mengingatkanku untuk pulang, mungkin aku tak segera memasuki. Hanya bunda-lah yang memaksa langkah kakiku segera bergegas. Membuka pintu dengan pelan karena aku tahu, rumah itu sudah sunyi sejak kepergianku. Lalu, seperti kepulanganku yang sudah-sudah, bunda selalu terkejut setiap kali melihat aku sudah berdiri di depan pintu.

"Kenapa kau seperti lupa dengan rumahmu?" Seperti kepulanganku yang lalu, bunda, memang selalu menanyakan rasa engganku untuk pulang. Karena aku jarang pulang bahkan saat Lebaran sekali pun.

"Sibuk terus, bunda!" Aku menjawab sekenanya, karena aku pikir rumah itu memang tak lagi penuh dengan canda tawa. Malahan, aku tak mencium tangan bunda. Kepulangan seorang anak yang tak seperti kepulangan dari tanah rantau yang jauh. Ya, kepulanganku ke rumah sejak kepergianku tiga tahun yang lalu, memang tidak ubahnya seperti kepergianku tadi pagi, entah pergi ke mana. Tak perlu ada percakapan dan cerita karena memang rumah itu sudah menjadi sunyi, nyenyat dan diam. Rumah yang tidak saja hampir roboh, namun juga sudah tidak ada percakapan yang bisa mendamaikan.

Bagaimana tidak? Ayah, tidak bisa lagi bekerja sejak sakit mengoyak jantungnya. Ia, hanya berdiam diri di kursi goyang dengan sedikit kesibukan tak berarti, membaca koran bekas, karena ayah memang tak lagi mampu membeli koran. Selain itu, ayahku cuma terdiam dengan khusuk mendengarkan radio tua, yang kutahu lebih tua dari usiaku. Sebab kutahu, radio itu sudah bercokol di meja dekat kursi tempat ayah membaca dan menghabiskan hari-hari tuanya yang menyakitkan. Mungkin ayah tidak pernah membayangkan akan jatuh sakit ketika aku, kakakku dan adikku butuh biaya kuliah. Tapi, rupanya itu kenyataan yang menambah siksanya. Ia terserang lemah jantung, komplikasi berbagai penyakit tua dan juga rasa bersalah.

Untuk itu, kuyakin kalau ayah sakit karena terlalu memikirkan ketiga anaknya yang butuh biaya banyak, sementara ia tidak mampu dengan fisik yang sudah digerogoti berbagai penyakit. Belum lagi, sejak ayah pulang dari tanah suci, usaha pakaian ayah yang kutahu dulu begitu maju, semakin merosot. Ayah hanya bisa berjalan-jalan di pagi hari untuk sekadar menjaga kondisi tubuh, dan selebihnya, berdiam diri di kursi goyang. Menatap senja di langit, saat hari sudah mulai gelap.

Sebuah rumah yang tak banyak percakapan, juga ketika aku berjalan ke tempat ayah, yang berdiam diri di atas kursi goyang untuk menyodorkan koran baru. Melihatku, ayah hanya bertanya, "Ada apa pulang?"

Selalu ada rasa berat bagiku untuk menjawab setiap pertanyaan ayah. Entah kenapa, ayah selalu tahu bahwa setiap kali aku pulang, pasti ada saja urusan penting. Dan itu memang benar!
"Aku pulang karena mau memperpanjang KTP".

Aku menjawab dengan seadanya. Tak juga selalu ada percakapan lebih, dan itulah rumah yang sudah kutinggalkan tiga tahun yang lalu. Sepi cerita. Hanya suara radio lirih di dekat ayah yang merona di daun telingaku, sebelum aku bergegas ke belakang. Mandi.

Lalu, malam berlalu ...

***

SELALU disergap ngilu setiap kali aku pulang ke rumah. Melihat wajah tua ayah yang sudah keriput saat sinar senja menerobos dari celah jendela di hari kedua kepulanganku. Aku hanya bisa mengelus dada. Bagaimana tidak? Pagi tadi, saat subuh merekah, bunda sudah berangkat ke pasar menggantikan usaha ayah berdagang pakaian. Padahal, kerja macam itu cukuplah berat untuk bunda. Meski bunda masih dibantu kuli untuk sekadar mengangkut barang dagangan tapi bunda juga masih harus membuka bungkus balutan terpal, sebelum barang-barang itu didagangkan.

Aku tahu semua itu, karena dulu sebelum aku berangkat ke kota, aku juga sering ke pasar menyusul ayah untuk membantu. Kini, bunda hanya seorang diri tak ada yang membantu. Ayah sudah tak lagi kuat melakukan kerja seperti itu di pagi buta dengan berangkat menaiki mikrolet tua sambil membawa barang dagangan. Aku bisa membayangkan bagaimana penderitaan bunda sejak ayah jatuh sakit dan semua itu harus ditanggung sendiri oleh bunda untuk mengirimi aku, adikku dan kakakku meski tidak seberapa besar jumlahnya.

Aku tak pernah tahu dari mana bunda bisa mampu mengirimi uang kuliah untuk kami. Sebab, jika hanya mengandalkan hasil jualan pakaian, jelas saja itu tak cukup. Seberapa besar laba yang diperoleh bunda dari hasil dagangan untuk seorang pedagang kaki lima? Berapa besar biaya kuliah kami, anak-anak bunda yang berjumlah tiga, meski semuanya mendapatkan beasiswa? Tetapi bunda tak pernah mengeluh. Bunda malah selalu berpesan pada kami untuk kuliah yang sungguh-sungguh sebab hanya itu yang bisa dia harapkan dari kami. Ya, bunda hanya ingin kami menjadi orang!

Untuk itu, aku jarang pulang ke rumah. Apalagi sejak mendengar kabar kalau ayah tidak lagi kambuh meski tak lagi bisa bekerja seperti dulu lagi. Ayah hanya menghabiskan waktu di rumah dan sejak bunda bekerja di pasar, ayah --yang tak lagi sakit-sakitan meski tak mampu bekerja kuat-- lalu menggantikan tugas bunda. Ayah mulai bisa memasak, mencuci piring dan kadang juga menyapu lantai dan membersihkan rumah.

Baru saat siang tiba, bunda pulang. Ayahku sudah makan duluan ketika bunda tiba di rumah. Kebiasaan itu tak saja kulihat sejak aku pergi merantau di kota atau sejak ayah jatuh sakit. Bahkan kebiasaan makan bersama di rumah kami, memang sudah sejak dulu tidak pernah ada. Tak ada meja makan dan canda tawa bersama saat makan bersama di pagi hari, siang ataupun malam. Mungkin, karena itu rumah kami nyaris nyenyat percakapan. Bukankah sebuah percakapan selalu dimulai dari obrolan di meja makan dan rapat sebuah perusahaan selalu dilakukan dengan acara makan bersama di sebuah restoran untuk menghasilkan keputusan penting?

Tapi rumah kami memang bukan perusahaan. Rumah yang sepi dari banyak percakapan, hanya nyaring radio di dekat ayah, yang sering aku dengar hingga sore tiba. Aku yang duduk di ruang tengah, hanya bisa menatap wajah ayah di saat senja berbias dengan muram. Sebuah wajah, yang sudah tua dengan keriput di pipi. Sebuah wajah yang memikirkan masa depan kami dan tak tahu berbuat apa karena ketuaan telah membuatnya tak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya menatap langit untuk mendoakan masa depan kami...

Lalu, malam berlalu dan rumah kami selalu tidak ada percakapan lebih untuk urusan yang tidak penting.

***

SELALU disergap ngilu, setiap kali aku pulang ke rumah. Untuk itulah aku selalu tak betah tinggal lama untuk sekedar menghabiskan masa liburan. Apalagi, jika aku harus membandingkan bunda dengan ayah, maka aku tak lebih dari anak durhaka. Aku seorang lelaki, kenapa membenci ayah? Apa salah ayah sehingga aku sampai tak simpati? Juga, kenapa rumah kami sepi percakapan dan bunda harus mengganti perankan ayah bekerja.

Aku sudah tak lagi betah melihat semua itu di depan mata. Pada hari ketiga kepulanganku itulah, aku memutuskan untuk kembali ke kota. Apalagi, urusan perpanjangan KTP sudah beres. Tidak ada yang membuatku harus tinggal lebih lama. Aku tidak ingin mataku berair. Seperti pulangku yang selalu membuat bunda terkejut, kepergianku juga selalu membuat bunda terperanjat. Saat aku pamit bunda hanya berpesan, "Pergilah ke mana kaki membawamu pulang karena rumah ini adalah rumahmu!"

Aku menggangguk. Tak mencium tangan bunda, karena kepergianku kali ini juga tak ubahnya kepergianku di pagi hari, saat aku kecil dulu tatkala main di halaman maupun di lapangan.

Lalu aku melintasi kursi goyang ayah untuk pamitan, "Kami, anak-anak ayah, semuanya hanya berharap ayah baik-baik dan kami tak berharap dari ayah kecuali doa untuk keberhasilan kami!"

Ayah hanya diam. Karena hanya itu yang ia bisa lakukan...

Kuangkat tas ransel, kupasang dipunggung, untuk selanjutnya bergegas pergi, meninggalkan rumah, yang tidak lagi penuh canda tawa, tidak banyak percakapan yang bisa membahagiakan. Bunda serta ayah hanya mengantar sampai di pintu, dan aku bergegas meninggalkan rumah, tak lagi berdiri sejenak di pintu pagar yang sudah menua, yang nyaris membuat langkah kaki seperti berat untuk pergi dengan beringas.

Setelah kulewati pintu pagar dan mengedarkan pandang ke halaman, aku memang terperangkap masa lalu. Sebuah masa saat aku masih kecil, bermain di halaman, memanjat pohon mangga besar yang berdiri kokoh di depan rumah dan juga kenangan saat pulang sekolah. Kini, kenangan itu masih tinggal dalam ingatan. Membekas dalam rajut waktu yang sudah lama berlalu, namun tak juga kunjung terlupakan.

Apalagi saat aku harus melambaikan tangan untuk bunda yang mengantar kepergianku saat berangkat ke sekolah sewaktu masih kecil dulu, kini aku tak melihat semua itu lagi, kecuali ada seberkas sinar keperakan di mata bunda, perempuan yang menjadi ayah, yang membuatku kenapa tiba-tiba menjadi rindu untuk pulang, padahal aku belum sepenuhnya bergegas pergi.***

Cerita untuk bunda, di Lasem
Yogyakarta, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar