Kamis, 29 November 2007

Teror dan Cinta

cerpen ini dimuat di Suara Indonesia, Minggu 7 Nov 2004

LELAKI muda itu mendadak terbangun, ketika telinganya merasa pekak oleh nada panggilan handphone. Ringstone panggilan itu membuatnya beringsut bangun, karena menyalak kencang seperti seekor anjing yang menjumpai tulang belulang. Seketika, dirasai genderang telinganya seperti tertusuk jarum tatkala nada brengsek itu tidak juga kunjung padam. Nada itu terus berkoar-koar, mirip sirine mobile ambulance di tengah dingin pagi yang belum surut dari gelap malam, membawa berita kematian.


Ia mengucek-ngucek kelopak matanya. Lalu dengan malas diraihnya benda keparat itu. Sisa kantuk yang belum pulih, membuat penglihatannya sedikit kabur. Buram. Tetapi sekilas, meski tampak samar dia masih bisa melihat pada layar hp; deret angka si pemanggil. Sama sekali, tak ia kenal. Sebab tiada nama tertera di layar pesawat itu. Juga, tidak ada kode wilayah si pemanggil --karena dilakukan lewat telpon genggam. Hanya deretan angka telepon seluler dari pulsa mentari.


Dengan kesal, ia mengutuk --tak tahu pada siapa. Lalu, ia tekan tombol yes penerima. Serta merta, ditajamkan pendengerannya di tengah gulita pagi yang buta. Namun, tak ada suara di seberang yang didengar. Hanya, bunyi angin kesiur yang tak memberi kabar apa pun. Hanya kesunyian yang aus di kesenyapan. Alias, tak ada sapaan seseorang yang mengucapkan kata "hallo". Sebab, panggilan itu keburu diputus tepat saat ia menerimanya.


Ia mengutuk. Jengkel. Lalu, menyumpah-serapahi penelpon yang tidak diketahui siapa. Dari mulutnya keluar umpatan, "brengsek!" sebelum rasa kantuk memintanya untuk kembali berbaring.


Dengan susah payah, dia berusaha memejamkan mata. Tetepi, kali ini kelopak matanya tidak lagi bisa dikatupkan. Rasa kantuknya keburu lenyap bersama dengan kegundahan hatinya yang merasa telah dipermainkan. Rasa kesal itu bahkan seperti menyumbat ubun-ubun batok kepalanya. Namun, apa yang bisa dia perbuat? Membalas? Itu tidak mungkin! Karena ia tak punya sisa pulsa untuk melakukan panggilan. Untuk itu, ia hanya mengutuk. Apalagi, ketika ia sadar kerapkali juga melakukan hal seperti itu di malam-malam yang sepi di awal kali memiliki pesawat seluler.

Di tengah malam gulita, ketika orang tidur pulas, ia biasa melakukan panggilan pada nomer sembarangan. Setelah terdengar nada aktif pesawat yang dihubungi, ia buru-buru memutus. Lalu, dia menekan nomer lain lagi dengan sembarangan pula dan itu dilakukan berulang kali, sampai dia merasa puas dan lelah dengan perbuatan gila itu. Dan kini, nasib itu berbalik menimpanya. Sialnya, ia tak bisa melakukan pembalasan. Untuk itu, ia hanya bisa mengutuk dan merasa bodoh karena sebelum beranjak tidur tak sempat mematikan pesawat genggamnya.

Belum sempat kedua matanya terpejam, tiba-tiba didengar lagi dering pesawat genggamnya berbunyi kembali. Hanya saja, kali ini bukan lagi tembang nada panggilan, melainkan hanya nada sms. Seketika, ia beringsut dan mengambil pesawat genggamnya. Debar jantungnya berdegup ritmis seolah ada sekuntum cahaya keceriaan yang dihembuskan angin subuh pada embun. Dan memang, selalu saja ada semacam kenikmatan pada saat-saat ia membaca berita sms. Setidaknya ia merasa ada percakapan dalam kebisuan seperti itu.


"Selamat untuk terbitnya novelmu. Kenapa aku tidak dikirimi agar bisa membacanya..." tulis pesan itu, masih dari si pengirim yang tadi menelponnya.


Siapa dia? Memang, ia penasaran. Tapi, rasa penasaran itu tak membuatnya suntuk berpikir dan menerka-nerka lebih jauh. Sebab ia sepenuhnya tahu jika orang itu setidaknya telah mengenalnya. Lebih dari itu, rasa kantuknya tak lagi bisa ditahan. Pada sisa pagi itu, ia mau tidur dengan memendam rasa bangga yang menubruk limpa jantungnya untuk sebuah prestasi yang tak seberapa itu.

***

WAKTU berjalan seperti bandul yang berayun melintasi garis edar bumi, menenggelamkan pagi untuk cepat beranjak. Berayun-ayun merambat menjadi siang, seakan waktu adalah degup nafas dari seekor tikus yang lari terbirit-birit saat dikejar kucing. Sementara, sore hanya kesenggangan di kala pelangi membaluri warna ungu dan jingga pada cakrawala. Semua seperti bisu, namun merangkak dengan pasti ketika hari-hari berjalan begitu cepat dan tak terasa sudah lewat dua hari peristiwa itu menenggelamkannya dalam sebuah kenangan.


Sore menjelang dan dia sudah memiliki pulsa. Rasa penasaran di hatinya, tiba-tiba mencuat bagai gundukan pasir yang disapu angin. Terbang di angkasa, melayang-layang. Lalu, dipencet nomor yang sempat membuatnya terpaksa harus mengenang peristiwa itu.


"Aku tahu, kamu pasti akan menelponku...", sambutan sinis di seberang tanpa sebuah prolog yang manis untuk sebuah percakapan.


Dia tergeragap, setidaknya untuk memulai permulaan kata yang akan dirangkainya sebagai satu jawaban. Tapi, nyalinya tak hilang dalam panik. Apalagi suara yang didengar di seberang berasal dari seorang perempuan, "Eh, kalau boleh tahu siapa sih kamu?" balasnya dengan nada penasaran.


"Aku kira itu tak penting. Siapa aku? Itu pertanyaan konyol yang sudah berulang kali kamu tanyakan padaku dan kamu memang tak akan pernah bisa mengenalku. Mungkin, sampai kapanpun."


"Maksudmu?"


"Kamu... bukanlah lelaki kemarin sore yang aku kenal. Begitu juga aku. Kamu telah mengenal lama siapa aku dan jika kamu mau mengakui --setidaknya-- kita itu pernah akrab. Bahkan lebih dari itu. Lantas untuk apa lagi sebuah perkenalan jika kita sudah pernah memiliki kenangan yang tak akan bisa dilupakan?"


"Persetan! Siapa sih kamu?"

"Sudah kubilang, itu tak penting. Karena kamu adalah lelaki dungu yang tidak pernah peduli dengan ingatan. Coba kamu pikir dan gunakan perasaanmu. Bukankah dari suaraku kau bisa mengenali siapa aku? Tebak siapa aku jika kau punya ingatan untuk mengenal sebuah suara?"

"Keparat. Kau benar-benar telah mempermainkanku!"

"Kamu justru yang lebih dari sekedar mempermainkanku!"

"Apa? Aku lebih mempermainkanmu? Kau membuatku penasaran. Katakan! Siapakah dirimu?

Apa, aku harus menyebutmu teroris?"

"Apapun yang kau sebutkan untukku itu tidak akan memengaruhiku. Aku teroris atau maling, lantas apa yang berubah dari kamu? Apa yang berubah dariku? Tidak ada, bukan? Kita hidup dan kita tak punya kuasa untuk memengaruhi bukan?"

"Ah, cukup...! Kamu tidak saja telah mempermainkanku, melainkan juga telah membuatku tak habis pikir dan sia-sia saja aku bicara dalam sebuah percakapan semacam ini yang tanpa kutahu siapa kamu dan apa maumu. Belum lagi, ini menghabiskan pulsaku."


Seketika, lelaki itu memutus sambungan. Lalu, dia mengumpat. Tetapi, sebelum itu ia masih sempat menulis sms, "sembunyikan dirimu di balik senja. Namun, aku akan jadi matahari bagimu." Lalu, ia melenggang pergi, menerabas keramaian dengan mengendarai motor pitung-nya, setelah menstarter motor yang sering macet itu di depan pondokan mungilnya di sebuah pertigaan jalan. Dan, dia berjanji dalam hati tak akan lagi mau mengingat kejadian itu. Karena baginya semua sudah berlalu dan tak ada yang perlu dipercakapkan lagi. Toh, jika perempuan itu mau serius, menurut kata hatinya, ia pasti akan menelponnya kembali, bicara baik-baik. Dengan begitu, tidak ada lagi teror. Tak ada lagi sesuatu yang disembunyikan...


***

KALA itu, malam sedang purnama. Malam itu entah hari ke berapa sejak peristiwa teror atas dirinya itu berlalu. Ia sendiri sudah lupa dan tak mau lagi mengingatnya. Bulan di langit mengintip dari jendela kamar mungilnya di pertigaan jalan, menebarkan kristal-kristal kecil cahaya kekuningan yang dirasa sungguh sejuk saat menyepuh keningnya. Entah mengapa, pada malam itu ia tiba-tiba saja ingin menulis sebuah puisi. Ah, inilah suatu kebiasaan buruk yang selalu dilakukan lelaki itu untuk sekedar menghibur hatinya, tidak saja saat sedang terluka karena ditinggal kekasihnya belakangan ini, tetapi juga saat ia sedang jatuh cinta pada perempuan yang baru dikenalnya.


Belum sempat ia menorehkan satu katapun untuk bait pertama puisinya, ada sms yang masuk. Tetapi, ada rasa enggan untuk cepat-cepat membukanya. Dia masih suntuk menekuri lembaran kertas, memilih diksi untuk merangkai kata demi kata. Beberapa menit kemudian, ada sms lagi masuk. Ia juga masih tidak peduli. Hingga, nada sms ketiga masuk, nyalinya seperti diusik untuk tahu; ada kabar apa untuk dirinya?


Dibuka satu persatu sms itu. Tapi belum sempat habis sms itu dibaca, dari kelopak matanya jatuh butir-butir air mata yang menitik. Ah, ia begitu mudah terharu dan sedih untuk sekedar menangis dengan isak yang membakar kalbu. Untuk kesekian kalinya, ia menangisi pernikahan bekas kekasihnya yang telah ia tinggalkan tiga bulan yang lalu dan kini sudah menikah dengan lelaki lain.


Waktu malam pernikahan, ia juga tak bisa menahan sedih untuk menangis. Kini menangis lagi entah untuk yang ke berapa kalinya. Bukan lantaran ia kecewa karena kekasihnya kini sudah dimiliki orang lain, namun semata-mata dikarenakan kekasihnya itu kini mengakui sebagai orang yang kemarin menerornya. Lewat sms, kali ini dan malam ini, ia minta maaf dan mengaku masih mencintainya. Sontak, ia menangis... karena dalam sms kedua, perempuan itu telah bercerita kalau kini hidupnya tak bahagia dan tak bisa melupakan dirinya.


Baru kali ini dia sadar, merasa berdosa; kenapa dulu ia tidak menikahinya hanya gara-gara persoalan sepele, belum mendapatkan pekerjaan. Ia meninggalkan kekasihnya itu meski dirinya sendiri harus ditikam luka untuk sebuah perpisahan. Dan kini ia hanya bisa menangis, merasa berdosa. Tetapi, hal itu jelas tak bisa membuatnya berbuat apa-apa. Apalagi, sebulan yang lalu dia telah kenal seorang gadis yang cukup manis dan lebih segalanya dari bekas kekasihnya.


Malam masih belum beranjak jadi gulita untuk gelap di hati. Tapi sebelum airmatanya habis terkuras dirundung sedih, didengarnya pesawat genggamnya tiba-tiba mendendangkan lagu kenangan. Dari nada dan tembang lagu itu, ia tahu sepenuhnya; siapa yang menghubunginya di malam yang nyaris membuat ia ditikam pilu itu, panggilan dari seorang gadis manis yang dikenal kurang lebih sebulan lalu dan belakangan kian akrab dengannya. Seketika itu, dia tidak ingin menangis untuk sebuah perpisahan karena ditinggal menikah bekas kekasihnya. Sebab esok pagi, ia akan kencan dengan kekasih barunya itu. ***


Yogya, 2003-Jakarta, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar